Menurut kabar atau ceritera lisan Minangkabau, Bundo Kanduang adalah nama seorang tokoh wanita yang menurunkan raja-raja Minangkabau, berkedudukan di Istana Pagaruyung. Dalam perkembangan selanjutnya, Bundo Kanduang atau Bunda Kandung menjadi istilah yang berarti ibu sejati yang memiliki sifat-sifat keibuan dan kepemimpinan.
Menurut adat Minangkabau ibu adalah tempat menarik tali turunan yang disebut matrilineal. Hal ini mengandung makna agar manusia yang dilahirkan oleh kaum ibu terutama laki-laki, menghormati dan memuliakan ibu tana pandang bulu. Kedudukan wanita mendapat tempat yang sangat mulia dan terhormat, dilihat dari ciri khas adat Minangkabau yang diperlakukan kepada wanita antar lain: jika seorang ibu bersuku Piliang, maka anak yang dilahirkan baik laki-laki maupun perempuan harus beruku Paliang sesuai dengan suku ibunya. Demikian pula jika seorang ibu bersuku jambak atau Caniago dan lain-lain, anak-anaknya harus bersuku sama dengan suku ibunya.
Seorang ibu akan lebih banyak menentukan watak manusia yang dilahirkan seperti pepatah:
Kalau karuah aie di hulu
Sampai ka muaro karuah juo
Kalau kuriak induaknya, rintiak anaknyo
Tuturan atok jatuhan ka pelimbahan
Dalam bahasa Indonesia kurang lebih: Kalau keruh air dihulu/sampai ke muuara keruh juga/kalau ibunyi kurik, rintik anaknya/cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan.
Sesuai dengan kedudukan dan peranannya, rumah tempat tinggal diutamakan untuk wanita, bukan laki-laki. Seorang bapak selalu mempunyai cita-cita untuk membuatkan rumah tempat tinggal anaknya yang perempuan, bukan untuk anaknya yang laki-laki. Bahkan menurut adat Minangkabau, sudah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi. Hal ini sangat mempengaruhi sistem perkawinan di Minangkabau, dimana setiap terjadi perkawinan si laki-laki menetap di rumah perempuan, sebaliknya apabila terjadi perceraian, laki-laki yang pergi dari rumah, perempuan tetap tinggal.
Sawah dan ladang merupakan sumber ekonomi, pemanfaatannya diutamakan untuk keperluan wanita karena wanita lebih lemah dibanding laki-laki. Sebaliknya kaum laki-laki Minangkabau diberi tugas mengurus dan mengawasi sawah ladang untuk kepentingan bersama karena laki-laki menjadi tulang punggung bagi wanita, namun tidak berarti bahwa kaum laki-laki tidak dapat menikmati hasil atau mendapat manfaatnya sama sekali.
Sesuai dengan sifatnya wanita yang pandai berhemat dan pandai mengatur ekonomi, maka yang menyimpan hasil sawah ladang dipercayakan kepada wanita atau Bundo Kanduang.
Menurut adat Minangkabau, segala sesuatu yang akan dilaksanakan dalam lingkungan kaum dan persukuan selalu melalui musyawarah. Dalam musyawarah tersebut kaum wanita mempunyai hak suara dan pendapat sama dengan laki-laki. Bahkan suara dan pendapat wanita menentukan lancar atau tidaknya pekerjaan tersebut. Misalnya, dalam upacara pernikahan belum dapat dilaksanakan jika belum mendapat persetujuan dari kaum wanita atau kaum ibu. Demikian pula dalam mendirikan gelar penghulu dalam suatu kaum baru dapat diresmikan apabila semua ibu dalam kaum tersebut menyetujuinya. Di samping itu penggunaan harta pusaka seperti menggadai, atau hibah dapat dilakukan tetapi harus mendapat persetujuan dari seluruh wanita anggota kaumnya. Penggunaannya pun untuk kepentingan bersama, misalnya untuk biaya upacara kematian, biaya upacara perkawinan anak perempuan dan untuk memperbaiki rumah gadang (rumah adat).
Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh Bundo Kanduang
Sesuai dengan tugas ibu sebagai pengantara keturunan dan mendidik anak-anak yang dilahirkannya, menurut adat Minangkabau seorang ibu harus memiliki sifat kepemimpinan dan ibu sejati. Hal ini penting karena ibu tempat bertanya, ditiru dan menjadi teladan lingkungan keluarganya. Sifat yang herus dimiliki oleh Bundo Kanduang tidak jauh berbeda dengan sifat pemimpin adat Minangkabau atau penghulu, antara lain:
1. Dalam pergaulan sehari-hari Bundo Kanduang harus mencerminkan sifat-sifat baik dalam berkata-kata bertingkah laku serta benar dalam perbuatan. Dia harus menjauhi sifat pendusta, sebaliknya selalu berpihak dan menegakkan kebenaran.
2. Mendidik lingkungannya dengan memberi contoh, perbuatan yang jujur, baik dalam berkata-kata, berbicara maupun bertindak.
3. Dapat mengetahui dan membedakan hal yang benar dan yang salah, mengetahui untung rugi pada waktu akan melakukan pekerjaan dan mengambil suatu keputusan. Oleh karenanya seorang ibu harus mempunyai pengetahuan, sekurang-kurangnya pengetahuan tentang agama, pendidikan maupun bidang kewanitaan yang sangat berguna dalam berumahtangga. Untuk mengikuti pergaulan di lingkungan kampung dan nagarinya perlu juga mempunyai pengetahuan tentang adat dan situasi nagarinya.
4. Menurut adat Minangkabau seorang wanita harus pandai berbicara dalam arit fasih mengucapkan kata-kata dan enak didengar. Kepandaian berbicara atau berkata-kata ini sangat perlu bagi pendidikan di dalam rumah tangga, keluarga maupun di lingkungan kaumnya karena merupakan sarana untuk memberikan bimbingan kepada masyarakat, terutama bagi sesama kaum wanita dan anak-anak.
5. Mempunyai sifat rasa malu dalam dirinya sehingga akan mencegah perbuatan yang melanggar adat dan menyimpang dari hukum yang berlaku. Rasa malu merupakan benteng bagi wanita karena dapat menjauhkan sifat dan perbuatan tercela. Menurut adat Minangkabau sifat malu merupakan peran utama dalam kehidupan kaum wanita. Sebaliknya jika kehilangan rasa malu akan membahayakan kehidupan rumahtangga, bahkan membahayakan masyarakat.
Selain kelima sisat tersebut, seorang wanita harus dapat menjaga nama baik agar tetap disebut wanita sejati. Bundo Kanduang harus berhati-hati dalam tingkah laku dan perbuatan, misalnya dalam pergaulan dengan laki-laki, cara berpakaian, makan, minum, berbicara dan sebagainya. Mengingat pentingnya kedudukan dan fungsi wanita di dalam kehidupan, maka anak perempuan sangat diutamakan, namun bukan berarti bahwa adat Minangkabau tidak memerlukan keturunan laki-laki. Keduanya merupakan dua kesinambungan dan saling mendukung.
Kewajiban Bundo Kanduang
Seorang ibu di Minangkabau mempunyai kewajiban sebagai pemimpin dalam rumahtangga maupun kaumnya antara lain:
Menuruik alua nan lurui
Manampuah jalan nan pasa
Mamaliharo harato pusako
Mamaliharo anak dan kemenakan
Dalam bahasa Indonesia artinya: Mengikuti aturan yang telah digariskan/Melalui jalan yang biasa ditempuh/Memelihara/menjaga harta pusaka/Memelihara anak dan kemenakan.
Dengan demikian kewajiban ibu adalah mentaati semua aturan dan ketentuan adat maupun peraturan di dalam negeri yang sudah diputuskan dengan mufakat oleh para pemimpin dan pemangku adat. Sebagai contoh dalam pelaksanaan perkawinan, kematian dan bidang kemasyarakatan lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari hendaknya selalu dilandasi oleh alur dan patut, yaitu melalui jalan yang dibenarkan oleh adat dan agama, serta yang lazim ditempuh orang.
Harta pusaka seperti sawah, ladang, saluran air, tepian mandi, jalan, tanah perkuburan dan lain-lain harus dipelihara jangan sampai habis atau berpindah tangan ke kaum atau nagari lain. Wanita berkewajiban melarang kaum laki-laki menggadaikan harta pusaka untuk kepentingan di luar ketentuan adat, apalagi menjualnya. Harta pusaka ini harus dijaga keutuhannya karena kelak diteruskan kepada generasi berikutnya.
Kewajiban paling utama bagi Bundo Kanduang di Minangkabau adalah memelihara anak dan kemenakan, yakni anak-anak dari saudara perempuan suaminya. Memelihara anak dan kemenakan mempunyai ruang lingkup yang luas, yang pada pokoknya menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat yang mungkar atau jahat. Sebagai ibu mempunyai tugas merawat, membimbing, mendidik anak-anaknya sedangkan terhadap kemenakannya berkewajiban membimbing; memberi bantuan serta memperhatikan pendidikannya.
Pakaian Adat Bundo Kanduang
Pakaian adat Bundo Kanduang di Minangkabau pada hakekatnya sama, tidak terdapat perbedaan yang tajam antara luhak (daerah asal) dengan daerah rantau. Perbedaan hanya terlihat pada bentuk variasi dan hiasannya saja.
Seorang wanita yang diangkat sebagai Bundo Kanduang merupakan wanita yang memegang peranan dalam kaum atau sukunya.
Tidak semua wanita di Minangkabau dianggap Bundo Kanduang karena harus memenuhi kriteria dan persyaratan seperti uraian di atas. Sehubungan dengan itu pakaian Bundo Kanduang dalam upacara-upacara adat mempunyai bentuk-bentuk tertentu dan berbeda dengan wanita lainnya.
Pakaian Bundo Kanduang mempunyai bermacam-macam variasi, seperti yang terdapat di beberapa daerah di Minangkabau, namun mempunyai persamaan poko yang merupakan satu kesatuan.
Adapun pakaian Bundo Kanduang menurut adat yang lazim.
1. Tengkuluk
Bagian kepala seorang wanita yang telah diangkat sebagai Bundo Kanduang pada waktu menghadiri upacara adat harus ditutup. Penutup kepala ini disebut tengkuluk yang dipakai dengan cara tertentu sehingga bentuknya menyerupai tanduk kerbau. Tutup kepala tersebut dibuat dari selendang tenunan Pandai Sikek. Di beberapa daerah terdapat beberapa cara memakainya sehingga bentuknya pun bervariasi. Di Kabupaten Agam ujungnya runcing, di Payakumbuh ujung pepat, di daerah Lintau Kabupaten Tanah Datar tanduknya bertingkat dan lain-lain.
2. Baju kurung
Baju yang dipakai oleh Bundo Kanduang dalam upacara adat disebut baju kurung yang melambangkan bahwa ibu tersebut terkurung oleh undang-undang yang sesuai dengan agama dan adat di Minangkabau. Baju kurung ini diberi hiasan sulaman benang emas dengan motif bunga kecil yang disebut tabua atau tabur. Warna baju kurung bermacam-macam menurut darah masing-masing, seperti hitam, merah tua, ungu atau biru tua. Pada lengan kiri, kanan atau pinggir bagian bawah baju diberi jahitan tepi yang disebut minsia, melambangkan bahwa Bundo Kanduang harus selalu berhati lapang, sabar menghadapi segala persoalan. Sedangkan hiasan tabur melambangkan kekayaan alam Minangkabau, warna hitam melambangkan Bundo Kanduang tahan tempa, tabah dan ulet, warna merah melambangkan keberanian dan tanggung jawab.
3. Kain sarung atau kodek
Kain sarung yang dipakai oleh Bundo Kanduang dibuat dari kain balapak atau songket tenunan Pandai Sikek, Padang Panjang. Kain sarung ini berhiaskan benang emas atau perak dengan motif bunga, daun atau garis-garis geometris. Sedangkan tepinya dihiasi motif pucuk rebung. Kain sarung dipakai sebatas mata kaki melambangkan bahwa Bundo Kanduang harus mempunyai rasa malu, kesopanan, ketaatan beragama tetapi mudah melangkah. Hiasan tabur pada kain serung melambangkan pengetahuan Bundo Kanduang sebanyak bintang di langit, motif pucuk rebung melambangkan inisiatif dan gerak dinamis masyarakat Minangkabau.
4. Selandang
Setelah memakai baju kurung, di atas bahu kanan dipakai selendang atau selempang dari kain songket yang disebut kain balapak buatan Pandai Sikek. Cara memakainya di selempangkan dari bahu kanan ke bawah tangan kiri, melambangkan tanggung jawab yang dibebankan di pundak Bundo Kanduang, yang harus dilaksanakan dengan baik.
Sebagai pelengkap pakaian adat Bundo Kanduang antara lain selop atau sandal, kampie yaitu sejenis kantung kacil terbuat dari kain beludru sebagai tempat sirih pinang. Sebagai perhiasan antara lain kalung dan gelang. Kalung Bundo Kanduang ada beberapa macam, yaitu kalung cekik leher, kalung kaban, kalung rago-rago dan kalung panjang.
Leher sebagai lambang kebenaran akan tetap berdiri teguh dan sebagai pernyataan tetap menegakkan kebenaran dilambangkan dengan memberi hiasan kalung. Kalung juga melambangkan bahwa semua rahasia dikumpulkan oleh Bundo Kanduang dan sebagai pengatur ekonomi maka perlu menyimpan harta dalam bentuk emas yang sukar dihabiskan.
Selain kalung, hiasan lainnya adalah gelang, yaitu gelang gadang atau besar, gelang rago-rago dan gelang kunci manik. Pemakaian gelang melambangkan semua yang dikerjakan Bundo Kanduang harus dalam batas-batas tertentu, menjangkau ada batasnya, melangkahkan kaki juga ada batasnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Bundo Kanduang merupakan figur ibu sejati yang sangat diharapkan dan sangat berperan dalam masyarakat Minangkabau. Tidak semua wanita atau semua ibu mempunyai predikat Bundo Kanduang karena harus memiliki beberapa kriteria dan persyaratan tertentu yang digariskan menurut agama dan adat Minangkabau. Sebaliknya kaum ibu yang disebut Bundo Kanduang sangat dihormati dan dimuliakan. Kedudukan dan peranannya dalam adat sangat besar. Karena status tersebut, Bundo Kanduang mempunyai batas-batas yang digariskan oleh adat dalam berbuat, bertindak dan bertingkah laku. Gambaran Bundo Kanduang ini diwujudkan pula dalam pakaian adat yang dipakai dalam upacara tertentu, yang penuh dengan lambang dan makna.
Sayang sekali jika hal ini tidak diketahui oleh generasi muda, khususnya pendukung kebudayaan bersangkutan karena berarti tidak mengenal dan mencintai nilai budaya nenek moyang.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Menurut adat Minangkabau ibu adalah tempat menarik tali turunan yang disebut matrilineal. Hal ini mengandung makna agar manusia yang dilahirkan oleh kaum ibu terutama laki-laki, menghormati dan memuliakan ibu tana pandang bulu. Kedudukan wanita mendapat tempat yang sangat mulia dan terhormat, dilihat dari ciri khas adat Minangkabau yang diperlakukan kepada wanita antar lain: jika seorang ibu bersuku Piliang, maka anak yang dilahirkan baik laki-laki maupun perempuan harus beruku Paliang sesuai dengan suku ibunya. Demikian pula jika seorang ibu bersuku jambak atau Caniago dan lain-lain, anak-anaknya harus bersuku sama dengan suku ibunya.
Seorang ibu akan lebih banyak menentukan watak manusia yang dilahirkan seperti pepatah:
Kalau karuah aie di hulu
Sampai ka muaro karuah juo
Kalau kuriak induaknya, rintiak anaknyo
Tuturan atok jatuhan ka pelimbahan
Dalam bahasa Indonesia kurang lebih: Kalau keruh air dihulu/sampai ke muuara keruh juga/kalau ibunyi kurik, rintik anaknya/cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan.
Sesuai dengan kedudukan dan peranannya, rumah tempat tinggal diutamakan untuk wanita, bukan laki-laki. Seorang bapak selalu mempunyai cita-cita untuk membuatkan rumah tempat tinggal anaknya yang perempuan, bukan untuk anaknya yang laki-laki. Bahkan menurut adat Minangkabau, sudah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi. Hal ini sangat mempengaruhi sistem perkawinan di Minangkabau, dimana setiap terjadi perkawinan si laki-laki menetap di rumah perempuan, sebaliknya apabila terjadi perceraian, laki-laki yang pergi dari rumah, perempuan tetap tinggal.
Sawah dan ladang merupakan sumber ekonomi, pemanfaatannya diutamakan untuk keperluan wanita karena wanita lebih lemah dibanding laki-laki. Sebaliknya kaum laki-laki Minangkabau diberi tugas mengurus dan mengawasi sawah ladang untuk kepentingan bersama karena laki-laki menjadi tulang punggung bagi wanita, namun tidak berarti bahwa kaum laki-laki tidak dapat menikmati hasil atau mendapat manfaatnya sama sekali.
Sesuai dengan sifatnya wanita yang pandai berhemat dan pandai mengatur ekonomi, maka yang menyimpan hasil sawah ladang dipercayakan kepada wanita atau Bundo Kanduang.
Menurut adat Minangkabau, segala sesuatu yang akan dilaksanakan dalam lingkungan kaum dan persukuan selalu melalui musyawarah. Dalam musyawarah tersebut kaum wanita mempunyai hak suara dan pendapat sama dengan laki-laki. Bahkan suara dan pendapat wanita menentukan lancar atau tidaknya pekerjaan tersebut. Misalnya, dalam upacara pernikahan belum dapat dilaksanakan jika belum mendapat persetujuan dari kaum wanita atau kaum ibu. Demikian pula dalam mendirikan gelar penghulu dalam suatu kaum baru dapat diresmikan apabila semua ibu dalam kaum tersebut menyetujuinya. Di samping itu penggunaan harta pusaka seperti menggadai, atau hibah dapat dilakukan tetapi harus mendapat persetujuan dari seluruh wanita anggota kaumnya. Penggunaannya pun untuk kepentingan bersama, misalnya untuk biaya upacara kematian, biaya upacara perkawinan anak perempuan dan untuk memperbaiki rumah gadang (rumah adat).
Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh Bundo Kanduang
Sesuai dengan tugas ibu sebagai pengantara keturunan dan mendidik anak-anak yang dilahirkannya, menurut adat Minangkabau seorang ibu harus memiliki sifat kepemimpinan dan ibu sejati. Hal ini penting karena ibu tempat bertanya, ditiru dan menjadi teladan lingkungan keluarganya. Sifat yang herus dimiliki oleh Bundo Kanduang tidak jauh berbeda dengan sifat pemimpin adat Minangkabau atau penghulu, antara lain:
1. Dalam pergaulan sehari-hari Bundo Kanduang harus mencerminkan sifat-sifat baik dalam berkata-kata bertingkah laku serta benar dalam perbuatan. Dia harus menjauhi sifat pendusta, sebaliknya selalu berpihak dan menegakkan kebenaran.
2. Mendidik lingkungannya dengan memberi contoh, perbuatan yang jujur, baik dalam berkata-kata, berbicara maupun bertindak.
3. Dapat mengetahui dan membedakan hal yang benar dan yang salah, mengetahui untung rugi pada waktu akan melakukan pekerjaan dan mengambil suatu keputusan. Oleh karenanya seorang ibu harus mempunyai pengetahuan, sekurang-kurangnya pengetahuan tentang agama, pendidikan maupun bidang kewanitaan yang sangat berguna dalam berumahtangga. Untuk mengikuti pergaulan di lingkungan kampung dan nagarinya perlu juga mempunyai pengetahuan tentang adat dan situasi nagarinya.
4. Menurut adat Minangkabau seorang wanita harus pandai berbicara dalam arit fasih mengucapkan kata-kata dan enak didengar. Kepandaian berbicara atau berkata-kata ini sangat perlu bagi pendidikan di dalam rumah tangga, keluarga maupun di lingkungan kaumnya karena merupakan sarana untuk memberikan bimbingan kepada masyarakat, terutama bagi sesama kaum wanita dan anak-anak.
5. Mempunyai sifat rasa malu dalam dirinya sehingga akan mencegah perbuatan yang melanggar adat dan menyimpang dari hukum yang berlaku. Rasa malu merupakan benteng bagi wanita karena dapat menjauhkan sifat dan perbuatan tercela. Menurut adat Minangkabau sifat malu merupakan peran utama dalam kehidupan kaum wanita. Sebaliknya jika kehilangan rasa malu akan membahayakan kehidupan rumahtangga, bahkan membahayakan masyarakat.
Selain kelima sisat tersebut, seorang wanita harus dapat menjaga nama baik agar tetap disebut wanita sejati. Bundo Kanduang harus berhati-hati dalam tingkah laku dan perbuatan, misalnya dalam pergaulan dengan laki-laki, cara berpakaian, makan, minum, berbicara dan sebagainya. Mengingat pentingnya kedudukan dan fungsi wanita di dalam kehidupan, maka anak perempuan sangat diutamakan, namun bukan berarti bahwa adat Minangkabau tidak memerlukan keturunan laki-laki. Keduanya merupakan dua kesinambungan dan saling mendukung.
Kewajiban Bundo Kanduang
Seorang ibu di Minangkabau mempunyai kewajiban sebagai pemimpin dalam rumahtangga maupun kaumnya antara lain:
Menuruik alua nan lurui
Manampuah jalan nan pasa
Mamaliharo harato pusako
Mamaliharo anak dan kemenakan
Dalam bahasa Indonesia artinya: Mengikuti aturan yang telah digariskan/Melalui jalan yang biasa ditempuh/Memelihara/menjaga harta pusaka/Memelihara anak dan kemenakan.
Dengan demikian kewajiban ibu adalah mentaati semua aturan dan ketentuan adat maupun peraturan di dalam negeri yang sudah diputuskan dengan mufakat oleh para pemimpin dan pemangku adat. Sebagai contoh dalam pelaksanaan perkawinan, kematian dan bidang kemasyarakatan lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari hendaknya selalu dilandasi oleh alur dan patut, yaitu melalui jalan yang dibenarkan oleh adat dan agama, serta yang lazim ditempuh orang.
Harta pusaka seperti sawah, ladang, saluran air, tepian mandi, jalan, tanah perkuburan dan lain-lain harus dipelihara jangan sampai habis atau berpindah tangan ke kaum atau nagari lain. Wanita berkewajiban melarang kaum laki-laki menggadaikan harta pusaka untuk kepentingan di luar ketentuan adat, apalagi menjualnya. Harta pusaka ini harus dijaga keutuhannya karena kelak diteruskan kepada generasi berikutnya.
Kewajiban paling utama bagi Bundo Kanduang di Minangkabau adalah memelihara anak dan kemenakan, yakni anak-anak dari saudara perempuan suaminya. Memelihara anak dan kemenakan mempunyai ruang lingkup yang luas, yang pada pokoknya menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat yang mungkar atau jahat. Sebagai ibu mempunyai tugas merawat, membimbing, mendidik anak-anaknya sedangkan terhadap kemenakannya berkewajiban membimbing; memberi bantuan serta memperhatikan pendidikannya.
Pakaian Adat Bundo Kanduang
Pakaian adat Bundo Kanduang di Minangkabau pada hakekatnya sama, tidak terdapat perbedaan yang tajam antara luhak (daerah asal) dengan daerah rantau. Perbedaan hanya terlihat pada bentuk variasi dan hiasannya saja.
Seorang wanita yang diangkat sebagai Bundo Kanduang merupakan wanita yang memegang peranan dalam kaum atau sukunya.
Tidak semua wanita di Minangkabau dianggap Bundo Kanduang karena harus memenuhi kriteria dan persyaratan seperti uraian di atas. Sehubungan dengan itu pakaian Bundo Kanduang dalam upacara-upacara adat mempunyai bentuk-bentuk tertentu dan berbeda dengan wanita lainnya.
Pakaian Bundo Kanduang mempunyai bermacam-macam variasi, seperti yang terdapat di beberapa daerah di Minangkabau, namun mempunyai persamaan poko yang merupakan satu kesatuan.
Adapun pakaian Bundo Kanduang menurut adat yang lazim.
1. Tengkuluk
Bagian kepala seorang wanita yang telah diangkat sebagai Bundo Kanduang pada waktu menghadiri upacara adat harus ditutup. Penutup kepala ini disebut tengkuluk yang dipakai dengan cara tertentu sehingga bentuknya menyerupai tanduk kerbau. Tutup kepala tersebut dibuat dari selendang tenunan Pandai Sikek. Di beberapa daerah terdapat beberapa cara memakainya sehingga bentuknya pun bervariasi. Di Kabupaten Agam ujungnya runcing, di Payakumbuh ujung pepat, di daerah Lintau Kabupaten Tanah Datar tanduknya bertingkat dan lain-lain.
2. Baju kurung
Baju yang dipakai oleh Bundo Kanduang dalam upacara adat disebut baju kurung yang melambangkan bahwa ibu tersebut terkurung oleh undang-undang yang sesuai dengan agama dan adat di Minangkabau. Baju kurung ini diberi hiasan sulaman benang emas dengan motif bunga kecil yang disebut tabua atau tabur. Warna baju kurung bermacam-macam menurut darah masing-masing, seperti hitam, merah tua, ungu atau biru tua. Pada lengan kiri, kanan atau pinggir bagian bawah baju diberi jahitan tepi yang disebut minsia, melambangkan bahwa Bundo Kanduang harus selalu berhati lapang, sabar menghadapi segala persoalan. Sedangkan hiasan tabur melambangkan kekayaan alam Minangkabau, warna hitam melambangkan Bundo Kanduang tahan tempa, tabah dan ulet, warna merah melambangkan keberanian dan tanggung jawab.
3. Kain sarung atau kodek
Kain sarung yang dipakai oleh Bundo Kanduang dibuat dari kain balapak atau songket tenunan Pandai Sikek, Padang Panjang. Kain sarung ini berhiaskan benang emas atau perak dengan motif bunga, daun atau garis-garis geometris. Sedangkan tepinya dihiasi motif pucuk rebung. Kain sarung dipakai sebatas mata kaki melambangkan bahwa Bundo Kanduang harus mempunyai rasa malu, kesopanan, ketaatan beragama tetapi mudah melangkah. Hiasan tabur pada kain serung melambangkan pengetahuan Bundo Kanduang sebanyak bintang di langit, motif pucuk rebung melambangkan inisiatif dan gerak dinamis masyarakat Minangkabau.
4. Selandang
Setelah memakai baju kurung, di atas bahu kanan dipakai selendang atau selempang dari kain songket yang disebut kain balapak buatan Pandai Sikek. Cara memakainya di selempangkan dari bahu kanan ke bawah tangan kiri, melambangkan tanggung jawab yang dibebankan di pundak Bundo Kanduang, yang harus dilaksanakan dengan baik.
Sebagai pelengkap pakaian adat Bundo Kanduang antara lain selop atau sandal, kampie yaitu sejenis kantung kacil terbuat dari kain beludru sebagai tempat sirih pinang. Sebagai perhiasan antara lain kalung dan gelang. Kalung Bundo Kanduang ada beberapa macam, yaitu kalung cekik leher, kalung kaban, kalung rago-rago dan kalung panjang.
Leher sebagai lambang kebenaran akan tetap berdiri teguh dan sebagai pernyataan tetap menegakkan kebenaran dilambangkan dengan memberi hiasan kalung. Kalung juga melambangkan bahwa semua rahasia dikumpulkan oleh Bundo Kanduang dan sebagai pengatur ekonomi maka perlu menyimpan harta dalam bentuk emas yang sukar dihabiskan.
Selain kalung, hiasan lainnya adalah gelang, yaitu gelang gadang atau besar, gelang rago-rago dan gelang kunci manik. Pemakaian gelang melambangkan semua yang dikerjakan Bundo Kanduang harus dalam batas-batas tertentu, menjangkau ada batasnya, melangkahkan kaki juga ada batasnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Bundo Kanduang merupakan figur ibu sejati yang sangat diharapkan dan sangat berperan dalam masyarakat Minangkabau. Tidak semua wanita atau semua ibu mempunyai predikat Bundo Kanduang karena harus memiliki beberapa kriteria dan persyaratan tertentu yang digariskan menurut agama dan adat Minangkabau. Sebaliknya kaum ibu yang disebut Bundo Kanduang sangat dihormati dan dimuliakan. Kedudukan dan peranannya dalam adat sangat besar. Karena status tersebut, Bundo Kanduang mempunyai batas-batas yang digariskan oleh adat dalam berbuat, bertindak dan bertingkah laku. Gambaran Bundo Kanduang ini diwujudkan pula dalam pakaian adat yang dipakai dalam upacara tertentu, yang penuh dengan lambang dan makna.
Sayang sekali jika hal ini tidak diketahui oleh generasi muda, khususnya pendukung kebudayaan bersangkutan karena berarti tidak mengenal dan mencintai nilai budaya nenek moyang.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.