Nama situs Sangiran di lembah Bengawan Solo di Jawa Tengah mulai merebak di kalangan media massa pada triwulan terakhir 1993 karena peristiwa jual-beli fosil tengkorak manusia dan hewan dan rencana pengiriman sejumlah fosil hewan dan fosil tengkorak purba yang dilakukan oleh seorang pakar asing. Sebenarnya apa dan bagaimana situs Sangiran itu?
Situs purbakala di lembah-lembah sungai
Situs purbakala tertua dari masa Prasejarah di Jawa berada di lembah Bengawan Solo, Sungai Madiun, dan Sungai Brantas. Lokasi situs-situs tersebut adalah sebagai berikut.
1. Situs Purbakala di Lembah Bengawan Solo
1.1. Situs Punung. Situs ini terletak di dekat hulu Bengawan Solo, di dekat Desa Donorejo, sekitar 10 km sebelah barat laut Pacitan. Di situs Punung ini ditemukan alat-alat batu dari masa Paleolitik (masa berburu tingkat sederhana) dan Neolitik (masa bercocok tanam).
1.2. Situs Sangiran. Situs ini terletak di tepi Sungai Cemoro, yakni anak Bengawan Solo sekitar 10 km di utara kota Surakarta (Solo). Di lembah sungai ini banyak ditemukan alat-alat batu tulang rangka hewan dan manusia. Di antara rangka manusia purba itu ada sebuah fosil tengkorak manusia yang diberi nama Pithecanthropus erectus (manusia-kera yang berdiri tegak). Meganthropus paleojavanicus (manusia besar Jawa Kuna) dan Pithecanthropus soloensis (manusia-kera dari Solo) (Manusia Solo).
1.3. Situa Masaran. Situs ini teretak di dekat kota Sragen dan merupakan situs baru yang mulai dibuka tahun 1989. Di situs ini ditemukan alat-alat dari besi, gerabah dan logam mas. Benda mas ini berupa penutup mata mayat. Menurut informasi, penduduk juga menemukan tulang dan tengkorak, tetapi belum diidentifikasikan.
1.4. Situs Sambungmacan. Lokasinya ada di dekat kota Mantingan di barat Ngawi. Di situs ini ditemukan tengkorak jenis Pithecanthropus soloensis.
1.5. Situs Di situs ini ditemukan tengkorak pithecanthropus erectus dari masa yang lebih tua.
1.6. Situs Ngandong. Di situs di utara Trinil ini dtemukan sebelas tengkorak Pithecanthropus soloensis dan alat-alat batu yang dihasilkan oleh makhluk tersebut.
2. Situs Purbakala di Lembah Sungai Madiun
Situs Sampung. Lokasinya berupa gua payung yang ada di dekat kota Ponorogo, jadi di bagian hulu Bengawan Madiun. Di sini ditemukan sejumlah besar peralatan dari tulang (sudip tulang). Bengawan Madiun ini bertemu dengan Bengawan Solo di utara kota Ngawi.
3. Situs di Lembah Sungai Brantas
3.1. Situas Wajak. Situs ini terletak di timur kota Tulung Agung, jadi masih termasuk bagian hulu Sungai Brantas. Di situs ini ditemukan tengkorak manusia yang disebut Homo wajakensis.
3.2. Situs Perning. Lokasinya 7 km di timur laut kota Mojokerto, jadi di Lembah Brantas bagian agak ke hilir, ditemukan tengkorak Pithecanthropus mojokertensis.
Riwayat Penelitian
Riwayat penelitian situs Sangiran cukup panjang karena telah dimulai sejak 100 tahun silam yang dirintis oleh Eugene Dubois. Pada 1931 Van Es menerbitkan peta geologi daerah Sangiran dengan skala 1:20.000 tetapi kemudian direvisi oleh H.R. Von Koenigswald pada 1940. Selanjutnya Sartono meneliti Sangiran pada 1961, 1970, 1975 dan seterusnya dan juga menerbitkan peta geologinya.
Para pakar geologi Jepang dan Indonesia telah bekerjasama meneliti Sangiran sejak 1976. Para geolog Indonesia juga sudah meneliti Sangiran sejak 1966, misalnya Kadar D (1966). Otto Sudarmadji (1976), B.W. Hariadi (1978), S. Mahadi (1979) dan Widiasmoro (1976-1978).
Lapis Bumi Situs Sangiran
Jika situs Sangiran dipotong untuk dilihat lapisan tanahnya, maka akan tampak beberapa lapisan tanah dengan ciri-ciri khusus sebagai hasil dari proses pembentukan bumi di masa silam. Prof. Dr. S. Sartono, seorang pakar geologi yang selalu bekerjasama dengan para pakar arkeologi, membagi situs Sangiran dalam beberapa lapisan (istilahnya formasi) mulai yang termuda hingga yang tertua beserta uraian tentang bahan batuan yang dikandungnya.
Kondisi Bumi dan Keberadaan Fauna dan Manusia
Kondisi lapisan bumi dan lingkungan alamnya akan menentukan jenis makhluk apa yang dapat hidup di masa purba. Indikasi yang dapat dilihat sekarang hanyalah pada lapisan tanahnya yang terbentuk karena berbagai faktor. Sebagai misal pada formasi pucangan (lebih tua dari formasi kabuh dan notopuro), hanya ada lapisan lempung dan vulkanik saja. Lapisan lempung ini mengandung tiga jenis moluska laut yang bercampur dengan gigi ikan hiu: ini sebagai tanda bahwa di situ pernah terjadi transgresi singkat. Adanya asosiasi moluska yang bercampur dengan kayu, belerang, bulus, dan buaya menunjukkan adanya lingkungan paya-paya tepi laut.
Paya-paya tepi laut berkembang di tepi laut dan merupakan lingkungan transisi darat-laut yang mengendapkan sedimen-sedimen berbutir halus dan sejumlah besar material tumbuh-tumbuhan. Penambahan material asal daratan lebih dominan pada suasana dengan tingkatan energi rendah hingga dismpulkan bahwa fosil-fosilnya masih in situ dan diduga asal materialnya dari utara.
Lapisan vulkanik yang secara umum semakin menipis ke arah utara menunjukkan bahwa asalnya dari selatan dan diendapkan oleh sistem atau arus pekat, yang dikenal dengan istilah populer lahar hujan (lahar dingin). Pengendapannya berjalan cepat dalam waktu yang singkat. Sistem pengendapan tipa laharik tersebut diselingi oleh pengendapan sungai yang menghasilkan konglomerat dan baru pasir silang siur.
Berdasarkan lingkungan pengendapan dan pada pola arah arus purba maka perubahan geografi purba sejak Plestosen Bawah hingga Plestosen Tengah dapat ditentukan. Pada awal sejarah kehidupan Pithecanthropus dan Meganthropus bersama-sama hewan maupun tumbuh-tumbuhannya daerah Sangiran masih merupakan paya-paya tepi laut. Pada saat tersebut berlangsung banjir lahar hujan yang merupakan bencana bagi perkembangan kehidupannya.
Suatu kehidupan di sekitar paya-paya tepi pantai kemudian diteruskan dengan perkembangan daerah permukiman di sekitar pantai atau muara sungai pada masa awal Plestosen Tengah dan kemungkinan hanya berkembang di daerah sebelah utara Kali Cemoro. Di bagian ini kehidupan manusia berlangsung di sekitar sungai bercander di atas daerah delta.
Kondisi alam masa Plestosen Tengah yang direkonstruksikan seperti tersebut di atas sungguh-sungguh sangat sulit bagi manusia Pithecanthropus. Baru pada masa Plestosen Atas kondisi alam lebih kondusif sehingga memungkinkan hidupnya makhluk seperti Pithecanthropus soloensis dan Homo wadjakensisi dan Homo sapiens.
Situs Sangiran sebagai lokasi temuan makhluk purba (jenis reptilia dan mamalia antara laian Pithecanthropus erectus) merupakan suatu situs yang berkatian dengan situs purba lainnya di sepanjang Bengawan Solo. Bengawan Madiun maupun Sungai Brantas. Di formasi notopuro misalnya juga ditemukan pada situs lain di luar Ngandong. Secara geologis formasi bumi dihasilkan oleh proses pengendapan purba secara vulkanik, laharik dan sedimentasi arus purba. Pada formasi Kabuh di Sangiran dapat hidup jenis Pithecanthropus erectus, sedangkan pada kondisi geologis yang lebih kondusif, misalnya pada formasi Notopuro (fauna Ngandong) dapat hidup makhluk jenis manusia yang dikenal dengan nama Homo soloensis dan Homo wadjakensis (dari masa kurang lebih 100.000 – 50.000 tahun yang lalu).
Situs Trinil dengan temuan Pithecanthropus erectus telah dikenal sejak 100 tahun yang lalu dan kini telah didirikan museum khusus serta sebuah tugu peringatan di tempat temuan Pithecanthropus erectus tersebut. Bagaimana pun halnya situs Sangiran telah menjadi suatu kiblat penelitian purba bagi para pakar geologi, paleobiologi, paleo-antropologi dan arkeoogi seluruh dunia.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Situs purbakala di lembah-lembah sungai
Situs purbakala tertua dari masa Prasejarah di Jawa berada di lembah Bengawan Solo, Sungai Madiun, dan Sungai Brantas. Lokasi situs-situs tersebut adalah sebagai berikut.
1. Situs Purbakala di Lembah Bengawan Solo
1.1. Situs Punung. Situs ini terletak di dekat hulu Bengawan Solo, di dekat Desa Donorejo, sekitar 10 km sebelah barat laut Pacitan. Di situs Punung ini ditemukan alat-alat batu dari masa Paleolitik (masa berburu tingkat sederhana) dan Neolitik (masa bercocok tanam).
1.2. Situs Sangiran. Situs ini terletak di tepi Sungai Cemoro, yakni anak Bengawan Solo sekitar 10 km di utara kota Surakarta (Solo). Di lembah sungai ini banyak ditemukan alat-alat batu tulang rangka hewan dan manusia. Di antara rangka manusia purba itu ada sebuah fosil tengkorak manusia yang diberi nama Pithecanthropus erectus (manusia-kera yang berdiri tegak). Meganthropus paleojavanicus (manusia besar Jawa Kuna) dan Pithecanthropus soloensis (manusia-kera dari Solo) (Manusia Solo).
1.3. Situa Masaran. Situs ini teretak di dekat kota Sragen dan merupakan situs baru yang mulai dibuka tahun 1989. Di situs ini ditemukan alat-alat dari besi, gerabah dan logam mas. Benda mas ini berupa penutup mata mayat. Menurut informasi, penduduk juga menemukan tulang dan tengkorak, tetapi belum diidentifikasikan.
1.4. Situs Sambungmacan. Lokasinya ada di dekat kota Mantingan di barat Ngawi. Di situs ini ditemukan tengkorak jenis Pithecanthropus soloensis.
1.5. Situs Di situs ini ditemukan tengkorak pithecanthropus erectus dari masa yang lebih tua.
1.6. Situs Ngandong. Di situs di utara Trinil ini dtemukan sebelas tengkorak Pithecanthropus soloensis dan alat-alat batu yang dihasilkan oleh makhluk tersebut.
2. Situs Purbakala di Lembah Sungai Madiun
Situs Sampung. Lokasinya berupa gua payung yang ada di dekat kota Ponorogo, jadi di bagian hulu Bengawan Madiun. Di sini ditemukan sejumlah besar peralatan dari tulang (sudip tulang). Bengawan Madiun ini bertemu dengan Bengawan Solo di utara kota Ngawi.
3. Situs di Lembah Sungai Brantas
3.1. Situas Wajak. Situs ini terletak di timur kota Tulung Agung, jadi masih termasuk bagian hulu Sungai Brantas. Di situs ini ditemukan tengkorak manusia yang disebut Homo wajakensis.
3.2. Situs Perning. Lokasinya 7 km di timur laut kota Mojokerto, jadi di Lembah Brantas bagian agak ke hilir, ditemukan tengkorak Pithecanthropus mojokertensis.
Riwayat Penelitian
Riwayat penelitian situs Sangiran cukup panjang karena telah dimulai sejak 100 tahun silam yang dirintis oleh Eugene Dubois. Pada 1931 Van Es menerbitkan peta geologi daerah Sangiran dengan skala 1:20.000 tetapi kemudian direvisi oleh H.R. Von Koenigswald pada 1940. Selanjutnya Sartono meneliti Sangiran pada 1961, 1970, 1975 dan seterusnya dan juga menerbitkan peta geologinya.
Para pakar geologi Jepang dan Indonesia telah bekerjasama meneliti Sangiran sejak 1976. Para geolog Indonesia juga sudah meneliti Sangiran sejak 1966, misalnya Kadar D (1966). Otto Sudarmadji (1976), B.W. Hariadi (1978), S. Mahadi (1979) dan Widiasmoro (1976-1978).
Lapis Bumi Situs Sangiran
Jika situs Sangiran dipotong untuk dilihat lapisan tanahnya, maka akan tampak beberapa lapisan tanah dengan ciri-ciri khusus sebagai hasil dari proses pembentukan bumi di masa silam. Prof. Dr. S. Sartono, seorang pakar geologi yang selalu bekerjasama dengan para pakar arkeologi, membagi situs Sangiran dalam beberapa lapisan (istilahnya formasi) mulai yang termuda hingga yang tertua beserta uraian tentang bahan batuan yang dikandungnya.
Kondisi Bumi dan Keberadaan Fauna dan Manusia
Kondisi lapisan bumi dan lingkungan alamnya akan menentukan jenis makhluk apa yang dapat hidup di masa purba. Indikasi yang dapat dilihat sekarang hanyalah pada lapisan tanahnya yang terbentuk karena berbagai faktor. Sebagai misal pada formasi pucangan (lebih tua dari formasi kabuh dan notopuro), hanya ada lapisan lempung dan vulkanik saja. Lapisan lempung ini mengandung tiga jenis moluska laut yang bercampur dengan gigi ikan hiu: ini sebagai tanda bahwa di situ pernah terjadi transgresi singkat. Adanya asosiasi moluska yang bercampur dengan kayu, belerang, bulus, dan buaya menunjukkan adanya lingkungan paya-paya tepi laut.
Paya-paya tepi laut berkembang di tepi laut dan merupakan lingkungan transisi darat-laut yang mengendapkan sedimen-sedimen berbutir halus dan sejumlah besar material tumbuh-tumbuhan. Penambahan material asal daratan lebih dominan pada suasana dengan tingkatan energi rendah hingga dismpulkan bahwa fosil-fosilnya masih in situ dan diduga asal materialnya dari utara.
Lapisan vulkanik yang secara umum semakin menipis ke arah utara menunjukkan bahwa asalnya dari selatan dan diendapkan oleh sistem atau arus pekat, yang dikenal dengan istilah populer lahar hujan (lahar dingin). Pengendapannya berjalan cepat dalam waktu yang singkat. Sistem pengendapan tipa laharik tersebut diselingi oleh pengendapan sungai yang menghasilkan konglomerat dan baru pasir silang siur.
Berdasarkan lingkungan pengendapan dan pada pola arah arus purba maka perubahan geografi purba sejak Plestosen Bawah hingga Plestosen Tengah dapat ditentukan. Pada awal sejarah kehidupan Pithecanthropus dan Meganthropus bersama-sama hewan maupun tumbuh-tumbuhannya daerah Sangiran masih merupakan paya-paya tepi laut. Pada saat tersebut berlangsung banjir lahar hujan yang merupakan bencana bagi perkembangan kehidupannya.
Suatu kehidupan di sekitar paya-paya tepi pantai kemudian diteruskan dengan perkembangan daerah permukiman di sekitar pantai atau muara sungai pada masa awal Plestosen Tengah dan kemungkinan hanya berkembang di daerah sebelah utara Kali Cemoro. Di bagian ini kehidupan manusia berlangsung di sekitar sungai bercander di atas daerah delta.
Kondisi alam masa Plestosen Tengah yang direkonstruksikan seperti tersebut di atas sungguh-sungguh sangat sulit bagi manusia Pithecanthropus. Baru pada masa Plestosen Atas kondisi alam lebih kondusif sehingga memungkinkan hidupnya makhluk seperti Pithecanthropus soloensis dan Homo wadjakensisi dan Homo sapiens.
Situs Sangiran sebagai lokasi temuan makhluk purba (jenis reptilia dan mamalia antara laian Pithecanthropus erectus) merupakan suatu situs yang berkatian dengan situs purba lainnya di sepanjang Bengawan Solo. Bengawan Madiun maupun Sungai Brantas. Di formasi notopuro misalnya juga ditemukan pada situs lain di luar Ngandong. Secara geologis formasi bumi dihasilkan oleh proses pengendapan purba secara vulkanik, laharik dan sedimentasi arus purba. Pada formasi Kabuh di Sangiran dapat hidup jenis Pithecanthropus erectus, sedangkan pada kondisi geologis yang lebih kondusif, misalnya pada formasi Notopuro (fauna Ngandong) dapat hidup makhluk jenis manusia yang dikenal dengan nama Homo soloensis dan Homo wadjakensis (dari masa kurang lebih 100.000 – 50.000 tahun yang lalu).
Situs Trinil dengan temuan Pithecanthropus erectus telah dikenal sejak 100 tahun yang lalu dan kini telah didirikan museum khusus serta sebuah tugu peringatan di tempat temuan Pithecanthropus erectus tersebut. Bagaimana pun halnya situs Sangiran telah menjadi suatu kiblat penelitian purba bagi para pakar geologi, paleobiologi, paleo-antropologi dan arkeoogi seluruh dunia.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.