Benda-benda cagar budaya yang memperlihatkan bukti kejayaan Kesultanan Ternate, terdiri dari berbagai monumen baik artefak mau pun bangunan yang tersebar di seluruh bagian Pulau Ternate. Peninggalan-peninggalan itu antara lain istana (kedaton) yang didirikan oleh Sultan Mohammad Ali tahun 1823, runtuhan Mesjid Raya yang didirikan oleh Sultan Mohammad Zain abad XVII M.
Selain itu terdapat pula perbentengan yang mengelilingi istana kompleks makam dan berbagai benda keraton yang kini dihimpun dalam istana, yang telah dialihkan fungsinya sebagai keraton.
Menurut Prof. DR. Hasan M. Ambary, setidaknya di Pulau Ternate terdapat dua kompleks para raja Ternate, pertama di kaki bukit Foramadyahe dan yang kedua terletak di dekat kompeks Mesjid Agung Ternate. Yang dimakamkan di Foramadyahe antara lain Sultan Khairun dan Sultan Baabullah, sedangkan yang dimakamkan di dekat Mesjid Agung adalah para Sultan (dan eluarganya) yang memerintah antara abad XVIII-XIX.
Makam-makam yang menarik perhatian adalah makam para sultan yang terdapat di sekitar Mesjid Agung. Makam tertua di sini adalah makam Sultan Sirajul Mulk Amiruddin Iskandar Qaulin yang wafat pada Sabtu 10 Syawal 1213 H atau 13 Maret 1799 M, seperti tertera pada kaligrafi jirat/nisannya.
Seni kaligrafi di makam-makam Mesjid Agung ini terususun dengan indahnya, bergaya tulis Naskhi, dengan ragam hias floralistik khas Ternate yang memiliki persamaan gaya seni Polynesia.
Makam-makam lainnya bernama Sultan Maulana Tajul Muqayyam (1811) Sultan Maulana Tajul Mulk Amiruddin Qaulan (1850), Sultan Ayanhar Putra (1896), dan Sultan Muhammad Uthman (1943).
Museum Istana Kesultanan
Istana Kesultanan Ternate sesuai dengan pupusnya kesultanan seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, bukan lagi sebagai pusat kendali politik atas wilayah-wilayah yang pernah dibawahinya di masa lalu, sekarang berfungsi sebagai pusat pelestarian benda cagar budaya bekas Kesultanan Ternate.
Istana dengan bangunan gaya Eropa Abad XIX ini mengahadap ke arah laut, berada satu kompleks dengan Mesjid Kesultanan yang didirikan oleh Sultan Hamzah, Sultan Ternate ke-9, Istana Kesultanan Ternate terletak pada dataran pantai di Kampung Soa-Sio, Kelurahan Letter C, Kodya Ternate, Kabupaten Maluku Utara.
Istana kekar yang dikelilingi perbentengan ini, berubah fungsi menjadi Museum Kesultanan Ternate, yang menyimpan, merawat dan memamerkan benda-benda pusaka milik kesultanan seperti senjata, pakaian besi, pakaian kerajaan, perhiasan, mahkota, topi-topi perang (helmet), alat-alat rumah tangga, naskah-naskah (Al Quran kuna, maklumat, surat-surat perjanjian) dan sebagainya.
Senjata-senjata yang dipamerkan antara lain senapan, meriam kecil, peluru-peluru bulat, tombak, parang dan perisai.
Mengenai senjata tradisional (tombak dan pedang/keris/parang) terdapat catatan penting yang dikemukakan oleh Cornelis Speelman (1670) dan J.H. Toblas (1857) di mana disebutkan mengenai ekspor senjata (tombak dan pedang) dari Kerajaan Tobungku (Sulawesi Tenggara) ke Ternate dalam jumlah besar, terutama sebagai upeti, mengingat pantai timur Sulawesi pada abad XVI-XVII menjadi wilayah kekuasaan Ternate.
Sebagai kesultanan, Ternate tentu memiliki tingkat kemakmuran tinggi, setidaknya seperti yang tampak pada penampilan fisik kerajaan dan keluarga kerajaan. Emas merupakan salah satu indikatornya. Penggunaan berbagai bentuk emas sebagai hiasan tubuh, seringkali membuat tercengang orang Eropa yang menyaksikannya. Catatan Francis Drakke (1580) menggambarkan pakaian Sultan Ternate yang bertemu dengannya sebagai: “…Pakaian benang emas yang mewah, perhiasan-perhiasan dari emas dan kalung raksasa dari emas murni…”.
Koleksi emas Kesultanan Ternate baik yang diperagakan dalam vitrim museum yang disimpan oleh keluarga kesultanan antara lain berupa mahkota, kelad bahu, kelad lengan, giwang, anting-anting, buah baju, cincin, gelang, serta bentuk hiasan lainnya.
Cukup menggugah perhatian kita pula adalah berbagai koleksi yang berkaitan dengan administrasi kesultanan, seperti alat utlis, stempel kerajaan/kesultanan, maklumat, surat-surat perjanjian dan sejumlah naskah, termasuk plakat yang ditempatkan pada pintu depan istana.
Setidaknya terdapat 11 maklumat yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang dikirim kepada Sultan Ternate, antara lain mengenai: pergantian Gubernur Jenderal, meninggalnya Raja Willem III dan dilantiknya Ratu Wihelmina dan sebagainya. Yang penting dari maklumat adalah penyambutan secara lengkap nama dan gelar Sultan Ternate yang dikirimi maklumat yang juga seringkali ditemukan terpahat pada nisan-nisan.
Sejumlah surat perjanjian/kontrak juga dalam koleksi museum antara lain kontrak-kontrak yang ditanda-tangani oleh Sultan Ternate dengan kongsi-kongsi dagang maupun perorangan. Dari kontrak-kontrak tersebut, Sultan memperoleh sejumlah konsesi/uang sebagai salah satu sumber pemasukan keuangan Kesultanan. Salah satu kontrak itu dibuat/ditandatangani oleh Sultan Muhammad Uthman pada 27 September 1902 berkenaan dengan eksplorasi mutiara dan perikanan di Teluk Banggai.
Pada pintu depan istana, terdapat plakat beraksara Arab dan terjemahan dalam bahasa Melayu, yang intinya mengenai pembangunan istana pada 30 Dzukqiddah 1228 Hijriah atau 1871 Masehi.
Dari penelitian di lapangan, di Ternate diperoleh enam Al Quran yang ditulis oleh ulama setempat, dua di antaranya mencantumkan nama penyusunnya. Satu di antaranya disusun oleh Fakih Shaleh Afifuddin Abdulbaqi bin Abdullah al Adenani, yang menyelesaikan penyusunannya pada & Dzulkhaidah 1050 H (1640 M). Satu Al Quran lainnya diberikan oleh Sultan Muhammad Zain kepada Imam Mesjid Jiko (Ternate), yang juga disusun oleh ulama setempat pada 1284 H/1834 M.
Keraton (kedaton) Kesultanan Ternate yang dialihfungsikan sebagai museum ini didirikan oleh Sultan Muhammad Ali pada 1228 H/1814 M di atas tanah seluas 44.560 M2, berketinggian sekitar 50 meter di atas muka laut dan berjarak 250 meter dari garis Pantai Resen.
Melengkapi khasanah budaya masa Kesultanan Ternate ini adalah hadirnya benteng-benteng Portugis, yakni Benteng Santa Lucia (1502 M), Benteng Santo Paolo (1522 M), Benteng Santo Pedro dan Benteng Santa Ana; Belanda yaitu Ford Orange (1609).
Jauh mendahului lahirnya UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya maka pada tanggal 7 Desember 1976, para ahli waris Kesultanan Ternate dipimpin oleh Sultan Muda Mudzafar Syah, menyerahkan Keraton (bangunan dan lingkungannya) kepada Pemerintah (pasal 7 (1)) cq. Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk dipelihara, dipugar dan dilestarikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Silih bergantinya bangsa Eropa yang menduduki atau berusaha menduduki Ternate yang kaya rempah-rempah ini, membuktikan betapa strategis posisi Ternate untuk mengontrol perdagangan di Maluku dan Laut Sulawesi. Benteng, Keraton dan benda-benda sebagai dokumen sejarah dii Ternate, harus tetap dilestarikan untuk memupuk rasa kebanggaan nasional dan memperkokoh kesadaran jatidiri sebagai bangsa yang berdasarkan Pancasila.
Optimalisasi benda-benda cagar budaya Ternate, baik untuk obyek/daya tarik wisata budaya maupun bagi obyek kajian ilmu pengetahuan sejarah dan kebudayaan hendaknya memperhatikan dan menjamin keaslian dan terpeliharanya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Seluruh aparat terkait di Ternate, baik Depdikbud maupun Polri, Bea Cukai dan sebagainya, sesuai dengan Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1992 yang antara lain melarang (a) membara benda cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia, dan (b) memindahkan benda cagar budaya dari daerah satu ke daerah lainnya. Mobilitas masyarakat yang semakin tinggi dan meningkatnya arus wisatawan, termasuk faktor-faktor yang harus diwaspadai, tanpa harus mengundang tindakan berlebihan.
Usaha pelestarian yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain melalui berbagai pemugaran. Pemugaran Keraton Ternate dimulai dari tahun anggaran 1978/1979 – 1981/1982, yang peresmian purnapugarnya dilakukan oleh Mendikbud DR. Daud Jusuf, sedangkan purnapugar Mesjid Ternate diresmikan oleh Dirjen Kebudayaan Prff. DR. Haryati Sobadio pada 15 Oktober 1983. Tentu saja ini masih jauh dari memadai dibandingkan dengan jumlah benda cagar budaya di Ternate. Kemampuan biaya yang dapat disediakan oleh pemerintah amat terbatas dan karenanya sangat diharapkan keterlibatan penyediaan dana dari masyarakat dunia usaha.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Selain itu terdapat pula perbentengan yang mengelilingi istana kompleks makam dan berbagai benda keraton yang kini dihimpun dalam istana, yang telah dialihkan fungsinya sebagai keraton.
Menurut Prof. DR. Hasan M. Ambary, setidaknya di Pulau Ternate terdapat dua kompleks para raja Ternate, pertama di kaki bukit Foramadyahe dan yang kedua terletak di dekat kompeks Mesjid Agung Ternate. Yang dimakamkan di Foramadyahe antara lain Sultan Khairun dan Sultan Baabullah, sedangkan yang dimakamkan di dekat Mesjid Agung adalah para Sultan (dan eluarganya) yang memerintah antara abad XVIII-XIX.
Makam-makam yang menarik perhatian adalah makam para sultan yang terdapat di sekitar Mesjid Agung. Makam tertua di sini adalah makam Sultan Sirajul Mulk Amiruddin Iskandar Qaulin yang wafat pada Sabtu 10 Syawal 1213 H atau 13 Maret 1799 M, seperti tertera pada kaligrafi jirat/nisannya.
Seni kaligrafi di makam-makam Mesjid Agung ini terususun dengan indahnya, bergaya tulis Naskhi, dengan ragam hias floralistik khas Ternate yang memiliki persamaan gaya seni Polynesia.
Makam-makam lainnya bernama Sultan Maulana Tajul Muqayyam (1811) Sultan Maulana Tajul Mulk Amiruddin Qaulan (1850), Sultan Ayanhar Putra (1896), dan Sultan Muhammad Uthman (1943).
Museum Istana Kesultanan
Istana Kesultanan Ternate sesuai dengan pupusnya kesultanan seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, bukan lagi sebagai pusat kendali politik atas wilayah-wilayah yang pernah dibawahinya di masa lalu, sekarang berfungsi sebagai pusat pelestarian benda cagar budaya bekas Kesultanan Ternate.
Istana dengan bangunan gaya Eropa Abad XIX ini mengahadap ke arah laut, berada satu kompleks dengan Mesjid Kesultanan yang didirikan oleh Sultan Hamzah, Sultan Ternate ke-9, Istana Kesultanan Ternate terletak pada dataran pantai di Kampung Soa-Sio, Kelurahan Letter C, Kodya Ternate, Kabupaten Maluku Utara.
Istana kekar yang dikelilingi perbentengan ini, berubah fungsi menjadi Museum Kesultanan Ternate, yang menyimpan, merawat dan memamerkan benda-benda pusaka milik kesultanan seperti senjata, pakaian besi, pakaian kerajaan, perhiasan, mahkota, topi-topi perang (helmet), alat-alat rumah tangga, naskah-naskah (Al Quran kuna, maklumat, surat-surat perjanjian) dan sebagainya.
Senjata-senjata yang dipamerkan antara lain senapan, meriam kecil, peluru-peluru bulat, tombak, parang dan perisai.
Mengenai senjata tradisional (tombak dan pedang/keris/parang) terdapat catatan penting yang dikemukakan oleh Cornelis Speelman (1670) dan J.H. Toblas (1857) di mana disebutkan mengenai ekspor senjata (tombak dan pedang) dari Kerajaan Tobungku (Sulawesi Tenggara) ke Ternate dalam jumlah besar, terutama sebagai upeti, mengingat pantai timur Sulawesi pada abad XVI-XVII menjadi wilayah kekuasaan Ternate.
Sebagai kesultanan, Ternate tentu memiliki tingkat kemakmuran tinggi, setidaknya seperti yang tampak pada penampilan fisik kerajaan dan keluarga kerajaan. Emas merupakan salah satu indikatornya. Penggunaan berbagai bentuk emas sebagai hiasan tubuh, seringkali membuat tercengang orang Eropa yang menyaksikannya. Catatan Francis Drakke (1580) menggambarkan pakaian Sultan Ternate yang bertemu dengannya sebagai: “…Pakaian benang emas yang mewah, perhiasan-perhiasan dari emas dan kalung raksasa dari emas murni…”.
Koleksi emas Kesultanan Ternate baik yang diperagakan dalam vitrim museum yang disimpan oleh keluarga kesultanan antara lain berupa mahkota, kelad bahu, kelad lengan, giwang, anting-anting, buah baju, cincin, gelang, serta bentuk hiasan lainnya.
Cukup menggugah perhatian kita pula adalah berbagai koleksi yang berkaitan dengan administrasi kesultanan, seperti alat utlis, stempel kerajaan/kesultanan, maklumat, surat-surat perjanjian dan sejumlah naskah, termasuk plakat yang ditempatkan pada pintu depan istana.
Setidaknya terdapat 11 maklumat yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang dikirim kepada Sultan Ternate, antara lain mengenai: pergantian Gubernur Jenderal, meninggalnya Raja Willem III dan dilantiknya Ratu Wihelmina dan sebagainya. Yang penting dari maklumat adalah penyambutan secara lengkap nama dan gelar Sultan Ternate yang dikirimi maklumat yang juga seringkali ditemukan terpahat pada nisan-nisan.
Sejumlah surat perjanjian/kontrak juga dalam koleksi museum antara lain kontrak-kontrak yang ditanda-tangani oleh Sultan Ternate dengan kongsi-kongsi dagang maupun perorangan. Dari kontrak-kontrak tersebut, Sultan memperoleh sejumlah konsesi/uang sebagai salah satu sumber pemasukan keuangan Kesultanan. Salah satu kontrak itu dibuat/ditandatangani oleh Sultan Muhammad Uthman pada 27 September 1902 berkenaan dengan eksplorasi mutiara dan perikanan di Teluk Banggai.
Pada pintu depan istana, terdapat plakat beraksara Arab dan terjemahan dalam bahasa Melayu, yang intinya mengenai pembangunan istana pada 30 Dzukqiddah 1228 Hijriah atau 1871 Masehi.
Dari penelitian di lapangan, di Ternate diperoleh enam Al Quran yang ditulis oleh ulama setempat, dua di antaranya mencantumkan nama penyusunnya. Satu di antaranya disusun oleh Fakih Shaleh Afifuddin Abdulbaqi bin Abdullah al Adenani, yang menyelesaikan penyusunannya pada & Dzulkhaidah 1050 H (1640 M). Satu Al Quran lainnya diberikan oleh Sultan Muhammad Zain kepada Imam Mesjid Jiko (Ternate), yang juga disusun oleh ulama setempat pada 1284 H/1834 M.
Keraton (kedaton) Kesultanan Ternate yang dialihfungsikan sebagai museum ini didirikan oleh Sultan Muhammad Ali pada 1228 H/1814 M di atas tanah seluas 44.560 M2, berketinggian sekitar 50 meter di atas muka laut dan berjarak 250 meter dari garis Pantai Resen.
Melengkapi khasanah budaya masa Kesultanan Ternate ini adalah hadirnya benteng-benteng Portugis, yakni Benteng Santa Lucia (1502 M), Benteng Santo Paolo (1522 M), Benteng Santo Pedro dan Benteng Santa Ana; Belanda yaitu Ford Orange (1609).
Jauh mendahului lahirnya UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya maka pada tanggal 7 Desember 1976, para ahli waris Kesultanan Ternate dipimpin oleh Sultan Muda Mudzafar Syah, menyerahkan Keraton (bangunan dan lingkungannya) kepada Pemerintah (pasal 7 (1)) cq. Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk dipelihara, dipugar dan dilestarikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Silih bergantinya bangsa Eropa yang menduduki atau berusaha menduduki Ternate yang kaya rempah-rempah ini, membuktikan betapa strategis posisi Ternate untuk mengontrol perdagangan di Maluku dan Laut Sulawesi. Benteng, Keraton dan benda-benda sebagai dokumen sejarah dii Ternate, harus tetap dilestarikan untuk memupuk rasa kebanggaan nasional dan memperkokoh kesadaran jatidiri sebagai bangsa yang berdasarkan Pancasila.
Optimalisasi benda-benda cagar budaya Ternate, baik untuk obyek/daya tarik wisata budaya maupun bagi obyek kajian ilmu pengetahuan sejarah dan kebudayaan hendaknya memperhatikan dan menjamin keaslian dan terpeliharanya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Seluruh aparat terkait di Ternate, baik Depdikbud maupun Polri, Bea Cukai dan sebagainya, sesuai dengan Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1992 yang antara lain melarang (a) membara benda cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia, dan (b) memindahkan benda cagar budaya dari daerah satu ke daerah lainnya. Mobilitas masyarakat yang semakin tinggi dan meningkatnya arus wisatawan, termasuk faktor-faktor yang harus diwaspadai, tanpa harus mengundang tindakan berlebihan.
Usaha pelestarian yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain melalui berbagai pemugaran. Pemugaran Keraton Ternate dimulai dari tahun anggaran 1978/1979 – 1981/1982, yang peresmian purnapugarnya dilakukan oleh Mendikbud DR. Daud Jusuf, sedangkan purnapugar Mesjid Ternate diresmikan oleh Dirjen Kebudayaan Prff. DR. Haryati Sobadio pada 15 Oktober 1983. Tentu saja ini masih jauh dari memadai dibandingkan dengan jumlah benda cagar budaya di Ternate. Kemampuan biaya yang dapat disediakan oleh pemerintah amat terbatas dan karenanya sangat diharapkan keterlibatan penyediaan dana dari masyarakat dunia usaha.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.