Oleh: Endah Susilantini
Membicarakan peranan wanita merupakan topik yang tidak akan pernah habis. Dari berbagai perspektif dan sudut pandang, permasalahan wanita saat ini masih menjadi pembicaraan yang up to date. Pada tanggal 3 Nopember 1947 Presiden Soekarno pernah menerbitkan buku dengan judul SARINAH yang salah satu ungkapan dalam kata pendahuluannya berbunyi demikian:
Apa sebab saja namakan kitab ini “Sarinah”? Saja namakan kitab ini “sarinah” sebagai ungkapan terima kasih saja kepada pengasuh saja ketika saja masih kanak-kanak. Pengasuh saja itu bernama Sarinah. Ia “mbok” saja. Ia membantu Ibu saja, dan dari dia saja menerima banjak rasa tjinta dan rasa kasih. Dari dia saja mendapat banjak peladjaran mentjintai “rang ketjil”. Dia sendiripun “orang ketjil”. Tetapi budinya selalu besar! Moga-moga Tuhan membalas kebaikan Sarinah itu.[1]
Masalah kewanitaan yang dimuat dalam buku tersebut merupakan kegundahan Ir. Soekarno yang pada masa itu menganggap banyak tokoh pergerakan belum banyak membicarakan wanita, sehingga Soekarno merasa perlu mengadakan kursus kewanitaan yang diselenggarakan di Yogyakarta. Dalam menyusun dan menulis buku ini Ir. Soekarno banyak mendapat inspirasi dari beberapa peristiwa yang antara lain ia banyak melihat wanita masih terbelenggu oleh adat istiadat, keterpaksaan dalam perkawinan, ketidakbebasan karena aturan-aturan serta keseluruhan peristiwa sehari-hari yang menyangkut kesetaraan gender, seperti yang diungkap dalam “Sarinah”.
Seperti yang disampaikan Ir. Soekarno mengatakan bahwa sesungguhnya kesetaraan gender telah dibicarakan sejak tahun 1947. Hal ini diungkapkan dalam tulisannya:
Bilakah semua Sarinah-Sarinah mendapat kemerdekaan? Tetapi kemerdekaan yang bagaimana? Kemerdekaan seperti jang dikehendaki oleh pergerakan feminismekah, jang hendak menyamaratakan perempuan dalam segala hal dengan laki-laki?[2]
Cuplikan di atas menunjukkan kemajuan wanita telah diupayakan dan diperjuangkan, wanita perlu mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki dalam segala bidang.
Wanita Menurut Konsep Pendidikan Jawa
Wanita yang dicita-citakan Ir. Soekarno pada masa itu diformulasikan sebagai suatu kesetaraan gender yang antara lain, wanita memiliki kemampuan berpikir, bisa bertindak dan bekerja seperti kaum laki-laki misalnya menjadi jaksa, hakim, dokter, tentara, teknokrat dan pemimpin organisasi politik. Menurut pandangan dan konsepsi piwulang Jawa, yang dimaksud dengan peranan wanita, antara lain wanita harus memiliki kekuatan, sehingga akan bermuara pada pembebanan wanita dalam dua dunia, yaitu wanita sebagai isteri dan wanita yang dapat bekerja. Terlepas dari hal tersebut maka yang dimaksud dengan wanita Jawa dalam konsep pendidikan yang disarikan dari naskah Jawa yang Wulang Estri, maka wanita yang diharapkan adalah:
Pertama, wanita harus cakap, artinya seorang siteri harus mampu melaksanakan tugas dan mengetahui seluk beluk kerumahtanggan, seperti pada ungkapan dalam naskah ini:
Nora gampang babo yang ngalaki, luwih saking abot, kudu weruh ing tata titine, miwah cara carane lan watake ugi, den awas, den emut.
(Tidak mudah bersuami, sangat berat, harus tahu tata cara dan seluk-beluk serta sifat-sifat harus awas dan waspada).
Cakap disini dimaknai, seorang isteri harus dituntut memiliki kelebihan dalam mengatur rumah tangga, yang dikonsepsikan untuk bisa, menata rumah dengan segala tata cara yang telah ditentukan menurut adat istiadat. Secara psikologis, wanita atau isteri juga dituntut memiliki kewaspadaan tinggi. Di samping itu, dalam keluarga, isteri mempunyai peranan ganda yang cukup penting, karena hak dan kedudukan isteri harus seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan dan pergaulan hidup bersama di dalam masyarakat[3].
Kedua, wanita harus bersifat cermat, seorang isteri harus mampu memiliki perhitungan yang baik dalam mengatur segala kegiatan dalam rumah tangga, sebagaimana yang tertuang dalam ungkapan berikut:
Tan kena tinambak warni, uger-ugere wong krama, kudu eling paitane, eling kawiseseng priya, nora kena sembrana, kurang titi kurang emut, iku luput ngambra-ambra.
(Tidak hanya karena wajah, patokan orang berumah tangga, bermodalkan kesadaran, sadar dikuasai lelaki, maka tidak boleh seenaknya, kurang cermat, kurang sadar, akan menjadi semakin salah).
Kecermatan yang dimaksudkan dalam konsep piwulang ini menekankan bahwa seorang wanita harus cermat memperhitungkan ketelitian serta berpegang kepada ajaran moral.
Ketiga, wanita harus bersikap tanggap, seorang isteri harus mampu menyesuaikan diri dengan situasi dalam segala suasana apapun, terutama menjaga hubungan di dalam keluarga serta lingkungannya. Hal ini digambarkan dalam kitab Wulang Estri sebagai berikut:
Yen kakung mentas pepara, utawi kondaur tinangkil, netya wong wangen den awas, menawa animpen runtik, ing madya tan kelair, solahmu kang dhokoh luluh, aja acelandhakan, jenenge wong nora mikir, yang kebranang dadi aseman duduka.
Apabila seorang suami baru pulang dari bekerja, maka isteri harus melihat bagaimana kondisi suami, sehingga isteri harus bisa menyikapinya, dalam melihat situasi perlu dicermati oleh isteri.
Keempat, terampil. Yang dimaksud di dalam sikap ini ialah seorang isteri harus mampu bekerja dengan menciptakan usaha yang bersifat mengatur sistem hubungan kerumahtanggaan beserta kebutuhannya, seperti pada ungkapan berikut ini:
Marmane ginawan iku, iya dariji jalenthik, dipun kothak akithikan, yen ana karsaning kakung, karepe kathah thithikan den terampil barang kardi.
(Maksudnya keterampilan yang dimiliki harus dari tangan sendiri atau dengan jari jemari adalah hasil karya yang dipersiapkan untuk suami dan keluarga).
Kelima, cekatan. Wanita harus bisa memfokuskan diri kepada ketermpilan bekerja yang cekatan, walaupun masih dalam batas-batas norma, yang berlaku sopan santun seperti ungkapan yang berikut ini:
Lamun angladosi kakung, den kebatna ning den risih, aja kebat garobyakan dredegan saya cinincing, apaan iku kebat nistha, pan rada ngoso ing batin.
(Jika melayani suami sebaiknya dengan tata cara yang halus, jangan terlalu cepat dan menimbulkan suara, cepat yang baik adalah dengan rasa tetapi bukan dengan perasaan yang disertai amarah).
Dari penjelasan tersebut dapat disarikan bahwa, apa yang diajarkan kepada wanita dalam batas peran wanita dalam rumah tangganya. Gerak wanita dibatasi oleh adat istiadat maupun norma-norma yang berlaku. Unsur-unsur pendidikan yang terdapat dalam naskah Wulang Estri merupakan nilai-nilai watak dan sikap orang Jawa yang dapat dijadikan acuan dan tolok ukur, bagaimana wanita yang baik dalam pengajaran.
Wanita dan Kemajuan Jaman
Konsep wanita ideal seperti yang dikonsepsikan dalam Wulang Estri saat sekarang ini hanya dapat ditemukan dalam jumlah kecil. Gaya hidup baru yang melanda negeri ini seolah-olah berjalan tanpa kendali, dan tidak sesuai dengan cita-cita luhur seperti yang dicanangkan oleh Ir. Soekarno. Adanya berbagai seminar, diskusi yang mengupas kepribadian wanita Jawa serta Piwulang (ajaran moral) yang tertuang dalam naskah Jawa menjadi simbol serta saksi bisu, tanpa dapat mencegah berjalannya laju kemajuan yang melibatkan pribadi para wanita untuk masuk ke dalam pola dan gaya hidup baru.
Konsep Peran Wanita Terdidik
Melihat perkembangan peranan wanita seperti yang digambarkan sebelumnya, maka konsep tentang peran wanita harus dijelaskan secara utuh. Pada dasarnya kesamaan hak wanita harus tetap memiliki batasan-batasan moral tertentu sehingga mempunyai identitas sesuai dengan kepribadian bangsa dan budaya bangsa. Batasan moral harus dijadikan acuan untuk melakukan kontrol sosial agar kesamaan hak terkendali, sehingga nilai-nilai luhur kewanitaan yang tertuang di dalam ajaran moral Serat Wulang Estri dapat dipertahankan.
Masyarakat Jawa adalah golongan masyarakat yang hingga kini masih memiliki kontrol sosial yang kuat, yakni ditandai dengan adanya irama kehidupan masyarakat yang teratur, nyaman, menghindari gejolak sosial, karena masing-masing berusaha saling menjaga irama kehidupan tadi. C. Geertz, memberikan pokok-pokok pikiran bahwa masyarakat Jawa memiliki ciri-ciri yang dapat dirumuskan sebagai berikut:[4]
a. Prinsip Kerukunan, suatu aturan yang bertujuan menciptakan masyarakat dalam keadaan selaras, serasi dan seimbang, sehingga masyarakat dalam keadaan tenang dan tenteram, terhindar dari perselisihan, seluruh anggota masyarakat bersedia saling membantu baik dalam kepentingan perorangan apalagi dalam kepentingan umum. Prinsip kerukunan itu terlihat dalam suasana, bekerja sama, dalam aktivitas tukar pikiran, baik itu dilingkungan keluarga dalam hubungan dengan tetangga maupun dalam kehidupan dalam masyarakat.
b. Prinsip Hormat, sesuatu yang mengatur hubungan anggota-anggota masyarakat Jawa secara hierarkhis, setiap orang segera tahu dimana ia harus berada pada waktu dan situasi itu, bahasa Jawa yang bagaimana yang harus dipakainya, bagaimanakah sikap yang harus diambil dalam menghadapi lawan bicaranya, dan lain-lain tindakan dan tingkah laku yang berhubungan dengan prinsip ini.
Dalam menghadapi kemajuan jaman wanita sebaiknya tidak mengalami perubahan kepribadian. Seperti yang disampaikan oleh Haryati Subandiyo bahwa:
Wanita Jawa adalah anggota masyarakat yang mendukung Kebudayaan Jawa. Mengenai kebudayaan adalah merupakan sistem, nilai dan gagasan utama. Sistem nilai dan gagasan utama sebagai hakekat kebudayaan yang terwujud dalam tiga sistem budaya, yaitu sistem ideologi, sistem sosial dan sistem teknologi.[5]
Dari ungkapan tersebut dapat diambil suatu hikmah/nilai moral positif yang masuk ke dalam jiwa dan pribadi wanita, terutama yang terdapat pada kalimat tentang sistem ideologi. Akibat dari perubahan sosial dan perkembangan jaman, wanita Jawa atau wanita Indonesia harus tetap memiliki kepribadian. Hal tersebut diperjelas oleh ungkapan yang disampaikan oleh Saparinah, bahwa wanita Jawa pada umumnya masih mempunyai sifat-sifat sebagaimana digambarkan dalam stereotip mengenai kelompoknya yaitu nrimo, pasrah, halus, sabar, setia, bekti dan sifat-sifat lain seperti cerdar, kritis, berani menyatakan pendiriannya.[6]
Dari beberpa penjelasan tersebut, sebenarnya usaha-usaha untuk memperjuangkan kesamaan gender dan peran ganda wanita telah menunjukkan eksistensinya. Saat ini banyak kaum wanita yang berprestasi, banyak posisi strategis yang dipegang oleh wanita, seperti presiden, menteri, pengamat politik, Pegawai Negeri dan wiraswastawan sukses, serta sebagai pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Peran ganda wanita yang ideal menutut tugas seorang ibu rumah tangga sekaligus sebagai wanita karir. Walaupun wanita dituntut harus berperan ganda ternyata masih banyak wanita yang berperan sebagai ibu rumah tangga saja atau wanita karir saja.
Konsep Peran Wanita Tradisional
Di desa, kesamaan hak wanita telah berjalan secara alami tanpa ada tuntutan, baik dari masyarakat maupun dari pihak wanita itu sendiri. Selama ini yang dilakukan wanita desa memanjat pohon kelapa, mencari kayu bakar, menanam padi, sebagai buruh bangunan dan wanita masih dituntut untuk memasak melayani suami serta menghadapi persoalan hidup. Tuntutan peran ganda yang dijalani wanita selama ini disebabkan adanya suatu prinsip hidup “ora obah ora mamah” artinya tidak bekerja berati tidak makan. Prinsip tersebut melukiskan bahwa tuntutan hidup saat itu bersifat matematis dan berjalan dengan pasti. Konsep peran wanita tradisional ini diungkap pula oleh Ir. Soekarno dalam buku Sarinah sebagai berikut:
Sesungguhnja, - telah hantjur tradisi jang membuat dia machluk pingitan dan machluk jan isi perutjnya tergantung pada laki-laki sadja, tetapi masih tetap berdjalan tadisi jang membuat dia kuda beban di dalam rumah tangga. Ia mendapat kemerdekaan, terlepas dari ikatan tutupan, tetapi kemerdekaan itu harus dibelinja dengan memikul dua beban yang hampir mematahkan tulang belakangnya. Kesehatan tubuhnya selalu terganggu.[7]
Begitu pula tidak kalah hebatnya peran wanita seperti yang diungkapkan Henriette Roland Holst dalam buku Sarinah. Ia memberikan gambaran keadaan fisik wanita yang bekerja untuk hidup keluarganya: “Door haar wezen loopt een scheur” yang artinya jiwa dan raganya telah retak.
Suatu kenyataan yang terjadi pada masyarakat desa sebanarya perkembangan kesamaan hak antara pria dan wanita tidak dapat didefinisikan dengan jelas apakah itu emansipasi atau kesamaan hak, atau sama halnya dengan emansipasi. Berpijak dari sebuah ungkapan ora obah ora mamah maka yang disebut kegiatan rutin wanita desa antara lain: bekerja tanpa lelah, yakni selain sebagai ibu rumah tangga yang melayani suami, melahirkan, menyusui anak, wanita masih harus dituntut bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Dalam menyikapi kemajuan jaman saat ini, wanita pedesaan tidak dapat berbuat apa-apa, sehingga mereka tidak bisa menikmati kemajuan jaman secara nyata dan secara materiil. Dengan demikian wanita hanya bersikap nrimo dan pasrah. Hal ini dapat disimak dari hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh C. Geertz[8], dalam mengungkap pola rekreasi masyarakat pedesaan sebagai berikut:
Biasanya selama musim-musim orang sibuk bekerja di tegalan atau di sawah, aktivitas rekreasi di desa menurun. Pada petani sudah mulai beristirahat sebelum larut malam dan keesokan harinya mereka bangun di pagi buta agar dapat segera bekerja di tegalan atau di sawah, sebelum panas matahari menyengat.
Apa yang digambarkan oleh C. Geertz adalah suatu kenyataan bahwa dalam menghadapi kemajuan jaman, seperti rekreasi dan hiburan, wanita pedesaan tidak bisa menikmatinya, kendati saat panen mereka memiliki uang yang cukup.
Konsep Peran Ganda Wanita
Banyak alasan mengapa wanita bekerja, selain karena tuntutan akan kebutuhan kehidupan juga karena peningkatan taraf pendidikan kaum wanita. Perjalanan peran ganda wanita di Indonesia telah berjalan puluhan tahun dan para wanita, terutama yang berpendidikan, tidak pernah merasakan adanya suatu tekanan atau paksaan agar mereka bekerja sekaligus berperan sebagai ibu rumah tangga. Akan tetapi bagi wanita yang belum berpendidikan apakah sedikit demi sedikit wanita telah meninggalkan tugasnya sebagai ibu rumah tangga? Perlu diketahui bahwa, peran-peran yang dimiliki wanita merupakan dampak dari kemajuan atau perubahan kultur.
Secara positif, wanita memiliki kemampuan ikut memperjuangkan bangsa dan negara dalam segala hal. Di sisi lain banyak peran wanita yang berjalan tanpa adanya batasan-batasan moral, sehingga banyak wanita terlibat pelanggaran hukum seperti narkoba, penipuan, korupsi atau beberapa hal yang secara formalberbuat tidak sesuai dengan kepribadian wanita Indonesia.
Wanita Indonesia umumnya dan wanita Jawa pada khususnya dalam menyikapi kemajuan jaman yang membawa wanita pada suatu puncak prestasi di negeri ini, sebaiknya tidak meninggalkan sistem nilai yang mengikat selama ini, yaitu norma-norma yang merupakan ciri kepribadian wanita. Menurut Gandarsih dalam ungkapan menyikapi wanita dalam kemajuan jaman adalah, bahwa:
Kebudayaan meliputi gagasan-gagasan, cara berpikir, ide-ide yang menghasilkan norma-norma, adat istiadat, hukum dan kebiasaan-kebiasaan yang merupakan pedoman bagi tingkah lakunya dalam masyarakat. Tingkat yang lebih tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat adalah sistem nilai budaya, karena sistem nilai budaya merupakan konsep yang hidup dalam alam pikiran (sebagainya) masyarakat. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tetapi juga sebagai pendorong kelakuan manusia dalam hidup.[9]
Dari ungkapan tersebut berarti semakin jelas bahwa wanita yang berperan ganda pun tidak lepas dari norma-norma yang mengatur gerak dan langkahnya dalam bertindak, berpikir dan mengambil suatu keputusan.
Wanita yang memiliki kepribadian sesuai dengan sistem budaya yang menaunginya, membentuk kepribadiannya yang diperoleh melalui proses sosialisasi. Perubahan kepribadian wanita Indonesia dimulai tahun 70-an, yaitu sejak pemerintah Indonesia pertama kalinya mencanangkan REPELITA. Sejak saat itu telah terbuka kesempatan kerja seluas-luasnya bagi wanita sehingga kesempatan kerja seluas-luasnya bagi wanita sehingga kesempatan bekerja sangat berarti bagi kehidupan wanita dan keluarganya saat itu.
Perubahan jaman menyebabkan perubahan kepribadian seorang wanita. Biasanya dimulai dari irama kehidupan yang tidak sesuai lagi dengan kodrat wanita. Misalnya: (1) banyak wanita yang mulai kehilangan waktu bersama anak-anak; (2) waktu untuk suami terganggu karena faktor kelelahan dan problem pekerjaan, sehingga harmonisasi keluarga juga ikut terganggu, dan lain sebagainya. Hal demikian itu diungkapkan oleh Asi S Dipodjojo, bahwa:
Dengan melakukan dan melestarikan ketentuan, tata tertib, kebiasaan, tingkah laku dan perbuatan tersebut oleh tiap warga masyarakat berarti melestarikan irama kehidupan yang sesuai dengan kondrat alam dan cita-cita masyarakat, sehingga tindakan pelanggaran ketentuan-ketentuan tersebut akan mengganggu irama kehidupan masyarakat.[10]
Penutup
Wanita Indonesia sebaiknya berusaha untuk mempertahankan kepribadian sesuai dengan norma-norma yang mengikat yang diatur dalam sistem budaya. Dalam melaksanakan tugas sebagai wanita karir atau wanita yang bekerja di luar rumah, peran sebagai seorang ibu sebaiknya masih dilaksanakan. Secara tidak sadar telah terjadi suatu pergeseran nilai dalam diri wanita. Untuk menghadapi semua itu sebaiknya dalam bekerja wanita mengutamakan sikap moral dan religius. Sebab dengan kedua sikap tersebut berguna untuk mempertebal kepribadian, sehingga wanita bisa menempatkan diri sebagai wanita pekerja dan seorang ibu rumah tangga.
Daftar Pustaka
Asdi S. Dipodjojo. 1985. Moralisasi Masyarakat Jawa Lewat Cerita Binatang. Yogyakarta: Javanologi.
BP4 (Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian). 1991. Membina Keluarga Bahagian Sejahtera. Yogyakarta: BP4.
Gandarsih. 1986. Wanita dan Kemajuan Jaman. Yogyakarta: Javanologi.
Geertz, C. dalam Kebudayaan Jawa karangan Koentjaraningrat. Jakarta: BP. Balai Pustaka.
Haryati Subandio. 1984. Hak dan Kewajiban. Jakarta: Media Karya.
Henriette Roland H. 1947. dalam Sarinah, Kewadjiban Wanita dalam Perdjoeangan Republik Indonesia. Djokdjakarta.
Saparinah Sadli. 1982. “Kepribadian Wanita Jawa” dalam Kepribadian dan Perubahannya. Jakarta: Gramedia.
Soekarno. 1947. Sarinah, Kewadjiban Wanita dalam Perdjoeangan Republik Indonesia. Djokdjakarta.
Sumber:
Jentara, Jurnal Sejarah dan Budaya. 2006. Volume 1, No. 2
[1] Soekarno. Sarinah, Kewadjiban Wanita Dalam perdjoeangan Republik Indonesia. Djokdjakarta: 1947, hl. 6
[2] Ibid., hal. 8
[3] BP4 (Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian). Membina Keluarga Bahagian Sejahtera. Yogyakarta: BP4, 1991, hal 13
[4] Geertz, C. Dalam Kebudayaan Jawa karangan Koentjaraningrat. Jakarta: BP. Balai Pustaka, hal. 210
[5] Haryati Subandiyo. Hak dan Kewajiban. Jakarta: edia karya, 1984, hal 20
[6] Saparinah Sadli. “Kepribadian Wanita Jawa” dalam Kepribadian dan Perubahannya. Jakarta. Gramedia, 1982, hal. 155
[7] Soekarno. Sarinah, Kewajiban Wanita Dalam Perdjoeangan Republik Indonesia. Djokdjakarta, 1947, hal. 78
[8] Geertz, C. dalam Kebudayaan Jawa karangan Koentjaranngrat. Jakarta: BP. Balai Pustakan, hal. 211
[9] Gandarsih. Wanita dan Kemajuan Jaman. Yogyakarta; Javanologi, 1986, hal. 56
[10] Asi S. Dipodjojo. Moralisasi Masyarakat Jawa Lewat Cerita Binatang. Yogyakarta; Javanologis, 1985, hlm. 24