Lokasi dan Proses Penemuan
Candi Panataran terletak di Desa Panataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur. Dari pusat kota Blitar kurang lebih 12 kilometer atau sekitar setengah jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. Letak candi ini di lereng barat-daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter dari permukaan air laut. Dibanding dengan candi-candi lainnya di Jawa Timur, Candi Panataran adalah satu-satunya kompleks percandian yang terluas dan termasuk lengkap unsur-unsurnya. Candi ini ditemukan pada tahun 1815 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Inggris yang waktu itu berkuasa di Indonesia. Waktu itu, ketika Raffles bersama Dr. Horsfield (seorang ahli ilmu alam) mengadakan kunjungan ke daerah Palah, Jawa Timur, mereka secara tidak sengaja menemukan Candi Panataran. Dan, hasil temuannya itu dibukukan dalam buku yang berjudul “History of Java”
yang terbit dalam dua jilid. Jejak Raffles ini di kemudian hari diikuti pula oleh para peneliti lain yaitu: J.Crawfurd (seorang asisten residen di Yogyakarta), selanjutnya Van Meeteren Brouwer (1828), Junghun (1884), Jonathan Rigg (1848) dan N.W.Hoepermans yang pada tahun 1886 mengadakan inventarisasi di kompleks percandian Panataran.
Data Bangunan
Kompleks Candi Panataran yang luasnya hampir 1,5 hektar itu terdiri atas tiga halaman. Seperti halnya Candi Sukuh di Jawa Tengah dan pura-pura di Bali, tiga halaman itu berdiri dalam formasi berbaris, (yang satu di belakang yang lain). Bagian yang paling penting atau paling suci terletak pada baris paling belakang. Berikut ini akan diuraikan tentang bagian-bagian dari kompleks percandian tersebut.
Sebelum memasuki areal candi, di pintu utama akan dijumpai sepasang arca penjaga pintu (dwarapala) yang berpahatkan angka tahun 1242 Saka (1330 Masehi). Oleh warga sekitar, kedua arca tersebut terkenal dengan sebutan “Mbah Bodo”. Pahatan angka yang tertera pada kedua lapik arca menandakan bahwa bangunan suci Palah (nama lain untuk Candi Panataran) diresmikan menjadi kuil negara (state-temple) pada jaman Raja Jayanegara dari Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328 Masehi.
Pada halaman pertama, sebelah timur arca penjaga, terdapat sebuah batur bangunan kecil yang terbuat dari batu andesit dan dua batur bangunan sejenis pendopo yang dindingnya berhias relief cerita Bubuksah dan Gagang Aking, Sang Setyawan dan cerita Sri Tanjung. Bagian atas ketiga bangunan itu sudah tidak ada lagi. Namun, adanya umpak-umpak batu memberi petunjuk bahwa ketiga bangunan itu dahulu mempunyai tiang dan atap yang terbuat dari bahan yang mudah lapuk. Disamping ketiga bangunan itu, terdapat juga sebuah candi yang disebut Candi Angka Tahun. Bentuknya khas gaya candi-candi Jawa Timur dengan atapnya yang berundak menjulang tinggi. Candi ini disebut Candi Angka Tahun karena di atas pintunya terpahat angka tahun 1291 Saka atau 1269 Masehi.
Pada halaman kedua akan dijumpai lagi sepasang dwarapala yang berukuran lebih kecil. Pada halaman ini terdapat dua batur bangunan berbentuk empat persegi panjang dan sebuah candi yang disebut Candi Naga yang berukuran panjang 6,57 meter, lebar 4,83 meter dan tinggi 4,70 meter. Disebut Candi Naga karena sekeliling tubuh candi dililit hiasan naga yang disangga oleh sembilan dewa. Naga ini sangat mungkin merupakan perwujudan Sang Hyang Basuki yang sedang mengikat Gunung Mandara (Giri) dan mengaduk lautan susu dalam usahanya untuk mencari tirta amarta (air kehidupan) dalam mitos Samudra-manthana.
Pada halaman ketiga terdapat bangunan candi yang paling besar yang merupakan candi induk. Keadaan candi induk itu sekarang hanya tinggal bagian kakinya saja, namun masih cukup rapi dan anggun berkat pemugaran tahun 1917-1918. Kaki candi ini menyerupai punden berundak terdiri atas tiga teras yang dihubungkan oleh tangga. Teras pertama berisi relief cerita Ramayana episode Hanuman Obong hingga gugurnya Kumbakarna. Sedangkan, teras kedua berisi relief kisah-kisah Sri Kresna dan Rukmini sebagai penjelmaan Batara Wisnu dan Dewi Sri. Pada masing-masing sisi kedua tangga naik ke teras pertama terdapat arca dwarapala yang pada alasnya terdapat angka tahun 1239 Saka atau 1317 Masehi.
Di sebelah selatan bangunan candi utama terdapat sebuah prasasti atau batu bertulis. Prasasti ini menggunakan huruf Jawa Kuna bertahun 1119 Saka atau 1197 Masehi, yang dikeluarkan oleh Raja Srengga dari Kerajaan Kediri. Isinya antara lain menyebutkan tentang peresmian sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah (Candi Panataran).
Pada bagian paling belakang candi utama terdapat kolam suci, yang konon dahulu dipergunakan sebagai tempat ritual. Kolam yang berukuran sekitar 2x5 meter ini terlihat bersih dan tertata rapi. Pada dinding kolam dipahatkan relief cerita binatang (fabel) dengan tokoh kura-kura, buaya, kerbau dan lain-lain.
Foto: http://www.kabblitar.go.id
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://navigasi.net
http://id.wikipedia.org
Candi Panataran terletak di Desa Panataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur. Dari pusat kota Blitar kurang lebih 12 kilometer atau sekitar setengah jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. Letak candi ini di lereng barat-daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter dari permukaan air laut. Dibanding dengan candi-candi lainnya di Jawa Timur, Candi Panataran adalah satu-satunya kompleks percandian yang terluas dan termasuk lengkap unsur-unsurnya. Candi ini ditemukan pada tahun 1815 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Inggris yang waktu itu berkuasa di Indonesia. Waktu itu, ketika Raffles bersama Dr. Horsfield (seorang ahli ilmu alam) mengadakan kunjungan ke daerah Palah, Jawa Timur, mereka secara tidak sengaja menemukan Candi Panataran. Dan, hasil temuannya itu dibukukan dalam buku yang berjudul “History of Java”
yang terbit dalam dua jilid. Jejak Raffles ini di kemudian hari diikuti pula oleh para peneliti lain yaitu: J.Crawfurd (seorang asisten residen di Yogyakarta), selanjutnya Van Meeteren Brouwer (1828), Junghun (1884), Jonathan Rigg (1848) dan N.W.Hoepermans yang pada tahun 1886 mengadakan inventarisasi di kompleks percandian Panataran.
Data Bangunan
Kompleks Candi Panataran yang luasnya hampir 1,5 hektar itu terdiri atas tiga halaman. Seperti halnya Candi Sukuh di Jawa Tengah dan pura-pura di Bali, tiga halaman itu berdiri dalam formasi berbaris, (yang satu di belakang yang lain). Bagian yang paling penting atau paling suci terletak pada baris paling belakang. Berikut ini akan diuraikan tentang bagian-bagian dari kompleks percandian tersebut.
Sebelum memasuki areal candi, di pintu utama akan dijumpai sepasang arca penjaga pintu (dwarapala) yang berpahatkan angka tahun 1242 Saka (1330 Masehi). Oleh warga sekitar, kedua arca tersebut terkenal dengan sebutan “Mbah Bodo”. Pahatan angka yang tertera pada kedua lapik arca menandakan bahwa bangunan suci Palah (nama lain untuk Candi Panataran) diresmikan menjadi kuil negara (state-temple) pada jaman Raja Jayanegara dari Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328 Masehi.
Pada halaman pertama, sebelah timur arca penjaga, terdapat sebuah batur bangunan kecil yang terbuat dari batu andesit dan dua batur bangunan sejenis pendopo yang dindingnya berhias relief cerita Bubuksah dan Gagang Aking, Sang Setyawan dan cerita Sri Tanjung. Bagian atas ketiga bangunan itu sudah tidak ada lagi. Namun, adanya umpak-umpak batu memberi petunjuk bahwa ketiga bangunan itu dahulu mempunyai tiang dan atap yang terbuat dari bahan yang mudah lapuk. Disamping ketiga bangunan itu, terdapat juga sebuah candi yang disebut Candi Angka Tahun. Bentuknya khas gaya candi-candi Jawa Timur dengan atapnya yang berundak menjulang tinggi. Candi ini disebut Candi Angka Tahun karena di atas pintunya terpahat angka tahun 1291 Saka atau 1269 Masehi.
Pada halaman kedua akan dijumpai lagi sepasang dwarapala yang berukuran lebih kecil. Pada halaman ini terdapat dua batur bangunan berbentuk empat persegi panjang dan sebuah candi yang disebut Candi Naga yang berukuran panjang 6,57 meter, lebar 4,83 meter dan tinggi 4,70 meter. Disebut Candi Naga karena sekeliling tubuh candi dililit hiasan naga yang disangga oleh sembilan dewa. Naga ini sangat mungkin merupakan perwujudan Sang Hyang Basuki yang sedang mengikat Gunung Mandara (Giri) dan mengaduk lautan susu dalam usahanya untuk mencari tirta amarta (air kehidupan) dalam mitos Samudra-manthana.
Pada halaman ketiga terdapat bangunan candi yang paling besar yang merupakan candi induk. Keadaan candi induk itu sekarang hanya tinggal bagian kakinya saja, namun masih cukup rapi dan anggun berkat pemugaran tahun 1917-1918. Kaki candi ini menyerupai punden berundak terdiri atas tiga teras yang dihubungkan oleh tangga. Teras pertama berisi relief cerita Ramayana episode Hanuman Obong hingga gugurnya Kumbakarna. Sedangkan, teras kedua berisi relief kisah-kisah Sri Kresna dan Rukmini sebagai penjelmaan Batara Wisnu dan Dewi Sri. Pada masing-masing sisi kedua tangga naik ke teras pertama terdapat arca dwarapala yang pada alasnya terdapat angka tahun 1239 Saka atau 1317 Masehi.
Di sebelah selatan bangunan candi utama terdapat sebuah prasasti atau batu bertulis. Prasasti ini menggunakan huruf Jawa Kuna bertahun 1119 Saka atau 1197 Masehi, yang dikeluarkan oleh Raja Srengga dari Kerajaan Kediri. Isinya antara lain menyebutkan tentang peresmian sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah (Candi Panataran).
Pada bagian paling belakang candi utama terdapat kolam suci, yang konon dahulu dipergunakan sebagai tempat ritual. Kolam yang berukuran sekitar 2x5 meter ini terlihat bersih dan tertata rapi. Pada dinding kolam dipahatkan relief cerita binatang (fabel) dengan tokoh kura-kura, buaya, kerbau dan lain-lain.
Foto: http://www.kabblitar.go.id
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://navigasi.net
http://id.wikipedia.org