Tripama watak satria dan sastra jendera adalah watak luhur yang perlu diteladani dan merupakan ajaran suci atau ilmu luhung yang berdasarkan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Ajaran ini merupakan rahasia agama yang dapat menyelematkan umat dan dunia semesta. Buku ini merupakan Seri Wayang 9, yang tidak lepas dari Seri Pustaka Wayang lainnya seperti Wayang Dan Karakter Manusia. Wayang Dan Karakter Wanita serta Apa Dan Siapa Semar.
Buku Seri Pustaka Wayang 9, merupakan kumpulan pandapat dari para pembaca terhadap Sayembara tentang penulisan Tripama, yaitu suatu penulisan untuk menetapkan mana yang lebih pantas dan menonjol sifat Kepahlawanan dan satria-utama dari satria dalam Tripama yaitu Sumantri, Kumbakarna dan Basukarna, yang dihimpun oleh Ir. Sri Mulyono Djojosupadmo.
Dalam meninjau buku ini dipakai tinajauan filosofis dan psikologis dan juga dari segi mistik. Bahkan sebagai akhir dari pembahasan dicoba mengupas tentang apa sebenarnya Sastra Jendera itu, yang sampai melahirkan Rahwana (si angkara murka), Kumbakarna, Sarpakanaka dan Gunawan Wibisana. Sastra Jendra mampu menggegerkan serta membuat tabu dalam dunia pewayangan pada umumnya dan dunia spiritual khususnya.
Mengapa tokoh wayang Karna dijadikan sebagai teladan oleh Tripama (Sri Mangkunegara IV) sedangkan ia ikut golongan angkara. Siapakah diantaranya dari ketiga tokoh teladan dalam Tripama itu yang benar-benar dapat dikatakan sebagai satria dan prajurit utama? Dalam tanggapan Tripama telah dikupas tokoh Basukarna, kemudian dibandingkan siapa di antara tokoh yang benar-benar pantas untuk disebut satria utama. Adapun lengkapnya bunyi Tripama dalam terjemahan adalah sebagai berikut:
- Wahai semua prajurit, contohlah segala tingkah laku, kesetiaan dan ketaatan seorang senapati Suwanda yang sangat dibanggakan oleh sang Prabu Harjuna Sasrabahu di Maespati yang mencakup tiga soal. Pertama Kepandaian (ilmu), kedua Kekayaan-akal, pikiran dan siasat peperangan dan ke tiga Keberanian yang penuh dengan semangat patriotik, inilah yang disebut manusia utama.
- Adapun yang disebut dengan tiga contoh pengabdian tersebut adalah guna berarti dapat melaksanakan segala hal, dan diusahakan menjadi keunggulannya, kaya berarti membantu (melakukan) perang ke negara Magada, dan berhasil memboyong, merebut, puteri domas (Citrawati dan 800 pengiringnya) untuk dipersembahkan kepada rajanya dan purun/berani/kemauan adalah seperti tampak jelas di kala dengan gagah berani perang melawan raksasa (Rahwana) dari negeri Alengka, dan Sumantri gugur dalam medang perang.
- Ada lagi teladan yang pantas dicontoh, seorang satria agung dari negeri Alengka, bernama Kumbakarna, walaupun ia berujud raksasa, namun berbudi utama (luhur), sejak perang Alengka, ia selalu mengingatkan kepada kakaknya demi keselamatan negara, namun Rahwana tidak mau berubah pendiriannya melawan prajurit kera.
- Kumbakarna setelah mendengar perintah kakaknya, untuk melawan musuh yang menyerang negaranya, berangkat tanpa menolak karena memegang teguh sifat Kesatrianya, walaupun di dalam hatinya sesuangguhnya tidak setuju akan perbuatan kakaknya yang salah, tetapi ia tetap berangkat ke medan perang dengan maksud untuk membela negara, Keluhuran keluarga, leluhurnya dan bangsanya, maka ia bersemboyan lebih baik mati dalam medan peperangan daripada hidup mewah di Alengka tetapi dirusak oleh prajurit kera.
- Ada lagi yang pantas dicontoh, Suryaputra seorang Narpati dari Ngawangga, dengan Pandawa yang masih bersaudara, lain ayah tetapi sekandung (sama ibu), yang dengan setia mengabdi kepada Prabu Kurupati dari Astina sebagai agul-agul (benteng), panglima perang, dalam perang Baratayuda menjadi senapati (perang) untuk membela Kurawa.
- Sang Karna sangat gembira mendengar perintah rajanya untuk melawan saudaranya sendiri berperang melawan Arjuna, karena inilah satu-satunya jalan untuk membayar budi, rajanya yang telah memberi derajat, pangkat, kenikmatan duniawi, maka berangkatlah dengan kekuatan yang ada ke medan pertempuran guna menunaikan tugas senopatinya dan akhirnya Adipati Karna gugur dalam medan pertempuran sebagai perwira utama.
- Ketiga contoh itu merupakan teladan di Jawa, yang pantas jikalau semua prajurit dapat menghayati tugasnya sekuasanya, dalam pengabdiannya terhadap Kerajaan, jangan sampai melalaikan contoh-contoh baik, jika jatuh ke lembah nista, hina, kemauannya, walaupun sentausanya budi tidak ada laih kehendaknya berusaha sesuai dengan harkat hidupnya, berusaha dalam keutamaan.
Dalam rangkaian uraian di atas timbul pertanyaan di mana letak Kesatriaan Basukarna baik dalam pewayangan maupun pedalangan, maka hal ini dapat dicari dalam sikap dan perbuatannya dalam dialog antara Basukarna, Kresna dan Dewi Kunti dalam lakon Kresna Duta.
Sebagai suatu kesimpulan atau tanggapan yang disampaikan oleh Drs. Pudja WA yang berjudul Sumantri, Kumbakarna dan Basukarna dalam perbandingan ialah sebagai berikut:
- Tokoh Sumantri yang dalam riwayat silsilahnya masih berdarah “turasing luhur” yang pada generasi dirinya telah mengalami degradasi sebagai pemuda yang kehilangan status sosial. Liku-liku hidup perjuangannya menunjukkan bahwa Sumantri adalah tokoh yang energik, berkekuatan cerdas, konsekuen dan berbangga diri. Tidak heran bahwa ia dapat mencapai tataran tertinggi dalam jabatan negara sebagai Perdana Menteri (patih). Hal ini identik dengan maksud arti namanya: Su linuwih atau taraf tertinggi, Mantri-menteri. Titik buka (blind spot) pada dirinya telah menyebabkan tindakan yang “fatal” kepada tingkah laku yang “kebanjur” yang meninggalkan sifat kejujuran. Sumantri adalah tokoh yang overkonpensasi.
- Tokoh Kumbakarna digambarkan sebagai raksasa yang memiliki budi luhur. Pandangannya mengenai “kebenaran” adalah mutlak, tetapi dalam menghadapi dilema boleh dikatakan “melempem” pasif dan apatis. Baru setelah keadaan negara darurat dan memaksa ia menjalankan prinsip kombinasi antara idealisme dan rasionalisasi, yang sudah barang tentu tidak efektif lagi. Pada dasarnya Kumbakarna adalah tokoh nasionalis kolaborator, atau secara populer dapat disebut “pahlawan kesiangan”.
- Tokoh Basukarna adalah gambaran dari pribadi pahlawan yang mempunyai “innerlife story” yang unik dan multikompleks. Sebagai anak yang tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tua kandung, ia tumbuh menjadi pribadi yang keras dan teguh dalam memperjuangkan prinsip hidup. Berbagai dilema mesti dihadapi, yang banyak memberikan pelajaran baginya untuk berbuat “teguh dalam prinsip, tetapi luwes dalam praktek” suatu kebijaksanaan terpuji. Adalah suatu penilaian yang terlalu pagi bahwa Basukarna itu tokoh yang “tesmen” atau “ABS” yang gila pangkat, tanpa menghayati lebih lanjut proses psikologis dan biografinya. Basukarna adalah tokoh dari pribadi yang terlantar dan sukses. Dapat dikatakan pula sebagai profil karakter neirosia yang berhasil
Berdasarkan pada pola pemikiran serat Tripama atas prinsip Tri Prakara watak satria yang harus dipakai pedoman bagi para anggota angkatan bersenjata, maka penampilan tiga tokoh pewayangan sebagai contoh teladan itu dapat digarisbawahi seperlunya. Walaupun setelah dianalisa-tafsirkan “kadar” kepribadian (secara eksistensi individual) masing-masing tokoh terdapat segi fenomena-fenomena yang negatif, namun secara militer ternyata ketiga tokoh itu konsekuen terhadap sumpah prajurit sampai pada akhir ajalnya.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1993. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.