Pura Maospahit Tatasan Tonja

Kita sering mendengar nama Wilwatikta di Jawa sedangkan di Bali lebih banyak digunakan Maospahit. Keduanya untuk maksud yang sama, yakni lebih mengangkat nama Majapahit. Bedanya kalau Wilwatika merupakan terjemahan sanskerta yang berkonotasi kemegahan dan petis sedangkan Maospahit merupakan penghalusan dari Majapahit bersifat filosofis-religius. Sifat yang terakhir ini lebih jelas lagi dengan adanya sebutan Batara Maospahit yang sering disediakan Pelinggih dengan hiasan kepala manjangan di komplek pura. Bahkan ada yang seluruh pura itu disebut Maospahit. Salah satunya adalah pura Maospahit Tatasan di desa Tonja, Kecamatan Denpasar Timur, Kabupaten Badung. Pura ini sangat mudah dicari karena hanya sejauh 2,5 km ke arah laut dari pusat kota Denpasar Bali.

Struktur dan fungsi bangunan
Pura Maospahit Tatasan Tonja bukanlah pura yang besar, namun mempunyai beberapa keistimewaan ditinjau secara arkeologis. Pura ini terdiri dari dua halaman, yakni halaman depan atau jabaan dan halaman belakang atau jeroan. Halaman belakang atau jeroan merupakan halaman utama. Susunan yang demikian mirip dengan candi-candi Jawa Timur.

Kalau akan memasuki jabaan kita harus melalui gerbang dalam bentuk candi belah atau candi bentar, kemudian menuju jeroan melalui kori agung dalam bentuk paduraksa.

Di jeroan kita dapatkan berbagai bangunan dan benda-benda suci dalam bentuk tajuk, gedong, bale, padmasana, pelinggih, kori dan lain-lain. Beberapa bangunan atau benda suci yang perlu kita kenali lebih jauh karena pentingnya ditinjau dari sudut arkeologis adalah meja batu, padupaan, prasada, batu pesiraman dan kolam.

Meja batu
Meja batu ini terbuat dari batuan jenis tuva breksi, monolit berwarna hitam, berbentuk bulat, berkaki, bercerat, terletak di atas bebatuan. Bebatuan itu berhiaskan kepala Banaspati, bunga teratai, gajah. Di samping meja batu terdapat pedupaan.

Meja batu semacam ini tidak umum terdapat pada pura, asal konteks budaya dan periodenya lain, justeru lebih tua yakni masa prasejarah.

Prasada
Prasada yang termasuk bangunan pokok bagi suatu pura, terdapat di pura Masopahit Tatasan ini. Denahnya segi empat bujur sangkar, terdiri atas kaki, badan dan atap yang makin ke atas makin meruncing serta bertingkat-tingkat. Bahannya dari batu-bata, batu padas, dan batu karang. Bata pada pura ini berukuran lebih besar dan lebih kuat dari pada bata sekarang. Jenis bata demikian disebut bata tipe Majapahit. Di jawa prasada seperti ini disebut candi. Prasada yang tingginya 7,60 m dan berdenah 2,20 x 2,20 m itu mempunyai ruang badannya (garbhadhatu), pintunya terbuat dari kayu. Hiasannya berbagai pepatraan dan kekarangan. Hiasan yang istimewa adalah porselin berupa piring-piring dan mangkuk-mangkuk yang disukkan kedalam lekukan pada permukaan kulit prasada. Hiasan semacam ini di Jawa tidak umum untuk candi tetapi pada bangunan-bangunan istana dan pemakaman pada masa awal perkembangan agama Islam.

Pintu dengan gambar-gambar singa, burung, kepala raksasa dan bingkai pintu sendiri, sering ditafsirkan sebagai candra sangkala yang menunjuk pada angka tahun 1295 Saka atau 1373 M.

Batu Pesiraman
Pepalungan batu ini ditaruh di sebelah barat laut meja batu. Bentuknya agak lonjong ditempatkan di atas bebaturan bata yang rendah. Menilik bentuk dan bahannya batu pesiraman ini adalah dolmen dari tradisi megalitik juga.

Kolam
Kolam yang terdapat di jeroan ini diasosiasikan dengan lautan susu tempat bersemayamnya tirta amerta, atau menurut keyakinan masyarakat setempat berfungsi sebagai tempat pemandian bidadari.

Lintasan Sejarah
Pura pada dasarnya adalah tempat peribadatan agama Hindu-Bali. Meskipun agama Hindu di Indonesia berkembang sejak masa klasik (abad 5-15 Masehi) hingga sekarang, namun kenyataannya di lingkungan pura sering kita temukan unsur-unsur masa sebelumnya, seperti meja batu dari tradisi megalitik masa prasejarah. Dengan begitu ada kemungkinan sebelum dibangun sebagai pura, tempat ini sudah menjadi tempat suci pemujaan arwah nenek moyang pada masa prasejarah atau benda-benda itu dibuat pada masa klasik dengan mengambil pola dari masa sebelumnya. Kesinambungan budaya semacam itu memang lazim terjadi di tanah air kita.

Nama Maospahit mengingatkan kita akan kerajaan Majapahit. Bali pun seperti kita ketahui telah dipersatukan dengan Majapahit. Bukan hanya di bidang pemerintahan, melainkan juga di bidang budaya Bali banyak mengambil pola dari Jawa Timur, khususnya Majapahit. Tokoh-tokoh keagamaan dan kebudayaan seperti Mpu Kuturan, Mpu Baradah, Mpu Sedah, Mpu Panuluh, Prapanca, Mpu Tantular dan lain-lain masih dipandang sebagai pahlawan budaya (culture-hero) dan hasil karyanya masih banyak dikenang dan diamalkan. Disamping itu adanya candra sangkala yang mengacu ke angka tahun 1373 Masehi memberi petunjuk bahwa sangat mungkin pura ini dibangun pada masa kekuasaan Majapahit (abad 14-15 M) dan berfungsi terus hingga sekarang.

Pelestarian dan pendayagunaan
Dalam peraturan cagar budaya bangunan kuno seperti Pura Maospahit Tatasan Toraja termasuk monumen hidup (livingmonument), yakni bangunan purbakala yang statusnya masih berfungsi seperti maksud pembangunannya.

Mengingat pentingnya pura ini ditinjau dari sudut cagar budaya dan melihat kenyataan bangunan itu menghadapi ancaman kerusakan fatal, maka Pemerintah dalam hal ini Depdikbud, Ditjenbud. Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala yang pada tanggal 14 Juni 1988 ini genap berumur 75 tahun, melalui UPT Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Bali telah melakukan pemugaran. Sebagai livingmonument maka pemeliharaannya diserahkan kepada masyarakat setempat, khususnya penyungsungnya yang menggunakan sebagai tempat ibadah. Di samping itu juga dapat digunakan sebagai sasana wisata budaya sepanjang tidak bertentangan atau mengganggu kepentingan keagamaan. Hal-hal ini tentunya dapat diatur sebaik mungkin.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive