Seperti telah banyak diketahui, raja pertama yang memerintah kerajaan Singosari adalah Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa Amurwabhumi. Riwayat dan ceritera tentang raja ini banyak dimuat dalam Kitab Pararaton dan Negarakertagama, yang aslinya berbahasa Jawa Kuno namun sudah ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan tidak terlalu sulit dipelajari. Mulai sejak awal kerajaan ini banyak tercatat sejarah dan peninggalannya di bumi Jawa Timur. Raja Rajasa yang memerintah selama 1222-1227, mempunyai beberapa putera, di antaranya Mahisa Wong Ateleng dan Tohjoyo, sedangkan putera tirinya Anusapati di kemudian hari adalah yang membunuhnya.
Sepeninggal raja Rajasa, Singosari diperintah oleh Anusapati yang berkuasa selama 1227-1246. Dalam pemerintahan Raja Anusapati kerajaan cukup aman. Setelah raja wafat digantikan oleh saudaranya, Tohjoyo yang tidak seberapa lama karena meninggal dunia.
Pengganti Tohjoyo adalah Ranggawuni yaitu putera Anusapati, bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana berkuasa selama 1248-1268. Selama memerintah di kerajaan Singosari ia bekerjasama dengan saudaranya, Mahisa Campaka. Dalam pemerintahannya raja memperhatikan hamba sahayanya dan membalas jasa kepada mereka yang telah banyak membantu waktu masih memerintah raja mengangkat pula puteranya (Kertanegara) menjadi Raja Muda. Bersama puteranya raja memimpin kerajaan. Saat Raja Wisnuwardhana wafat pada 1268 Kertanegara mendirikan beberapa bangunan suci berupa candi sebagai dharma baktinya kepada sang ayah. Satu di antara bangunan itu adalah Candi Jago yang terwujud sebagai bangunan Budha dan Hindu.
Deskripsi Candi Jago
Candi Jago menghadap ke timur, pintu candi berada di sebelah barat. Candi mempunyai bentuk berundak-undak; urutan dari bawah disebut kaki, badan dan atap candi. Pada bagian bawah, yaitu kaki candi, dibuat bersusun tiga tingkat, di atas kaki berdirilah badan candi.
Pada dinding luar candi dipahatkan relief-relief. Untuk mengikuti urutan ceritera kita berjalan mengelilingi candi dengan mengirikan candinya.
Relief pada teras pertama, yaitu undak terbawah sebagai berikut: Sudut kiri candi (barat laut) terlukis awal ceritera binatang seperti halnya ceritera Tantri. Ceritera ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat ceritera binatang, yaitu kura-kura yang sedang bercanda. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi mengigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga terbukalah mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang.
Pada sudut timur laut terdapat serangkaian ceritera melukiskan ceritera Budha yang meriwayatkan Yaksa Kunjarakarna. Ia pergi kepada Dewa tertinggi, yaitu Sang Wairocana untuk mempelajari ajaran Budha.
Beberapa hiasan dan relief pada kaki candi berupa ceritera Kunjarakarna. Ceritera ini bersifat dedaktif dalam kepercayaan Budah antara lain dikisahkan tentang raksasa Kunjarakarna ingin menjelma menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan menyampaikan maksdunya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Budha akhirnya keinginan raksasa terkabul.
Pada Teras kedua terpahat ceritera Parthayajna, berasal dari Kitab Mahabharatha. Isinya mengisahkan Sang Arjuna dan saudaranya yang mengalami kekalahan main dadu, sehingga Arjuna harus bertapa di Gunung Indrakila.
Pada teras ketiga terdapat ceritera Arjunawiwaha yang meriwayatkan perkawinan Arjuna dengan Dewi Suprabha sebagai hadiah dari Bhatara guru setelah Arjuna mengalahkan raksasa Nirwatakawaca.
Hiasan pada badan Candi Jago tidak sebanyak pada kakinya. Yang terlihat pada badan adalah relief adegan Kalayawana, yang ada hubungannya dengan ceritera Kresnayana, yaitu kisah tentang peperangan antara raja Kalayawana dengan Kresna.
Sedangkan pada bagian atap candi yang dikirakan dulu dibuat dari atap kayu/ijuk sekarang sudah tidak ada bekasnya.
Sekarang bangunan sucinya perlu dilestarikan karena di samping masing mempunyai nilai budaya tinggi juga masih bermanfaat. Bagaimana pun pelestarian pada bangunan kuno seperti halnya Candi Jago tidak perlu dilakukan mengingat begitu tinggi nilai sejarahnya. Candi Jago tidaklah semata-mata merupakan bangunan religi seperti misalnya Candi Prambanan, Mendut atau Kalasan di Jawa Tengah. Candi Jago dan candi yang lain di Jawa Timur kebanyakan melambangkan makam atau sebagai bangunan tempat pemujaan kepada leluhur atau arwah raja. Hiasan-hiasan pada bangunan banyak ditemukan ragam ceritera wayang atau panji dan tokoh raja yang berkedudukan sebagai dewa/dewi, seperti di Candi Jago tersebut Raja Wisnuwardhana dilambangkan sebagai Sang Budha.
Selain pelestarian bangunan yang bernilai sejarah yang juga perlu dilakukan adalah penerapan dan pemanfaatan bangunan tersebut di masa sekarang.
Candi Jago yang masih ada sampai sekarang dapat diperankan sebagai sumber pengetahuan, yaitu selain dari segi seni pahat maupun ukir, juga ilmu bangunan dan filsafat, di samping sebagai suatu panorama keindahan di bidang obyek wisata karena keindahan alam di sekitar candi dan taman membuat daya tarik tersendiri.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sepeninggal raja Rajasa, Singosari diperintah oleh Anusapati yang berkuasa selama 1227-1246. Dalam pemerintahan Raja Anusapati kerajaan cukup aman. Setelah raja wafat digantikan oleh saudaranya, Tohjoyo yang tidak seberapa lama karena meninggal dunia.
Pengganti Tohjoyo adalah Ranggawuni yaitu putera Anusapati, bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana berkuasa selama 1248-1268. Selama memerintah di kerajaan Singosari ia bekerjasama dengan saudaranya, Mahisa Campaka. Dalam pemerintahannya raja memperhatikan hamba sahayanya dan membalas jasa kepada mereka yang telah banyak membantu waktu masih memerintah raja mengangkat pula puteranya (Kertanegara) menjadi Raja Muda. Bersama puteranya raja memimpin kerajaan. Saat Raja Wisnuwardhana wafat pada 1268 Kertanegara mendirikan beberapa bangunan suci berupa candi sebagai dharma baktinya kepada sang ayah. Satu di antara bangunan itu adalah Candi Jago yang terwujud sebagai bangunan Budha dan Hindu.
Deskripsi Candi Jago
Candi Jago menghadap ke timur, pintu candi berada di sebelah barat. Candi mempunyai bentuk berundak-undak; urutan dari bawah disebut kaki, badan dan atap candi. Pada bagian bawah, yaitu kaki candi, dibuat bersusun tiga tingkat, di atas kaki berdirilah badan candi.
Pada dinding luar candi dipahatkan relief-relief. Untuk mengikuti urutan ceritera kita berjalan mengelilingi candi dengan mengirikan candinya.
Relief pada teras pertama, yaitu undak terbawah sebagai berikut: Sudut kiri candi (barat laut) terlukis awal ceritera binatang seperti halnya ceritera Tantri. Ceritera ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat ceritera binatang, yaitu kura-kura yang sedang bercanda. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi mengigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga terbukalah mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang.
Pada sudut timur laut terdapat serangkaian ceritera melukiskan ceritera Budha yang meriwayatkan Yaksa Kunjarakarna. Ia pergi kepada Dewa tertinggi, yaitu Sang Wairocana untuk mempelajari ajaran Budha.
Beberapa hiasan dan relief pada kaki candi berupa ceritera Kunjarakarna. Ceritera ini bersifat dedaktif dalam kepercayaan Budah antara lain dikisahkan tentang raksasa Kunjarakarna ingin menjelma menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan menyampaikan maksdunya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Budha akhirnya keinginan raksasa terkabul.
Pada Teras kedua terpahat ceritera Parthayajna, berasal dari Kitab Mahabharatha. Isinya mengisahkan Sang Arjuna dan saudaranya yang mengalami kekalahan main dadu, sehingga Arjuna harus bertapa di Gunung Indrakila.
Pada teras ketiga terdapat ceritera Arjunawiwaha yang meriwayatkan perkawinan Arjuna dengan Dewi Suprabha sebagai hadiah dari Bhatara guru setelah Arjuna mengalahkan raksasa Nirwatakawaca.
Hiasan pada badan Candi Jago tidak sebanyak pada kakinya. Yang terlihat pada badan adalah relief adegan Kalayawana, yang ada hubungannya dengan ceritera Kresnayana, yaitu kisah tentang peperangan antara raja Kalayawana dengan Kresna.
Sedangkan pada bagian atap candi yang dikirakan dulu dibuat dari atap kayu/ijuk sekarang sudah tidak ada bekasnya.
Sekarang bangunan sucinya perlu dilestarikan karena di samping masing mempunyai nilai budaya tinggi juga masih bermanfaat. Bagaimana pun pelestarian pada bangunan kuno seperti halnya Candi Jago tidak perlu dilakukan mengingat begitu tinggi nilai sejarahnya. Candi Jago tidaklah semata-mata merupakan bangunan religi seperti misalnya Candi Prambanan, Mendut atau Kalasan di Jawa Tengah. Candi Jago dan candi yang lain di Jawa Timur kebanyakan melambangkan makam atau sebagai bangunan tempat pemujaan kepada leluhur atau arwah raja. Hiasan-hiasan pada bangunan banyak ditemukan ragam ceritera wayang atau panji dan tokoh raja yang berkedudukan sebagai dewa/dewi, seperti di Candi Jago tersebut Raja Wisnuwardhana dilambangkan sebagai Sang Budha.
Selain pelestarian bangunan yang bernilai sejarah yang juga perlu dilakukan adalah penerapan dan pemanfaatan bangunan tersebut di masa sekarang.
Candi Jago yang masih ada sampai sekarang dapat diperankan sebagai sumber pengetahuan, yaitu selain dari segi seni pahat maupun ukir, juga ilmu bangunan dan filsafat, di samping sebagai suatu panorama keindahan di bidang obyek wisata karena keindahan alam di sekitar candi dan taman membuat daya tarik tersendiri.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.