Bangsa Indonesia boleh berbangga karena meskipun era globalisasi melanda kawasan Nusantara kita mampu membuat filter terhadap budaya asing yang masuk, bahkan kita memanfaatkan keadaan untuk memilih mana yang baik dipergunakan untuk menunjang pembangunan di Indonesia.
Pembangunan berjalan sesuai dengan rencana, salah satu sebabnya karena para pelaku pembangunan mempunyai dasar budaya yang kuat berupa pitutur luhur yang disampaikan secara turun temurun maupun pitutur luhur yang ditulis dalam buku. Dari sekian banyak buku peninggalan itu salah satunya adalah “Pepali Ki Ageng Selo”.
Kata pepali dalam bahasa sastra Jawa Indonesia karangan S. Prawira Atmaja artinya “pantangan” atau “larangan”. Oleh Tardjan Hadidjaya diartikan “pakem” atau pedoman hidup. Sedangkan oleh Seotardi Soeryahoedoyo mengartikan pepali adalah ajaran, petunjuk dan aturan. Ketiga pendapat ini benar sebab apa yang ada dalam pepali Ki Ageng Selo berisi pedoman hidup yang menyangkut tentang ajaran, petunjuk, aturan, maupun larangan, yang kenyataannya masih banyak yang relevan dengan keadaan zaman sekarang.
Siapa Ki Ageng Selo?
Beliau adalah nenek moyang yang menurunkan raja-raja Mataram. Sri Sunan Paku Buwana XII yang bertahta di kerajaan Surakarta sekarang ini adalah keturunannya ke-17.
Adapun urutannya, Prabu Brawijaya V beristeri puteri Wandan Kuning, maka lahirlah Bondan Kejawan. Bondan Kejawan mengawini Roro Nawangsih dan berputera Ki Ageng Getas Pendhawa. Ki Ageng Getas Pendhawa menikahi Putri Sunan Maja Agung, lahirlah Ki Ageng Abdulrahman yang terkenal dengan nama Ki Ageng Selo. Ki Ageng Selo mengawini dua puteri. Dengan puteri Ki Ageng Wonosobo tidak mempunyai keturunan. Sedankan dengan puteri Ki Ageng Ngerang I berputera tujuh orang, enam perempuan dan satu laki-laki; bungsi. Ki Ageng Enis, putera laki-laki terakhir itulah yang menurunkan Danang Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati Ing Alaga, pendiri kerajaan Mataram.
Pepali yang mengandung nilai-nilai luhur tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sebagai manusia hendaknya jangan tinggi hati, jangan sombong, jangan usil, jangan serakah dan jangan panjang tangan. Jangan gila pujian, jangan berbuat serong, janganlah tebal muka, berani malu dan jangan mengagung-agungkan diri.
2. Dan sebaiknya orang hidup itu mencari bagusnya. Tetapi ingatlah bahwa bagus itu bukan karena harta benda, bukan karena pakaian, bukan karena rupa. Yang disebut bagus ialah yang disayangu oleh sesamanya. Semua orang kasih sayang kepadanya karena tingkah lakunya yang menyenangkan.
3. Juga jangan mendewakan harta, jangan memuja pakaian indah, jangan pula mendewa-dewakan kepandaian atau ilmu sendiri. Jangan mengandalkan kekuatan jasmani, jangan memuja-muja mantera, jangan pula membanggakan perbuatan atau jasa sendiri. Janganlah menghamba kepada pengetahuan, sebab yang demikian itu tidak ada gunanya. Jangan berusaha agar dihormati, biarlah tiap orang bersikap dan berbuat sendiri.
4. terhadap orang lain janganlah berbuat seperti terhadap binatang piaraan, kerbau, sapi dan ayam. Janganlah menggurui orang lain, tunjukkanlah akan baiknya atau bagaimana mestinya sebelum orang berbuat salah. Jika telah terlanjur, jangan dicerca, dipersalahkan, janganlah memaki-maki sebab yang demikian itu tidak ada faedahnya.
5. Selain itu janganlah berbuat sembrono serba tergesa-gesa. Hidup ini banyak artinya, pertama-tama orang harus memperhatikan akan bahaya. Bahaya ada tiga macam, yakni bahaya karena ucapan, bahaya karena penglihatan dan bahaya yang bersarang di dalam hati sendiri.
6. Hendaklah suka berguru dan tahu malu. Ada dua macam malu, yakni malu terhadap Tuhan dan malu terhadap sesama manusia, maka berhati-hatilah, janganlah kau tercela. Terhadap sanak keluarga, janganlah engkau berani memudah-mudahkan dan jangan usil mulut, jangan tinggi hati, jangan suka mencampuri urusan orang lain dan janganlah serong.
7. Sebab perbuatan jahat akan menemui kejahatan pula, barang siapa menanam kebaikan akan memperoleh kebaikan pula, bahkan sampai kepada keturunannya. Jika ada keturunannya yang berkedudukan tinggi memerintah orang lain, hendaknya ia jangan berbuat semena-mena karena akibatnya ia tidak akan langgeng, di mana ia dicela.
8. Jangan suka gegabah, jangan suka bertengkar, janganlah sewenang-wenang, jangan mengagungkan ilmu sendiri, jangan bertabiat rendah, jangan sombong dan usil, jangan pula suka sembrono, sebab yang demikian ini mendatangkan bencana.
9. Apabila terhadap orang berendah hati, hendaklah engkau segan padanya, sebab dia itu bertuah. Orang yang bertabiat demikian, hendaklah kau sayangi untuk diambil restunya, sebab dia itu memberkati. Hendaklah sikap orang demikian itu kau tiru, karena rendah hati itu mencakup sikap yang halus, tuturkatanya sopan, duduknya selalu berhati-hati, tidak semena-mena terhadap orang lain.
Demikian antara lain Pepali Ki Ageng Selo yang terdapat dalam serat Chentini yang diturunkan kembali oleh Tardjan Hadidjaja.
Selain terkenal dengan pepali/pedoman hidupnya Ki Agnge Selo di masyarakat Jawa juga terkenal sebagai tokoh yang bisa menangkap petir. Selanjutnya di dalam serat ini dikisahkan bahwa pada suatu hari seperti biasa setelah shalat ashar, beliau pergi ke sawah membawa cangkul untuk bekerja. “Waktu itu hari mendung dan disusul hujan gerimis. Ki Ageng Selo terkejut karena ada kilat menyambar. Maka beliau mengucapkan “Subkhanallah” (Tuhan Maha Suci) lalu tampaklah seketika seorang laki-laki tua lari mengendap-endap tetapi dapat ditangkap oleh Ki Ageng Selo. Waktu orang tua itu tertangkap oleh Ki Ageng Selo, terdengarlah bunyi menggelegar. Ternyata yang menjelma sebagai orang tua itu adalah petir. Petir itu segera diikat pada pohon Gadri tempat Ki Ageng Selo berlindung, lalu Ki Ageng Selo kembali bekerja di sawah. Petir itu meronta-ronta, tetapi tak dapat melepaskan diri. Akhirnya orang tua itu dipersembahkan kepada Sultan Bintara di Demak, lalu dimasukkan ke dalam kurungan besi. Datanglah seorang perempuan tua membawa tempurung berisi air dan dengan cepat air itu disiramkan kepada petir dalam kurungan besi, maka seketika itu dua-duanya lenyap dengan meninggalkan bunyi-bunyi menggelegar. Kurungan besi hancur berkeping. Seketika masyurlah di seluruh negeri bahwa Ki Ageng Selo bisa menangkap petir.
Menurut ceritera dalam kitab babad, ceritera tersebut sebenarnya adalah kiasan bahwa Ki Ageng Selo ini mampu menguasai hawa nafsu sendiri. Hal ini dikuatkan lagi dengan pendapat R. Ng. Suradipura dalam bukunya Serat Tembung Andupura bahwa kiasan yang demikian itu tak lain adalah pujian terhadap Ki Ageng Selo karena sifatnya yang berbudi luhur, gagah perkasa, tabah, teguh, pandai dan sakti. Tingkah lakunya lemah lembut, rendah hati, suka menolong yang menderita, bijaksana, mahir berbahasa dan sastra.
Akhirnya, semoga para pembaca dapat menyelami pedoman (pepali) para leluhur kita karena sangat penting bagi pembangunan bangsa seutuhnya.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pembangunan berjalan sesuai dengan rencana, salah satu sebabnya karena para pelaku pembangunan mempunyai dasar budaya yang kuat berupa pitutur luhur yang disampaikan secara turun temurun maupun pitutur luhur yang ditulis dalam buku. Dari sekian banyak buku peninggalan itu salah satunya adalah “Pepali Ki Ageng Selo”.
Kata pepali dalam bahasa sastra Jawa Indonesia karangan S. Prawira Atmaja artinya “pantangan” atau “larangan”. Oleh Tardjan Hadidjaya diartikan “pakem” atau pedoman hidup. Sedangkan oleh Seotardi Soeryahoedoyo mengartikan pepali adalah ajaran, petunjuk dan aturan. Ketiga pendapat ini benar sebab apa yang ada dalam pepali Ki Ageng Selo berisi pedoman hidup yang menyangkut tentang ajaran, petunjuk, aturan, maupun larangan, yang kenyataannya masih banyak yang relevan dengan keadaan zaman sekarang.
Siapa Ki Ageng Selo?
Beliau adalah nenek moyang yang menurunkan raja-raja Mataram. Sri Sunan Paku Buwana XII yang bertahta di kerajaan Surakarta sekarang ini adalah keturunannya ke-17.
Adapun urutannya, Prabu Brawijaya V beristeri puteri Wandan Kuning, maka lahirlah Bondan Kejawan. Bondan Kejawan mengawini Roro Nawangsih dan berputera Ki Ageng Getas Pendhawa. Ki Ageng Getas Pendhawa menikahi Putri Sunan Maja Agung, lahirlah Ki Ageng Abdulrahman yang terkenal dengan nama Ki Ageng Selo. Ki Ageng Selo mengawini dua puteri. Dengan puteri Ki Ageng Wonosobo tidak mempunyai keturunan. Sedankan dengan puteri Ki Ageng Ngerang I berputera tujuh orang, enam perempuan dan satu laki-laki; bungsi. Ki Ageng Enis, putera laki-laki terakhir itulah yang menurunkan Danang Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati Ing Alaga, pendiri kerajaan Mataram.
Pepali yang mengandung nilai-nilai luhur tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sebagai manusia hendaknya jangan tinggi hati, jangan sombong, jangan usil, jangan serakah dan jangan panjang tangan. Jangan gila pujian, jangan berbuat serong, janganlah tebal muka, berani malu dan jangan mengagung-agungkan diri.
2. Dan sebaiknya orang hidup itu mencari bagusnya. Tetapi ingatlah bahwa bagus itu bukan karena harta benda, bukan karena pakaian, bukan karena rupa. Yang disebut bagus ialah yang disayangu oleh sesamanya. Semua orang kasih sayang kepadanya karena tingkah lakunya yang menyenangkan.
3. Juga jangan mendewakan harta, jangan memuja pakaian indah, jangan pula mendewa-dewakan kepandaian atau ilmu sendiri. Jangan mengandalkan kekuatan jasmani, jangan memuja-muja mantera, jangan pula membanggakan perbuatan atau jasa sendiri. Janganlah menghamba kepada pengetahuan, sebab yang demikian itu tidak ada gunanya. Jangan berusaha agar dihormati, biarlah tiap orang bersikap dan berbuat sendiri.
4. terhadap orang lain janganlah berbuat seperti terhadap binatang piaraan, kerbau, sapi dan ayam. Janganlah menggurui orang lain, tunjukkanlah akan baiknya atau bagaimana mestinya sebelum orang berbuat salah. Jika telah terlanjur, jangan dicerca, dipersalahkan, janganlah memaki-maki sebab yang demikian itu tidak ada faedahnya.
5. Selain itu janganlah berbuat sembrono serba tergesa-gesa. Hidup ini banyak artinya, pertama-tama orang harus memperhatikan akan bahaya. Bahaya ada tiga macam, yakni bahaya karena ucapan, bahaya karena penglihatan dan bahaya yang bersarang di dalam hati sendiri.
6. Hendaklah suka berguru dan tahu malu. Ada dua macam malu, yakni malu terhadap Tuhan dan malu terhadap sesama manusia, maka berhati-hatilah, janganlah kau tercela. Terhadap sanak keluarga, janganlah engkau berani memudah-mudahkan dan jangan usil mulut, jangan tinggi hati, jangan suka mencampuri urusan orang lain dan janganlah serong.
7. Sebab perbuatan jahat akan menemui kejahatan pula, barang siapa menanam kebaikan akan memperoleh kebaikan pula, bahkan sampai kepada keturunannya. Jika ada keturunannya yang berkedudukan tinggi memerintah orang lain, hendaknya ia jangan berbuat semena-mena karena akibatnya ia tidak akan langgeng, di mana ia dicela.
8. Jangan suka gegabah, jangan suka bertengkar, janganlah sewenang-wenang, jangan mengagungkan ilmu sendiri, jangan bertabiat rendah, jangan sombong dan usil, jangan pula suka sembrono, sebab yang demikian ini mendatangkan bencana.
9. Apabila terhadap orang berendah hati, hendaklah engkau segan padanya, sebab dia itu bertuah. Orang yang bertabiat demikian, hendaklah kau sayangi untuk diambil restunya, sebab dia itu memberkati. Hendaklah sikap orang demikian itu kau tiru, karena rendah hati itu mencakup sikap yang halus, tuturkatanya sopan, duduknya selalu berhati-hati, tidak semena-mena terhadap orang lain.
Demikian antara lain Pepali Ki Ageng Selo yang terdapat dalam serat Chentini yang diturunkan kembali oleh Tardjan Hadidjaja.
Selain terkenal dengan pepali/pedoman hidupnya Ki Agnge Selo di masyarakat Jawa juga terkenal sebagai tokoh yang bisa menangkap petir. Selanjutnya di dalam serat ini dikisahkan bahwa pada suatu hari seperti biasa setelah shalat ashar, beliau pergi ke sawah membawa cangkul untuk bekerja. “Waktu itu hari mendung dan disusul hujan gerimis. Ki Ageng Selo terkejut karena ada kilat menyambar. Maka beliau mengucapkan “Subkhanallah” (Tuhan Maha Suci) lalu tampaklah seketika seorang laki-laki tua lari mengendap-endap tetapi dapat ditangkap oleh Ki Ageng Selo. Waktu orang tua itu tertangkap oleh Ki Ageng Selo, terdengarlah bunyi menggelegar. Ternyata yang menjelma sebagai orang tua itu adalah petir. Petir itu segera diikat pada pohon Gadri tempat Ki Ageng Selo berlindung, lalu Ki Ageng Selo kembali bekerja di sawah. Petir itu meronta-ronta, tetapi tak dapat melepaskan diri. Akhirnya orang tua itu dipersembahkan kepada Sultan Bintara di Demak, lalu dimasukkan ke dalam kurungan besi. Datanglah seorang perempuan tua membawa tempurung berisi air dan dengan cepat air itu disiramkan kepada petir dalam kurungan besi, maka seketika itu dua-duanya lenyap dengan meninggalkan bunyi-bunyi menggelegar. Kurungan besi hancur berkeping. Seketika masyurlah di seluruh negeri bahwa Ki Ageng Selo bisa menangkap petir.
Menurut ceritera dalam kitab babad, ceritera tersebut sebenarnya adalah kiasan bahwa Ki Ageng Selo ini mampu menguasai hawa nafsu sendiri. Hal ini dikuatkan lagi dengan pendapat R. Ng. Suradipura dalam bukunya Serat Tembung Andupura bahwa kiasan yang demikian itu tak lain adalah pujian terhadap Ki Ageng Selo karena sifatnya yang berbudi luhur, gagah perkasa, tabah, teguh, pandai dan sakti. Tingkah lakunya lemah lembut, rendah hati, suka menolong yang menderita, bijaksana, mahir berbahasa dan sastra.
Akhirnya, semoga para pembaca dapat menyelami pedoman (pepali) para leluhur kita karena sangat penting bagi pembangunan bangsa seutuhnya.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.