Lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungan yang diperlukan bagi pengamanannya disebut situs. Pengertian tersebut sesuai dengan pasal 1 ayat (2) Undang-undang RI nomor 5 Tahun 1992. Tentang Benda Cagar Budaya. Pulau Onrust adalah suatu situs yang mengandung benda cagar budaya dari masa kolonial yang perlu mendapat perlindungan dengan maksud untuk pelestarian dan pemanfaatannya guna memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
Latar Belakang Sejarah
Pulau Onrust berperan pada masa Kolonial Belanda sekitar abad 17. Sebelum Belanda memanfaatkan untuk keperluan penjajahan, pulau-pulau di perairan Teluk Jakarta tersebut telah dimanfaatkan sebagai tempat peristirahatan keluarga raja-raja Banten.
Pulau Onrust pernah menjadi sengketa antara kerajaan Banten dan Jayakarta. Jayakarta merasa memiliki pulau ini karena lokasinya dekat, di depan kota Jayakarta. Sedangkan Banten juga mempunyai hak atas epulauan tersebut karena seluruh kepulauan seribu adalah bagian dari teritorial kekuasaannya.
Setelah VOC gagal menguasai perdagangan Banten pada 1610, atas izin dari Pangeran Jayakarta, Belanda menempati salah satu kepulauan di Teluk Jakarta sebagai tempat untuk perbaikan kapal-kapal yang berlayar ke Asia, khususnya Asia Tenggara. Oleh Pangeran Jayakarta VOC diizinkan menggunakan salah satu pulau di Teluk Jakarta, yaitu Pulau Onrust, seluas 12 hektar dan jaraknya 14 km dari Jakarta. Tahun 1615 VOC mendirikan galangan kapal dan sebuah gudang kecil. J. Pieterzoon Coen mengharapkan Pulau Onrust dapat menjadi koloni dagang selain dijadikan pertahanan atas ancaman Banten dan Inggeris pada 1618. Pada tahun-tahun berikutnya dilakukan pembangunan untuk kepentingan VOC-Belanda di Pulau Onrust di antaranya pada 1656 dibangun benteng kecil bersegi empat dengan dua bastion (bangunan yang menjorok ke luar berfungsi sebagai pos pengintai).
Pada 1671 bangunan benteng tersebut diperluas menjadi benteng bersegi lima dengan astion pada tiap-tiap sudutnya, namun bentuknya tidak simetris. Semua bangunan tersebut terbuat dari batu merah dan batu karang. Pada 1674 dibangun gudang-gudang. Kedudukan Belanda di Batavia semakin tak menentu sehubungan dengan perang Eropa 1795. Ketidaktentuan semakin bertambah dengan adanya armada Inggeris di bawah pimpinan H. L. Ball pada 1800. Pulau Onrust dikepung oleh Inggeris dan dihancurkan. Belanda membangun kembali Pulau Onrust dan selesai pada 1806, kemudian dihancurkan lagi oleh Inggeris. Serangan Inggeris yang kedua ini dipimpin oleh Admiral Edward Pellow.
Dengan didudukinya Batavia oleh Inggeris pada 1810 bangunan-bangunan di Pulau Onrust diperbarui sampai Inggeris meninggalkan Indonesia 1816. Pulau Onrust diperhatikan kembali pada 1827 pada masa Gubernur Jenderal G.A. Baron Van Der Capellen. Kegiatan di Pulau Onrust berjalan kembali pada 1848. Tahun 1856 dibangun dok kapal terapung untuk perbaikan kapal di laut. Dengan dibangunnya pelabuhan laut Tanjung Priok tahun 1883 maka peranan Pulau Onrust semakin berkurang.
Pada 1911-1933 Pulau Onrust dijadikan karantina Haji. Sejak 1933 sampai 1940 Pulau Onrust dijadikan tahanan bagi para pemberontak yang terlibat “Peristiwa Kapal Tujuh” (Zeven Provincien). Tahun 1940 dijadikan tempan tawanan orang-orang Jerman di antaranya Steinfurt mantan Kepala Administrasi Pulau Onrust. Setelah Jepang datang di Indonesia (1942) peranan Pulau Onrust kurang penting dan dijadikan penjara bagi penjahat/kriminal kelas berat.
Pada masa Indonesia merdeka dimanfaatkan sebagai karantina penderita penyakit menular, di bawah pengawasan Departemen Kesehatan RI sampai awal 1960. Rumah sakit ini kemudian dipindahkan ke pos VII Pelabuhan Tanjung Priok.
Letak dan Lingkungan
Pulau Onrust adalah satu pulau di utara Jakarta, termasuk wilayah administratif Kepulauan Seribu, berada di koordinat 106--44 derajat Bujur Timur dan 6 derajat 02.3 Lintang Selatan. Pulau Onrust dapat dicapai lewat jalan air, melalui lima pelabuhan laut, yaitu Pelabuhan Laut Tanjung Priok, Pelabuhan Marina Ancol, Pelabuhan Pasar Ikan, Pelabuhan Angke dan Pelabuhan Muara Kamal. Dari kelima pelabuhan tersebut yang paling dekat adalah Pelabuhan Muara Kapal, bisa dicapai dengan perahu tradisional dalam waktu 20--25 menit.
Pulau Onrust dikelilingi oleh lautan yaitu Laut Jawa dan termasuk salah satu dari Kepulauan Seribu yang lebih dekat dengan Pulau Cipir, Pulau Kelor dan Pulau Sakit (biasa disebut Pulau Bidadari).
Deskripsi
Penduduk Kepulauan Seribu menyebut Pulau Onrust ini sebagai Pulau Kapal karena pada pertengahan abad 17 sampai 18 di pulau tersebut banyak berlabuh kapal-kapal VOC, (kongsi dagang Belanda) yang oleh penduduk waktu itu disebut Kompeni.
Saat ini Pulau Onrust dalam keadaan rusak, hanya beberapa bangunan yang masih dalam keadaan utuh (hasil pemugaran) dan beberapa penambahan bangunan dan monumen dari Pariwisata dan Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta. Adapun sisa bangunan yang masih ada antara lain bekas penjara, bekas rumah dokter, gudang, kantor, reruntuhan bekas rumah sakit, kuburan, bekas dermaga dan pos penjagaan.
Pulau Onrust yang semula memiliki luas 12 hektar, mulai berperan pada masa kolonial Belanda pada 1618 sebagai galangan kapal, namun pulau-pulau di Teluk Jakarta ini sebenarnya telah digunakan sebagai tempat peristirahatan oleh raja-raja Banten. Pulau Onrust pernah pula digunakan sebagai benteng pertahanan atas serangan Banten dan Inggeris pada 1618 dan pada 1800 dihancurkan oleh Inggeris. Kemudian diperbaiki lagi tahun 1816. Pada 1911-1933 digunakan untuk karantina haji, tahun 1940 sebagai tahanan para pemberontak “Peristiwa Kapal Tujuh” dan pada tahun yang sama digunakan untuk tahanan orang Jerman.
Pada masa pemerintahan Jepang, Pulau Onrust digunakan untuk tahanan para penjahat/kriminal berat. Pada masa Indonesia merdeka digunakan untuk karantina bagi para penderita penyakit menular, di bawah pengawasan Departemen Kesehatan RI pada 1960. Sekarang pulau ini dijadikan situs cagar budaya di bawah pengelolaan Bidang Muskala Kanwil Depdikbud DKI dan pengembangannya oleh Dinas Pariwisata.
Mengingat peranan penting perairan Teluk Jakarta, khususnya Pulau Onrust yang telah dimanfaatkan sebelum maupun sesudah masa kolonial sampai masa Indonesia merdeka, maka Pulau Onrust perlu dilestarikan sebagai cagar budaya.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Latar Belakang Sejarah
Pulau Onrust berperan pada masa Kolonial Belanda sekitar abad 17. Sebelum Belanda memanfaatkan untuk keperluan penjajahan, pulau-pulau di perairan Teluk Jakarta tersebut telah dimanfaatkan sebagai tempat peristirahatan keluarga raja-raja Banten.
Pulau Onrust pernah menjadi sengketa antara kerajaan Banten dan Jayakarta. Jayakarta merasa memiliki pulau ini karena lokasinya dekat, di depan kota Jayakarta. Sedangkan Banten juga mempunyai hak atas epulauan tersebut karena seluruh kepulauan seribu adalah bagian dari teritorial kekuasaannya.
Setelah VOC gagal menguasai perdagangan Banten pada 1610, atas izin dari Pangeran Jayakarta, Belanda menempati salah satu kepulauan di Teluk Jakarta sebagai tempat untuk perbaikan kapal-kapal yang berlayar ke Asia, khususnya Asia Tenggara. Oleh Pangeran Jayakarta VOC diizinkan menggunakan salah satu pulau di Teluk Jakarta, yaitu Pulau Onrust, seluas 12 hektar dan jaraknya 14 km dari Jakarta. Tahun 1615 VOC mendirikan galangan kapal dan sebuah gudang kecil. J. Pieterzoon Coen mengharapkan Pulau Onrust dapat menjadi koloni dagang selain dijadikan pertahanan atas ancaman Banten dan Inggeris pada 1618. Pada tahun-tahun berikutnya dilakukan pembangunan untuk kepentingan VOC-Belanda di Pulau Onrust di antaranya pada 1656 dibangun benteng kecil bersegi empat dengan dua bastion (bangunan yang menjorok ke luar berfungsi sebagai pos pengintai).
Pada 1671 bangunan benteng tersebut diperluas menjadi benteng bersegi lima dengan astion pada tiap-tiap sudutnya, namun bentuknya tidak simetris. Semua bangunan tersebut terbuat dari batu merah dan batu karang. Pada 1674 dibangun gudang-gudang. Kedudukan Belanda di Batavia semakin tak menentu sehubungan dengan perang Eropa 1795. Ketidaktentuan semakin bertambah dengan adanya armada Inggeris di bawah pimpinan H. L. Ball pada 1800. Pulau Onrust dikepung oleh Inggeris dan dihancurkan. Belanda membangun kembali Pulau Onrust dan selesai pada 1806, kemudian dihancurkan lagi oleh Inggeris. Serangan Inggeris yang kedua ini dipimpin oleh Admiral Edward Pellow.
Dengan didudukinya Batavia oleh Inggeris pada 1810 bangunan-bangunan di Pulau Onrust diperbarui sampai Inggeris meninggalkan Indonesia 1816. Pulau Onrust diperhatikan kembali pada 1827 pada masa Gubernur Jenderal G.A. Baron Van Der Capellen. Kegiatan di Pulau Onrust berjalan kembali pada 1848. Tahun 1856 dibangun dok kapal terapung untuk perbaikan kapal di laut. Dengan dibangunnya pelabuhan laut Tanjung Priok tahun 1883 maka peranan Pulau Onrust semakin berkurang.
Pada 1911-1933 Pulau Onrust dijadikan karantina Haji. Sejak 1933 sampai 1940 Pulau Onrust dijadikan tahanan bagi para pemberontak yang terlibat “Peristiwa Kapal Tujuh” (Zeven Provincien). Tahun 1940 dijadikan tempan tawanan orang-orang Jerman di antaranya Steinfurt mantan Kepala Administrasi Pulau Onrust. Setelah Jepang datang di Indonesia (1942) peranan Pulau Onrust kurang penting dan dijadikan penjara bagi penjahat/kriminal kelas berat.
Pada masa Indonesia merdeka dimanfaatkan sebagai karantina penderita penyakit menular, di bawah pengawasan Departemen Kesehatan RI sampai awal 1960. Rumah sakit ini kemudian dipindahkan ke pos VII Pelabuhan Tanjung Priok.
Letak dan Lingkungan
Pulau Onrust adalah satu pulau di utara Jakarta, termasuk wilayah administratif Kepulauan Seribu, berada di koordinat 106--44 derajat Bujur Timur dan 6 derajat 02.3 Lintang Selatan. Pulau Onrust dapat dicapai lewat jalan air, melalui lima pelabuhan laut, yaitu Pelabuhan Laut Tanjung Priok, Pelabuhan Marina Ancol, Pelabuhan Pasar Ikan, Pelabuhan Angke dan Pelabuhan Muara Kamal. Dari kelima pelabuhan tersebut yang paling dekat adalah Pelabuhan Muara Kapal, bisa dicapai dengan perahu tradisional dalam waktu 20--25 menit.
Pulau Onrust dikelilingi oleh lautan yaitu Laut Jawa dan termasuk salah satu dari Kepulauan Seribu yang lebih dekat dengan Pulau Cipir, Pulau Kelor dan Pulau Sakit (biasa disebut Pulau Bidadari).
Deskripsi
Penduduk Kepulauan Seribu menyebut Pulau Onrust ini sebagai Pulau Kapal karena pada pertengahan abad 17 sampai 18 di pulau tersebut banyak berlabuh kapal-kapal VOC, (kongsi dagang Belanda) yang oleh penduduk waktu itu disebut Kompeni.
Saat ini Pulau Onrust dalam keadaan rusak, hanya beberapa bangunan yang masih dalam keadaan utuh (hasil pemugaran) dan beberapa penambahan bangunan dan monumen dari Pariwisata dan Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta. Adapun sisa bangunan yang masih ada antara lain bekas penjara, bekas rumah dokter, gudang, kantor, reruntuhan bekas rumah sakit, kuburan, bekas dermaga dan pos penjagaan.
Pulau Onrust yang semula memiliki luas 12 hektar, mulai berperan pada masa kolonial Belanda pada 1618 sebagai galangan kapal, namun pulau-pulau di Teluk Jakarta ini sebenarnya telah digunakan sebagai tempat peristirahatan oleh raja-raja Banten. Pulau Onrust pernah pula digunakan sebagai benteng pertahanan atas serangan Banten dan Inggeris pada 1618 dan pada 1800 dihancurkan oleh Inggeris. Kemudian diperbaiki lagi tahun 1816. Pada 1911-1933 digunakan untuk karantina haji, tahun 1940 sebagai tahanan para pemberontak “Peristiwa Kapal Tujuh” dan pada tahun yang sama digunakan untuk tahanan orang Jerman.
Pada masa pemerintahan Jepang, Pulau Onrust digunakan untuk tahanan para penjahat/kriminal berat. Pada masa Indonesia merdeka digunakan untuk karantina bagi para penderita penyakit menular, di bawah pengawasan Departemen Kesehatan RI pada 1960. Sekarang pulau ini dijadikan situs cagar budaya di bawah pengelolaan Bidang Muskala Kanwil Depdikbud DKI dan pengembangannya oleh Dinas Pariwisata.
Mengingat peranan penting perairan Teluk Jakarta, khususnya Pulau Onrust yang telah dimanfaatkan sebelum maupun sesudah masa kolonial sampai masa Indonesia merdeka, maka Pulau Onrust perlu dilestarikan sebagai cagar budaya.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.