Oleh Elizabeth Fuller Collins**
Runtuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Suharto setelah berkuasa selama 33 tahun ternyata diiringi dengan gelombang kekerasan terhadap etnis minoritas, wanita, dan pihak lemah lain, sehingga membuat banyak pihak bertanya-tanya mengapa negeri ini mengalami kekacauan berdarah setiap melewati proses transisi. Salah satu yang dicurigai terlibat dalam kekerasan ini adalah Letjen (Purn.) Prabowo Subianto, mantan komandan Kopassus waktu itu. Meskipun belakangan terpaksa mengundurkan diri lantaran keterlibatannya dalam penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan beberapa aktivis demokrasipada awal 1998, Prabowo adalah salah satu pihak di mana orang ingin mendapatkan penjelasan kekerasan Mei itu. Pada sebuah simposium yang diselenggarakan pada April 2001, Prabowo muncul dalam sebuah panel bertajuk “Separatisme di Indonesia,” di mana dia memberikan pandangnnya, dengan mengatakan bahwa:
Budaya Indonesia pada dasarnya sarat dengan kekerasan, dan militer adalah cerminan masyarakat belaka. Contohnya bisa dilihat di Maluku…. Sebenarnya tidak sepenuhnya tepat saya mengemukakan ini, terutama sebagai orang Indonesia yang berbicara di depan banyak orang asing, tetapi, suka atau tidak suka, secara umum budaya di Indonesia adalah budaya kekerasan antara suku dan kelompok etnis. Masyarakat Indonesia bisa dengan cepat menggunakan kekerasan. Kata “amok” dalam bahsa Inggris berasal dari bahas persatuan negara kepulauan ini. Ini adalah sesuatu yang kita sadari, sesuatu yang tidak kita suka, dan sesuatu yang kita ingin perhatikan, kendalikan, dan kelola. Tetapi kekerasan memang ada: perkelahian antarkeluarga, antardesa, antarsuku, antarkelompok etnis, dan ujungnya antaragama.[1]
Apakah penilaian Prabowo ini seusai dengan kenyataan? Apakah Indonesia memang benar-benar berbudaya kekerasan, atau apakah argumen semacam yang dilontarkan oleh Prabowo dan sekelompok elit diajukan untuk kepentingan-kepentingan lain? Dalam artikel ini, saya menyatakan bahwa yang terakhir itulah yang terjadi. Argumen semacam ini bermanfaat bagi para elit, yang membuat mereka memobilisasi rakyat dengan kampanye kembalinya keamanan dan stabilitas sebagai cara melindungi kepentingan mereka terhadap tuntutan-tuntukan yang meminta hak-hak atas tanah, upah yang lebih tinggi, dan reformasi politik. Rezim Suharto telah melembagakan teror negara dengan mencap oposisi politik sebagai “komunis,” menggunakan kekuatan militer dan paramiliter untuk melawan pemrotes dan kaum separatis jika perlu. Dalam era pos-Suharto, kegagalan para pemimpin untuk menangani ketakadilan ekonomi, berlanjutnya penggunaan kekuatan militer untuk menghadapi para pemrotes, pengerahan kekuatan paramiliter oleh elit, dan kegagalan penegakan hukum membuat rakyat lebih suka melakukan tindakan sendiri. Gabungan keadaan inilah yang menimbulkan budaya kekerasan.
Bagian pertama artikel ini menunjukkan bahwa di bawah Orde baru, tatanan dan stabilitas semu menyembuyikan potensi konflik politik dan ekonomi yang siap meledak. Kekerasan yang disponsori oleh negara telah menjadi endemik. Bagian kedua menganalisis beberapa kekersan yang meledak di Sumatra Selatan antara 1998 dan 2000 untuk secara lebih cermat mengidentifikasi akar dan sifat dari kekerasan massa (“mob violence”). Pada bagian ketiga, saya mengeksplor kesejajaran pola konflik di Indonesia dewasa ini dengan keadaan sebelum terjadinya pembantaian para komunis, atau yang dituduh sebagai komunis, setelah persitiwa yang disebut sebagai Gerakan 30 September (Gestapu, atau G-30-S). Saya menjelaskan bahwa ancaman terbesar kekerasan di Indonesia muncul dari adanya kelompok pemuda paramiliter yang menjalin hubungan dengan militer, partai politik, dan organisasi-organisasi Islam , yang memungkinkan para elit politik dan ekonomi memanfaatkan kekerasan melawan penentangnya, serta menghindari tanggung jawab.
Kekerasan pada masa Orde Baru
Pemerintah Orde Baru memandang dirinya sebagai pemelihara tatanan dan keamanan, melawan imoralitas dan anarki. Film yang dibuat pada tahun 1984 tentang kudeta 1965, Pengkhianatan G30S/PKI, yang dipertontonkan bagi seluruh anak sekolah di Indonesia, menunjukkan hal ini. Foulcher berkomentar bahwa film ini
membangkitkan simpati penonton bukan dengan cara penonjolan kepentingan nasional tetapi lebih banyak karena penekanan berulang-ulang terhadap penderitaan keluarga dan anak-anak, akibat tindakan tak-manusiawi dan tak-Indonesia dari pendukung PKI. Penggambaran mendetail para jenderal terbunuh sebagai suami dan ayah yang penyayang, terutama kematian Ade Irma Nasution yang baru berusia lima tahun, mernggambarkan upaya film ini untuk memanfaatka nila-nilai universal untuk kepentingan politik semata.[2]
Goenawan Mohammad, wartawan senior dan pendiri majalah Tempo, mengutip sebuah survey yang menunjukkan bahwa lebih dari 80% responden menyatakan bahwa kejadian-kejadian yang digambarkan dalam film tersebut adalah benar-benar terjadi.[3]
Sepanjang kekuasaan Orde Baru, negara Indonesia digambarkan sebagai keluarga dengan ayah yang lembut, Pak Harto, yang bertindak mengatanamakan semua rakyat. Tetapi, rezim ini sesungguhnya ditandai dengan kekerasan-kekerasan massa: kerusuhan anti-Jepang yang dikenal sebagai Malari (Malapetaka Januari) pada tahun 1974, kekersaan oleh militer pada protes yang dilakukan oleh orang Islam di Tanjung Priok pada 1984, kerusuhan buruh di Medan pada 1994, dan kerusuhan di Jakarta menyusul pernyerbuan kantor pusat PDI pada Juli 1996. Setiap kejadian tersebut diawali dengan protes terhadap kebijakan Orde Baru, yang diakhiri dengan turun tangannya militer untuk menumpas protes tersebut. Dalam kasus Tanjung Priok dan penyerangan kantor PDI, kekerasan dimulai oleh tindakan pemerintah atau kelompok paramiliter yang dekat dengan pemerintah. Malari dan kerusuhan buruh di Medan akan dibahas nanti.
Akar kekerasan pada masa Orde Baru dapat diidentifikasi dengan empat faktor. Pertama, kegagalan institusi politik dan hukum. Kedua, kebijakan pembangunan yang melarang buruh untuk berorganisasi, serta berpindahnya kontrol atas tanah (dan sumber daya alam lain) ke tangan pemerintah pusat dan elit yang dekat dengan rezim Orde Baru. Ketiga, tradisi kelompok pemuda paramiliter dan keberadaan sejumlah besar pemuda pengagguran dengan kesempatan kerja yang kecil sehingga memungkinkan direkrut oleh kekuatan paramiliter. Dan keempat adalah bagaimana kekuatan paramiliter ini digunakan oleh Orde Baru untuk memicu kekerasan sehingga membenarkan penumpasan protes-protes serta dipakai oleh elite dalam militer serta pemerintah untuk menyingkirkan atau mendiskreditkan saingannya. Keempat faktor ini akan dibahas berikut ini.
Kegagalan Institusi dan Sistem
Institusi politik dan hukum Orde baru tidak menyediakan saluran untuk menyampaikan keluhan atau keberatan terhadap kebijakan yang dirasakan tidak adil. Menurut Lindsey, “Pada akhir 1980-an, pengadilan di Indonesia adalah skandal nasional. Pengadilan telah ditunggangi oleh korupsi, mungkin merupakan institusi terkorup di Indonesia. Adalah tidak mungkin membawa sebuah kasus ke pengadilan tanpa menyuap. Dan juga tidak mungkin menang dalam suatu kasus tanpa menyuap.”[4]
Hilangnya rasa hormat dan kepercayaan terhadap keadilan juga disebabkan oleh korupsi di kalangan polisi. Reformasi pada awal 80-an yang mengatur bahwa satuan-satuan pengamanan independen di bawah polisi Indonsia malah membuat, seperti dijelaskan oleh Barker, “keterlibatan makin jauh polisi dalam mencari uang dengan dalih pengamanan ketimbang sebelumnya tatkala hal itu dikendalikan oleh kelompok gang, ketua RT/RW, atau tentara.”[5] Akibatnya, sebuah negara kriminal yang kompleks pun terbentuk. Menurut Lindsey, pejabat-pejabat pemerintah Orde baru “melindungi preman jalanan melalui sistem deking atau beking. Struktur gang kriminal menghubungkan elite politik dan bisnis kepada militer lewat para preman. .. Untuk mentransformasi kekuasaan yang diperolehnya dengan kekerasan menjadi uang, Order Baru secara sadar menciptakan negara ‘rahasia’ untuk menjamin akses para elite kepada sumber-sumber ekonomi ilegal dan ekstralegal.”[6] Seiring kejatuhan Order Baru, negara kehilangan kendali atas kriminal terorganisir, “menghasilkan pertarungan sengit atas daerah kekuasaan dan upaya untuk mencari sumber pendapatan baru,” serta reaksi keras dan tumbuhnya “kewaspadaan anti-preman.”
Barangkali tindakan kekerasan yang paling mengherankan di Indonesia dewasa ini adalah tatkala massa mengambil tindakan sendiri terhadap orang yang disangka melakukan tindakan kriminal. Setelah kejatuhan Suharto, polisi dipisahkan dari ABRI, dan tindakan kekerasan keroyokan ini menjadi sering terhadi. Sebagai contoh, kamar mayat R.S. Cipto Mangunkusumo di Jakarta melaporkan adanya 100 korban keroyokan massa ini—atau lebih dari satu korban setiap dua hari—dalam enam bulan pertama tahun 2000. Sebagian besar tersangka kriminal itu dipukuli sampai meninggal, dan banyak juga yang disiram bahan bakar dan kemudian dibakar.[7]
Pada tahun 1990-an, legitimasi Order Baru sangat merosot dan aksi kekerasan melawan pemerintah lokal dan terhadap kelompok yang diuntungkan oleh kebijakan pemerintah menjadi merebak. Contohnya, lebih dari 12 bulan dari Juli 1995 sampai kekerasaan di kantor PDI pada Juli 1996, insiden-insiden berikut ini terjadi. Di Jember, Jawa Timur, petani tembakau membakar gudang, sepeda motor, toko-toko dan rumah memprotes keputusan pengalihan kepemilikan dua ribu hektar tanah milik pemerintah—yang saat itu digarap oleh petani-petani tersebut—menjadi perkebunan milik negara (30 Juli-2 Agustus 1995). Di Jambi, korban bencana alam gempa bumi marah karena kurangnya bantuan, dan gelombang penjarahan yang menyusulnya mengakibatkan dua tewasnya tentara berpakaian sipil (13 Oktober). Di Porsea, Sumatra Utara, pemrotes membakar 100 rumah, sebuah stasiun radio, dan kendaraan-kendaraan milik pabrik kertas Indorayon Utama setelah merebaknya rumor adanya kebocoran gas beracun (3-4 November). Di Pasuruan, Jaw Timur, para petani melancarkan protes selama lima hari terhadap perusahaan Korea produsen monosodium glutamat karena mencemari tambak udang mereka. Mobil-mobil dan rumah dibakar, menimbulkan kerusakan 3 juta dolar (15-20 November). Di Tangerang, pinggiran Jakarta, pengunjuk rasa menghancurkan pabrik karbon karena mencemari lingkungan (21 November). Di Irian jaya, penduduk desa bersenjata batu menyerang Freeport Corporation karena mobil seorang karyawannya berkebangsaan Belanda menabrak seorang penduduk desa hingga meninggal. Penduduk setempat juga marah karena pelanggaran HAM yang sedang disidangkan di Pengadilan Militer Jayapura (7-10 Maret). Pemanfaatan kekuasaan oleh pihak keamanan juga merupakan sumber kekerasan pada masa itu. Di Medan, Smatera Utara, prajurit Batalion Kavaleri marah karena salah satunya terbunuh oleh anggota gang melukai 12 orang dan merusak 20 rumah serta 23 mobil (28 Februari). Akhirnya, di Jayapura, Irian Jaya, kekerasan meledak tatkala pihak berwajib menolak permintaan ijin penyelenggaraan upacara mengenang Thomas Wainggai, tahanan politik yang meninggal di dalam penjara di Jakarta (18 Maret).[8]
Masalah-Masalah Kebijakan Pembangunan
Penindasan terhadap protes buruh juga menyebabkan dendam membara terhadap pemerintah atau pemilik pabrik. Pada tahun 1991, tenaga kerja Indonesia berjumlah 74 juta orang. Upah minimum rata-rata adalah US$1.145, salah satu yang terendah di Asia Tengara, dan para buruh dilarang memiliki organisasi buruh selain yang direstui pemerintah. Pada tahun 1991, Saut Aritonang dan aktivis HAM H.J.C. Princen mendirikan serikat pekerja Setiakawan. Tetapi Saut ditangkap dan Setiakawan bubar pada 1992. Pada tahun yang sama Muchtar Pakpahan mendirikan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) di Medan, Sumatera Utara. Tetapi pemerintah menolak mengakui SBSI, dan pejabat pemerintah dengan bantuan militer mengintimidasi dan meneror para pendukung SBSI.
Pada 1994, kasus Marsinah, aktivis pekerja berusia 25 tahun yang disiksa dan dibiarkan meninggal kehabisan darah setelah dia dan kawan-kawannya menuntut kenaikan upah, membuat perhatian internasional terpusat pada penindasan Orde Baru terhadap pekerja. Pada tahun yang sama, terdapat 31 protes pekerja di Medan karena dilanggarnya peraturan upah minimum, penembakan terhadap pemrotes menyusul pemogokan di pabrik karet, serta kematian misterius salah satu dari mereka. Gelombang protes ini memuncak pada bulan Aprilk karena tunjangan Hari Raya yang tidak dibayarkan. Demonstrasi ini berubah menjadi kerusuhan dan toko-toko yang dimiliki oleh Tonghoa-Indonesia dijarah, dan salah satu pemilik pabrik dikeroyok sampai meninggal. Pakpahan dari SBSI menjelaskan bahwa Tonghoa-Indonesia menjadi target karena “adalah fakta bahwa orang-orang Cina berkolusi dengan ABRI untuk melindungi kepentingan mereka. Jika pekerja menuntut satu juta rupiah, mereka lebih suka memberi 1,5 juta kepada militer.”[9] Hasilnya, para pekerja di Medan dibayar upah minimumnya, dan lembur dihentikan, mengindikasikan bahwa protes mereka berhasil. Tetapi, tentara berpakian sipil ditempatkan di pabrik-pabrik, dan Pakpahan didakwa sebagai pemicu kerusuhan. Dia dihukum 9 tahun penjara; tetapi karena tekanan internasional dia dibebaskan setelah menjalani hukuman 9 bulan.
Dilatarbelakangi pengadilan terhadap Pakpahan, menipulasi pemerintah untuk menyingkirkan Megawati Sukarnoputri dari PDI karena berpotensi sebagai kandidat oposisi, dan pembredelan empat majalah yang sering mengkritik pemerintah, sekelompok aktivis mahasiswa mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 1994. PRD mengambil sikap lebih militan dan konfrontasional dalam mengorganisasi buruh supaya kekerasan yang dilakukan pemerinta lebih nampak. Taktik mereka yang lebih agresif (tetapi non-kekerasan) dengan mengadakan arak-arakan protes dan demonstrasi dibalas dengan pembubaran semua organisasi buruh dan serangan terhadap para pengunjuk rasa oleh pihak keamanan. Lembaga Bantuan Hukum mencatat lebih dari seratus kasus di mana militer ikut campur dalam sengketa pekerja pada tahun 1995.[10]
Konflik lebih lanjut merebak pada masa Orde Baru karena peralihan besar-besaran kendali atas tanah dari pemilik tanah kecil-kecil kepada pemerintah pusat dan elite yang punya hubungan dekat dengan rezim. LBH, yang didirikan oleh Adnan Buyung Nasution pada 1971 untuk melayani bantuan hukum bagi kaum miskin, mewakili kaum miskin seperti di Simprug dan Lubang Buaya. Pada kasus Simprug, penghuni kawasan kumuh dipaksa pindah dari daerah di Jakarta Sekatan itu karena akan dibangunnya perumahan mewah di situ. Sedangkan kasus Lubang Buaya adalah kasus di mana tanah diambil dari kaum miskin untuk proyek Taman Mini yang dipelopori oleh Ibu Tien. Tetapi, mengandalkan pengadilan ternyata tidaklah efektif. Kasus yang paling terkenal dimana LBH terlibat adalah kasus Waduk Kedungombo. Insiden ini menarik perhatian internasional karena melibatkan perngambilan tanah dari pemilik untuk pembangunan waduk dengan biaya World Bank. Pengacara-pengacara LBH berkerja sama dengan aktivis mahasiswa, LSM, dan pemimpin agama untuk mempertahankan hak-hak penduduk yang dipindahkan karena proyek ini. Pada tahun 1994 Mahkamah Agung menyatakan bahwa penduduk tersebut harus mendapatkan ganti rugi, tetapi dengan tekanan pemerintah, hakim yang baru membatalkan keputusan itu.
Di luar Jawa, kebijakan yang memberikan konsensi atas hutan bagi perusahaan besar yang bergerak di bidang perkayuan, pulp dan produsen kertas, perkebunan minyak sawit, dan industri tambak udang menyebabkan konflik etnis antara penduduk lokal dan pendatang. Pada masa Orde Baru, militer bekerja sama dengan perusahaan Sino-Indonesia dan kroni Suharto seperti Bob Hasan memperoleh konsensi atas hutan untuk produksi kayu. Protes penduduk setempat gampang ditumpas dan hanya mendapat perhatian kecil dari media. Pada pertengahan 1990-an, penyelenggara di tingkat nasional mulai mengumpulkan pemimpin-pemimpin lokal. Konsorsium Pembaruan Agraria dibentuk pada 1995, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara didirikan pada 1999. Tetapi, organisasi ini belumlah efektif menekan pemerintah dalam hal reformasi pertanahan serta hak-hak penduduk asli tanpa dokumen klaim tehadap hutan.
Kompetisi ekonomi antara penduduk asli dan pendatang mejadi salah satu sumber konflik. Pemerintah Orde Baru mendorong migrasi orang Jawa dan Madura Muslim ke daerah timur Indonesia yang berpenduduk sebagian besar Kristen, menyebabkan pecahnya kekerasan yang bersifat agama. Pada tahun 1995 saja beberapa kerusuhan dengan target Muslim terjadi di Baucau, Timor Timur (Januari), Flores (April), Flores Timur (Juni), Dili, Timor Timur (September), dan Atambua, Timor Barat (November). Pada Januari 1998, serangan terhadap pendatang suku Madura (Muslim) oleh suku Dayak dan Melayu Muslim di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa persaingan memperebutkan sumber-sumber dan peluang ekonomi bisa membangkitkan kerusuhan antar etnis.
Merebaknya kerusuhan dan protes, baik di pedesaan dan di perkotaan, terhadap pemerintah pada 1997 mendorong media mempertanyakan sebab-sebab kekacauan sosial itu. Para pengamat menunjuk melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin, persaingan antara pendatang dan penduduk lokal, serta kemarahan kepada pemerintah, polisi dan pengadilan yang tidak memberikan wadah bagi keadilan.[11] Dalam sebuah pidato di depan Forum Komunikasi Pemuda Masjid, Suharto meminta agar rakyat Indonesia tidak membesar-besarkan di luar proporsi masalah kesenjangan ekonomi di Indonesia.[12]
Paramiliter dan Pemuda
Tradisi milisia sejak masa Revolusi Indonesia memberikan alas an bagi tentara Indonesia untuk memobilisasi rakyat ke dalam satuan paramiliter. Unit semacam ini dibentuk di Kalimantan ketika terjadi konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1960-an. Kelompok-kelompok paramiliter juga direkrut dan dilatih oleh tentara untuk melawan gerakan separatis di Aceh dan Timor Timur ada tahun 1990-an. Kelompk-kelompok ini mengembangkan budaya kekerasan yang mendorong praktik-praktik tertentu seperti ditunjukkannya kepada publik mayat anggota pembelot, pemenggalan kepala, perkosaan, serta serangan misterius di malam hari oleh apa yang disebut sebagai ninja, serta dilancarkannya ancaman kepada keluarga korban kekerasan.[13]
Satuan-satuan militer elit yang melatih mereka ini juga tampaknya melakukan kekerasan dan teror sepanjang kekuasaan Orde Baru untuk menindas oposisi serta menangani masalah-msalah sosial.Pembunuhan eksta-judisial yang dikenal sebagai petrus (penembak misterius) pada tahun 1984 adalah salah satu contoh ini, yang belakangan dijelaskan oleh Suharto dalam autobiografinya sebagai “shock treatment.”[14] Budaya teror dan kekerasan yang dikembangkan oleh pihak keamanan dan kelompok-kelompok paramiliter yang didukung oleh pemerintah, seperti Pemuda Pancasila, kelompok pemuda di bawah Golkar,[15] telah mengancam konsep kewargaan dan meningkatkan ketakutan bahwa pembunuhan dan kekacauan 1965 dapat terjadi lagi.
Peran pihak keamanan dan kelompok paramiliter dalam memprovokasi kekerasn menjadi sangat kelihatan bagi rakyat Indonesia pada 27 Juli 1996, ketika kebutralan paramiliter yang disokong oleh tentara menyingkirkan mahasiswa-mahasiswa pendukung calon oposisi Megawati Sukarnoputri. Serangan itu brutal dan berdarah, serta berlangsung hanya beberapa jam, tetapi membangkitkan kerusuhan anti pemerintah yang terbesar dan paling penuh dengan kekerasan di masa Orde baru. Mereka membakar bis dan mobil, bank dan kantor-kantor pemerintah, serta membuat barikade di jalanan.
Kerusuhan ini menandai titik penting gerakan demokrasi, karena menunjukkan ketidakpuasan yang meluas tehadap rezim penguasa. Menanggapi kejadian ini, mantan menteri Emil Salim mengusulkan penilaian kembali Orde Baru untuk mengatasi masalah “kelas sosial baru dan aspirasi baru.”[16] Pernyataan yang sama disuarakan oleh Ignas Kleden, ketua lembaga riset sswasta bernama Society for Political and Economic Studies, yang mengatakan kepada wartawan Far Eastern Economic Review, “Ini adalah bukti dari kekakuan sistem politik, dan ketidakmauan kekuasaan untuk mempertimbangkan perkembangan baru.” Berbicara kepada wartawan yang sama, Goenawan Mohammad, pimpinan Komite Independen Pemantau Pemilu dan mantan Pemred Tempo, mengatakan, “ Kita memasuki wilayah tak dikenal… Megawati harus lebih terbuka terhadap sebuah strategi jangka panjang. Kelompoknya harus berubah dari mesin pemilihan menjadi gerakan yang lebih luas dan dia harus mengembangkan platform [reformasi] yang bisa diterima semua pihak.”[17]
Serangan terhadap mahasiswa yang menduduki kantor pusat PDI serta kampanye menentang PRD setelah itu menghentikan sementara demonstrasi-demonstrasi menentang Orde Baru, kerusuhan Juli 1996 meningkatkan taruhan pemerintahan Suharto pada Pemilu yang dijadwalkan berlangsung pada Mei 1997. Benturan kekerasan yang melibatkan pihak keamanan, Pemuda Pancasila, dan kelompok-kelompok pemuda yang berkaitan dengan partai politik menjadi biasa terjadi. Di Pekalongan, Jawa Tengah, protes oleh organisasi pemuda di bawah Partai Persatuan Pembangunan terhadap penyelenggaraan pertunjukan musik oleh Golkar mengakibatkan 60 bangunan (sebagian besar dimiliki oleh Tonghoa-Indonesia) dan satu bank milik pemerintah dirusak (24-26 Maret). Di Surabaya, aktivis PDI-P diserang oleh pendukung Soerjadi, pimpinan faksi PDI yang didukung pemerintah (28 April). Di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, arak-arakan PPP diserang oleh Pemuda Pancasila (4 Mei). DI Yogyakarta, pihak keamanan membubarkan demonstrasi oleh pemuda PPP yang membawa keranda yang menyimbolkan kematian demokrasi dan memprotes serangan kepada kantor PPP (5 Mei). Pada 20 Mei tiga betrokan antara pendukung partai politik dengan pihak keamanan di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan, ketika pendukung PPP di Pekalongan, Jawa Tengah, menyerang kantor Golkar.
Kekerasan memuncak beberapa saat sebelum Pemilu pada Mei 23 antara pendukung PPP dan Golkar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang mengakibatkan 130 orang tewas dalam sebuah pusat perbelanjaan yang terbakar. Menurut sumber-sumber pemerintah, yang tewas adalah para penjarah. Tetapi Komnasham Indonesia menyelidiki insiden itu lantaran pendukung PPP menyatakan bahwa kerusuhan dipicu oleh orang bukan dari partai, serta ABRI telah menembak tanpa perlu dalam bentrokan itu serta membawa mayat-mayat itu ke pusat perbelanjaan yang kemudian dibakar untuk menghilangkan jejak.[18] Setelah Pemilu, protes terhadap kecurangan Pemilu banyak dilakukan oleh penukung PPP, pembakaran kotak surat di Madura pada 29 Mei, arak-arakan protes di Jember, Jawa TImur, pada 13 Juni, di mana pemrotes melempari pusat perbelanjaan dan showroom mobil Timor.
Penggunaan Paramiliter
Seperti Richard Robinson ungkapkan, “Banyak pengamat melihat bahwa [Malari] adalah terutama akibat perebutan kekuasaan politik antara Komandan Kopkamtib, Jenderal Sumitro, dan hirarki yang ada, didominasi oleh Suharto dan Murtopo, di mana para mahasiswa itu dimanfaatkan oleh kekuatan politik yang bersaing itu.”[19] Bresnan menambahkan bahwa kerusuhan itu dipicu untuk “mendiskreditkan para mahasiswa radikal dan juga barangkali Jenderal Sumitro dan para moderat yang lain.” Lebih jauh lagi, Bresnan menambahkan bahwa mahasiswa yang ditangkap setelah peristiwa Malari menyatakan bahwa “dia bertemu dengan seorang pemuda di penjara yang mengatakan bahwa mereka bekerja untuk Ali Murtopo, memulai pembakaran, dan dijemput bersama-sama dengan perusuh yang lain. Seorang perwira intelijen senior yang dekat dengan Sumitro belakangan mengatakan bahwa itulah memang kejadian yang sesungguhnya.”[20]
Pada tahun-tehun terakhir masa Orde Baru, tuduhan bahwa kekerasan dipicu oleh elit sering mencuat ke permukaan, terutama ketika yang menjadi sasaran kerusuhan adalah orang Kristen atau Tonghoa-Indonesia yang mulai merebak di Jawa Timur pada bulan-bulan setelah kerusuhan anti pemerintah pada Juli 1996. Yang pertama adalah kerusuhan di Situbondo, Jawa Timur, 10 Oktober. Perusuh Muslim membakar 25 gereja, lima sekolah Katolik, sebuah rumah yatim piatu Kristen, dan sebuah gedung pengadilan. Lima orang meninggal di dalam gereja yang terbakar. Penyelidikan yang dilakukan oleh Komnasham menyimpulkan bahwa kerusuhan dipicu oleh provokator tak dikenal. Pimpinan-pimpinan NU menyatakan bahwa kerusuhan itu direkayasa untuk memberikan kesan buruk terhadap NU, serta menimbulkan rasa permusuhan terhadap orang Kristen pendukung Megawati serta orang Muslim pendukung Abdurrahman Wahid, yang telah bergabung menentang pemilihan kembali Suharto. KSAD Jenderal Hartono menolak pendapat yang menyatakan bahwa provokator bertujuan untuk mendiskreditkan NU, tetapi setuju bahwa “beberapa orang telah melakukan koordinasi dengan tujuan untuk menciptakan ketakstabilan.”[21]
Serangkaian kerusuhan dengan sasaran Tonghoa-Indonesia di beberapa bagian Jawa menyusul setelah itu—di Purwakarta, Jawa Barat (31 Oktober-2 November 1997); Pekalongan, Jawa Tengah (24-26 November); Jakarta (24 Desember); Rengasdengklok Jawa Barat, (1 Februari 1998)—memuncak di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 26 Desember 1997. Di Tasikmalaya pemuda-pemuda Muslim membakar 13 gereja dan tujuh sekolah. Dua belas pos polisi dirusak, dan tiga dibakar habis. Empat orang meninggal. Kemarahan massa tampaknya ditujukan baik kepada Tonghoa-Indonesia maupun pemerintah lokal. Penduduk Tasikmalaya mengatakan bahwa rasa permusuhan terhadap Tonghoa-Indonesia meningkat sejak 1995 tatkala sebuah pasar terbakar, dan pemerintah tidak membangun kembali pasar itu melainkan memberi tanah bekas pasar itu kepada pengembang Tonghoa-Indonesia untuk membuat pusat perbelanjaan.[22]
Manipulasi kemarahan massa pada pemerintah dan ketaksukaan terhadap kemakmuran Tonghoa-Indonesia (yang dipercayai mendapat manfaat dari koneksinya dengan rezim yang berkuasa) dapat dilihat dengan jelas pada insiden di Bandung pada 31 Januari 1997. Awal bulan itu, 10 ribu pekerja pabrik tekstil menimbulkan kerusuhan serta wakil perusahaan dilempari batu karena perusahaan-perusahaan tidak membayar tunjangan hari raya. Pada tanggal 31, orang-orang tak dikenal menyebarkan selebaran yang berisi ajakan untuk orang-orang Muslim untuk menyerang sasaran-sasaran Kristen dan Katolik.[23]
Akhirnya, pada hari-hari terakhir Orde Baru, tatkala demonstrasi mahasiswa mengancam menurunkan Suharto setelah penembakan terhadap empat demonstran di kampus Universitas Trisakti pada 13 Mei 1998, Letjen Prabowo Subianto, menantu Suharto dan Komandan Kopassus, tampaknya memanfaatkan taktik ini dengan memicu kerusuhan agar ada kebutuhan untuk mengembalikan stabilitas dan keamanan, dan mungkin juga untuk mendiskreditkan pesaingnya, Jenderal Wiranto.[24] Meluasnya dukungan dari kaum kelas menengah terhadap upaya pemerintah saat petrus menumpas para kriminal pada 1084 mungkin menimbulkan kepercayaan bahwa kelas ini akan mendukung upaya pengembalian tatanan dan keamanan ketika kerusuhan-kerusuhan merebak di seluruh Indonesia.
Sumatra Selatan, 1994-2000
Sumatra Selatan jarang muncul dalam pemberitaan media massa mengenai demonstrasi-demonstrasi mahasiswa melawan Orde Baru atau kejadian-kejadian kekerasan antar suku dan agama, meskipun di tahun-tahun akhir Orde Baru telah ada suatu pola peningkatan konflik dan kejadian-kejadian yang dapat disebut sebagai kekerasan massa (mob violence). Jika kita mengkaji kejadian-kejadian tersebut, tiga jenis kekerasan dapat dibedakan: (1) kekerasan oleh kelompok-kelompok paramiliter dan aparat keamanan untuk mengintimidasi dan mengganggu para pemrotes; (2) protes-protes yang dilakukan oleh orang-orang desa terhadap perusahaan-perusahaan yang diberi hak-hak pengusahaan hutan yang berlebihan oleh pemerintah Suharto; (3) kerusuhan dan penjarahan di daerah-daerah perkotaan dengan sasaran perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh anggota-anggota keluarga Suharto dan kroni-kroninya, atau orang Tionghoa-Indonesia dan bank-bank. Secara garis besar, insiden-insiden pada jenis pertama melibatkan serangan-serangan pada individu-individu, sementara insiden-insiden pada jenis lainnya melibatkan serangan-serangan terhadap bangunan. Akan tetapi, seringkali konflik-konflik antara orang-orang desa melawan perusahaan-perusahaan berubah menjadi konflik-konflik horisontal antara orang-orang desa yang protes dengan pekerja-pekerja dari perusahaan (seringkali anak-anak muda setempat dipekerjakan sebagai satuan pengamanan) yang mana bentrokan-bentrokan dengan kekerasan tersebut melibatkan serangan-serangan terhadap bangunan maupun individu-individu. Pengkajian terhadap pola kekerasan yang muncul di Sumatra Selatan antara tahun 1994-2000 memungkinkan kita untuk mengidentifikasi kapan dan mengapa protes-protes and konflik-konflik menjadi tindak kekerasan.
Kebijakan pemberian hak pengusahaan hutan yang berlebihan ke perusahaan-perusahaan milik negara atau perusahaan-perusahaan swasta yang dikontrol oleh keluarga Suharto maupun para elit yang dekat dengan Suharto, kadang bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan asing, dilakukan di Sumatra Selatan pada tahun 1989. Putri Suharto, Siti Hardijanti, dan dua kroni Suharto, Prajogo Pangestu dan Syamsul Nursalim, merupakan pihak-pihak yang sangat diuntungkan. Berdasarkan hukum, pemerintah daerah harus menyatakan sebagai tidak produktif status dari tanah yang diberikan untuk pengusahaan hutan. Akan tetapi, banyak orang desa melaporkan bahwa hak-hak mereka terhadap tanah yang telah mereka garap bertahun-tahun (dan dalam beberapa kasus beberapa generasi) tidak diakui lagi karena para pejabat daerah dibayar atas kerjasama mereka dalam menyetujui pemberian hak konsensi hutan. Protes-protes oleh orang-orang desa melawan perusahaan-perusahaan yang diberikan hak pengusahaan hutan mulai terjadi sejak awal 1993.[25]
Pada awalnya orang-orang desa menulis banyak surat memohon kepada pejabat-pejabat pemerintah dan manajer-manajer perusahaan untuk mengakui hak-hak mereka. Sementra, pada umumnya, perusahaan-perusahaan menggunakan aparat-aparat militer untuk mengintimidasi orang-orang desa, mengabaikan protes-protes lokal. Selama periode singkat di tahun 1994 yang terkenal sebagai era keterbukaan, pemerintah Orde Baru mengendorkan kekangan-kekangan terhadap media massa, dan berita-berita mengenai protes-protes tersebut mulai sampai ke masyarakat luas. Akan tetapi, pada bulan Juli tahun tersebut pemerintah melarang tiga penerbitan nasional dan membredelnya. Di Sumatra, para kepala desa yang terlibat dalam protes-protes diganti, dan orang-orang diperingatkan bahwa aksi-aksi unjuk rasa selanjutnya tidak akan ditoleransi lagi. Pada tahun 1997 kebakaran yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan untuk membersihkan tanah guna perkebunan kelapa sawit dan produk hutan lainnya menjadi di luar kendali, menghancurkan pohon-pohon karet yang bagi orang-orang desa di dataran rendah menjadi tumpuan pendapatan. Kebakaran tersebut menjadi sangat parah karena adanya kekeringan akibat badai El Nino. Sebagai tambahan, kebakaran di kawasan hutan perkayuan merupakan kebakaran kanopi yang membakar secara intens dan menyebar secara cepat. Perhatian internasional terhadap kebakaran tersebut dan kabut asap yang menyebar ke negara-negara Asia Tenggara lainnya membuat sengketa pertanahan tersebut menjadi terbuka dalam tuduhan dan tuduhan balik mengenai siapa yang harus bertanggungjawab. Dengan jatuhnya Suharto pada tahun 1998, keputusasaan terhadap kegagalan pemerintah dalam memberikan penyelesaian sengketa-sengketa pertanahan yang telah terjadi sekian lama akhirnya meledak. Diseluruh Indonesia, orang-orang desa mulai merebut lahan-lahan milik perusahaan-perusahaan, hutan-hutan pemerintah, dan lapangan-lapangan golf. Orang-orang desa di Sumatra Selatan mencoba untuk menanam tanam-tanaman di perkebunan-perkebunan kelapa sawit yang mereka klaim telah diambil sebelumnya dari mereka. Mereka juga mencoba untuk memaksa perusahaan-perusahaan untuk mengembalikan tanah atau membayar kompensasi dengan menyita aset perusahaan (biasanya kendaraan-kendaraan). Meskipun pejabat-pejabat pemerintah berjanji untuk bertindak, tapi tidak ada yang berubah. Pada bulan Oktober 1999, satu perusahaan yang terlibat dalam sengketa pertanahan yang telah terjadi sekian lama setuju untuk mengembalikan tanah ke orang-orang desa, mungkin disebabkan oleh ancaman-ancaman orang-orang desa yang telah menyita kendaraan-kendaraan perusahaan dan membakar kayu-kayu tebangan dan perubahan situasi politik. Akan tetapi, ternyata pimpinan perusahaan kemudian menunda pertemuan dengan warga dan mencabut janji-janji yang telah dibuat sebelumnya.[26]
Pada bulan Februari 2000, beberapa ratus perwakilan organisasi-organisasi petani dari Sumatra Utara dan Sumatra Selatan pergi ke Jakarta untuk mendesak supaya Menteri Kehutanan mengambil tindakan terhadap tuntutan-tuntutan mereka. Mereka dijanjikan bahwa dalam waktu satu bulan kasus-kasus mereka akan diselesaikan. Akhirnya, pada bulan April 2000, Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan Suripto mengumumkan bahwa 12.500 hektar tanah sengketa akan dikembalikan kepada orang-orang di sejumlah wilayah di Sumatra Selatan, yang berarti menyelesaikan satu kasus dimana para pemrotes terorganisir dengan rapi. Dijelaskan oleh Suripto, “Sampai saat ini, perusahaan-perusahaan telah difasilitasi dalam mendapatkan tanah, sekarang saatnya untuk memberi kompensasi.”[27] Meski keputusan ini mengesahkan keadilan yang dituntut oleh orang-orang desa, perjuangan panjang menuju penyelesaian konflik sepertinya membuktikan bahwa suatu tindak kekerasan dan ancaman-ancaman kekerasan terhadap aset perusahaan merupakan suatu taktik yang efektif karena pejabat-pejabat pemerintah menjadi terlibat. Perusahaan-perusahaan kemudian dapat dipaksa untuk melakukan perundingan dengan para pemrotes.
Kekerasan massa pada kasus-kasus tersebut melibatkan serangan-serangan ke harta milik. Kalau kendaraan-kendaraan perusahaan dan harta milik lainnya disita oleh rakyat untuk memaksa perusahaan terlibat dalam suatu negoisasi, harta milik selanjutnya dikembalikan setelah ada penyelesaian. Dalam beberapa kasus, pemimpin-pemimpin perusahaan juga diancam dan dijadikan sandera selama beberapa jam, tetapi hanya dalam satu kasus (yang saya tahu pasti) perwakilan perusahaan diserang secara fisik. Ini terjadi di perbatasan Lampung di area tambak udang Dipasena. Pada bulan Maret 2000, Nursalim, direktur utama Gajah Tunggal Group (yang tambak-tambak udangnya terentang hingga Sumatra Selatan), diserang oleh para petani udang yang marah, yang juga menewaskan dua pengawalnya. Nursalim terpaksa diselamatkan dengan helikopter.[28]
Dalam konflik-konflik tersebut, aparat keamanan yang dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan menggunakan kekerasan untuk mengintimidasi dan mengganggu para pemrotes. Untuk tahun 1999-2000, LBH Palembang mencatat sepuluh insiden yang ditengarai melibatkan kesatuan-kesatuan polisi dan tentara dalam konflik-konflik antara orang-orang desa dengan perusahaan-perusahaan. Tidak jarang, koran-koran daerah melaporkan (tanpa komentar) bahwa seorang warga desa telah terbunuh. Pada bulan April 2001, seorang aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dipukuli secara kasar oleh polisi ketika dia mencoba untuk mengambil foto kekerasan yang dilakukan oleh polisi ketika melakukan operasi pembersihan (sweeping operation).[29]
Pada bulan Agustus 2001, Gubernur Sumatera Selatan melaporkan bahwa 135 kasus sengketa tanah menjadi perhatian di kantornya. LBH Palembang mencatat hampir 200 kasus. Kemajuan dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut sangat pelan sekali karena tiadanya kerangka kerja hukum untuk membuat keputusan dan Gubernur hanya memiliki sedikit pengaruh terhadap perusahaan-perusahaan besar yang dekat dengan elit-elit politik. Beberapa aktivis beralasan bahwa kekerasan diperlukan untuk memaksa pemerintah dan perusahaan-perusahaan merespon tuntutan-tuntutan tanah orang-orang desa.
Insiden lain yang dapat disebut sebagai kekerasan massa di Sumatra Selatan melibatkan perusakan terhadap harta milik dan penjarahan dalam kontek demonstrasi yang dipimpin mahasiswa terhadap pemerintah. Demonstrasi yang dipimpin mahasiswa pertama kali di Sumatra Selatan yang terjadi pada tahun 1994 sebagai reaksi terhadap peningkatan biaya pendidikan di Universitas Sriwijaya, terjadi tanpa kekerasan. Banyak dosen secara diam-diam mendukung demonstrasi-demonstrasi tersebut karena mereka percaya bahwa peningkatan biaya pendidikan lebih disebabkan oleh tindak korupsi dalam tender-tender pembangunan kampus baru yang didanai Bank Dunia. Pada waktu itu, saya melihat bahwa rektor universitas menghalangi militer untuk merespon protes-protes dengan upaya-upaya untuk membubarkan atau menangkap mahasiswa.
Akan tetapi, pada masa sesudah terjadinya krisis ekonomi Asia pada tahun 1997, protes-protes yang diorganisir mahasiswa terhadap kesulitan ekonomi yang terjadi berubah menjadi kerusuhan-kerusuhan. Salah satu insiden tersebut terjadi pada tanggal 14 Februari 1998, di pasar kota Pagaralam in dataran tinggi Sumatra Selatan. Diilhami oleh para mahasiswa pro-demokrasi yang pulang kampung selama hari libur keagamaan Islam, satu kelompok pelajar SMA merencanakan aksi unjuk rasa menentang mahalnya harga-harga kebutuhan pokok. Mereka meminta ijin untuk unjuk rasa ke walikota, tetapi ditolak. Mahasiswa dan pelajar memutuskan untuk tetap melanjutkan rencananya. Unjuk rasa simbolik mereka di pasar akhirnya berubah menjadi suatu kerusuhan dimana banyak toko-toko yang dimiliki oleh warga keturunan dirusak massa. Para saksi mata yang sempat saya wawancarai pada bulan Oktober 1998 menuduh para anak muda (pendatang dari Lampung), yang biasanya berkumpul di sekitar pasar Pagaralam untuk mencari kerja sebagai pelakunya.
Salah satu faktor yang memicu terjadinya aksi kekerasan ini mungkin sekali adalah pernyataan-pernyataan Letjen Prabowo Subianto dan pemimpin-pemimpin kelompok Islam militan Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) yang disiarkan pada televisi dan di laporan-laporan surat kabar beberapa saat sebelum terjadinya kerusuhan. Pada tablig akbar 8 Februari 1998 yang diorganisir oleh KISDI di Masjid Al-Azhar, Jakarta, KH Abdul Qadir Djaelani mendesak pemerintah untuk menyita kekayaan para konglomerat non-pribumi (yang berarti adalah etnis Tionghoa) yang telah dialihkan ke luar negeri. Ahmad Sumorgono, pemimpin KISDI, mendakwa CSIS, suatu lembaga pengkajian era Orde Baru yang dipimpin oleh Jusuf Wanandi, seorang saudara dari pengusaha Indonesia-Tionghoa terkenal, dengan tuduhan telah melakukan rekayasa politik yang merugikan umat Islam. Ketua gerakan pemuda KISDI juga menyuarakan perlunya pembentukan suatu pos komando yang akan bersatu untuk menghadapi para pengkhianat bangsa seperti Sofjan Wanandi (saudara dari Jusuf Wanandi) atau siapapun yang berdiri dibelakangnya dan mengakhiri pidatonya dengan menyerukan, “Hidup Mulia atau Mati Syahid! Allahu Akbar!”[30]
Serangan-serangan yang paling parah terhadap tempat-tempat usaha warga Indonesia-Tionghoa terjadi pada peristiwa kerusuhan dan penjarahan selama tiga hari di Palembang, ibukota Sumatra Selatan. Kerusuhan-kerusuhan tersebut terjadi pada tanggal 14 Mei, ketika kerusuhan-kerusuhan juga meletus di Jakarta dan Solo setelah terjadinya penembakan empat mahasiswa di Universitas Trisakti. Kerusuhan-kerusuhan di Jakarta diperkirakan menewaskan lebih dari 800 jiwa, kebanyakan dari mereka adalah para penjarah (orang-orang Jawa) yang terperangkap di gedung-gedung tinggi pusat perbelanjaan yang telah dibakar. Meski kerusakan bangunan sangat parah di Palembang, tetapi tidak ada serangan-serangan terhadap orang atau menimbulkan kematian.
Bahkan sebelum bukti muncul yang menghubungkan elemen-elemen di militer Indonesia dengan kerusuhan di Jakarta, orang-orang di Sumatra Selatan berkeyakinan bahwa kerusuhan di Palembang dipicu oleh adanya pihak-pihak yang tidak dikenal. Menurut wartawan lokal, orang-orang luar tidak dikenal yang mirip anggota-anggota aparat keamanan (baik militer maupun paramiliter) kelihatan meloncat turun dari sejumlah truk di pagi hari. Mereka kemudian memulai melempar batu-batu ke ruang pamer mobil dan membakar ban-ban untuk menarik kerumunan. Wartawan-wartawan menyatakan pula bahwa mereka juga mendengar banyak rumor yang menjanjikan bahwa seorang pun tidak akan ada yang ditangkap untuk penjarahan.[31]
Seperti kekerasan massa pada kasus-kasus sengketa tanah, kerusuhan-kerusuhan anti warga Indonesia-Tionghoa di Sumatra Selatan lebih berupa serangan-serangan ke bangunan dan harta benda daripada ke orang-orang. Para perusuh Palembang juga menyerang tempat-tempat usaha yang berkaitan dengan keluarga Suharto, termasuk diantaranya ruang pamer mobil Timor (yang diproduksi oleh perusahaan yang sebagian dimiliki Tommy Suharto). Kerusuhan-kerusuhan tersebut dapat dikatakan secara politik dipicu oleh kecaman-kecaman para tokoh-tokoh politik terhadap pada warga Indonesia-Tionghoa yang menyalahkan mereka atas terjadinya krisis ekonomi, yang kemudian dipakai untuk membenarkan penjarahan terhadap toko-toko dan tempat-tempat usaha yang dimiliki oleh warga non-pribumi Indonesia.
Kerusuhan Pagaralam pada bulan Februari dan kerusuhan Palembang pada bulan Mei membuat orang-orang di Sumatra Selatan tergoncang dengan cepatnya ambruknya tatanan hukum dan ketertiban. Kerusuhan-kerusuhan tersebut juga memunculkan ketakutan akan kekacauan diantara kelas menengah perkotaan, yang cenderung melihat protes-protes terhadap perusahaan-perusahaan yang melibatkan tindakan perusakan terhadap harta milik sebagai bukti ancaman terhadap keselamatan mereka. Kelas menengah percaya bahwa seharusnya pemerintah melindungi harta milik perusahaan supaya para investor merasa aman dan ekonomi Indonesia dapat kembali tumbuh lagi. Protes-protes yang berlanjut sejak jatuhnya Suharto pada umumnya ditanggapi dengan sinisme. Pada tahun 2001 sering terdengar komentar-komentar mengenai akibat buruk dari orang-orang yang melakukan demonstrasi yang hanya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ini tentunya tidak terlalu sulit bagi elit-elit politik yang bersaing mendapatkan kekuasaan dibawah peraturan perundangan baru mengenai otonomi daerah untuk memanfaatkan kecemasan kelas menengah, dengan mempromosikan kembalinya ketertiban dan stabilitas dan menangkapi para pemrotes untuk membawa kembali investasi luar negeri.
Sosiologi Kekerasan Massa, 1965-1966
Pembunuhan massal setengah juta jiwa atau lebih terhadap kaum komunis maupun yang dituduh simpatisan yang ditabukan dalam diskusi-diskusi umum selama ini telah membuat masyarakat Indonesia dihantui kembalinya mereka yang ditindas. Sesudah jatuhnya Suharto, kelompok-kelompok yang mengusulkan pembongkaran bukti-bukti pembunuhan massal diancam dengan kekerasan.[32] Bahkan media massa yang telah menikmati adanya kebebasan pers yang mulai muncul sejak bulan Mei 1998 juga takut untuk mengangkat masalah ini. Ketakutan bisu bahwa kekacauan dan pembunuhan seperti pada masa sesudah kudeta 1965 dapat terjadi lagi mungkin merupakan alasan paling kuat yang mendukung pandangan bahwa Indonesia merupakan budaya yang penuh kekerasan (a violent culture). Akan tetapi, apa yang terkenal sebagai pembunuhan tahun 1965-1966 menunjukkan adanya peran penting yang dilakukan oleh militer Indonesia dalam mengijinkan dan mendukung pembunuhan terhadap kaum komunis.
Memang masih belum jelas siapa yang berada dibelakang percobaan kudeta yang dilakukan Untung pada tanggal 30 September 1965. Pemerintah Orde Baru dan militer Indonesia bersikukuh bahwa kudeta tersebut direncanakan dan dilakukan oleh PKI, meski Benedict R. Anderson dan Ruth McVey misalnya, berpendapat bahwa kudeta tersebut lebih merupakan karena adanya perpecahan dikalangan Angkatan Darat.[33] Seberapa parah pembunuhan yang terjadi dan pada masa-masa sesudahnya juga masih belum jelas, meskipun perkiraan bahwa sekitar 500.000 jiwa terbunuh diyakini yang paling masuk akal. Kajian-kajian yang dilakukan tentang pembunuhan massal tersebut—terobosannya Robert Cribb yang mengedit studi mengenai kekerasan tersebut, penelitian Robert Hefner tentang kekerasan di wilayah Jawa Timur, kajian Geoffrey Robinson mengenai Bali dan disertasi yang tidak diterbitkan yang ditulis oleh Iwan Sudjatmiko dan Hermawan Sulistyo[34]--pada umumnya menyimpulkan bahwa ditempat-tempat dimana terjadinya kematian yang sangat banyak (Jawa Timur, Bali dan Sumatra Utara), pembunuhan tersebut didorong atau diorganisir dan didukung oleh militer Indonesia. Sebagaimana Cribb berpendapat, “Dalam banyak kasus, pembunuhan-pembunuhan tidak terjadi sebelum unit-unit khusus militer tiba di suatu daerah dan menjatuhkan hukuman kekerasan dengan perintah atau contoh.”[35] Berpendapat serupa, Hefner berkesimpulan bahwa, “Pada akhirnya, kekerasan di dataran tinggi Pasuruan dalam pemahaman yang sederhana sekalipun bukanlah semata-mata hasil/produk dari pembelahan sosial kelas lokal atau keagamaan. Itu semua diatur oleh aparat-aparat negara dan termasuk di dalamnya adalah wakil-wakil dari berbagai macam lembaga swadaya masyarakat, khususnya Nahdlatul Ulama.”[36] Dan sebagaimana Robinson juga mengamati, ”Secara kasat mata semua bukti-bukti mengindikasikan bahwa aparat militer, baik yang lokal maupun yang berbasis di Jawa, bersama-sama dengan aparat-aparat partai politik, merekayasa dan memulai kekerasan di Bali, sebagaimana mereka lakukan di Jawa.”[37]
Menurut banyak sumber, kelompok-kelompok paramiliter pemuda juga didorong untuk melakukan pembunuhan terhadap sejumlah orang dan diberi dukungan moral dan logistik oleh Angkatan Darat, terutama dari RPKAD (yang kemudian menjadi Kopassus). Di Jawa Timur, Gerakan Pemuda Ansor yang berafiliasi ke NU merupakan tulang punggung utama Angkatan Darat, sementara di Medan adalah Pemuda Pancasila dan di Bali adalah Gerakan Pemuda Anshor dan kelompok-kelompok pengamanan masyarakat anti-PKI yang didukung oleh Partai Nasional Indonesia.[38]
Ada pula kesejajaran (paralelitas) yang mengejutkan dan mengkuatirkan antara masalah-masalah ekonomi dan politik yang dihapadi Indonesia pada tahun 1965 dan kondisi saat ini. Damien Kingsbury menjelaskan buruknya situasi ekonomi yang dihapadi Indonesia pada tahun 1965:
“Pemerintahan dibawah Sukarno nyaris kehilangan kendali atas ekonomi...laju inflasi secara umum mencapai 500%, dan harga beras yang berada dalam persediaan yang menipis naik sekitar 900%. Defisit anggaran naik menjadi 300% dari pendapatan pemerintah, dan jika pembayaran kembali hutang-hutang luar negeri untuk tahun 1966 dilakukan sesuai jadual, maka hal itu senilai dengan hampir keseluruhan pendapatan dari ekspor.”[39]
Indonesia hari ini berada diambang kebangkrutan karena adanya krisis ekonomi tahun 1997. Karena para penanam modal domestik banyak memindahkan kekayaannya ke luar negeri, mata uang yang melemah dan menurunnya sumber-sumber pendapatan telah mengakibatkan kekurangan (defisit) keuangan lebih dari $3.5 milyar untuk tahun anggaran yang mulai 1 April 2001.[40] Krisis ekonomi juga telah memaksa 40% penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Banyak perusahaan terpaksa melakukan pengecilan dan merestrukturasi pekerjanya, yang berakibat pada banyaknya kehilangan pekerjaan. Pada tahun 1998, upah minimum, yang sudah rendah menurut standar Asia, hanya ditingkatkan 15%, dibandingkan laju inflasi yang mencapai 78%.[41] Dan ironisnya ditengah-tengah situasi yang mengenaskan tersebut, menurut Konsorsium Kemiskinan Kota (UPC), anggaran untuk pemeliharaan rumah tangga gubernur dan wakil gubernur dan hiburan (kesejahteraan) bagi anggota dewan perwakilan rakyat daerah di Jakarta mencapai 10 juta dollar (90 milyar rupiah), sementara kurang dari 150.000 dollar (1.4 milyar rupiah) dianggarkan untuk anak-anak jalanan di Jakarta. Anggaran hiburan (kesejahteraan) yang resmi tersebut adalah lima kali lipat dari anggaran untuk menaikkan kualitas gizi para kaum miskin di perkotaan.[42]
Hal yang seiring dengan masalah-masalah tersebut adalah adanya paralelitas antara kondisi sosial yang memotivasi orang-orang untuk berpartisipasi dalam pembunuhan pada masa sesudah terjadinya kudeta dan kondisi-kondisi sosial saat ini. Pada tahun 1962 Herbert Feith mencatat bahwa kondisi-kondisi yang mendorong ke pemerintahan yang otoriter diciptakan oleh “pemerintahan yang lumpuh, yang terpukul oleh ledakan-ledakan kekacauan politik.”[43] Sebagaimana pula Robert Hefner kemudian mengungkapkan bahwa, “Pada (tahun 1945 dan 1965) faksionalisme (perpecahan) di kalangan petinggi negara membuat para lawan politik untuk membuat lebih buruk antagonisme (pertentangan) etnis-keagamaan di masyarakat, dan menciptakan aliansi-aliansi yang terkotak-kotak yang mengeksploitasi ketegangan komunal demi tujuan-tujuan sempit mereka.”[44] Perpecahan dan instabilitas politik tersebut telah membawa masyarakat ke penguatan identitas kolektif, yang dimobilisir pada waktu pembunuhan terjadi.[45] Pembunuhan terhadap orang-orang Kristen di Nusa Tenggara, para transmigran Jawa di Lampung, dan warga Indonesia-Tionghoa yang telah lama tinggal di Kalimantan pada masa pembunuhan massal tahun 1965-1966 adalah konsekuensi dari masalah tersebut, dengan dibenarkan oleh tuduhan-tuduhan bahwa mereka adalah kaum komunis. Gaung-gaung dari faktor-faktor tersebut mungkin dapat dilihat pada waktu ini, sebagaimana telah ditelaah sebelumnya.
Sengketa atas tanah juga menjadi sebab dari kekerasan sebagaimana terjadi saat ini. Cribb, Hefner, Robinson, Sudjatmiko, dan Sulistyo setuju bahwa undang-undang reformasi pertanahan (land reform) tahun 1960 yang disahkan sesudah terjadinya nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, dan juga keputusan PKI pada bulan Desember 1963 untuk menyokong kampanye aksi sepihak penguasaan tanah, telah memperdalam dan meradikalkan perpecahan-perpecahan di masyarakat-masyarakat lokal, yang kemudian memfasilitasi perekrutan kelompok-kelompok lokal untuk melaksanakan serangan-serangan terhadap kaum komunis.[46] Sebagaiman Rex Morthimer kemudian mencatat:
“Hubungan-hubungan antara pola-pola awal aksi pertentangan dan pembunuhan massal adalah, ditengah langkanya kajian-kajian intensif ditingkat desa, sangat meyakinkan. Terus menerus, dalam laporan-laporan mengenai daerah dimana pembunuhan-pembunuhan terjadi secara dahsyat, kita menemukan tempat-tempat dimana kekuatan Komunis dan anti-Komunis selama periode aksi hampir seimbang dan ketegangan-ketegangan yang terjadi oleh adanya kampanye reformasi pertanahan paling tinggi.”[47]
Demikian pula sistem hukum, tidak memberikan pengawasan terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh para elit atau rejim yang memerintah pada tahun 1965 atau pada masa-masa sekarang ini. Sukarno berupaya untuk mengurangi independensi sistem hukum dengan “memulai serangan secara sepihak dan sekuat tenaga terhadap lembaga peradilan. Dia secara sistematis mengucilkan semua hakim dan pengacara yang bagus, dan mengangkangi pengadilan dengan aturan-aturannya...Dia merencanakan menyingkirkan pengacara-pengacara di pengadilan dan menggantinya dengan perwira-perwira militer yang tidak memiliki pendidikan sampai tingkat universitas.”[48] Tanpa adanya lembaga peradilan yang efektif dan tidak memihak, orang-orang mengambil alih keadilan ke tangannya. Pada tahun 1963-65, baik pihak PKI maupun para pemilik tanah memilih kekerasan untuk memantapkan klaim-klaim mereka atas tanah. Suharto sama halnya juga menyerang independensi lembaga peradilan; dan sebagai konsekuensinya, ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengadilan dan polisi sangat tampak saat ini, dan banyak orang kembali memilih kekerasan untuk memaksa aparat pemerintah untuk terlibat dalam sengketa-sengketa tanah maupun upah.
Semenjak konfrontasi-konfrontasi dengan kekerasan mengenai tanah dan protes-protes terhadap rejim yang berkuasa menjadi hal yang umum pada awal 1960-an, masyarakat menjadi terbelah secara tajam menurut garis-garis ideologi antara kiri Komunis dan pemilik tanah dengan militer di kanan. Elit-elit nasional menanggapinya dengan menjadi “pendukung aktif gerakan-gerakan menuju ke bentuk pemerintahan yang lebih menindas dan membatasi, dengan keyakinan bahwa bentuk pemerintahan seperti itu merupakan satu-satunya perangkat yang memungkinkan untuk mengatasi perpecahan-perpecahan tajam yang baru saja terjadi di antara masyarakat politik.”[49]
Hal yang secara khusus penting untuk memberikan suatu latar pemahaman bagi pembunuhan massal pada tahun 1965-66 adalah adanya polarisasi (pengkutuban) antara Angkatan Bersenjata Indonesia dengan PKI yang menghilangkan adanya kemungkinan jalan tengah untuk negoisasi dan kompromi. Robinson mencatat bahwa sesudah terjadinya kudeta, “suatu kampanye telah dilancarkan oleh Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, suatu lembaga yang dibentuk oleh Suharto pada tahun 1965) yang ditujukan untuk membuat orang biasa menjadi tidak mungkin untuk netral secara politik—suatu teknik perang urat syaraf yang kemudian diterapkan oleh angkatan bersenjata Indonesia di Aceh dan Timor Timur.”[50] Hefner selanjutnya menunjukkan adanya penggunaan kelompok-kelompok paramiliter yang direkrut oleh militer untuk merancang serangan-serangan terhadap kelompok-kelompok yang dibidik pada tahun 1965-66. “Satu elemen penting dari persenjataan militer untuk kekerasan adalah kelompok-kelompok ronda sipil, beberapa diantara direkrut dari sejumlah bandit-bandit perkotaan (urban gangsters) yang jumlahnya makin meningkat di Indonesia.”[51]
Refleksi-refleksi
Hari ini, sebagaimana pada tahun 1965, faktor-faktor ekonomi—meliputi naiknya harga-harga kebutuhan pokok dan sangat tingginya angka pengangguran—telah mengancam kehidupan kaum miskin dan keamanan ekonomi dari kelas menengah. Lebih jauh lagi, hanya tiga tahun semenjak jatuhnya Suharto, mulai meluas perasaan sinis mengenai prospek reformasi politik dan hukum yang akan membawa ke tatanan pemerintahan yang lebih demokratis, pertanggungjawaban ekonomi, dan pembagian kemakmuran yang lebih adil. Para pemimpin politik telah menunjukkan ketidakbecusan dalam mengatasi persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi Indonesia dan konflik-konflik tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan-pengadilan karena adanya warisan dari rezim Orde Baru yaitu pengebirian lembaga-lembaga hukum.
Mobilisasi massa oleh partai-partai politik dalam rangka persiapan untuk Pemilu tahun 2004 dan munculnya serikat-serikat buruh yang independen dapat menciptakan tahapan untuk terjadinya konflik-konflik yang terpolarisasi sepanjang garis-garis ideologis. Sebagaimana Hadiz mengamati,
“(suatu) proses transisi politik yang bergolak pasti hampir selalu melibatkan upaya-upaya dari elit-elit yang bertikai untuk memobilisasi bagian-bagian tertentu dari masyarakat, termasuk diantaranya para pekerja, yang saat ini dikecualikan secara resmi dari kehidupan politik. Dibawah situasi seperti itu, tampaknya akan sangat mungkin...bagi partai-partai politik dan organisasi-organisasi lain, yang mewakili bagian-bagian tertentu dari elit politik, untuk mencoba memperkokoh posisi mereka di dalam konfigurasi politik pasca-Suharto dengan mencari dukungan dari kelas pekerja.”[52]
Pada awalnya, pemerintahan transisi B. J. Habibie telah mencoba untuk merespon protes-protes dari para pekerja. Sebagai contoh, pada bulan Februari 1999, ketika 20.000 pekerja dari empat perusahaan elektronik terkemuka melakukan unjuk rasa menuntut peningkatan upah dan uang makan serta tranportasi harian, pemerintah mengorganisir negoisasi-negoisasi antara para pemogok kerja dengan manajemen pabrik, yang menghasilkan peningkatan uang makan dan transportasi. Akan tetapi, sejak bulan-bulan awal tahun 1999, pemerintah telah berulangkali maju mundur antara mengedepankan daya tanggap (responsiveness) dan represi.
Sengketa atas tanah muncul di mana-mana, khususnya di pulau-pulau luar Jawa di mana hal ini dianggap sebagai suatu bentuk ancaman terhadap investasi luar negeri yang kebanyakan orang Indonesia menerimanya sebagai suatu kebutuhan untuk memulihkan dari krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997. Sebagai misal, suatu artikel di koran yang melaporkan negoisasi-negoisasi antara perusahaan batu bara Kaltim Prima Coal dengan orang-orang desa di Kalimantan Timur mencatat bahwa, “sengketa tanah pada akhir-akhir ini telah menjadi masalah utama di propinsi-propinsi dan kabupaten-kabupaten di luar Jakarta setelah adanya suatu tatanan baru yang demokratis di negara kita. Ini telah menciptakan keresahan bagi kalangan penanam modal.”[53] Bahkan jika pemerintah pusat mampu membuat suatu strategi ekonomi yang jelas dan kebijakan yang konsisten mengenai pertanahan, penerapannya akan menjadi rumit dengan adanya peraturan perundangan baru mengenai otonomi daerah. Konflik-konflik pertanahan tampaknya akan terus berlanjut dan membuahkan serangan-serangan terhadap harta milik perusahaan. Tanpa adanya lembaga-lembaga politik dan hukum yang efektif untuk menindaklanjuti keluhan-keluhan atau penyelesaian dari konflik-konflik tersebut, elit-elit daerah tampaknya akan memilih penggunaan aparat keamanan untuk menjaga ketertiban dan hukum, mencerminkan warisan kedua dari Orde Baru: membiasakan kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap para pengunjuk-rasa.
Ketegangan-ketegangan etnis dan keagamaan yang muncul dari persaingan ekonomi antara penduduk lokal dengan para pendatang/transmigran juga tampaknya akan membawa pada pecahnya kekerasan. Dalam kejadian baru-baru ini seperti yang dilaporkan oleh radio BBC pada bulan Maret 2001, para penduduk lokal di Riau telah membakar hancur perumahan pada transmigran.[54] Kerusuhan di Maluku di wilayah timur Indonesia, Poso di Sulawesi, dan Sampit di Kalimantan merupakan contoh-contoh yang mencolok dimana konflik-konflik ‘etnis’ dan ‘keagamaan’ antara para penduduk lokal dengan kaum pendatang dapat menjadi berurat-akar secara dalam. Konflik-konflik seperti itu juga dapat menjadi hal yang menguntungkan bagi militer karena membuka kebutuhan akan perlindungan keamanan bagi masyarakat oleh aparat keamanan dan memberikan banyak peluang untuk melakukan eksploitasi ekonomi terhadap para pengungsi.
Namun ada pula perbedaan-perbedaan yang berarti antara periode awal 1960-an dan pasca-Suharto. Pertama, saat ini tidak ada organisasi nasional yang sebanding dengan PKI yang mampu mengorganisir protes-protes lokal menjadi suatu kampanye massal. Kedua, berakhirnya era Perang Dingin juga berarti bahwa pemerintah-pemerintah asing akan kurang tertarik untuk mendukung suatu aksi yang dilakukan oleh elit-elit pemerintahan maupun militer untuk melawan kaum ‘kiri.’ Ketiga, suatu kudeta militer tampaknya mustahil terjadi pada jangka waktu dekat ini karena militer Indonesia telah sangat tercoreng karena pelanggaran hak-hak asasi manusia pada waktu dulu dan saat ini. Dan keempat, masyarakat sipil internasional, sebagaimana termanifestasi dalam organisasi Amnesty International dan Human Rights Watch, telah berdiri lebih dari 40 tahun. Organisasi-organisasi ini secara bertahap menjadi efektif untuk menekan pemerintah-pemerintah Barat untuk memprotes pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kekerasan negara yang dilakukan secara sistematis. Faktor-faktor tersebut membuat kecil kemungkinan pembunuhan massal tahun 1965-66 dapat diulangi lagi.
Di Indonesia ancaman terbesar adanya kekerasan muncul dari keberadaan kelompok-kelompok paramiliter pemuda yang terhubung dengan militer, partai-partai politik, dan organisasi-organisasi Islam. Salah satu skenario yang mungkin terjadi pada masa datang di Indonesia diyakini akan seperti kejadian-kejadian di Thailand pada tahun 1976 dimana kelompok-kelompok paramiliter seperti The Red Gaur dan pandu-pandu desa bergabung dalam satu kekuatan dengan aparat kepolisian yang korup dan elit-elit politik sayap kanan untuk menghancurkan para mahasiswa ‘kiri’ dan demokrasi yang baru saja lahir dengan mengatasnamakan nasionalisme.[55] Dengan mengacu pada kasus Indonesia, sebagaimana argumentasi saya diatas, kelompok-kelompok pemuda telah ditulari dengan budaya kekerasan yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok paramiliter yang terkait dengan militer Indonesia. Sebagai contoh, PDI-P, partai berkuasanya Presiden Megawati Sukarnoputri, yang memiliki tiga afiliasi kelompok paramiliter pemuda, telah memilih Eurico Guterres—yang dituduh terlibat dalam pelanggaran berat hak-hak asasi manusia sebagai salah satu pemimpin dari unit paramiliter yang paling brutal yang beraksi di Timor Timur[56]--untuk menjadi pimpinan salah satu organisasi paramiliternya. Tindakan-tindakan kelompok-kelompok paramiliter, yang seringkali melibatkan kelompok-kelompok penjahat (criminal gangs), seringkali dilaporkan dalam media massa sebagai telah dipicu oleh individu-individu yang tidak dikenal. Sebagai contoh, pada tanggal 30 Maret 2001, harian The Jakarta Post melaporkan bahwa “ratusan pekerja pabrik pelapis jok mobil PT Kadera AR Indonesia di kawasan industri Pulogadung diserang ketika mereka sedang berunjuk-rasa di waktu pagi pada hari Kamis, menewaskan satu orang dan mencederai 11 lainnya.”[57] Kelompok-kelompok paramiliter pemuda yang didukung oleh sejumlah elit politik telah memungkinkan para pendukungnya tersebut untuk menghindari tanggungjawab dengan menunjuk pada ‘budaya kekerasannya’ orang Indonesia. Penggunaan kelompok-kelompok paramiliter juga mengancam keamanan warganegara pada umumnya, yang akhirnya menjadi takut terhadap pelibatan dalam politik.
Bahwa ada kekerasan yang meluas di Indonesia saat ini tidaklah mungkin untuk dibantah. Kekerasan tersebut muncul karena adanya berbagai macam alasan, seperti kegagalan lembaga-lembaga politik dan hukum untuk menyediakan perangkat/aturan bagi penyelesaian konflik maupun mengatasi keluhan-keluhan, konsolidasi (penguatan) identitas-identitas komunal dimana kelompok-kelompok bersaing mendapatkan akses untuk atau kendali atas sumber-sumber ekonomi, dan penggunaan kekerasan yang dijatuhkan oleh negara (state-sanctioned violence) untuk menghasut atau menekan konflik. Dalam kontek ini, klaim bahwa Indonesia adalah suatu budaya yang penuh kekerasan (a violent culture) hanyalah sebuah klaim politik yang dapat dimanfaatkan untuk membenarkan kembalinya penguasa yang otoriter dan kekerasan negara berikutnya.
* * *
* Dalam bahasa Inggris artikel ini pernah dimuat dalam Asian Survey, vol. xlii no. 4, Juli/Agustus 2002, hal. 582-604. Diterjemahkan oleh Nico Harjanto dan Putut Widjanarko atas ijin penulisnya..
** Penulis adalah mantan Direktur Program Kajian Asia Tenggara, Ohio University, serta Associate Professor, Department of Philosophy, Ohio University, Athens, Ohio.
[1] Pernyataan ini dilontarkan pada Konferensi “Indonesia Next,” disponsori Van Zorge, Heffernan and Associates, Jakarta, 21 April 2001.
[2] Dikutip dari Robert Cribb, ed., The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali, Monash Paper on Southeast Asia, no. 21 (Clayton, Vict., Australia: Monas University, Center of Southeast Asian Studies, 1990), p. 113.
[3] Lihat “Remembering the Left” dalam Indonesia Today: Challenges of History, ed. Grason Loyddan Shannon Smith (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2001), hal. 131.
[4] Timothy Lindsey, “Judiciary System Reform May Be Slow But It Is Coming,” Jakarta Post, 21 Desember 2001.
[5] Joshua Barker, “State of Fear: Controlling the Criminal Contagion in Suharto’s New Order,” dalam Violence and the State in Suharto’s Indonesia, ed. Benedict Anderson (Ithaca, N. Y.: Cornell University Press, 2001), hal. 20-53.
[6] Timothy Lindsey, “State Loses Control over ‘Preman’,” Jakarta Post, 19 Maret, 2001.
[7] Dini Djalal, “Crime and Punishment: The New face of Indonesian Justice,” Far Eastern Economic Review,13 Juli 2000.
[8] Lihat John McBeth, “Social Dynamite,” ibid., 15 Februari 1996, hal 20-22; “A Chronology of Hope and Desapir,” Ampo, no 8 (Oktober 1997), hal 52-22; dan “Riot in Medan, Commander of Northern Sumatra Regional Military Apologizes,´P. T. Indonesia Media, 3 Maret 1996, <http://www.imn.co.id/today/9603/02/02medan.eng-e.html>.
[9] Margot Cohen, “Days of Rage,” FEER, 8 April 1994, hal 14-15.
[10] Global Exchange Report on Human Right in Indonesia, November 1996, hal 10. <http://www.globalexchange.org/education/publications/indonesiaHR.html >.
[11] Misalnya, lihat John McBeth dan Margot Cohen, “Tinderbox,” FEER, 9 Januari 1997, hal. 14-15; dan “Behind the Riots in Indonesia” (tajuk rencana), Strait Times, 30 Desember 1996.
[12] Susan Sim, “Exaggerating Income Gap Level Can Lead to More Unrest: Suharto,” Strait Times, 16 Januari 1997, <http://www.asial.com.sg/srtaitstimes/pages/stseal.html>.
[13] Geoffrey Robinson, “Rawan is As Rawan Does: The Origins of Disorder of New Order Aceh,” dalam Violence and the State in Suharto’s Indonesia, hal 213-42.
[14] Lihat David Bouchier, “Crime, Law, and State Authority in Indonesia,” dalam State and Civil Society in Indonesia, ed. Arief Budiman, Monash Paper in Southeast Asia, no. 22 (Clayton, Vict.: Monash University, Center of Southeast Asian Studies, 1990); and James Siegel, A New Criminal Type in Jakarta: Counter-revolution Today. (Durham: Duke University Press, 1998).
[15] Lihat Loren Ryter, “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Freemen of Suharto’s Order?” dalam Violence and the State in Suharto’s Indonesia, hal 124-55.
[16] John McBeth, “Far From Over: Democrats and Leftists Remain under Political Cloud,” FEER, 22 Agustus 1996, hal 17-20.
[17] John McBeth dan Margot Cohen, “Streets of Fire,” ibid., 8 Agustus 1996, hal. 14-16.
[18] “Criminal Laber for Riot Victims Too Premature: Expert,” Jakarta Post, 26 Mei 1997; dan “Rights Body Says 77 People Missing in Banjarmasin,” ibid., 2 Juni 1997. Untuk tinjauan terhadap kerusuhan-kerusuhan menjelang Pemilu, lihat “Official Human-Rights Commision Report,” ibid. 4 Juni 1998.
[19] Lihat Richard Robinson, Indonesia: The Rise of Capital (Sydney: Allen and Uniwin, 1986), hal 164.
[20] Lihat John Bresnan, Managing Indonesia: The Modern Political Economy (New York: Columbia University Press, 1993), hal 145-46.
[21] Joe Leahy, “Muslim Leaders Says Unrest Part Plot to Oust Him,” South China Morning Post (SCMP), 16 Januari 1997; dan Susan Sim, “Exaggerating Income Gap Can Lead to More Unrest: Suharto,” Strait Times (Singapore), 16 Januari, 1997.
[22] John McBeth, “Tinderbox,” hal. 14-15.
[23] Louise Williams, “Fresh Arrest as Workers Riot,” Sydney Morning Herald, 3 Februari 1997.
[24] Susan Berfield dan Dewi Loveard, “Ten Days that Shook Indonesia,” Asiawek, 21 Juli, 1998.
[25] Bagian selanjutnya didasarkan pada laporan-laporan mengenai sengketa-sengketa pertanahan yang dikumpulkan oleh para relawan LBH-Palembang dan wawancara-wawancara saya dengan orang-orang desa di Sumatra Selatan, 1998-2000.
[26] Untuk diskusi mengenai konflik pertanahan di Sumatra Selatan, lihat Elizabeth Collins, “Multinational Capital, New Order ‘Development,’ and Democratization in South Sumatra,” Indonesia, no. 71 (April 2001), halaman 111-34; dan Jamilah Nuh dan Elizabeth Collins, “Land Conflict and Grassroots Democracy in South Sumatra: The Dynamics of Violence,” Anthropologia Indonesia, no. 25 (Januari-April 2001), halaman 41-55.
[27] “12 Ribu Ha Lahan MHP Dikembalikan,” Sriwijaya Pos, 28 April 2000.
[28] Dan Murphy, “Deeper into the Morass,” FEER, 1 Juni 2000, hal. 58-59.
[29] “Tentang Tindakan Kekerasan yang Dilakukan oleh Aparat Kepolisian Kota Besar (POLTABES) Palembang terhadap Sdr. Syamsul Asinar,” Surat Protes Terbuka WALHI Sumatera Selatan, no. 13/Kp-CE/V/2001, 30 April 2001.
[30] “Umat Islam Diminta Menghadapi Para Pengkhianat Bangsa,” Kompas Online, February 9, 1998, http://www.kompas.com/. Juga lihat, Margot Cohen, ”’Us’ and ’Them’: Muslim Activists Say It’s Time to Seize Economic Power,” FEER, 12 Februari 1998, hal. 16-17; dan “Sofjan Back Home,” Jakarta Post, 9 Februari 1998.
[31] Wawancara penulis dengan para warga setempat dan wartawan-wartawan Sriwijaya Pos di Palembang, Indonesia pada bulan Oktober 1998.
[32] Vaudine England, “Coffins Broken into as Multi-Faith Service for People Killed in Anti-Communist Crackdown Prevented,” SCMP, 27 Maret 2001.
[33] Periksa, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1971). Adam Schwartz berkesimpulan, “Although not without its flaws- in particular its view that the Communist Party was not involved at all in the coup- on balance the Cornell Paper seems to offer a more credible interpretation of events than the army’s contention that the communists were solely responsible.” Periksa dalam A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s (Boulder, CO: Westview Press, 1994), hal. 20.
[34] Robert Cribb, ed., The Indonesian Killings; Robert Hefner, The Political Economy of Mountain Java: An Interpretive History (Berkeley: University of California Press, 1990); Geoffrey Robinson, The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1995); Iwan Sudjatmiko, “The Destruction of the Indonesian Communist Party (PKI): A Comparative Analysis of East Java and Bali” (Ph.D. diss., Harvard University, 1992); dan Hermawan Sulistyo, “The Forgotten Years: The Missing History of Indonesia’s Mass Slaughter (Jombang-Kediri 1965-1966)” (Ph.D. diss., Arizona State University, 1997).
[35] Cribb, ed., The Indonesian Killings; dan “Problems in the Historiography of the Killings in Indonesia,” dalam The Indonesian Killings, 1965-1966: Studies from Java and Bali, ed. Robert Cribb (Clayton, Australia: Centre for Southeast Asian Studies, 1990), hal. 21.
[36] Hefner, The Political Economy, hal. 212.
[37] Robinson, The Dark Side of Paradise, hal. 295.
[38] Sebagai contoh, periksa Robinson, hal. 281; dan Cribb, “Problems in Historiography,” hal. 33.
[39] Kingsbury, The Politics of Indonesia, hal. 56.
[40] Michael Vatikiotis, “Indonesia’s Budget Blues,” FEER, 17 Mei 2001, hal. 52-3.
[41] “Labor Relations in Indonesia,” Van Zorge Report (Jakarta), 5 Juni 2000, hal. 5.
[42] Dini Djalal, “Inspiring the Poor to Protest,” FEER, 3 Mei 2001, hal. 24-6.
[43] Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1962), hal. 601.
[44] Robert Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (Princeton, N.J.: Princeton University Press, 2000), hal. 212.
[45] Cribb, “Problems in the Historiography,” hal. 22, 24, 25, dan catatan nomer 41.
[46] Ibid., hal. 21-2, 24, 26; dan Robinson, The Dark Side of Paradise, hal. 265, 272.
[47] Rex Mortimer, The Indonesian Communist Party and Land Reform, 1959-1965, Monash Paper on Southeast Asia, no. 1. (Clayton, Vict., Australia: Monash University, Centre of Southeast Asian Studies, 1972), hal. 66.
[48] Lindsey, “Judiciary System Reform.”
[49] Feith, The Decline of Constitutional Democracy, hal. 601.
[50] Robinson, The Dark Side of Paradise, hal. 293; dan juga Cribb, “Problems in the Historiography,” hal. 36.
[51] Hefner, The Political Economy, hal. 66.
[52] Vedi Hadiz, Workers and the State in New Order Indonesia (Perth, Western Australia: Routledge, 1997) hal. 188.
[53] “KPC Agrees to Pay Land Compensation to End Dispute with Villagers,” Van Zorge Report, 12 Februari 2001.
[54] “Violence Erupts in Riau, Transmigrants’ Homes Burned,” British Broadcasting Corporation, 28 Maret 2001.
[55] Lihat Benedict Anderson, “Withdrawal Symptoms,” dalam The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia and the World (London: Verso, 1998), hal. 139-73; dan idem,. “Murder and Progress in Modern Siam,” ibid., hal. 174-91.
[56] Periksa, Seth Mydans, “East Timor’s Scourge Serves Time on His Patio,” New York Times, 16 Mei 2001; dan “Eurico Guterres, Terror of Timor, Is Back,” Asiaweek, 22 Juni 2001, hal. 9.
[57] “Surprise Attack on Striking Workers Leaves One Dead,” The Jakarta Post, 30 Maret 2001.
Sumber:
http://www.scripps.ohiou.edu
Runtuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Suharto setelah berkuasa selama 33 tahun ternyata diiringi dengan gelombang kekerasan terhadap etnis minoritas, wanita, dan pihak lemah lain, sehingga membuat banyak pihak bertanya-tanya mengapa negeri ini mengalami kekacauan berdarah setiap melewati proses transisi. Salah satu yang dicurigai terlibat dalam kekerasan ini adalah Letjen (Purn.) Prabowo Subianto, mantan komandan Kopassus waktu itu. Meskipun belakangan terpaksa mengundurkan diri lantaran keterlibatannya dalam penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan beberapa aktivis demokrasipada awal 1998, Prabowo adalah salah satu pihak di mana orang ingin mendapatkan penjelasan kekerasan Mei itu. Pada sebuah simposium yang diselenggarakan pada April 2001, Prabowo muncul dalam sebuah panel bertajuk “Separatisme di Indonesia,” di mana dia memberikan pandangnnya, dengan mengatakan bahwa:
Budaya Indonesia pada dasarnya sarat dengan kekerasan, dan militer adalah cerminan masyarakat belaka. Contohnya bisa dilihat di Maluku…. Sebenarnya tidak sepenuhnya tepat saya mengemukakan ini, terutama sebagai orang Indonesia yang berbicara di depan banyak orang asing, tetapi, suka atau tidak suka, secara umum budaya di Indonesia adalah budaya kekerasan antara suku dan kelompok etnis. Masyarakat Indonesia bisa dengan cepat menggunakan kekerasan. Kata “amok” dalam bahsa Inggris berasal dari bahas persatuan negara kepulauan ini. Ini adalah sesuatu yang kita sadari, sesuatu yang tidak kita suka, dan sesuatu yang kita ingin perhatikan, kendalikan, dan kelola. Tetapi kekerasan memang ada: perkelahian antarkeluarga, antardesa, antarsuku, antarkelompok etnis, dan ujungnya antaragama.[1]
Apakah penilaian Prabowo ini seusai dengan kenyataan? Apakah Indonesia memang benar-benar berbudaya kekerasan, atau apakah argumen semacam yang dilontarkan oleh Prabowo dan sekelompok elit diajukan untuk kepentingan-kepentingan lain? Dalam artikel ini, saya menyatakan bahwa yang terakhir itulah yang terjadi. Argumen semacam ini bermanfaat bagi para elit, yang membuat mereka memobilisasi rakyat dengan kampanye kembalinya keamanan dan stabilitas sebagai cara melindungi kepentingan mereka terhadap tuntutan-tuntukan yang meminta hak-hak atas tanah, upah yang lebih tinggi, dan reformasi politik. Rezim Suharto telah melembagakan teror negara dengan mencap oposisi politik sebagai “komunis,” menggunakan kekuatan militer dan paramiliter untuk melawan pemrotes dan kaum separatis jika perlu. Dalam era pos-Suharto, kegagalan para pemimpin untuk menangani ketakadilan ekonomi, berlanjutnya penggunaan kekuatan militer untuk menghadapi para pemrotes, pengerahan kekuatan paramiliter oleh elit, dan kegagalan penegakan hukum membuat rakyat lebih suka melakukan tindakan sendiri. Gabungan keadaan inilah yang menimbulkan budaya kekerasan.
Bagian pertama artikel ini menunjukkan bahwa di bawah Orde baru, tatanan dan stabilitas semu menyembuyikan potensi konflik politik dan ekonomi yang siap meledak. Kekerasan yang disponsori oleh negara telah menjadi endemik. Bagian kedua menganalisis beberapa kekersan yang meledak di Sumatra Selatan antara 1998 dan 2000 untuk secara lebih cermat mengidentifikasi akar dan sifat dari kekerasan massa (“mob violence”). Pada bagian ketiga, saya mengeksplor kesejajaran pola konflik di Indonesia dewasa ini dengan keadaan sebelum terjadinya pembantaian para komunis, atau yang dituduh sebagai komunis, setelah persitiwa yang disebut sebagai Gerakan 30 September (Gestapu, atau G-30-S). Saya menjelaskan bahwa ancaman terbesar kekerasan di Indonesia muncul dari adanya kelompok pemuda paramiliter yang menjalin hubungan dengan militer, partai politik, dan organisasi-organisasi Islam , yang memungkinkan para elit politik dan ekonomi memanfaatkan kekerasan melawan penentangnya, serta menghindari tanggung jawab.
Kekerasan pada masa Orde Baru
Pemerintah Orde Baru memandang dirinya sebagai pemelihara tatanan dan keamanan, melawan imoralitas dan anarki. Film yang dibuat pada tahun 1984 tentang kudeta 1965, Pengkhianatan G30S/PKI, yang dipertontonkan bagi seluruh anak sekolah di Indonesia, menunjukkan hal ini. Foulcher berkomentar bahwa film ini
membangkitkan simpati penonton bukan dengan cara penonjolan kepentingan nasional tetapi lebih banyak karena penekanan berulang-ulang terhadap penderitaan keluarga dan anak-anak, akibat tindakan tak-manusiawi dan tak-Indonesia dari pendukung PKI. Penggambaran mendetail para jenderal terbunuh sebagai suami dan ayah yang penyayang, terutama kematian Ade Irma Nasution yang baru berusia lima tahun, mernggambarkan upaya film ini untuk memanfaatka nila-nilai universal untuk kepentingan politik semata.[2]
Goenawan Mohammad, wartawan senior dan pendiri majalah Tempo, mengutip sebuah survey yang menunjukkan bahwa lebih dari 80% responden menyatakan bahwa kejadian-kejadian yang digambarkan dalam film tersebut adalah benar-benar terjadi.[3]
Sepanjang kekuasaan Orde Baru, negara Indonesia digambarkan sebagai keluarga dengan ayah yang lembut, Pak Harto, yang bertindak mengatanamakan semua rakyat. Tetapi, rezim ini sesungguhnya ditandai dengan kekerasan-kekerasan massa: kerusuhan anti-Jepang yang dikenal sebagai Malari (Malapetaka Januari) pada tahun 1974, kekersaan oleh militer pada protes yang dilakukan oleh orang Islam di Tanjung Priok pada 1984, kerusuhan buruh di Medan pada 1994, dan kerusuhan di Jakarta menyusul pernyerbuan kantor pusat PDI pada Juli 1996. Setiap kejadian tersebut diawali dengan protes terhadap kebijakan Orde Baru, yang diakhiri dengan turun tangannya militer untuk menumpas protes tersebut. Dalam kasus Tanjung Priok dan penyerangan kantor PDI, kekerasan dimulai oleh tindakan pemerintah atau kelompok paramiliter yang dekat dengan pemerintah. Malari dan kerusuhan buruh di Medan akan dibahas nanti.
Akar kekerasan pada masa Orde Baru dapat diidentifikasi dengan empat faktor. Pertama, kegagalan institusi politik dan hukum. Kedua, kebijakan pembangunan yang melarang buruh untuk berorganisasi, serta berpindahnya kontrol atas tanah (dan sumber daya alam lain) ke tangan pemerintah pusat dan elit yang dekat dengan rezim Orde Baru. Ketiga, tradisi kelompok pemuda paramiliter dan keberadaan sejumlah besar pemuda pengagguran dengan kesempatan kerja yang kecil sehingga memungkinkan direkrut oleh kekuatan paramiliter. Dan keempat adalah bagaimana kekuatan paramiliter ini digunakan oleh Orde Baru untuk memicu kekerasan sehingga membenarkan penumpasan protes-protes serta dipakai oleh elite dalam militer serta pemerintah untuk menyingkirkan atau mendiskreditkan saingannya. Keempat faktor ini akan dibahas berikut ini.
Kegagalan Institusi dan Sistem
Institusi politik dan hukum Orde baru tidak menyediakan saluran untuk menyampaikan keluhan atau keberatan terhadap kebijakan yang dirasakan tidak adil. Menurut Lindsey, “Pada akhir 1980-an, pengadilan di Indonesia adalah skandal nasional. Pengadilan telah ditunggangi oleh korupsi, mungkin merupakan institusi terkorup di Indonesia. Adalah tidak mungkin membawa sebuah kasus ke pengadilan tanpa menyuap. Dan juga tidak mungkin menang dalam suatu kasus tanpa menyuap.”[4]
Hilangnya rasa hormat dan kepercayaan terhadap keadilan juga disebabkan oleh korupsi di kalangan polisi. Reformasi pada awal 80-an yang mengatur bahwa satuan-satuan pengamanan independen di bawah polisi Indonsia malah membuat, seperti dijelaskan oleh Barker, “keterlibatan makin jauh polisi dalam mencari uang dengan dalih pengamanan ketimbang sebelumnya tatkala hal itu dikendalikan oleh kelompok gang, ketua RT/RW, atau tentara.”[5] Akibatnya, sebuah negara kriminal yang kompleks pun terbentuk. Menurut Lindsey, pejabat-pejabat pemerintah Orde baru “melindungi preman jalanan melalui sistem deking atau beking. Struktur gang kriminal menghubungkan elite politik dan bisnis kepada militer lewat para preman. .. Untuk mentransformasi kekuasaan yang diperolehnya dengan kekerasan menjadi uang, Order Baru secara sadar menciptakan negara ‘rahasia’ untuk menjamin akses para elite kepada sumber-sumber ekonomi ilegal dan ekstralegal.”[6] Seiring kejatuhan Order Baru, negara kehilangan kendali atas kriminal terorganisir, “menghasilkan pertarungan sengit atas daerah kekuasaan dan upaya untuk mencari sumber pendapatan baru,” serta reaksi keras dan tumbuhnya “kewaspadaan anti-preman.”
Barangkali tindakan kekerasan yang paling mengherankan di Indonesia dewasa ini adalah tatkala massa mengambil tindakan sendiri terhadap orang yang disangka melakukan tindakan kriminal. Setelah kejatuhan Suharto, polisi dipisahkan dari ABRI, dan tindakan kekerasan keroyokan ini menjadi sering terhadi. Sebagai contoh, kamar mayat R.S. Cipto Mangunkusumo di Jakarta melaporkan adanya 100 korban keroyokan massa ini—atau lebih dari satu korban setiap dua hari—dalam enam bulan pertama tahun 2000. Sebagian besar tersangka kriminal itu dipukuli sampai meninggal, dan banyak juga yang disiram bahan bakar dan kemudian dibakar.[7]
Pada tahun 1990-an, legitimasi Order Baru sangat merosot dan aksi kekerasan melawan pemerintah lokal dan terhadap kelompok yang diuntungkan oleh kebijakan pemerintah menjadi merebak. Contohnya, lebih dari 12 bulan dari Juli 1995 sampai kekerasaan di kantor PDI pada Juli 1996, insiden-insiden berikut ini terjadi. Di Jember, Jawa Timur, petani tembakau membakar gudang, sepeda motor, toko-toko dan rumah memprotes keputusan pengalihan kepemilikan dua ribu hektar tanah milik pemerintah—yang saat itu digarap oleh petani-petani tersebut—menjadi perkebunan milik negara (30 Juli-2 Agustus 1995). Di Jambi, korban bencana alam gempa bumi marah karena kurangnya bantuan, dan gelombang penjarahan yang menyusulnya mengakibatkan dua tewasnya tentara berpakaian sipil (13 Oktober). Di Porsea, Sumatra Utara, pemrotes membakar 100 rumah, sebuah stasiun radio, dan kendaraan-kendaraan milik pabrik kertas Indorayon Utama setelah merebaknya rumor adanya kebocoran gas beracun (3-4 November). Di Pasuruan, Jaw Timur, para petani melancarkan protes selama lima hari terhadap perusahaan Korea produsen monosodium glutamat karena mencemari tambak udang mereka. Mobil-mobil dan rumah dibakar, menimbulkan kerusakan 3 juta dolar (15-20 November). Di Tangerang, pinggiran Jakarta, pengunjuk rasa menghancurkan pabrik karbon karena mencemari lingkungan (21 November). Di Irian jaya, penduduk desa bersenjata batu menyerang Freeport Corporation karena mobil seorang karyawannya berkebangsaan Belanda menabrak seorang penduduk desa hingga meninggal. Penduduk setempat juga marah karena pelanggaran HAM yang sedang disidangkan di Pengadilan Militer Jayapura (7-10 Maret). Pemanfaatan kekuasaan oleh pihak keamanan juga merupakan sumber kekerasan pada masa itu. Di Medan, Smatera Utara, prajurit Batalion Kavaleri marah karena salah satunya terbunuh oleh anggota gang melukai 12 orang dan merusak 20 rumah serta 23 mobil (28 Februari). Akhirnya, di Jayapura, Irian Jaya, kekerasan meledak tatkala pihak berwajib menolak permintaan ijin penyelenggaraan upacara mengenang Thomas Wainggai, tahanan politik yang meninggal di dalam penjara di Jakarta (18 Maret).[8]
Masalah-Masalah Kebijakan Pembangunan
Penindasan terhadap protes buruh juga menyebabkan dendam membara terhadap pemerintah atau pemilik pabrik. Pada tahun 1991, tenaga kerja Indonesia berjumlah 74 juta orang. Upah minimum rata-rata adalah US$1.145, salah satu yang terendah di Asia Tengara, dan para buruh dilarang memiliki organisasi buruh selain yang direstui pemerintah. Pada tahun 1991, Saut Aritonang dan aktivis HAM H.J.C. Princen mendirikan serikat pekerja Setiakawan. Tetapi Saut ditangkap dan Setiakawan bubar pada 1992. Pada tahun yang sama Muchtar Pakpahan mendirikan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) di Medan, Sumatera Utara. Tetapi pemerintah menolak mengakui SBSI, dan pejabat pemerintah dengan bantuan militer mengintimidasi dan meneror para pendukung SBSI.
Pada 1994, kasus Marsinah, aktivis pekerja berusia 25 tahun yang disiksa dan dibiarkan meninggal kehabisan darah setelah dia dan kawan-kawannya menuntut kenaikan upah, membuat perhatian internasional terpusat pada penindasan Orde Baru terhadap pekerja. Pada tahun yang sama, terdapat 31 protes pekerja di Medan karena dilanggarnya peraturan upah minimum, penembakan terhadap pemrotes menyusul pemogokan di pabrik karet, serta kematian misterius salah satu dari mereka. Gelombang protes ini memuncak pada bulan Aprilk karena tunjangan Hari Raya yang tidak dibayarkan. Demonstrasi ini berubah menjadi kerusuhan dan toko-toko yang dimiliki oleh Tonghoa-Indonesia dijarah, dan salah satu pemilik pabrik dikeroyok sampai meninggal. Pakpahan dari SBSI menjelaskan bahwa Tonghoa-Indonesia menjadi target karena “adalah fakta bahwa orang-orang Cina berkolusi dengan ABRI untuk melindungi kepentingan mereka. Jika pekerja menuntut satu juta rupiah, mereka lebih suka memberi 1,5 juta kepada militer.”[9] Hasilnya, para pekerja di Medan dibayar upah minimumnya, dan lembur dihentikan, mengindikasikan bahwa protes mereka berhasil. Tetapi, tentara berpakian sipil ditempatkan di pabrik-pabrik, dan Pakpahan didakwa sebagai pemicu kerusuhan. Dia dihukum 9 tahun penjara; tetapi karena tekanan internasional dia dibebaskan setelah menjalani hukuman 9 bulan.
Dilatarbelakangi pengadilan terhadap Pakpahan, menipulasi pemerintah untuk menyingkirkan Megawati Sukarnoputri dari PDI karena berpotensi sebagai kandidat oposisi, dan pembredelan empat majalah yang sering mengkritik pemerintah, sekelompok aktivis mahasiswa mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 1994. PRD mengambil sikap lebih militan dan konfrontasional dalam mengorganisasi buruh supaya kekerasan yang dilakukan pemerinta lebih nampak. Taktik mereka yang lebih agresif (tetapi non-kekerasan) dengan mengadakan arak-arakan protes dan demonstrasi dibalas dengan pembubaran semua organisasi buruh dan serangan terhadap para pengunjuk rasa oleh pihak keamanan. Lembaga Bantuan Hukum mencatat lebih dari seratus kasus di mana militer ikut campur dalam sengketa pekerja pada tahun 1995.[10]
Konflik lebih lanjut merebak pada masa Orde Baru karena peralihan besar-besaran kendali atas tanah dari pemilik tanah kecil-kecil kepada pemerintah pusat dan elite yang punya hubungan dekat dengan rezim. LBH, yang didirikan oleh Adnan Buyung Nasution pada 1971 untuk melayani bantuan hukum bagi kaum miskin, mewakili kaum miskin seperti di Simprug dan Lubang Buaya. Pada kasus Simprug, penghuni kawasan kumuh dipaksa pindah dari daerah di Jakarta Sekatan itu karena akan dibangunnya perumahan mewah di situ. Sedangkan kasus Lubang Buaya adalah kasus di mana tanah diambil dari kaum miskin untuk proyek Taman Mini yang dipelopori oleh Ibu Tien. Tetapi, mengandalkan pengadilan ternyata tidaklah efektif. Kasus yang paling terkenal dimana LBH terlibat adalah kasus Waduk Kedungombo. Insiden ini menarik perhatian internasional karena melibatkan perngambilan tanah dari pemilik untuk pembangunan waduk dengan biaya World Bank. Pengacara-pengacara LBH berkerja sama dengan aktivis mahasiswa, LSM, dan pemimpin agama untuk mempertahankan hak-hak penduduk yang dipindahkan karena proyek ini. Pada tahun 1994 Mahkamah Agung menyatakan bahwa penduduk tersebut harus mendapatkan ganti rugi, tetapi dengan tekanan pemerintah, hakim yang baru membatalkan keputusan itu.
Di luar Jawa, kebijakan yang memberikan konsensi atas hutan bagi perusahaan besar yang bergerak di bidang perkayuan, pulp dan produsen kertas, perkebunan minyak sawit, dan industri tambak udang menyebabkan konflik etnis antara penduduk lokal dan pendatang. Pada masa Orde Baru, militer bekerja sama dengan perusahaan Sino-Indonesia dan kroni Suharto seperti Bob Hasan memperoleh konsensi atas hutan untuk produksi kayu. Protes penduduk setempat gampang ditumpas dan hanya mendapat perhatian kecil dari media. Pada pertengahan 1990-an, penyelenggara di tingkat nasional mulai mengumpulkan pemimpin-pemimpin lokal. Konsorsium Pembaruan Agraria dibentuk pada 1995, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara didirikan pada 1999. Tetapi, organisasi ini belumlah efektif menekan pemerintah dalam hal reformasi pertanahan serta hak-hak penduduk asli tanpa dokumen klaim tehadap hutan.
Kompetisi ekonomi antara penduduk asli dan pendatang mejadi salah satu sumber konflik. Pemerintah Orde Baru mendorong migrasi orang Jawa dan Madura Muslim ke daerah timur Indonesia yang berpenduduk sebagian besar Kristen, menyebabkan pecahnya kekerasan yang bersifat agama. Pada tahun 1995 saja beberapa kerusuhan dengan target Muslim terjadi di Baucau, Timor Timur (Januari), Flores (April), Flores Timur (Juni), Dili, Timor Timur (September), dan Atambua, Timor Barat (November). Pada Januari 1998, serangan terhadap pendatang suku Madura (Muslim) oleh suku Dayak dan Melayu Muslim di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa persaingan memperebutkan sumber-sumber dan peluang ekonomi bisa membangkitkan kerusuhan antar etnis.
Merebaknya kerusuhan dan protes, baik di pedesaan dan di perkotaan, terhadap pemerintah pada 1997 mendorong media mempertanyakan sebab-sebab kekacauan sosial itu. Para pengamat menunjuk melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin, persaingan antara pendatang dan penduduk lokal, serta kemarahan kepada pemerintah, polisi dan pengadilan yang tidak memberikan wadah bagi keadilan.[11] Dalam sebuah pidato di depan Forum Komunikasi Pemuda Masjid, Suharto meminta agar rakyat Indonesia tidak membesar-besarkan di luar proporsi masalah kesenjangan ekonomi di Indonesia.[12]
Paramiliter dan Pemuda
Tradisi milisia sejak masa Revolusi Indonesia memberikan alas an bagi tentara Indonesia untuk memobilisasi rakyat ke dalam satuan paramiliter. Unit semacam ini dibentuk di Kalimantan ketika terjadi konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1960-an. Kelompok-kelompok paramiliter juga direkrut dan dilatih oleh tentara untuk melawan gerakan separatis di Aceh dan Timor Timur ada tahun 1990-an. Kelompk-kelompok ini mengembangkan budaya kekerasan yang mendorong praktik-praktik tertentu seperti ditunjukkannya kepada publik mayat anggota pembelot, pemenggalan kepala, perkosaan, serta serangan misterius di malam hari oleh apa yang disebut sebagai ninja, serta dilancarkannya ancaman kepada keluarga korban kekerasan.[13]
Satuan-satuan militer elit yang melatih mereka ini juga tampaknya melakukan kekerasan dan teror sepanjang kekuasaan Orde Baru untuk menindas oposisi serta menangani masalah-msalah sosial.Pembunuhan eksta-judisial yang dikenal sebagai petrus (penembak misterius) pada tahun 1984 adalah salah satu contoh ini, yang belakangan dijelaskan oleh Suharto dalam autobiografinya sebagai “shock treatment.”[14] Budaya teror dan kekerasan yang dikembangkan oleh pihak keamanan dan kelompok-kelompok paramiliter yang didukung oleh pemerintah, seperti Pemuda Pancasila, kelompok pemuda di bawah Golkar,[15] telah mengancam konsep kewargaan dan meningkatkan ketakutan bahwa pembunuhan dan kekacauan 1965 dapat terjadi lagi.
Peran pihak keamanan dan kelompok paramiliter dalam memprovokasi kekerasn menjadi sangat kelihatan bagi rakyat Indonesia pada 27 Juli 1996, ketika kebutralan paramiliter yang disokong oleh tentara menyingkirkan mahasiswa-mahasiswa pendukung calon oposisi Megawati Sukarnoputri. Serangan itu brutal dan berdarah, serta berlangsung hanya beberapa jam, tetapi membangkitkan kerusuhan anti pemerintah yang terbesar dan paling penuh dengan kekerasan di masa Orde baru. Mereka membakar bis dan mobil, bank dan kantor-kantor pemerintah, serta membuat barikade di jalanan.
Kerusuhan ini menandai titik penting gerakan demokrasi, karena menunjukkan ketidakpuasan yang meluas tehadap rezim penguasa. Menanggapi kejadian ini, mantan menteri Emil Salim mengusulkan penilaian kembali Orde Baru untuk mengatasi masalah “kelas sosial baru dan aspirasi baru.”[16] Pernyataan yang sama disuarakan oleh Ignas Kleden, ketua lembaga riset sswasta bernama Society for Political and Economic Studies, yang mengatakan kepada wartawan Far Eastern Economic Review, “Ini adalah bukti dari kekakuan sistem politik, dan ketidakmauan kekuasaan untuk mempertimbangkan perkembangan baru.” Berbicara kepada wartawan yang sama, Goenawan Mohammad, pimpinan Komite Independen Pemantau Pemilu dan mantan Pemred Tempo, mengatakan, “ Kita memasuki wilayah tak dikenal… Megawati harus lebih terbuka terhadap sebuah strategi jangka panjang. Kelompoknya harus berubah dari mesin pemilihan menjadi gerakan yang lebih luas dan dia harus mengembangkan platform [reformasi] yang bisa diterima semua pihak.”[17]
Serangan terhadap mahasiswa yang menduduki kantor pusat PDI serta kampanye menentang PRD setelah itu menghentikan sementara demonstrasi-demonstrasi menentang Orde Baru, kerusuhan Juli 1996 meningkatkan taruhan pemerintahan Suharto pada Pemilu yang dijadwalkan berlangsung pada Mei 1997. Benturan kekerasan yang melibatkan pihak keamanan, Pemuda Pancasila, dan kelompok-kelompok pemuda yang berkaitan dengan partai politik menjadi biasa terjadi. Di Pekalongan, Jawa Tengah, protes oleh organisasi pemuda di bawah Partai Persatuan Pembangunan terhadap penyelenggaraan pertunjukan musik oleh Golkar mengakibatkan 60 bangunan (sebagian besar dimiliki oleh Tonghoa-Indonesia) dan satu bank milik pemerintah dirusak (24-26 Maret). Di Surabaya, aktivis PDI-P diserang oleh pendukung Soerjadi, pimpinan faksi PDI yang didukung pemerintah (28 April). Di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, arak-arakan PPP diserang oleh Pemuda Pancasila (4 Mei). DI Yogyakarta, pihak keamanan membubarkan demonstrasi oleh pemuda PPP yang membawa keranda yang menyimbolkan kematian demokrasi dan memprotes serangan kepada kantor PPP (5 Mei). Pada 20 Mei tiga betrokan antara pendukung partai politik dengan pihak keamanan di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan, ketika pendukung PPP di Pekalongan, Jawa Tengah, menyerang kantor Golkar.
Kekerasan memuncak beberapa saat sebelum Pemilu pada Mei 23 antara pendukung PPP dan Golkar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang mengakibatkan 130 orang tewas dalam sebuah pusat perbelanjaan yang terbakar. Menurut sumber-sumber pemerintah, yang tewas adalah para penjarah. Tetapi Komnasham Indonesia menyelidiki insiden itu lantaran pendukung PPP menyatakan bahwa kerusuhan dipicu oleh orang bukan dari partai, serta ABRI telah menembak tanpa perlu dalam bentrokan itu serta membawa mayat-mayat itu ke pusat perbelanjaan yang kemudian dibakar untuk menghilangkan jejak.[18] Setelah Pemilu, protes terhadap kecurangan Pemilu banyak dilakukan oleh penukung PPP, pembakaran kotak surat di Madura pada 29 Mei, arak-arakan protes di Jember, Jawa TImur, pada 13 Juni, di mana pemrotes melempari pusat perbelanjaan dan showroom mobil Timor.
Penggunaan Paramiliter
Seperti Richard Robinson ungkapkan, “Banyak pengamat melihat bahwa [Malari] adalah terutama akibat perebutan kekuasaan politik antara Komandan Kopkamtib, Jenderal Sumitro, dan hirarki yang ada, didominasi oleh Suharto dan Murtopo, di mana para mahasiswa itu dimanfaatkan oleh kekuatan politik yang bersaing itu.”[19] Bresnan menambahkan bahwa kerusuhan itu dipicu untuk “mendiskreditkan para mahasiswa radikal dan juga barangkali Jenderal Sumitro dan para moderat yang lain.” Lebih jauh lagi, Bresnan menambahkan bahwa mahasiswa yang ditangkap setelah peristiwa Malari menyatakan bahwa “dia bertemu dengan seorang pemuda di penjara yang mengatakan bahwa mereka bekerja untuk Ali Murtopo, memulai pembakaran, dan dijemput bersama-sama dengan perusuh yang lain. Seorang perwira intelijen senior yang dekat dengan Sumitro belakangan mengatakan bahwa itulah memang kejadian yang sesungguhnya.”[20]
Pada tahun-tehun terakhir masa Orde Baru, tuduhan bahwa kekerasan dipicu oleh elit sering mencuat ke permukaan, terutama ketika yang menjadi sasaran kerusuhan adalah orang Kristen atau Tonghoa-Indonesia yang mulai merebak di Jawa Timur pada bulan-bulan setelah kerusuhan anti pemerintah pada Juli 1996. Yang pertama adalah kerusuhan di Situbondo, Jawa Timur, 10 Oktober. Perusuh Muslim membakar 25 gereja, lima sekolah Katolik, sebuah rumah yatim piatu Kristen, dan sebuah gedung pengadilan. Lima orang meninggal di dalam gereja yang terbakar. Penyelidikan yang dilakukan oleh Komnasham menyimpulkan bahwa kerusuhan dipicu oleh provokator tak dikenal. Pimpinan-pimpinan NU menyatakan bahwa kerusuhan itu direkayasa untuk memberikan kesan buruk terhadap NU, serta menimbulkan rasa permusuhan terhadap orang Kristen pendukung Megawati serta orang Muslim pendukung Abdurrahman Wahid, yang telah bergabung menentang pemilihan kembali Suharto. KSAD Jenderal Hartono menolak pendapat yang menyatakan bahwa provokator bertujuan untuk mendiskreditkan NU, tetapi setuju bahwa “beberapa orang telah melakukan koordinasi dengan tujuan untuk menciptakan ketakstabilan.”[21]
Serangkaian kerusuhan dengan sasaran Tonghoa-Indonesia di beberapa bagian Jawa menyusul setelah itu—di Purwakarta, Jawa Barat (31 Oktober-2 November 1997); Pekalongan, Jawa Tengah (24-26 November); Jakarta (24 Desember); Rengasdengklok Jawa Barat, (1 Februari 1998)—memuncak di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 26 Desember 1997. Di Tasikmalaya pemuda-pemuda Muslim membakar 13 gereja dan tujuh sekolah. Dua belas pos polisi dirusak, dan tiga dibakar habis. Empat orang meninggal. Kemarahan massa tampaknya ditujukan baik kepada Tonghoa-Indonesia maupun pemerintah lokal. Penduduk Tasikmalaya mengatakan bahwa rasa permusuhan terhadap Tonghoa-Indonesia meningkat sejak 1995 tatkala sebuah pasar terbakar, dan pemerintah tidak membangun kembali pasar itu melainkan memberi tanah bekas pasar itu kepada pengembang Tonghoa-Indonesia untuk membuat pusat perbelanjaan.[22]
Manipulasi kemarahan massa pada pemerintah dan ketaksukaan terhadap kemakmuran Tonghoa-Indonesia (yang dipercayai mendapat manfaat dari koneksinya dengan rezim yang berkuasa) dapat dilihat dengan jelas pada insiden di Bandung pada 31 Januari 1997. Awal bulan itu, 10 ribu pekerja pabrik tekstil menimbulkan kerusuhan serta wakil perusahaan dilempari batu karena perusahaan-perusahaan tidak membayar tunjangan hari raya. Pada tanggal 31, orang-orang tak dikenal menyebarkan selebaran yang berisi ajakan untuk orang-orang Muslim untuk menyerang sasaran-sasaran Kristen dan Katolik.[23]
Akhirnya, pada hari-hari terakhir Orde Baru, tatkala demonstrasi mahasiswa mengancam menurunkan Suharto setelah penembakan terhadap empat demonstran di kampus Universitas Trisakti pada 13 Mei 1998, Letjen Prabowo Subianto, menantu Suharto dan Komandan Kopassus, tampaknya memanfaatkan taktik ini dengan memicu kerusuhan agar ada kebutuhan untuk mengembalikan stabilitas dan keamanan, dan mungkin juga untuk mendiskreditkan pesaingnya, Jenderal Wiranto.[24] Meluasnya dukungan dari kaum kelas menengah terhadap upaya pemerintah saat petrus menumpas para kriminal pada 1084 mungkin menimbulkan kepercayaan bahwa kelas ini akan mendukung upaya pengembalian tatanan dan keamanan ketika kerusuhan-kerusuhan merebak di seluruh Indonesia.
Sumatra Selatan, 1994-2000
Sumatra Selatan jarang muncul dalam pemberitaan media massa mengenai demonstrasi-demonstrasi mahasiswa melawan Orde Baru atau kejadian-kejadian kekerasan antar suku dan agama, meskipun di tahun-tahun akhir Orde Baru telah ada suatu pola peningkatan konflik dan kejadian-kejadian yang dapat disebut sebagai kekerasan massa (mob violence). Jika kita mengkaji kejadian-kejadian tersebut, tiga jenis kekerasan dapat dibedakan: (1) kekerasan oleh kelompok-kelompok paramiliter dan aparat keamanan untuk mengintimidasi dan mengganggu para pemrotes; (2) protes-protes yang dilakukan oleh orang-orang desa terhadap perusahaan-perusahaan yang diberi hak-hak pengusahaan hutan yang berlebihan oleh pemerintah Suharto; (3) kerusuhan dan penjarahan di daerah-daerah perkotaan dengan sasaran perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh anggota-anggota keluarga Suharto dan kroni-kroninya, atau orang Tionghoa-Indonesia dan bank-bank. Secara garis besar, insiden-insiden pada jenis pertama melibatkan serangan-serangan pada individu-individu, sementara insiden-insiden pada jenis lainnya melibatkan serangan-serangan terhadap bangunan. Akan tetapi, seringkali konflik-konflik antara orang-orang desa melawan perusahaan-perusahaan berubah menjadi konflik-konflik horisontal antara orang-orang desa yang protes dengan pekerja-pekerja dari perusahaan (seringkali anak-anak muda setempat dipekerjakan sebagai satuan pengamanan) yang mana bentrokan-bentrokan dengan kekerasan tersebut melibatkan serangan-serangan terhadap bangunan maupun individu-individu. Pengkajian terhadap pola kekerasan yang muncul di Sumatra Selatan antara tahun 1994-2000 memungkinkan kita untuk mengidentifikasi kapan dan mengapa protes-protes and konflik-konflik menjadi tindak kekerasan.
Kebijakan pemberian hak pengusahaan hutan yang berlebihan ke perusahaan-perusahaan milik negara atau perusahaan-perusahaan swasta yang dikontrol oleh keluarga Suharto maupun para elit yang dekat dengan Suharto, kadang bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan asing, dilakukan di Sumatra Selatan pada tahun 1989. Putri Suharto, Siti Hardijanti, dan dua kroni Suharto, Prajogo Pangestu dan Syamsul Nursalim, merupakan pihak-pihak yang sangat diuntungkan. Berdasarkan hukum, pemerintah daerah harus menyatakan sebagai tidak produktif status dari tanah yang diberikan untuk pengusahaan hutan. Akan tetapi, banyak orang desa melaporkan bahwa hak-hak mereka terhadap tanah yang telah mereka garap bertahun-tahun (dan dalam beberapa kasus beberapa generasi) tidak diakui lagi karena para pejabat daerah dibayar atas kerjasama mereka dalam menyetujui pemberian hak konsensi hutan. Protes-protes oleh orang-orang desa melawan perusahaan-perusahaan yang diberikan hak pengusahaan hutan mulai terjadi sejak awal 1993.[25]
Pada awalnya orang-orang desa menulis banyak surat memohon kepada pejabat-pejabat pemerintah dan manajer-manajer perusahaan untuk mengakui hak-hak mereka. Sementra, pada umumnya, perusahaan-perusahaan menggunakan aparat-aparat militer untuk mengintimidasi orang-orang desa, mengabaikan protes-protes lokal. Selama periode singkat di tahun 1994 yang terkenal sebagai era keterbukaan, pemerintah Orde Baru mengendorkan kekangan-kekangan terhadap media massa, dan berita-berita mengenai protes-protes tersebut mulai sampai ke masyarakat luas. Akan tetapi, pada bulan Juli tahun tersebut pemerintah melarang tiga penerbitan nasional dan membredelnya. Di Sumatra, para kepala desa yang terlibat dalam protes-protes diganti, dan orang-orang diperingatkan bahwa aksi-aksi unjuk rasa selanjutnya tidak akan ditoleransi lagi. Pada tahun 1997 kebakaran yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan untuk membersihkan tanah guna perkebunan kelapa sawit dan produk hutan lainnya menjadi di luar kendali, menghancurkan pohon-pohon karet yang bagi orang-orang desa di dataran rendah menjadi tumpuan pendapatan. Kebakaran tersebut menjadi sangat parah karena adanya kekeringan akibat badai El Nino. Sebagai tambahan, kebakaran di kawasan hutan perkayuan merupakan kebakaran kanopi yang membakar secara intens dan menyebar secara cepat. Perhatian internasional terhadap kebakaran tersebut dan kabut asap yang menyebar ke negara-negara Asia Tenggara lainnya membuat sengketa pertanahan tersebut menjadi terbuka dalam tuduhan dan tuduhan balik mengenai siapa yang harus bertanggungjawab. Dengan jatuhnya Suharto pada tahun 1998, keputusasaan terhadap kegagalan pemerintah dalam memberikan penyelesaian sengketa-sengketa pertanahan yang telah terjadi sekian lama akhirnya meledak. Diseluruh Indonesia, orang-orang desa mulai merebut lahan-lahan milik perusahaan-perusahaan, hutan-hutan pemerintah, dan lapangan-lapangan golf. Orang-orang desa di Sumatra Selatan mencoba untuk menanam tanam-tanaman di perkebunan-perkebunan kelapa sawit yang mereka klaim telah diambil sebelumnya dari mereka. Mereka juga mencoba untuk memaksa perusahaan-perusahaan untuk mengembalikan tanah atau membayar kompensasi dengan menyita aset perusahaan (biasanya kendaraan-kendaraan). Meskipun pejabat-pejabat pemerintah berjanji untuk bertindak, tapi tidak ada yang berubah. Pada bulan Oktober 1999, satu perusahaan yang terlibat dalam sengketa pertanahan yang telah terjadi sekian lama setuju untuk mengembalikan tanah ke orang-orang desa, mungkin disebabkan oleh ancaman-ancaman orang-orang desa yang telah menyita kendaraan-kendaraan perusahaan dan membakar kayu-kayu tebangan dan perubahan situasi politik. Akan tetapi, ternyata pimpinan perusahaan kemudian menunda pertemuan dengan warga dan mencabut janji-janji yang telah dibuat sebelumnya.[26]
Pada bulan Februari 2000, beberapa ratus perwakilan organisasi-organisasi petani dari Sumatra Utara dan Sumatra Selatan pergi ke Jakarta untuk mendesak supaya Menteri Kehutanan mengambil tindakan terhadap tuntutan-tuntutan mereka. Mereka dijanjikan bahwa dalam waktu satu bulan kasus-kasus mereka akan diselesaikan. Akhirnya, pada bulan April 2000, Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan Suripto mengumumkan bahwa 12.500 hektar tanah sengketa akan dikembalikan kepada orang-orang di sejumlah wilayah di Sumatra Selatan, yang berarti menyelesaikan satu kasus dimana para pemrotes terorganisir dengan rapi. Dijelaskan oleh Suripto, “Sampai saat ini, perusahaan-perusahaan telah difasilitasi dalam mendapatkan tanah, sekarang saatnya untuk memberi kompensasi.”[27] Meski keputusan ini mengesahkan keadilan yang dituntut oleh orang-orang desa, perjuangan panjang menuju penyelesaian konflik sepertinya membuktikan bahwa suatu tindak kekerasan dan ancaman-ancaman kekerasan terhadap aset perusahaan merupakan suatu taktik yang efektif karena pejabat-pejabat pemerintah menjadi terlibat. Perusahaan-perusahaan kemudian dapat dipaksa untuk melakukan perundingan dengan para pemrotes.
Kekerasan massa pada kasus-kasus tersebut melibatkan serangan-serangan ke harta milik. Kalau kendaraan-kendaraan perusahaan dan harta milik lainnya disita oleh rakyat untuk memaksa perusahaan terlibat dalam suatu negoisasi, harta milik selanjutnya dikembalikan setelah ada penyelesaian. Dalam beberapa kasus, pemimpin-pemimpin perusahaan juga diancam dan dijadikan sandera selama beberapa jam, tetapi hanya dalam satu kasus (yang saya tahu pasti) perwakilan perusahaan diserang secara fisik. Ini terjadi di perbatasan Lampung di area tambak udang Dipasena. Pada bulan Maret 2000, Nursalim, direktur utama Gajah Tunggal Group (yang tambak-tambak udangnya terentang hingga Sumatra Selatan), diserang oleh para petani udang yang marah, yang juga menewaskan dua pengawalnya. Nursalim terpaksa diselamatkan dengan helikopter.[28]
Dalam konflik-konflik tersebut, aparat keamanan yang dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan menggunakan kekerasan untuk mengintimidasi dan mengganggu para pemrotes. Untuk tahun 1999-2000, LBH Palembang mencatat sepuluh insiden yang ditengarai melibatkan kesatuan-kesatuan polisi dan tentara dalam konflik-konflik antara orang-orang desa dengan perusahaan-perusahaan. Tidak jarang, koran-koran daerah melaporkan (tanpa komentar) bahwa seorang warga desa telah terbunuh. Pada bulan April 2001, seorang aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dipukuli secara kasar oleh polisi ketika dia mencoba untuk mengambil foto kekerasan yang dilakukan oleh polisi ketika melakukan operasi pembersihan (sweeping operation).[29]
Pada bulan Agustus 2001, Gubernur Sumatera Selatan melaporkan bahwa 135 kasus sengketa tanah menjadi perhatian di kantornya. LBH Palembang mencatat hampir 200 kasus. Kemajuan dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut sangat pelan sekali karena tiadanya kerangka kerja hukum untuk membuat keputusan dan Gubernur hanya memiliki sedikit pengaruh terhadap perusahaan-perusahaan besar yang dekat dengan elit-elit politik. Beberapa aktivis beralasan bahwa kekerasan diperlukan untuk memaksa pemerintah dan perusahaan-perusahaan merespon tuntutan-tuntutan tanah orang-orang desa.
Insiden lain yang dapat disebut sebagai kekerasan massa di Sumatra Selatan melibatkan perusakan terhadap harta milik dan penjarahan dalam kontek demonstrasi yang dipimpin mahasiswa terhadap pemerintah. Demonstrasi yang dipimpin mahasiswa pertama kali di Sumatra Selatan yang terjadi pada tahun 1994 sebagai reaksi terhadap peningkatan biaya pendidikan di Universitas Sriwijaya, terjadi tanpa kekerasan. Banyak dosen secara diam-diam mendukung demonstrasi-demonstrasi tersebut karena mereka percaya bahwa peningkatan biaya pendidikan lebih disebabkan oleh tindak korupsi dalam tender-tender pembangunan kampus baru yang didanai Bank Dunia. Pada waktu itu, saya melihat bahwa rektor universitas menghalangi militer untuk merespon protes-protes dengan upaya-upaya untuk membubarkan atau menangkap mahasiswa.
Akan tetapi, pada masa sesudah terjadinya krisis ekonomi Asia pada tahun 1997, protes-protes yang diorganisir mahasiswa terhadap kesulitan ekonomi yang terjadi berubah menjadi kerusuhan-kerusuhan. Salah satu insiden tersebut terjadi pada tanggal 14 Februari 1998, di pasar kota Pagaralam in dataran tinggi Sumatra Selatan. Diilhami oleh para mahasiswa pro-demokrasi yang pulang kampung selama hari libur keagamaan Islam, satu kelompok pelajar SMA merencanakan aksi unjuk rasa menentang mahalnya harga-harga kebutuhan pokok. Mereka meminta ijin untuk unjuk rasa ke walikota, tetapi ditolak. Mahasiswa dan pelajar memutuskan untuk tetap melanjutkan rencananya. Unjuk rasa simbolik mereka di pasar akhirnya berubah menjadi suatu kerusuhan dimana banyak toko-toko yang dimiliki oleh warga keturunan dirusak massa. Para saksi mata yang sempat saya wawancarai pada bulan Oktober 1998 menuduh para anak muda (pendatang dari Lampung), yang biasanya berkumpul di sekitar pasar Pagaralam untuk mencari kerja sebagai pelakunya.
Salah satu faktor yang memicu terjadinya aksi kekerasan ini mungkin sekali adalah pernyataan-pernyataan Letjen Prabowo Subianto dan pemimpin-pemimpin kelompok Islam militan Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) yang disiarkan pada televisi dan di laporan-laporan surat kabar beberapa saat sebelum terjadinya kerusuhan. Pada tablig akbar 8 Februari 1998 yang diorganisir oleh KISDI di Masjid Al-Azhar, Jakarta, KH Abdul Qadir Djaelani mendesak pemerintah untuk menyita kekayaan para konglomerat non-pribumi (yang berarti adalah etnis Tionghoa) yang telah dialihkan ke luar negeri. Ahmad Sumorgono, pemimpin KISDI, mendakwa CSIS, suatu lembaga pengkajian era Orde Baru yang dipimpin oleh Jusuf Wanandi, seorang saudara dari pengusaha Indonesia-Tionghoa terkenal, dengan tuduhan telah melakukan rekayasa politik yang merugikan umat Islam. Ketua gerakan pemuda KISDI juga menyuarakan perlunya pembentukan suatu pos komando yang akan bersatu untuk menghadapi para pengkhianat bangsa seperti Sofjan Wanandi (saudara dari Jusuf Wanandi) atau siapapun yang berdiri dibelakangnya dan mengakhiri pidatonya dengan menyerukan, “Hidup Mulia atau Mati Syahid! Allahu Akbar!”[30]
Serangan-serangan yang paling parah terhadap tempat-tempat usaha warga Indonesia-Tionghoa terjadi pada peristiwa kerusuhan dan penjarahan selama tiga hari di Palembang, ibukota Sumatra Selatan. Kerusuhan-kerusuhan tersebut terjadi pada tanggal 14 Mei, ketika kerusuhan-kerusuhan juga meletus di Jakarta dan Solo setelah terjadinya penembakan empat mahasiswa di Universitas Trisakti. Kerusuhan-kerusuhan di Jakarta diperkirakan menewaskan lebih dari 800 jiwa, kebanyakan dari mereka adalah para penjarah (orang-orang Jawa) yang terperangkap di gedung-gedung tinggi pusat perbelanjaan yang telah dibakar. Meski kerusakan bangunan sangat parah di Palembang, tetapi tidak ada serangan-serangan terhadap orang atau menimbulkan kematian.
Bahkan sebelum bukti muncul yang menghubungkan elemen-elemen di militer Indonesia dengan kerusuhan di Jakarta, orang-orang di Sumatra Selatan berkeyakinan bahwa kerusuhan di Palembang dipicu oleh adanya pihak-pihak yang tidak dikenal. Menurut wartawan lokal, orang-orang luar tidak dikenal yang mirip anggota-anggota aparat keamanan (baik militer maupun paramiliter) kelihatan meloncat turun dari sejumlah truk di pagi hari. Mereka kemudian memulai melempar batu-batu ke ruang pamer mobil dan membakar ban-ban untuk menarik kerumunan. Wartawan-wartawan menyatakan pula bahwa mereka juga mendengar banyak rumor yang menjanjikan bahwa seorang pun tidak akan ada yang ditangkap untuk penjarahan.[31]
Seperti kekerasan massa pada kasus-kasus sengketa tanah, kerusuhan-kerusuhan anti warga Indonesia-Tionghoa di Sumatra Selatan lebih berupa serangan-serangan ke bangunan dan harta benda daripada ke orang-orang. Para perusuh Palembang juga menyerang tempat-tempat usaha yang berkaitan dengan keluarga Suharto, termasuk diantaranya ruang pamer mobil Timor (yang diproduksi oleh perusahaan yang sebagian dimiliki Tommy Suharto). Kerusuhan-kerusuhan tersebut dapat dikatakan secara politik dipicu oleh kecaman-kecaman para tokoh-tokoh politik terhadap pada warga Indonesia-Tionghoa yang menyalahkan mereka atas terjadinya krisis ekonomi, yang kemudian dipakai untuk membenarkan penjarahan terhadap toko-toko dan tempat-tempat usaha yang dimiliki oleh warga non-pribumi Indonesia.
Kerusuhan Pagaralam pada bulan Februari dan kerusuhan Palembang pada bulan Mei membuat orang-orang di Sumatra Selatan tergoncang dengan cepatnya ambruknya tatanan hukum dan ketertiban. Kerusuhan-kerusuhan tersebut juga memunculkan ketakutan akan kekacauan diantara kelas menengah perkotaan, yang cenderung melihat protes-protes terhadap perusahaan-perusahaan yang melibatkan tindakan perusakan terhadap harta milik sebagai bukti ancaman terhadap keselamatan mereka. Kelas menengah percaya bahwa seharusnya pemerintah melindungi harta milik perusahaan supaya para investor merasa aman dan ekonomi Indonesia dapat kembali tumbuh lagi. Protes-protes yang berlanjut sejak jatuhnya Suharto pada umumnya ditanggapi dengan sinisme. Pada tahun 2001 sering terdengar komentar-komentar mengenai akibat buruk dari orang-orang yang melakukan demonstrasi yang hanya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ini tentunya tidak terlalu sulit bagi elit-elit politik yang bersaing mendapatkan kekuasaan dibawah peraturan perundangan baru mengenai otonomi daerah untuk memanfaatkan kecemasan kelas menengah, dengan mempromosikan kembalinya ketertiban dan stabilitas dan menangkapi para pemrotes untuk membawa kembali investasi luar negeri.
Sosiologi Kekerasan Massa, 1965-1966
Pembunuhan massal setengah juta jiwa atau lebih terhadap kaum komunis maupun yang dituduh simpatisan yang ditabukan dalam diskusi-diskusi umum selama ini telah membuat masyarakat Indonesia dihantui kembalinya mereka yang ditindas. Sesudah jatuhnya Suharto, kelompok-kelompok yang mengusulkan pembongkaran bukti-bukti pembunuhan massal diancam dengan kekerasan.[32] Bahkan media massa yang telah menikmati adanya kebebasan pers yang mulai muncul sejak bulan Mei 1998 juga takut untuk mengangkat masalah ini. Ketakutan bisu bahwa kekacauan dan pembunuhan seperti pada masa sesudah kudeta 1965 dapat terjadi lagi mungkin merupakan alasan paling kuat yang mendukung pandangan bahwa Indonesia merupakan budaya yang penuh kekerasan (a violent culture). Akan tetapi, apa yang terkenal sebagai pembunuhan tahun 1965-1966 menunjukkan adanya peran penting yang dilakukan oleh militer Indonesia dalam mengijinkan dan mendukung pembunuhan terhadap kaum komunis.
Memang masih belum jelas siapa yang berada dibelakang percobaan kudeta yang dilakukan Untung pada tanggal 30 September 1965. Pemerintah Orde Baru dan militer Indonesia bersikukuh bahwa kudeta tersebut direncanakan dan dilakukan oleh PKI, meski Benedict R. Anderson dan Ruth McVey misalnya, berpendapat bahwa kudeta tersebut lebih merupakan karena adanya perpecahan dikalangan Angkatan Darat.[33] Seberapa parah pembunuhan yang terjadi dan pada masa-masa sesudahnya juga masih belum jelas, meskipun perkiraan bahwa sekitar 500.000 jiwa terbunuh diyakini yang paling masuk akal. Kajian-kajian yang dilakukan tentang pembunuhan massal tersebut—terobosannya Robert Cribb yang mengedit studi mengenai kekerasan tersebut, penelitian Robert Hefner tentang kekerasan di wilayah Jawa Timur, kajian Geoffrey Robinson mengenai Bali dan disertasi yang tidak diterbitkan yang ditulis oleh Iwan Sudjatmiko dan Hermawan Sulistyo[34]--pada umumnya menyimpulkan bahwa ditempat-tempat dimana terjadinya kematian yang sangat banyak (Jawa Timur, Bali dan Sumatra Utara), pembunuhan tersebut didorong atau diorganisir dan didukung oleh militer Indonesia. Sebagaimana Cribb berpendapat, “Dalam banyak kasus, pembunuhan-pembunuhan tidak terjadi sebelum unit-unit khusus militer tiba di suatu daerah dan menjatuhkan hukuman kekerasan dengan perintah atau contoh.”[35] Berpendapat serupa, Hefner berkesimpulan bahwa, “Pada akhirnya, kekerasan di dataran tinggi Pasuruan dalam pemahaman yang sederhana sekalipun bukanlah semata-mata hasil/produk dari pembelahan sosial kelas lokal atau keagamaan. Itu semua diatur oleh aparat-aparat negara dan termasuk di dalamnya adalah wakil-wakil dari berbagai macam lembaga swadaya masyarakat, khususnya Nahdlatul Ulama.”[36] Dan sebagaimana Robinson juga mengamati, ”Secara kasat mata semua bukti-bukti mengindikasikan bahwa aparat militer, baik yang lokal maupun yang berbasis di Jawa, bersama-sama dengan aparat-aparat partai politik, merekayasa dan memulai kekerasan di Bali, sebagaimana mereka lakukan di Jawa.”[37]
Menurut banyak sumber, kelompok-kelompok paramiliter pemuda juga didorong untuk melakukan pembunuhan terhadap sejumlah orang dan diberi dukungan moral dan logistik oleh Angkatan Darat, terutama dari RPKAD (yang kemudian menjadi Kopassus). Di Jawa Timur, Gerakan Pemuda Ansor yang berafiliasi ke NU merupakan tulang punggung utama Angkatan Darat, sementara di Medan adalah Pemuda Pancasila dan di Bali adalah Gerakan Pemuda Anshor dan kelompok-kelompok pengamanan masyarakat anti-PKI yang didukung oleh Partai Nasional Indonesia.[38]
Ada pula kesejajaran (paralelitas) yang mengejutkan dan mengkuatirkan antara masalah-masalah ekonomi dan politik yang dihapadi Indonesia pada tahun 1965 dan kondisi saat ini. Damien Kingsbury menjelaskan buruknya situasi ekonomi yang dihapadi Indonesia pada tahun 1965:
“Pemerintahan dibawah Sukarno nyaris kehilangan kendali atas ekonomi...laju inflasi secara umum mencapai 500%, dan harga beras yang berada dalam persediaan yang menipis naik sekitar 900%. Defisit anggaran naik menjadi 300% dari pendapatan pemerintah, dan jika pembayaran kembali hutang-hutang luar negeri untuk tahun 1966 dilakukan sesuai jadual, maka hal itu senilai dengan hampir keseluruhan pendapatan dari ekspor.”[39]
Indonesia hari ini berada diambang kebangkrutan karena adanya krisis ekonomi tahun 1997. Karena para penanam modal domestik banyak memindahkan kekayaannya ke luar negeri, mata uang yang melemah dan menurunnya sumber-sumber pendapatan telah mengakibatkan kekurangan (defisit) keuangan lebih dari $3.5 milyar untuk tahun anggaran yang mulai 1 April 2001.[40] Krisis ekonomi juga telah memaksa 40% penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Banyak perusahaan terpaksa melakukan pengecilan dan merestrukturasi pekerjanya, yang berakibat pada banyaknya kehilangan pekerjaan. Pada tahun 1998, upah minimum, yang sudah rendah menurut standar Asia, hanya ditingkatkan 15%, dibandingkan laju inflasi yang mencapai 78%.[41] Dan ironisnya ditengah-tengah situasi yang mengenaskan tersebut, menurut Konsorsium Kemiskinan Kota (UPC), anggaran untuk pemeliharaan rumah tangga gubernur dan wakil gubernur dan hiburan (kesejahteraan) bagi anggota dewan perwakilan rakyat daerah di Jakarta mencapai 10 juta dollar (90 milyar rupiah), sementara kurang dari 150.000 dollar (1.4 milyar rupiah) dianggarkan untuk anak-anak jalanan di Jakarta. Anggaran hiburan (kesejahteraan) yang resmi tersebut adalah lima kali lipat dari anggaran untuk menaikkan kualitas gizi para kaum miskin di perkotaan.[42]
Hal yang seiring dengan masalah-masalah tersebut adalah adanya paralelitas antara kondisi sosial yang memotivasi orang-orang untuk berpartisipasi dalam pembunuhan pada masa sesudah terjadinya kudeta dan kondisi-kondisi sosial saat ini. Pada tahun 1962 Herbert Feith mencatat bahwa kondisi-kondisi yang mendorong ke pemerintahan yang otoriter diciptakan oleh “pemerintahan yang lumpuh, yang terpukul oleh ledakan-ledakan kekacauan politik.”[43] Sebagaimana pula Robert Hefner kemudian mengungkapkan bahwa, “Pada (tahun 1945 dan 1965) faksionalisme (perpecahan) di kalangan petinggi negara membuat para lawan politik untuk membuat lebih buruk antagonisme (pertentangan) etnis-keagamaan di masyarakat, dan menciptakan aliansi-aliansi yang terkotak-kotak yang mengeksploitasi ketegangan komunal demi tujuan-tujuan sempit mereka.”[44] Perpecahan dan instabilitas politik tersebut telah membawa masyarakat ke penguatan identitas kolektif, yang dimobilisir pada waktu pembunuhan terjadi.[45] Pembunuhan terhadap orang-orang Kristen di Nusa Tenggara, para transmigran Jawa di Lampung, dan warga Indonesia-Tionghoa yang telah lama tinggal di Kalimantan pada masa pembunuhan massal tahun 1965-1966 adalah konsekuensi dari masalah tersebut, dengan dibenarkan oleh tuduhan-tuduhan bahwa mereka adalah kaum komunis. Gaung-gaung dari faktor-faktor tersebut mungkin dapat dilihat pada waktu ini, sebagaimana telah ditelaah sebelumnya.
Sengketa atas tanah juga menjadi sebab dari kekerasan sebagaimana terjadi saat ini. Cribb, Hefner, Robinson, Sudjatmiko, dan Sulistyo setuju bahwa undang-undang reformasi pertanahan (land reform) tahun 1960 yang disahkan sesudah terjadinya nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, dan juga keputusan PKI pada bulan Desember 1963 untuk menyokong kampanye aksi sepihak penguasaan tanah, telah memperdalam dan meradikalkan perpecahan-perpecahan di masyarakat-masyarakat lokal, yang kemudian memfasilitasi perekrutan kelompok-kelompok lokal untuk melaksanakan serangan-serangan terhadap kaum komunis.[46] Sebagaiman Rex Morthimer kemudian mencatat:
“Hubungan-hubungan antara pola-pola awal aksi pertentangan dan pembunuhan massal adalah, ditengah langkanya kajian-kajian intensif ditingkat desa, sangat meyakinkan. Terus menerus, dalam laporan-laporan mengenai daerah dimana pembunuhan-pembunuhan terjadi secara dahsyat, kita menemukan tempat-tempat dimana kekuatan Komunis dan anti-Komunis selama periode aksi hampir seimbang dan ketegangan-ketegangan yang terjadi oleh adanya kampanye reformasi pertanahan paling tinggi.”[47]
Demikian pula sistem hukum, tidak memberikan pengawasan terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh para elit atau rejim yang memerintah pada tahun 1965 atau pada masa-masa sekarang ini. Sukarno berupaya untuk mengurangi independensi sistem hukum dengan “memulai serangan secara sepihak dan sekuat tenaga terhadap lembaga peradilan. Dia secara sistematis mengucilkan semua hakim dan pengacara yang bagus, dan mengangkangi pengadilan dengan aturan-aturannya...Dia merencanakan menyingkirkan pengacara-pengacara di pengadilan dan menggantinya dengan perwira-perwira militer yang tidak memiliki pendidikan sampai tingkat universitas.”[48] Tanpa adanya lembaga peradilan yang efektif dan tidak memihak, orang-orang mengambil alih keadilan ke tangannya. Pada tahun 1963-65, baik pihak PKI maupun para pemilik tanah memilih kekerasan untuk memantapkan klaim-klaim mereka atas tanah. Suharto sama halnya juga menyerang independensi lembaga peradilan; dan sebagai konsekuensinya, ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengadilan dan polisi sangat tampak saat ini, dan banyak orang kembali memilih kekerasan untuk memaksa aparat pemerintah untuk terlibat dalam sengketa-sengketa tanah maupun upah.
Semenjak konfrontasi-konfrontasi dengan kekerasan mengenai tanah dan protes-protes terhadap rejim yang berkuasa menjadi hal yang umum pada awal 1960-an, masyarakat menjadi terbelah secara tajam menurut garis-garis ideologi antara kiri Komunis dan pemilik tanah dengan militer di kanan. Elit-elit nasional menanggapinya dengan menjadi “pendukung aktif gerakan-gerakan menuju ke bentuk pemerintahan yang lebih menindas dan membatasi, dengan keyakinan bahwa bentuk pemerintahan seperti itu merupakan satu-satunya perangkat yang memungkinkan untuk mengatasi perpecahan-perpecahan tajam yang baru saja terjadi di antara masyarakat politik.”[49]
Hal yang secara khusus penting untuk memberikan suatu latar pemahaman bagi pembunuhan massal pada tahun 1965-66 adalah adanya polarisasi (pengkutuban) antara Angkatan Bersenjata Indonesia dengan PKI yang menghilangkan adanya kemungkinan jalan tengah untuk negoisasi dan kompromi. Robinson mencatat bahwa sesudah terjadinya kudeta, “suatu kampanye telah dilancarkan oleh Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, suatu lembaga yang dibentuk oleh Suharto pada tahun 1965) yang ditujukan untuk membuat orang biasa menjadi tidak mungkin untuk netral secara politik—suatu teknik perang urat syaraf yang kemudian diterapkan oleh angkatan bersenjata Indonesia di Aceh dan Timor Timur.”[50] Hefner selanjutnya menunjukkan adanya penggunaan kelompok-kelompok paramiliter yang direkrut oleh militer untuk merancang serangan-serangan terhadap kelompok-kelompok yang dibidik pada tahun 1965-66. “Satu elemen penting dari persenjataan militer untuk kekerasan adalah kelompok-kelompok ronda sipil, beberapa diantara direkrut dari sejumlah bandit-bandit perkotaan (urban gangsters) yang jumlahnya makin meningkat di Indonesia.”[51]
Refleksi-refleksi
Hari ini, sebagaimana pada tahun 1965, faktor-faktor ekonomi—meliputi naiknya harga-harga kebutuhan pokok dan sangat tingginya angka pengangguran—telah mengancam kehidupan kaum miskin dan keamanan ekonomi dari kelas menengah. Lebih jauh lagi, hanya tiga tahun semenjak jatuhnya Suharto, mulai meluas perasaan sinis mengenai prospek reformasi politik dan hukum yang akan membawa ke tatanan pemerintahan yang lebih demokratis, pertanggungjawaban ekonomi, dan pembagian kemakmuran yang lebih adil. Para pemimpin politik telah menunjukkan ketidakbecusan dalam mengatasi persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi Indonesia dan konflik-konflik tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan-pengadilan karena adanya warisan dari rezim Orde Baru yaitu pengebirian lembaga-lembaga hukum.
Mobilisasi massa oleh partai-partai politik dalam rangka persiapan untuk Pemilu tahun 2004 dan munculnya serikat-serikat buruh yang independen dapat menciptakan tahapan untuk terjadinya konflik-konflik yang terpolarisasi sepanjang garis-garis ideologis. Sebagaimana Hadiz mengamati,
“(suatu) proses transisi politik yang bergolak pasti hampir selalu melibatkan upaya-upaya dari elit-elit yang bertikai untuk memobilisasi bagian-bagian tertentu dari masyarakat, termasuk diantaranya para pekerja, yang saat ini dikecualikan secara resmi dari kehidupan politik. Dibawah situasi seperti itu, tampaknya akan sangat mungkin...bagi partai-partai politik dan organisasi-organisasi lain, yang mewakili bagian-bagian tertentu dari elit politik, untuk mencoba memperkokoh posisi mereka di dalam konfigurasi politik pasca-Suharto dengan mencari dukungan dari kelas pekerja.”[52]
Pada awalnya, pemerintahan transisi B. J. Habibie telah mencoba untuk merespon protes-protes dari para pekerja. Sebagai contoh, pada bulan Februari 1999, ketika 20.000 pekerja dari empat perusahaan elektronik terkemuka melakukan unjuk rasa menuntut peningkatan upah dan uang makan serta tranportasi harian, pemerintah mengorganisir negoisasi-negoisasi antara para pemogok kerja dengan manajemen pabrik, yang menghasilkan peningkatan uang makan dan transportasi. Akan tetapi, sejak bulan-bulan awal tahun 1999, pemerintah telah berulangkali maju mundur antara mengedepankan daya tanggap (responsiveness) dan represi.
Sengketa atas tanah muncul di mana-mana, khususnya di pulau-pulau luar Jawa di mana hal ini dianggap sebagai suatu bentuk ancaman terhadap investasi luar negeri yang kebanyakan orang Indonesia menerimanya sebagai suatu kebutuhan untuk memulihkan dari krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997. Sebagai misal, suatu artikel di koran yang melaporkan negoisasi-negoisasi antara perusahaan batu bara Kaltim Prima Coal dengan orang-orang desa di Kalimantan Timur mencatat bahwa, “sengketa tanah pada akhir-akhir ini telah menjadi masalah utama di propinsi-propinsi dan kabupaten-kabupaten di luar Jakarta setelah adanya suatu tatanan baru yang demokratis di negara kita. Ini telah menciptakan keresahan bagi kalangan penanam modal.”[53] Bahkan jika pemerintah pusat mampu membuat suatu strategi ekonomi yang jelas dan kebijakan yang konsisten mengenai pertanahan, penerapannya akan menjadi rumit dengan adanya peraturan perundangan baru mengenai otonomi daerah. Konflik-konflik pertanahan tampaknya akan terus berlanjut dan membuahkan serangan-serangan terhadap harta milik perusahaan. Tanpa adanya lembaga-lembaga politik dan hukum yang efektif untuk menindaklanjuti keluhan-keluhan atau penyelesaian dari konflik-konflik tersebut, elit-elit daerah tampaknya akan memilih penggunaan aparat keamanan untuk menjaga ketertiban dan hukum, mencerminkan warisan kedua dari Orde Baru: membiasakan kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap para pengunjuk-rasa.
Ketegangan-ketegangan etnis dan keagamaan yang muncul dari persaingan ekonomi antara penduduk lokal dengan para pendatang/transmigran juga tampaknya akan membawa pada pecahnya kekerasan. Dalam kejadian baru-baru ini seperti yang dilaporkan oleh radio BBC pada bulan Maret 2001, para penduduk lokal di Riau telah membakar hancur perumahan pada transmigran.[54] Kerusuhan di Maluku di wilayah timur Indonesia, Poso di Sulawesi, dan Sampit di Kalimantan merupakan contoh-contoh yang mencolok dimana konflik-konflik ‘etnis’ dan ‘keagamaan’ antara para penduduk lokal dengan kaum pendatang dapat menjadi berurat-akar secara dalam. Konflik-konflik seperti itu juga dapat menjadi hal yang menguntungkan bagi militer karena membuka kebutuhan akan perlindungan keamanan bagi masyarakat oleh aparat keamanan dan memberikan banyak peluang untuk melakukan eksploitasi ekonomi terhadap para pengungsi.
Namun ada pula perbedaan-perbedaan yang berarti antara periode awal 1960-an dan pasca-Suharto. Pertama, saat ini tidak ada organisasi nasional yang sebanding dengan PKI yang mampu mengorganisir protes-protes lokal menjadi suatu kampanye massal. Kedua, berakhirnya era Perang Dingin juga berarti bahwa pemerintah-pemerintah asing akan kurang tertarik untuk mendukung suatu aksi yang dilakukan oleh elit-elit pemerintahan maupun militer untuk melawan kaum ‘kiri.’ Ketiga, suatu kudeta militer tampaknya mustahil terjadi pada jangka waktu dekat ini karena militer Indonesia telah sangat tercoreng karena pelanggaran hak-hak asasi manusia pada waktu dulu dan saat ini. Dan keempat, masyarakat sipil internasional, sebagaimana termanifestasi dalam organisasi Amnesty International dan Human Rights Watch, telah berdiri lebih dari 40 tahun. Organisasi-organisasi ini secara bertahap menjadi efektif untuk menekan pemerintah-pemerintah Barat untuk memprotes pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kekerasan negara yang dilakukan secara sistematis. Faktor-faktor tersebut membuat kecil kemungkinan pembunuhan massal tahun 1965-66 dapat diulangi lagi.
Di Indonesia ancaman terbesar adanya kekerasan muncul dari keberadaan kelompok-kelompok paramiliter pemuda yang terhubung dengan militer, partai-partai politik, dan organisasi-organisasi Islam. Salah satu skenario yang mungkin terjadi pada masa datang di Indonesia diyakini akan seperti kejadian-kejadian di Thailand pada tahun 1976 dimana kelompok-kelompok paramiliter seperti The Red Gaur dan pandu-pandu desa bergabung dalam satu kekuatan dengan aparat kepolisian yang korup dan elit-elit politik sayap kanan untuk menghancurkan para mahasiswa ‘kiri’ dan demokrasi yang baru saja lahir dengan mengatasnamakan nasionalisme.[55] Dengan mengacu pada kasus Indonesia, sebagaimana argumentasi saya diatas, kelompok-kelompok pemuda telah ditulari dengan budaya kekerasan yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok paramiliter yang terkait dengan militer Indonesia. Sebagai contoh, PDI-P, partai berkuasanya Presiden Megawati Sukarnoputri, yang memiliki tiga afiliasi kelompok paramiliter pemuda, telah memilih Eurico Guterres—yang dituduh terlibat dalam pelanggaran berat hak-hak asasi manusia sebagai salah satu pemimpin dari unit paramiliter yang paling brutal yang beraksi di Timor Timur[56]--untuk menjadi pimpinan salah satu organisasi paramiliternya. Tindakan-tindakan kelompok-kelompok paramiliter, yang seringkali melibatkan kelompok-kelompok penjahat (criminal gangs), seringkali dilaporkan dalam media massa sebagai telah dipicu oleh individu-individu yang tidak dikenal. Sebagai contoh, pada tanggal 30 Maret 2001, harian The Jakarta Post melaporkan bahwa “ratusan pekerja pabrik pelapis jok mobil PT Kadera AR Indonesia di kawasan industri Pulogadung diserang ketika mereka sedang berunjuk-rasa di waktu pagi pada hari Kamis, menewaskan satu orang dan mencederai 11 lainnya.”[57] Kelompok-kelompok paramiliter pemuda yang didukung oleh sejumlah elit politik telah memungkinkan para pendukungnya tersebut untuk menghindari tanggungjawab dengan menunjuk pada ‘budaya kekerasannya’ orang Indonesia. Penggunaan kelompok-kelompok paramiliter juga mengancam keamanan warganegara pada umumnya, yang akhirnya menjadi takut terhadap pelibatan dalam politik.
Bahwa ada kekerasan yang meluas di Indonesia saat ini tidaklah mungkin untuk dibantah. Kekerasan tersebut muncul karena adanya berbagai macam alasan, seperti kegagalan lembaga-lembaga politik dan hukum untuk menyediakan perangkat/aturan bagi penyelesaian konflik maupun mengatasi keluhan-keluhan, konsolidasi (penguatan) identitas-identitas komunal dimana kelompok-kelompok bersaing mendapatkan akses untuk atau kendali atas sumber-sumber ekonomi, dan penggunaan kekerasan yang dijatuhkan oleh negara (state-sanctioned violence) untuk menghasut atau menekan konflik. Dalam kontek ini, klaim bahwa Indonesia adalah suatu budaya yang penuh kekerasan (a violent culture) hanyalah sebuah klaim politik yang dapat dimanfaatkan untuk membenarkan kembalinya penguasa yang otoriter dan kekerasan negara berikutnya.
* * *
* Dalam bahasa Inggris artikel ini pernah dimuat dalam Asian Survey, vol. xlii no. 4, Juli/Agustus 2002, hal. 582-604. Diterjemahkan oleh Nico Harjanto dan Putut Widjanarko atas ijin penulisnya..
** Penulis adalah mantan Direktur Program Kajian Asia Tenggara, Ohio University, serta Associate Professor, Department of Philosophy, Ohio University, Athens, Ohio.
[1] Pernyataan ini dilontarkan pada Konferensi “Indonesia Next,” disponsori Van Zorge, Heffernan and Associates, Jakarta, 21 April 2001.
[2] Dikutip dari Robert Cribb, ed., The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali, Monash Paper on Southeast Asia, no. 21 (Clayton, Vict., Australia: Monas University, Center of Southeast Asian Studies, 1990), p. 113.
[3] Lihat “Remembering the Left” dalam Indonesia Today: Challenges of History, ed. Grason Loyddan Shannon Smith (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2001), hal. 131.
[4] Timothy Lindsey, “Judiciary System Reform May Be Slow But It Is Coming,” Jakarta Post, 21 Desember 2001.
[5] Joshua Barker, “State of Fear: Controlling the Criminal Contagion in Suharto’s New Order,” dalam Violence and the State in Suharto’s Indonesia, ed. Benedict Anderson (Ithaca, N. Y.: Cornell University Press, 2001), hal. 20-53.
[6] Timothy Lindsey, “State Loses Control over ‘Preman’,” Jakarta Post, 19 Maret, 2001.
[7] Dini Djalal, “Crime and Punishment: The New face of Indonesian Justice,” Far Eastern Economic Review,13 Juli 2000.
[8] Lihat John McBeth, “Social Dynamite,” ibid., 15 Februari 1996, hal 20-22; “A Chronology of Hope and Desapir,” Ampo, no 8 (Oktober 1997), hal 52-22; dan “Riot in Medan, Commander of Northern Sumatra Regional Military Apologizes,´P. T. Indonesia Media, 3 Maret 1996, <http://www.imn.co.id/today/9603/02/02medan.eng-e.html>.
[9] Margot Cohen, “Days of Rage,” FEER, 8 April 1994, hal 14-15.
[10] Global Exchange Report on Human Right in Indonesia, November 1996, hal 10. <http://www.globalexchange.org/education/publications/indonesiaHR.html >.
[11] Misalnya, lihat John McBeth dan Margot Cohen, “Tinderbox,” FEER, 9 Januari 1997, hal. 14-15; dan “Behind the Riots in Indonesia” (tajuk rencana), Strait Times, 30 Desember 1996.
[12] Susan Sim, “Exaggerating Income Gap Level Can Lead to More Unrest: Suharto,” Strait Times, 16 Januari 1997, <http://www.asial.com.sg/srtaitstimes/pages/stseal.html>.
[13] Geoffrey Robinson, “Rawan is As Rawan Does: The Origins of Disorder of New Order Aceh,” dalam Violence and the State in Suharto’s Indonesia, hal 213-42.
[14] Lihat David Bouchier, “Crime, Law, and State Authority in Indonesia,” dalam State and Civil Society in Indonesia, ed. Arief Budiman, Monash Paper in Southeast Asia, no. 22 (Clayton, Vict.: Monash University, Center of Southeast Asian Studies, 1990); and James Siegel, A New Criminal Type in Jakarta: Counter-revolution Today. (Durham: Duke University Press, 1998).
[15] Lihat Loren Ryter, “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Freemen of Suharto’s Order?” dalam Violence and the State in Suharto’s Indonesia, hal 124-55.
[16] John McBeth, “Far From Over: Democrats and Leftists Remain under Political Cloud,” FEER, 22 Agustus 1996, hal 17-20.
[17] John McBeth dan Margot Cohen, “Streets of Fire,” ibid., 8 Agustus 1996, hal. 14-16.
[18] “Criminal Laber for Riot Victims Too Premature: Expert,” Jakarta Post, 26 Mei 1997; dan “Rights Body Says 77 People Missing in Banjarmasin,” ibid., 2 Juni 1997. Untuk tinjauan terhadap kerusuhan-kerusuhan menjelang Pemilu, lihat “Official Human-Rights Commision Report,” ibid. 4 Juni 1998.
[19] Lihat Richard Robinson, Indonesia: The Rise of Capital (Sydney: Allen and Uniwin, 1986), hal 164.
[20] Lihat John Bresnan, Managing Indonesia: The Modern Political Economy (New York: Columbia University Press, 1993), hal 145-46.
[21] Joe Leahy, “Muslim Leaders Says Unrest Part Plot to Oust Him,” South China Morning Post (SCMP), 16 Januari 1997; dan Susan Sim, “Exaggerating Income Gap Can Lead to More Unrest: Suharto,” Strait Times (Singapore), 16 Januari, 1997.
[22] John McBeth, “Tinderbox,” hal. 14-15.
[23] Louise Williams, “Fresh Arrest as Workers Riot,” Sydney Morning Herald, 3 Februari 1997.
[24] Susan Berfield dan Dewi Loveard, “Ten Days that Shook Indonesia,” Asiawek, 21 Juli, 1998.
[25] Bagian selanjutnya didasarkan pada laporan-laporan mengenai sengketa-sengketa pertanahan yang dikumpulkan oleh para relawan LBH-Palembang dan wawancara-wawancara saya dengan orang-orang desa di Sumatra Selatan, 1998-2000.
[26] Untuk diskusi mengenai konflik pertanahan di Sumatra Selatan, lihat Elizabeth Collins, “Multinational Capital, New Order ‘Development,’ and Democratization in South Sumatra,” Indonesia, no. 71 (April 2001), halaman 111-34; dan Jamilah Nuh dan Elizabeth Collins, “Land Conflict and Grassroots Democracy in South Sumatra: The Dynamics of Violence,” Anthropologia Indonesia, no. 25 (Januari-April 2001), halaman 41-55.
[27] “12 Ribu Ha Lahan MHP Dikembalikan,” Sriwijaya Pos, 28 April 2000.
[28] Dan Murphy, “Deeper into the Morass,” FEER, 1 Juni 2000, hal. 58-59.
[29] “Tentang Tindakan Kekerasan yang Dilakukan oleh Aparat Kepolisian Kota Besar (POLTABES) Palembang terhadap Sdr. Syamsul Asinar,” Surat Protes Terbuka WALHI Sumatera Selatan, no. 13/Kp-CE/V/2001, 30 April 2001.
[30] “Umat Islam Diminta Menghadapi Para Pengkhianat Bangsa,” Kompas Online, February 9, 1998, http://www.kompas.com/. Juga lihat, Margot Cohen, ”’Us’ and ’Them’: Muslim Activists Say It’s Time to Seize Economic Power,” FEER, 12 Februari 1998, hal. 16-17; dan “Sofjan Back Home,” Jakarta Post, 9 Februari 1998.
[31] Wawancara penulis dengan para warga setempat dan wartawan-wartawan Sriwijaya Pos di Palembang, Indonesia pada bulan Oktober 1998.
[32] Vaudine England, “Coffins Broken into as Multi-Faith Service for People Killed in Anti-Communist Crackdown Prevented,” SCMP, 27 Maret 2001.
[33] Periksa, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1971). Adam Schwartz berkesimpulan, “Although not without its flaws- in particular its view that the Communist Party was not involved at all in the coup- on balance the Cornell Paper seems to offer a more credible interpretation of events than the army’s contention that the communists were solely responsible.” Periksa dalam A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s (Boulder, CO: Westview Press, 1994), hal. 20.
[34] Robert Cribb, ed., The Indonesian Killings; Robert Hefner, The Political Economy of Mountain Java: An Interpretive History (Berkeley: University of California Press, 1990); Geoffrey Robinson, The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1995); Iwan Sudjatmiko, “The Destruction of the Indonesian Communist Party (PKI): A Comparative Analysis of East Java and Bali” (Ph.D. diss., Harvard University, 1992); dan Hermawan Sulistyo, “The Forgotten Years: The Missing History of Indonesia’s Mass Slaughter (Jombang-Kediri 1965-1966)” (Ph.D. diss., Arizona State University, 1997).
[35] Cribb, ed., The Indonesian Killings; dan “Problems in the Historiography of the Killings in Indonesia,” dalam The Indonesian Killings, 1965-1966: Studies from Java and Bali, ed. Robert Cribb (Clayton, Australia: Centre for Southeast Asian Studies, 1990), hal. 21.
[36] Hefner, The Political Economy, hal. 212.
[37] Robinson, The Dark Side of Paradise, hal. 295.
[38] Sebagai contoh, periksa Robinson, hal. 281; dan Cribb, “Problems in Historiography,” hal. 33.
[39] Kingsbury, The Politics of Indonesia, hal. 56.
[40] Michael Vatikiotis, “Indonesia’s Budget Blues,” FEER, 17 Mei 2001, hal. 52-3.
[41] “Labor Relations in Indonesia,” Van Zorge Report (Jakarta), 5 Juni 2000, hal. 5.
[42] Dini Djalal, “Inspiring the Poor to Protest,” FEER, 3 Mei 2001, hal. 24-6.
[43] Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1962), hal. 601.
[44] Robert Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (Princeton, N.J.: Princeton University Press, 2000), hal. 212.
[45] Cribb, “Problems in the Historiography,” hal. 22, 24, 25, dan catatan nomer 41.
[46] Ibid., hal. 21-2, 24, 26; dan Robinson, The Dark Side of Paradise, hal. 265, 272.
[47] Rex Mortimer, The Indonesian Communist Party and Land Reform, 1959-1965, Monash Paper on Southeast Asia, no. 1. (Clayton, Vict., Australia: Monash University, Centre of Southeast Asian Studies, 1972), hal. 66.
[48] Lindsey, “Judiciary System Reform.”
[49] Feith, The Decline of Constitutional Democracy, hal. 601.
[50] Robinson, The Dark Side of Paradise, hal. 293; dan juga Cribb, “Problems in the Historiography,” hal. 36.
[51] Hefner, The Political Economy, hal. 66.
[52] Vedi Hadiz, Workers and the State in New Order Indonesia (Perth, Western Australia: Routledge, 1997) hal. 188.
[53] “KPC Agrees to Pay Land Compensation to End Dispute with Villagers,” Van Zorge Report, 12 Februari 2001.
[54] “Violence Erupts in Riau, Transmigrants’ Homes Burned,” British Broadcasting Corporation, 28 Maret 2001.
[55] Lihat Benedict Anderson, “Withdrawal Symptoms,” dalam The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia and the World (London: Verso, 1998), hal. 139-73; dan idem,. “Murder and Progress in Modern Siam,” ibid., hal. 174-91.
[56] Periksa, Seth Mydans, “East Timor’s Scourge Serves Time on His Patio,” New York Times, 16 Mei 2001; dan “Eurico Guterres, Terror of Timor, Is Back,” Asiaweek, 22 Juni 2001, hal. 9.
[57] “Surprise Attack on Striking Workers Leaves One Dead,” The Jakarta Post, 30 Maret 2001.
Sumber:
http://www.scripps.ohiou.edu