Wanita Jawa, Quo Vadis?

Oleh: Ambar Adrianto

Di ujung senja, tatkala sedang duduk santai di beranda rumah, sayup-sayup terdengar di telinga saya sebuah lagu Indonesia lama yang dilantunkan oleh radio Swastaniaga yang mengudaya di kota Yogya ini: “...wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu…”. Suatu hal yang menggelitik benak kita, kira-kira masih relevankah syair dalam lagu tersebut? Benarkah fenomena superioritas laki-laki atas perempuan itu masih berlangsung hingga kini, khususnya di kalangan masyarakat Jawa? Nah, untuk mencari jawab atas pertanyaan itu, mari kita coba angkat ke permukaan wacana tentang bagaimana sesungguhnya sosok atau potret wanita Jawa pada masa kini.

Pendahuluan
Dewasa ini, kalau diamati tentang sepak terjang wanita Jawa sungguh tidak mudah untuk mencapai pengertian yang bulat mengenai bagaimana sebenarnya pribadi wanita Jawa pada masa kini. Mengapa demikian? Adalah suatu kenyataan bahwa sejak tahun 70-an, wanita Jawa telah menampilkan dirinya dengan berbagai cara. Dalam mengisi berbagai kegiatan di arena sosial, mereka menunjukkan berbagai sifat dan sikap terhadap problematik yang dihadapi, di antaranya peran sebagai ibu, isteri, dan sebagai warga masyarakat.

Tidak jarang, berbagai kegiatan yang dilakukan wanita mengundang komentar dari banyak pihak: “Kartini tentu sangat bangga bila ia melihat apa yang telah dicapai oleh wanita Indonesia pada masa kini”. Tentu tidak menutup mata realita yang ada menunjukkan betapa hebatnya prestasi yang berhasil diraih dan diukir oleh para wanita di negeri tercinta ini. Mulai dari keberhasilan/kesuksesan di dunia enterpreneur (wirausaha), karyawati sebuah perusahaan top dengan penghasilan yang begitu menggiurkan, artis, selebritis, atlet di tingkat dunia yang mengharumkan nama bangsa dan negara seperti Susi Susanti, eksekutif, birokrat, menteri, bahkan sampai jabatan tertinggi di republik ini (presiden) juga diamanahkan oleh seluruh rakyat Indonesia kepada seorang wanita, yakni Ibu Megawati Soekarnoputri.

Sebaliknya, Kartini pun akan sedih dan merana andai saja sempat menyaksikan kiprah segelintir kaum wanita yang melanggar adat kesopanan dan nilai-nilai atau norma-norma yang telah kita sepakati bersama dalam pergaulan hidup di masyarakat. Tidak sekali-dua bisa disimak bersama via media massa (cetak maupun elektronik) ada wanita sebagai bandar judi, pengedar narkoba, penjaja seks komersial (PSK), bahkan sekaligus menjadi germonya, bintang film porno yang mengundang pro-kontra secara meluas di dalam masyarakat.

Saat ini realita yang ada menunjukkan diversitas peran sosial yang diisi oleh wanita. Bahkan yang dulu sama sekali tidak pernah terbayangkan atau terpikirkan oleh kita pun, sekarang jadi kenyataan. Ada wanita astronot yang berhasil menginjakkan kakinya di bulan, petinju wanita (puteri Moh. Ali), pegulat yang action-nya hingga berdarah-darah, sehingga membuat ngeri setiap orang yang menontonnya, sepak bola wanita, bahkan kuli bangunan pun sekarang beberapa di antaranya juga merupakan kaum wanita. Masih banyak profesi lain yang digeluti oleh wanita, misalnya pilot pesawat (komersial/tempur), sopir (bus, truk, taksi), dan tukang becak. Nah, yang kontroversial ada juga, seperti wanita yang bekerja di tempat bilyar, pub, diskotek, dan tempat-tempat hiburan malam lainnya. Meski sebenarnya pekerjaan ini halal, toh belum semua anggota masyarakat bisa memahami dan menerimanya. Komentar sinis yang sering didengar: Perempuan macam apaan tuh, malam berangkat kerja, pagi baru pulang. Apa bedanya itu dengan wanita panggilan atau bahkan PSK?

Memang kesemuanya itu menunjukkan bahwa wanita sebagai anggota masyarakat dewasa ini dapat dan diperbolehkan mengisi berbagai peran yang di era Kartini dulu hanya merupakan idaman dan tidak dapat dibayangkan olehnya bahwa cita-citanya akan demikian cepat dapat direalisasikan. Dalam prakteknya, mereka yang mampu mengakses ke sana banyak di antaranya adalah wanita Jawa kota (priyayi). Berbeda dengan wanita Jawa desa yang sebagian besar berasal dari keluarga petani dan masih bermukim di daerah rural. Bukan rahasia lagi, kenyataan wanita desa mereka belum dapat secara meluas memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada dalam masyarakat. Jadi, baik secara ekonomis maupun dari tingkat pendidikan, wanita desa belum dapat dan belum sempat mengisi peran-peran (rules) sebagaimana yang dimainkan kaum wanita Jawa yang berdomisili di perkotaan (urban).

Kartini Sebagai Preferensi Wanita Jawa
Membahas tentang wanita Jawa, rasanya kurang afdol kalau tidak diawali dengan kontemplasi, merenungkan sejenak apa yang pernah dialami oleh Kartini pada permulaan abad ke-20 ini sebagai seorang gadis Jawa yang hidup di lingkungan kabupaten. Menyimak dari surat-surat yang ditulisnya kepada seorang gadis di negeri Belanda, diperoleh pengertian bagaimana ketentuan adat istiadat Jawa, khususnya yang belaku bagi gadis-gadis yang telah meningkat remaja, menimbulkan berbagai penderitaan dan konflik dalam diri Kartini.

Sebagai seorang gadis remaja, wanita muda, Kartini tidak dapat menerima demikian saja ketentuan-ketentuan adat Jawa yang berlaku bagi gadis-gadis seumur dan segolongan dia. Hal yang paling menyedihkan bagi Kartini adalah larangan untuk meneruskan pendidikan karena ia tidak mungkin dapat meninggalkan halaman kabupaten yang dilingkungi oleh empat tembok yang kokoh dan tinggi. Jelas bahwa Kartini tidak pasrah begitu saja terhadap ketentuan yang dinilainya tidak adil itu. Hal ini tampak jelas dari surat-suratnya bahwa dia tidak henti-hentinya mencoba mengubah berbagai ketentuan adat Jawa yang nyata-nyata merugikan bagi gadis-gadis seperti dia.

Dalam hal ini, tentu ia sadar sepenuhnya bahwa ketentuan adat istiadat yang begitu ketat mengekang dirinya tidak akan mudah melepaskan ikatan/simpul terhadapnya. Namun demikian, ia tidak putus asa, terutama untuk senantiasa menyakinkan pada ayahnya (yang selain sebagai orang yang sangat dicintainya, juga sekaligus yang paling berhak menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya sebagai gadis priyayi, agar ia diperbolehkan meneruskan dan mengikuti pendidikan untuk memperoleh suatu keterampilan. Dalam benak Kartini, keterampilan sangat diperlukan agar secara efektif wanita dapat menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk meningkatkan harkat kaumnya.

Ironis memang kalau diingat bahwa sebelum upaya itu tercapai, ternyata Kartini pada akhir menyesuaikan diri pada ketentuan keluarga untuk bersedia menikah dengan seorang suami yang telah dipilihkannya. Di sini memang tidak jelas apa alasan Kartini mau menerima keputusan keluarganya yang sebenarnya justeru merupakan satu hal yang amat ditentangnya, mengapa seorang gadis bersedia menikah dengan suami yang bukan merupakan pilihannya sendiri, bahkan yang sama sekali belum pernah dikenal sebelumnya. Namun, manakala kita sadari begitu kuatnya ikatan antara ia dengan ayahnya, mungkin saja keputusan tersebut diambil karena Kartini tidak mau menyakiti hati ayahnya. Memang di dalam suratnya, ia berkali-kali mengemukakan hanya akan melakukan apa yang menjadi keinginannya manakala ayahnya telah memberi persetujuan (merestuinya). Inilah sikap conform dari sosok wanita Jawa seperti Kartini terhadap kemauan dan kepentingan keluarganya.

Tentu hal ini tidak mengurangi penilaian masyarakat terhadap figur Kartini, yakni seorang gadis Jawa yang mempunyai ciri-ciri pribadi sebagai berikut: cerdas; berbakat; bersikat kritis terhadap kepincangan-kepincangan yang ada dalam lingkungan sosialnya; berani menyimpang dari kebiasaan yang berlaku dan menunjukkan sikap independen; berperasaan halus; tidak lekas menyerah (putus asa) dalam menghadapi berbagai rintangan.

Kasus Kartini memberi gambaran bagaimana seorang gadis Jawa yang hidup di jaman di mana tradisi Jawa dan orang-orang di dalam lingkungannya menutut secara ketat agar menyesuaikan diri pada tuntutan tersebut telah menunjukkan sikap pantang mundur dalam menggapai cita-citanya. Ia berani menentukan sikap tidak mau tunduk begitu saja terhadap berbagai ketentuan adar yang merugikan kaum wanita pada umumnya.

Sampai di sini dapat dikatakan bahwa ada pelajaran yang menarik dari kasus Kartini tersebut, yakni dalam mengambil keputusan yang penting, ia lebih mementingkan untuk tetap memelihara hubungan harmonis dengan orang yang paling ia cintai (ayahnya) daripada memaksakan keinginan/kehendaknya sendiri. Bukankah ini sungguh merupakan sikap yang sangat mulia, sekaligus menjadi bukti bahwa ungkapan mikul dhuwur mendhem jero itu tidak hanya dikonotasikan untuk anak laki-laki saja, tetapi Kartini pun sebagai sosok wanita mampu melakukannya dengan baik. Ia mau menuruti kehendak orangtuanya meski hal itu bertentangan dengan batinnya semata-mata demi menjaga keluhuran dan keharuman nama baik orang tua beserta keluarganya.

Disadari bersama bahwa berkat sifat-sifat, keyakinan, dan semangatnya, sosok Kartini telah ditampilkan sebagai potret wanita ideal yang patut dicontoh, baik sifat maupun perilakunya. Apalagi ia kini telah diangkat sebagai pahlawan nasional. Selain itu, Kartini menggambarkan sosok wanita Jawa yang telah menampilkan dirinya sebagai wanita yang berkeprbadian (a woman with a personality). Lagi-lagi, ini seolah menjungkirbalikkan anggapan selama ini bahwa di kalangan masyarakat Jawa pada umumnya, wanita (anak perempuan) adalah satru mungguh ing cangklakan, musuh dalam selimut. Kartini membuktikan bahwa ia tidak pernah merugikan keluarganya, tetapi justeru tampil bak seorang pahlawan bagi keluarga, masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Sosok Wanita Jawa Di Mata Kaum Pria
Stereotip wanita Jawa yang mempunyai sifat-sifat nrimo, sabar, pasrah, halus, setia dan berbakti ternyata masih merupakan gambaran ideal mengenai wanita Jawa pada umumnya. Secara obyektif, bagi wanita Jawa masa kini, gambaran tersebut rasanya tidak sesuai lagi dengan cara mereka sekarang menampilkan dirinya di tengah-tengah masyarakat. Dalam berbagai peran yang diisinya, wanita Jawa dapat menunjukkan sikap yang tegas, berinisiatif, malahan tidak kalah tangkas dari kaum pria. Ia pun berani menolak sesuatu bila tidak sesuai dengan pandangannya (tidak nrimo dan pasrah lagi). Ia juga tidak segan-segan mengutarakan pendapatnya bilamana dipandang perlu.

Bagi kaum pria, konsep wanita harus manut, apalagi seperti kata pepatah wanita itu ibarat swarga nunut neraka katutu, perlu diluruskan, harus ada redefinisi dan reinterpretasi agar tidak terkesan sebagai upaya pembodohan terhadap kaum wanita. Sesungguhnya pengertian manut di sini diletakkan pada posisi yang obyektif, yakni kesediaan wanita untuk mendengarkan, menyesuaikan diri, dan mau melakukan apa yang sudah ditetapkan (menjadi komitmen) bersama di tingkat keluarga.

Sampai sekarang pun, secara implisit masih ada tuntutan agar wanita senantiasa menggunakan tutur kata (bahasa) yang halus, dan bersikap lemah lembut karena sikap yang kasar lebih pantas bagi anak laki-laki (kaum pria). Memang dalam keluarga Jawa pada umumnya lebih protektif pada anak perempuan daripada anak laki-laki, bahkan seakan tidak memberi peluang anak perempuan untuk berdikari. Ini membuktikan bahwa dalam diri seorang wanita sejak semula memang sudah ditanamkan pengertian agar ia mau menunjukkan sikap conform terhadap aturan-aturan yang berlaku.

Adalah pantang bagi seorang gadis bepergian sendiri, tanpa ada laki-laki yang mengawalnya. Ketentuan ini pun harus dimaknai kembali, dan memang harus dilihat dan disesuaikan dengan situasi kondisi yang ada. Harus diingat bahwa mobilitas kaum wanita sekarang ini tidak kalah dengan kaum pria, baik pelajar, karyawan, maupun mereka yang berwirausaha, semuanya dituntut serba praktis. Dewasa ini banyak wanita yang bepergian ke berbagai kota bahkan sampai ke luar negeri seorang diri dalam satu bulan dia menggunakan jasa pesawat sendirian, tanpa pengawalan seorang pun karena tuntutan pekerjaan. Jadi, aturan semacam itu boleh dikata sudah tidak relevan lagi, terkecuali pada peristiwa khusus, misalnya terpaksa keluar malam hari apalagi bila yang dituju jaraknya jauh. Kasus seperti itu memang ada baiknya kalau seorang wanita dikawal oleh laki-laki yang dikenalnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa di kalangan keluarga Jawa, terutama dalam diri seorang wanita, semenjak usia yang relatif muda sudah mulai dikembangkan dasar-dasar sifat agar ia setia dan berbakti kepada orangtua, juga terhadap suami dan keluarga ketika wanita sudah kawin. Ada ungkapan yang lazim didengar, yakni wanita diposisikan sebagai koco wingking. Ini pun perlu diredifinisi dan reinterpretasi supaya tidak menimbulkan salah penafsiran. Sesungguhnya bagi kaum pria, wanita (isteri) merupakan partner, bersama-sama menjalani pahit getirnya hidup berumah tangga. Bisa jadi konco wingking di sini lebih pas kalau dikonotasikan sebagai mitra karena isteri adalah ratu rumah tangga, dialah yang mengatur ekonomi keluarga.

Dalam kosmologi Jawa, tentu dikenal adanya paham yang disebut Bapa akasa dan Ibu pertiwi. Ini merupakan prinsip dualistis dalam alam pikir manusia Jawa sebagaimana adanya baik-buruk, siang-malam, hidup-mati. Bersatunya antara laki-laki dan perempuan diibaratkan manunggaling bapa akasa lan ibu pertiwi (Bersatunya mikrokosmos dan makrokosmos). Di sinilah bukti kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya harus saling bekerjasama, saling mengasihi sebagai sesama hamba Tuhan. Hanya kodrat yang membedakan mengapa seorang wanita harus mengandung dan melahirkan seorang anak supaya dengan demikian digenapilah sabda Tuhan Allah bahwa manusia harus berkembang biak di dunia ini. Sebaliknya sebagai imam, seorang laki-laki harus bersusah payah mencari nafkah demi kelangsungan hidup anak dan isterinya (hangayomi, hangayemi, lan hangayani).

Andai saja semua pihak mau menyadari kedudukan dan kodratnya masing-masing maka polemik yang berkepanjangan mengenai gender tidak perlu terjadi. Bagi pria, seorang wanita adalah makhluk yang paling mulia karena pria hadir di dunia ini juga melalui proses atau dilahirkan oleh seorang ibu yang juga adalah seorang wanita. Bisa dibayangkan kalau panggung dunia ini berlangsung tanpa kehadiran seorang wanita. Pasti sepi, hampa, dan manusia pun akan punah secara lebih cepat karena tidak terjadi reproduksi. Oleh sebab itu Tuhan menciptakan makhluk wanita yang berasal dari tulang rusuk laki-laki. Secara berseloroh, Alm. Dono (Warkop) pernah mengatakan mengapa wanita diciptakan dari tulang iga (rusuk) yang notabene tidak lurus? Jawabannya adalah karena tugas utama seorang wanita di dunia adalah meluruskan barang yang bengkok.

Wow…, tentu saja itu tidak benar. Jadi, pembaca jangan terkecoh dengan lawakan (joke) seperti itu. Yang pasti Tuhan ingin menunjukkan bahwa sesungguhnya wanita adalah bagian dari pria (loro-loro ning atunggal). Dalam masyarakat Jawa ada istilah garwa, jarwa dosok dari kata sigaraning nyawa. Pendek kata, di mata kaum pria, kedudukan wanita begitu mulia. Bahkan ada ungkapan klasik yang telah dikenal, yaitu: “surga berada di bawah telapak kaki ibu”. Hingga menjelang ajal menjemput pun, konon orang yang dipanggil terakhir adalah ibu kandungnya sendiri. Sekali lagi dalam hal ini bukanlah laki-laki (pria), bukan ayah (bapak) yang berperan, dan itu memang bukan wewenang kita untuk menjawabnya, tetapi begitulah kehendak Tuhan.

Budayawan dan penyair mbeling, Emha Ainun Najib bahkan pernah melontarkan statement secara berkelakar mengenai keunggulan wanita atas pria. Secara etimologis, perempuan berasal dari kata empu, wanita (wani noto), artinya berani menata atau mengatur. Jelas dari sini bahwa sesungguhnya wanita punya kedudukan sosial yang luhur. Di mata Emha, perempuan jauh lebih hebat dan perkasa daripada laki-laki, sehingga Tuhan menakdirkan wanita untuk bersakit-sakit mengandung dan melahirkan anak. Akan tetapi, dengan kehalusannya, dengan kepintarannya, perempuan memilih bersembunyi di balik kesombongan dan kepongahan laki-laki. Sampai-sampai mau bilang I love you pun mesti menunggu laki-laki yang menyatakan cintanya tersebut, terkecuali legenda populer Ande-ande Lumut yang justeru dipinang/dilamar oleh para wanita cantik yakni kleting’s sister.

Adalah suatu kenyataan bahwa sesungguhnya perempuan lebih tahan menderita dibandingkan dengan laki-laki. Bagaimana tidak, mulai usia belasan tahun seorang anak perempuan sudah harus menjalani rasa sakit bulanan (haid/menstruasi). Masih ditambah lagi harus membantu pekerjaan rumah tangga dan momong adik. Sementara itu, anak laki-laki sebayanya masih dibebaskan bermain ke sana ke mari. Sosialisasi dan enkulturasi semacam inilah yang mengkondisikan wanita tampil sebagai sosok yang tahan menderita, suka bekerja keras (punya etos kerja tinggi), dan bersifat conform terhadap lingkungannya. Bahkan ada satu versi yang membuktikan bahwa pada umumnya usia janda jauh lebih panjang dari seorang duda.

Pada tingkat tertentu, agaknya perilaku conform tetap merupakan sifat khas wanita Jawa pada umumnya. Bukankah Kartini dulu dengan berbagai alasan individualnya, toh pada akhirnya juga memilih untuk conform terhadap harapan-harapan lingkungannya, meski mungkin sekali pilihannya itu menimbulkan konflik hebat di dalam dirinya. Pendek kata, Kartini ternyata telah memilih untuk tidak mengikuti keinginan diri sendiri demi memelihara keseimbangan (harmonisasi) dengan keluarganya.

Kenyataan lain, wanita Jawa dengan berbagai latar belakang pendidikan atau pada berbagai taraf modernisasi ternyata dapat pasrah tatkala ia menghadapi banyak kesulitan dalam kehidupannya. Hal ini tidak berarti bahwa ia tak berusaha mengatasi kesulitan tersebut. Dengan segala kemampuannya, wanita Jawa mencoba mengatasinya. Namun, ia secara sadar juga mampu menerima keadaannya, dan pasrah terhadap nasibnya jika kondisinya memang tidak dapat diubah lagi. Justeru kemampuan dirinya sehingga ia tetap dapat mempertahakan keseimbangan dirinya dan berfungsi sebagaimana diharapkan oleh lingkungannya.

Peran Ganda Wanita Jawa
Ada satu ciri yang membedakan wanita Jawa masa kini, dari era Kartini, mereka ingin, bersedia, boleh, bahkan diharapkan dapat mengisi dua peranan (rules). Di dalam rumah sebagai ibu dan isteri, sedangkan peranan lain di luar rumah. Permasalahan muncul ketika wanita mulai mengisi peran ganda tersebut mengingat setiap peranan membawa tanggungjawab dan kewajiban tertentu. Jelas bahwa ini menimbulkan suatu loyalitas ganda, terhadap suami dan keluarganya, di pihak lain loyal terhadap tugas/pekerjaan yang dipilihnya (biasanya di luar rumah). Idealnya, kedua loyalitas tersebut saling sambung (mendukung). Namun, dalam kenyataannya tidak selalu demikian adanya.

Konflik dalam diri si wanita terjadi bila kesetiaan/loyalitas terhadap keluarga dan tugas di luar rumah sama intensif penghayatannya. Manakala situasi semacam ini terus berlangsung, sulit diharapkan wanita tersebut dapat berfungsi efektif, baik dalam peranannya sebagai ibu dan isteri maupun di lingkungan kerjanya. Kadang dengan pertimbangan tertentu dihadirkanlah dalam keluarga tersebut orang ketiga, yaitu pembantu rumah tangga.

Terkait dengan itu, ada kasus yang menarik untuk diketengahkan di sini. Ketika suatu hari saya menjemput anak pulang sekolah, di sebelah saya parkir terlihat ada beberapa ibu yang juga sedang menunggu anaknya. Seorang di antaranya, ada seorang ibu muda usia, sekitar 30 tahun (berbaju seragam kantoran) berceritera pada ibu lainnya bahwa anaknya itu apabila ditinggal pergi pembantunya biasanya lalu sakit panas. Padahal kalau dia yang pergi, anehnya anak itu jarang sakit. Perlu diketahui ibu dari seorang anak tersebut ketika berceritera sikapnya sambil tertawa lepas, tanpa beban, tidak ada sama sekali perasaan bersalah dalam dirinya. Bahkan lucunya ada unsur bangga. Padahal, apabila mau introspeksi, yang aneh bukan anaknya, namun sebenarnya dia sendiri. Dalam kacamata psikologi pendidikan, jelas bahwa ada yang salah (tidak beres) dalam keluarga ibu tersebut, mengapa justeru anak lebih dekat dengan pembantu daripada dengan orang tuanya sendiri.

Persoalan lain yang kini mulai dihadapi oleh kebanyakan kaum wanita Jawa adalah menentukan pilihan yang tepat antara kebutuhan dan keinginan diri sendiri serta tuntutan suami atau keluarga. Seiring dengan meningkatnya jumlah wanita yang memiliki keterampilan dan keahlian di bidang tertentu, juga adanya kesempatan dalam masyarakat untuk aktif mengisi berbagai peran, makin tumbuh pula dalam diri wanita Jawa berbagai kebutuhan yang tidak dapat dipuaskan hanya dengan menjadi ibu dan isteri. Rupanya mulai ada keyakinan jika punya keterampilan dan keahlian tertentu seakan ada insurance untuk hari depannya.

Hanya saja, dalam menentukan jenis kegiatan yang hendak dilakukan di luar perannya sebagai ibu dan isteri, sebagian besar wanita Jawa hingga kini masih sangat cenderung untuk menempatkan kebutuhan diri sendiri sebagai sub-ordinate lebih rendah dari kebutuhan suami dan keluarga. Secara konkret, ini berarti bahwa ia biasanya hanya akan merasa tenteram dan aman bila kebutuhannya akan mengisi peran ganda disetujui/direstui oleh suami dan keluarga. Sebaliknya, wanita pasti tidak adakan memaksakan diri untuk mengisi peran ganda tertentu manakala suami dan keluarganya tidak mendukung pilihannya.

Penutup
Sifat khas wanita Jawa masa kini menunjukkan adanya kombinasi antara sifat-sifat wanita Jawa tempo dulu dan sifat-sifat lain yang berhubungan dengan pengalaman-pengalaman pendidikan dan tersedianya berbagai kesempatan baginya dalam masyarakat sekarang ini. Artinya, ia tidak hanya setia, bakti/bekti, sabar, tetapi juga cerdas dan kritis, berinisiatif, dan kreatif. Selain memiliki aspirasi bagi dirinya sendiri, ia masih cenderung untuk bersikap conform terhadap harapan-harapan orang lain. Sementara dalam menghadapi situasi konflik yang menyangkut hubungannya dengan orang lain, khususnya dengan siapa ia mempunyai ikatan efeksional, wanita Jawa cenderung untuk bersikap mengalah demi memelihara hubungan yang harmonis dengan orang-orang yang bersangkutan.

Dalam psikologi wanita, sikap conform merupakan sesuatu yang khas dalam dunia wanita. Memang sesungguhnya kecenderungan untuk bersikap conform terhadap harapan orang lain, dan lebih baik mengalah demi hubungan yang harmonis dengan lingkungannya merupakan hambatan sekaligus kekuatannya. Dikatakan merupakan hambatan karena dengan lebih suka bersikap konform terhadap harapan orang lain dan ingin selalu memelihara hubungan harmonis dengan orang lain berarti bahwa ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi/bakatnya secara optimal.

Sebaliknya, sifat dan sikap tersebut merupakan pula kekuatannya karena wanita Jawa dengan demikian mempunyai kesediaan yang besar untuk menyesuaikan dan menerima berbagai kejadian yang kurang menguntungkan dalam kehidupanna. Adapun munculnya sikap pasrah di sini bukan berarti secara pasif menerima nasibnya. Beberapa sifat lain yang telah dikembangkan berkat pendidikan dan pengalamannya, seperti cerdas, berinisiatif, berani bertanggung jawab, jelas memberi kualitas lain pada arti pasrah tersebut.

Bagi wanita Jawa masa kini, pasrah berarti memilih dengan sadar untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang harus ia hadapi dengan tetap berusaha untuk memperbaiki keadaan seoptimal mungkin. Oleh sebab pasrah atau menyesuaikan diri di sini adalah pilihan yang telah dipertimbangkannya secara matang maka mungkin justeru di sinilah letak kunci dari keseimbangan diri wanita Jawa. Artinya, dalam menghadapi berbagai situasi yang penuh konflik baginya, ia masih dapat berfungsi dan menampilkan diri secara baik, sesuai dengan harapan lingkungannya.

Pelan tapi pasti, seiring dengan perjalanan waktu, di tahun-tahun mendatang, gambaran stereotip wanita Jawa tampaknya makin menjadi tidak relevan lagi. Kontribusi pendidikan yang kian terbuka bagi wanita Jawa jelas berdampak pada proses perubahan tersebut. Adapun bagaimana ia akan berubah pasti ditentukan oleh kaum wanita Jawa sendiri maupun oleh perkembangan lingkungan sosial kita. Perubahan yang mulai sekarang sudah dapat diamati berhubungan dengan perilaku wanita Jawa yang ingin mengisi peran ganda (atas pilihan sendiri ataupun terpaksa) fenomenanya makin bertambah banyak.

Memang kalau diamati interaksi yang terjadi dalam masyarakat pedesaan maupun perkotaan di Jawa memberi kesan bahwa saat ini orang Jawa memang sedang bergerak dengan akselerasi yang begitu hebat menyongsong arus peradaban (konstelasi) dunia masa kini. Akan tetapi, orientasi nilai budaya, sikap mental, dan gaya hidup priyayi Jawa sungguh merupakan kendalam utama. Sehubungan dengan itu, Koentjaraningrat[1] mengemukakan hipotesisinya sebagai berikut:

“…apabila suatu kebudayaan (sub-kebudayaan) pada kelas tertentu dalam suatu masyarakat memiliki tradisi turun temurun yang sudah mantap sehingga memiliki kepentingan untuk mempertahankan tradisi yang panjang itu maka akan ada kecenderungan munculnya sikap penolakan yang lebih intensif terhadap perubahan kebudayaan daripada dalam kebudayaan (sub-kebudayaan) yang tidak mempunyai tradisi yang panjang…”

Daftar Pustaka
Charlie w. Shedd. 1987. Surat-surat Kepada Karen: Bagaimana Mempertahankan Cinta dalam Perkawinan. Cetakan ketujuh. Jakarta: PT. Gramedia.

MAW. Brouwer. 1980. Kepribadian dan Perubahannya. Cetakan keuda. Jakarta: PT. Gramedia.

Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Seri Etnografi Indonesia Nomor 2. Cetakan kedua. Jakarta: Balai Pustaka.

Sumber:
Jentara, Jurnal Sejarah dan Budaya. 2006. Volume 1, No. 2

[1] Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Seri Etnografi Indonesia nomor 2. Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hal. 433-447
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive