(Cerita Rakyat Daerah Lampung)
Alkisah, sekitar tahun 1600-an di daerah Panjang, Lampung, ada sebuah desa terdiri dari puluhan kampung. Kampung-kampung tersebut ada yang diatur oleh kaum penjajah dan ada pula yang masih diketuai oleh punyimbang (pimpinan adat berdasarkan genealogis). Adanya pemimpin dan yang dipimpin tadi rupanya menimbulkan masalah, terutama dalam hal pencarian jodoh. Hukum tidak tertulis yang berlaku adalah anak orang berkedudukan tinggi harus dijodohkan dengan orang sederajat.
Salah satu di antara kampung tersebut bernama Prabang. Di kampung ini ada seorang bujang bernama Raden Sukat. Dia telah memadu kasih dengan seorang gadis cantik jelita bernama Raden Gayung. Namun ketika akan melangkah ke jenjang lebih jauh (pernikahan) orang tua Raden Sukat melarang karena mereka tidak memiliki apa-apa dan hanya berasal dari golongan orang kebanyakan. Sang ayah menjelaskan bahwa dia bukanlah padanan Raden Gayung. Tapi karena Raden Sukat terus memaksa, Sang ayah terpaksa menuruti.
Keesokan hari kedua orang tua Raden Sukat bertandang ke rumah orang tua Raden Gayung yang kaya raya serta memiliki status sosial jauh lebih tinggi. Setelah dipersilakan duduk di serambi rumah, Ayah Raden Sukat langsung mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan, yaitu ingin menjodohkan Raden Sukan dan Raden Gayung. Tentu saja lamaran tadi ditolak dengan alasan status mereka yang tidak sederajat. Bahkan, ayah Raden Gayung sempat memaki dan mengeluarkan kata-kata pedas yang menusuk perasaan. Mereka pun pulang bertangan hampa.
Sesampai di rumah tanpa berkata apa-apa mereka kembali melakukan rutinitas seperti biasa. Sang Ibu menuju dapur untuk mengolah makanan, sementara Sang Ayah mengambil cangkul dan arit lalu beranjak ke kebun di belakang rumah. Raden Sukat yang sedari tadi menanti dengan harap-harap cemas juga tidak bertanya apa-apa pada mereka. Dia telah mendapat jawaban hanya dengan melihat roman muka kedua orang tua yang terlihat masam dan tidak ceria.
Semenjak kejadian itu, Raden Sukat seakan tidak mempunyai gairah hidup karena tambatan hati tidak dapat dimiliki. Begitu juga sebaliknya, Raden Gayung menjadi murung dan sebagian besar waktu digunakan mengurung diri di dalam kamar. Tetapi, mungkin karena dia hidup dalam dunia masyarakat Lampung yang bersifat patriarkis, Raden Sukat lebih tabah. Dia memutuskan pergi mengembara menenangkan batin.
Setelah mendapat restu kedua orang tua, hanya berbekal beberapa helai pakaian serta makanan secukupnya dia berangkat. Sesampai di sebuah tempat yang sekarang dikenal dengan nama Kotapaan dia bertemu dengan seorang lelaki tua bernama Tuan Syekh Balung. Entah mengapa ketika bertemu tanpa segan Raden Sukat menceritakan asal usul serta kisah hidupnya pada Tuan Syekh Balung.
Tuan Syekh Balung hanya mengangguk-angguk mendengar cerita Raden Sukat dan tidak berusaha memberikan wejangan. Tetapi selesai bercerita, dia menyuruh Raden Sukat tinggal di rumahnya yang berada di puncak Gunung Rajabasa. Di tempat itu Raden Sukat diperintahkan bertapa selama sembilan bulan sembari mempelajari berbagai macam ilmu (beladiri, pengobatan, agama, dan kebatinan). Setelah genap waktu yang ditentukan, Raden Sukat baru diizinkan kembali ke kampung halaman untuk mengamalkan ilmu yang didapat.
Di lain tempat, Raden Gayung yang telah lama tidak bersua dengan Raden Sukat menjadi sakit. Orang tuanya berusaha menghibur dan mencari orang pintar yang dapat mengobati. Namun, dari sekian banyak orang pintar didatangkan, tidak ada yang dapat menyembuhkan penyakit Raden Gayung. Kondisinya bahkan semakin parah. Sedikit sekali asupan makanan di dalam tubuh dan setiap malam selalu meracau memanggil nama Raden Sukat. Orang tua akhirnya sadar bahwa “obat” penyambuh hanya ada pada Raden Sukat. Oleh karena itu, Sang ayah memerintah para pekerjanya mencari dan membawa pulang Raden Sukat. Usaha tadi selalu gagal karena orang-orang yang diutus malah tewas dimakan binatang buas di sekitar Gunung Rajabasa.
Berita mengenai sakit Raden Gayung terdengar pula oleh Raden Sukat. Dia yang baru turun gunung bermaksud hendak mengobati. Tetapi karena takut akan bernasib sama seperti orang tua yang diusir lantaran tidak sepadan, dia memutuskan datang secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui orang tua Raden Gayung. Cilakanya, ketika masuk lewat dapur ternyata orang tua Raden Gayung sedang berada di sana.
Tertangkap basah hendak menuju kamar Raden Gayung, Raden Sukat hanya berdiri mematung dengan wajah merah padam karena malu. Dia pasrah apabila orang tua Raden Gayung akan memperlakukan sebagai maling dan membawanya pada ketua kampung untuk diadili. Sebaliknya, orang tua Raden Gayung sangat senang melihat Raden Sukat datang. Sambil merasa bersalah dan malu sekaligus membutuhkan kehadiran Raden Sukat, dia mempersilakan menuju kamar Raden Gayung.
Ketika bertemu dan melihat keadaan Raden Gayung yang tampak pucat dengan badan kurus kering, Raden Sukat menjadi sangat sedih dan menangis. Tanpa terasa tetesan air mata di kelopak mata Raden Gayung. Anehnya, tetesan air mata itu seolah-olah memberikan tenaga bagi Raden Gayung untuk membuka mata dan mengulurkan tangan ke arah wajah Raden Sukat.
Singkat cerita, beberapa waktu setelah bertemu kesehatan Raden Gayung berangsur pulih seperti sedia kala. Obat yang selama ini bukanlah ramuan atau jampi-jampi melainkan kehadiran sosok Raden Sukat. Ayah Raden Gayung baru menyadari bahwa cinta sejati tak terpisahkan dan dapat mengalahkan segalanya. Dengan hati ikhlas, dia merelakan Raden Gayung dipersunting oleh Raden Sukat. Pada waktu pernikahan, Raden Sukat mengganti nama menjadi Syekh Dapur, sebab berkat pertemuan di dapur dengan ayah Raden Gayung dia akhirnya dapat mempersunting puterinya.
Diceritakan kembali oleh ali gufron