Rumah Jolopong (Jawa Barat)

Oleh D Indrawati

Orang Sunda, adalah salah satu suku bangsa yang mendiami sebagian besar wilayah Propinsi Jawa Barat, dan merupakan penduduk asal daerah itu. Wilayah asal orang Sunda itu bisa ditebut Tatar Sunda atau Tanah Pasundan. Dalam wilayah Jawa Barat itu, orang Sunda bertetangga atau hidup berdampingan dengan beberapa kelompok lain seperti kelompok orang Banten Cirebon dan Baduy.

Pada umumnya pemukiman penduduk daerah Jawa Barat bervariasi, ada yang mengelompok dan ada yang menyebar.

Pola perkampungan masyarakat Sunda sebelum mengalami perubahan dikemukakan oleh Ir Anwar Adiwilaga bahwa: Orang Sunda umumnya mempunyai rumah menyendiri di tengah padang luas atau di tengah hutan. Kalaupun mereka berkampung halaman, maka rumah mereka selalu berhimpit-himpitan, dua deret saling berhadapan, terpisah oleh pelataran.

Bentuk Rumah
Secara tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung yang tingginya 0,5 m - 0,8 m atau 1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah tua usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1,8 meter, karena digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang peliharaan seperti sapi, kuda atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak, garu dan sebagainya. Untuk menaiki rumah disediakan tangga yang disebut Golodog terbuat dari kayu atau bambu, biasanya tidak lebih dari tiga anak tangga. Golodog berfungsi pula untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam rumah.

Sekalipun rumah orang Sunda berbentuk panggung, akan tetapi tidak berarti sebutan rumah orang Sunda adalah rumah panggung, sebab di hampir seluruh provinsi di Indonesia secara tradisional berbentuk panggung, dan itu merupakan sebutan yang khas.

Rumah-rumah orang Sunda memiliki nama yang berbeda-beda tergantung pada bentuk atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama suhunan jolopong, tagong anjing, badak heuay, perahu kemureb dan jubleg nangkub dan buka pongpok.

Suhunan Jolopong dikenal juga dengan sebutan Suhunan Panjang Jolopong artinya tergolek lurus. Bentuk Jolopong merupakan bentuk yang cukup tua, karena bentuk ini ternyata terdapat pada bentuk atap bangunan saung (dangan) yang diperkirakan bentuknya sudah sangat tua.

Bentuk Jolopong memiliki dua bidang atap. Kedua bidang atap ini dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah bidang atap yang sebelah menyebelah. Sedangkan lainnya lebih pendek dibanding dengan suhunan dan memotong tegak lurus di kedua ujung suhunan itu.

Susunan Ruangan
Ruang Jolopong terdiri atas ruang depan disebut emper atau tepas; ruangan tengah disebut tengah imah atau patengahan; ruangan samping disebut pangkeng (kamar); dan ruangan belakang yang terdiri atas dapur yang disebut pawon dan tempat menyimpan beras yang disebut padaringan.

Ruangan yang disebut emper berfungsi, untuk menerima tamu. Pada waktu dulu ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas atau perabot rumah tangga seperti meja, kursi, ataupun bale-bale tempat duduk. Kalau tamu datang barulah yang empunya rumah menggelarkan tikar untuk duduk tamu. Namun sekarang sudah disediakan meja dan kursi bahkan peralatan lainnya.

Ruang balandongan berfungsi untuk menambah kesejukan bagi penghuni rumah. Pangkeng merupakan tempat untuk tidur. Ruangan sejenis pangkeng ialah jobong atau gudang yang digunakan untuk menyimpan barang-barang atau alat-alat rumah tangga.

Ruangan tengah digunakan sebagai tempat berkumpulnya keluarga dan sering digunakan untuk melaksanakan upacara atau selamatan yang mengundang orang banyak. Ruang belakang (dapur) digunakan untuk memasak.

Ragam Hias
Jenis ragam hias yang terdapat pada rumah-rumah secara tradisional sudah amat langka ditemui sekarang ini, kecuali di beberapa daerah di Cirebon yaitu pada rumah-rumah keluarga bangsawah (keraton) dan pada bangunan-bangunan peninggalan kesultanan Cirebon.

Hal tersebut penyebabnya antara lain orang Sunda pada zaman dahulu tidak mempunyai kebiasaan membuat ukiran pada rumah, karena rumah mereka umumnya terbuat dari kayu dan bambu yang tidak tahan seumur hidup. Orang Sunda lebih banyak perhatian pada bangunannya dibanding dengan ukirannya. Pada sisa bangunan bangsawan atau kesultanan di Cirebon ditemukan beberapa ragam hias dengan motif tumbuh-tumbuhan, binatang, alam dan motif lain-lainnya. Ragam hias dengan motif tumbuh-tumbuhan yang ada di bangunan lama di daerah Cirebon antara lain: kawung rucuk bung, keliangan, kangkungan patran simbar dan kombinasi dari beberapa tumbuhan.

Ragam hias yang terdapat pada bangunan-bangunan lama (tradisional) seperti yang berpola geometris yang disebut anggun, wajikan, tumpal, dan yang polakan sarigsig yang diberi nama jangkalong, rusuk ikan atau bangreng.

Ragam hias pola geometris biasanya terdiri atas gambar-gambar bergaris lurus yang seluruhnya membentuk tepi keliling yang disebut banji. Ragam hias ini merupakan pengisi bagian dinding dengan gambar-gambar bergaris lurus yang disebut swastika. Potongan-potongan kayu yang disusun pun jadi pola garis lurus dan melintang sebagai pengisi lubang-lubang angin di pintu-pintu/jendela-jendela rumah dan merupakan ragam hias tersendiri yang disebut angen. Demikian pula pola wajikan sesuai dengan namanya, pola ini menyerupai bentuk wajik (jajaran genjang).

Dalam bentuk segitiga, pola geometris muncul pada motif-motif tempel. Sedangkan yang berpola sarigsig yakni dalam bentuk tulang-tulang sayap burung (kalong) menyerupai huruf "w." Rusuk ikan mengambil letak garis-garis sejajar disusun menyerupai rusuk ikan.

Pola angen biasanya diletakkan pada lubang-lubang angin di atas pintu-pintu/jendela. Pola wajikan banyak diletakkan pada lubang-lubang angin dan di pagar-pagar teras (tepas) rumah. Sedangkan pola sarigsig banyak diletakkan pada daun pintu, di depan dan di tengah rumah, berfungsi sebagai pengatur udara dalam ruangan.

D Indrawati (Asdep Pemberdayaan Masyarakat/Proyek Pemanfaatan Kebudayaan)

Sumber: www.hupelita.com
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive