Oleh Sugeng Riyanto
Bagi sebagian besar orang - sebenarnya bagi semua orang - rasa aman merupakan hal yang paling utama dan didambakan. Rasa aman di tempat kerja, rasa aman di perjalanan, dan tentu saja rasa aman di rumah dan lingkungannya. Dengan berbagai cara orang atau kelompok orang akan mengusahakan rasa aman antara lain dengan "membatasi" hunian dengan lingkungannya.
Perilaku semacam ini sama sekali bukan dominasi masyarakat sekarang yang memang semakin hari jumlah potensi ancamannya semakin bertambah. Sejak keberadaan manusia, secara naluri, telah mendorong adanya usaha untuk tetap dapat bertahan dari berbagai ancaman. Oleh karena itu tidak boleh heran jika mendengar di Pulau Buton terdapat lebih dari 100 bangunan benteng.
Akan tetapi jangan dibayangkan kalau seluruh benteng tersebut sebagai benteng perang karena sebagian di antaranya sama sekali tidak berhubungan dengan militer, mesiu, meriam, dan tentara. Memang ada dua tipe benteng di sana jika dilihat dari bentuknya, yaitu benteng dengan bastion dan benteng tanpa bastion. Namun persamaannya lebih banyak, yaitu: keduanya dibangun pada masa kesultanan Buton, keduanya terletak di perbukitan, keduanya dibangun dari bahan batu hitam berporus, keduanya tidak mempunyai pola tertentu karena mengikuti lahan yang ada, keduanya memiliki lahan hunian di dalamnya, dan tentu saja keduanya secara umum berfungsi sebagai "pertahanan."
Burangasi yang Pertama?
Contoh benteng yang tidak dilengkapi dengan bastion adalah yang terdapat di Kecamatan Sampolawa, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Yang terkenal adalah benteng Burangasi dan benteng Kaindea di Desa Lapandewa.
Benteng Burangasi disebut-sebut sebagai benteng (hunian) yang tertua karena dihubungkan dengan kerangka sejarah masuknya Islam di Buton.
Disebutkan dalam sejarah bahwa Islam masuk ke Buton dibawa oleh Abdul Wahid bin Suleiman sebagai putra Sultan Suleiman dari Johor yang berdarah Arab pada abad ke-16 atau tahun 1542. Pada saat itu, yang berkuasa di Buton adalah Raja Lakilaponto (raja ke-6 Buton). Desa yang disinggahi pertama kali oleh Abdul Wahid adalah Kampung Burangasi sekarang.
Melalui dakwahnya, Raja Lakilaponto kemudian memeluk Islam dan segera memerintahkan rakyatnya untuk memeluk Islam juga. Sebenarnya, sebelum raja memeluk Islam sebagian rakyat Buton telah muslim, khususnya yang tinggal di sekitar Burangasi. Oleh karena itu Raja merasa heran mengetahui rakyatnya mengucapkan dua kalimat syahadat.
Lokasi benteng Burangasi sebenarnya relatif sulit untuk dijangkau, paling tidak harus mendaki setinggi 5 km dan cenderung terjal. Sampai dengan tahun 1967, seluruh masyarakat yang sekarang tinggal di sekitar benteng adalah penghuni dalam benteng ini. Oleh karena itu saat ini benteng Burangasi dikepung oleh semak belukar yang lebat karena telah ditinggal oleh penghuninya.
Kepindahan mereka dilatarbelakangi oleh kebutuhan air yang pada saat itu sangat kurang, dan lokasi hunian baru dianggap dapat memenuhi kebutuhan air karena letaknya lebih rendah. Sisa-sisa hunian yang diperkirakan sudah sangat tua ini antara lain adalah beberapa gugus makam kuna, pecahan keramik dan tembikar, fondasi bangunan dari batu, dsb. Semua ini jelas menunjukkan adanya dinamika kemasyarakatan yang pernah ada dan berlangsung cukup lama.
Dinamika Kemasyarakatan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas di dalam Benteng Burangasi dan benteng tipe tanpa bastion lainnya ternyata memiliki struktur sosial yang mandiri. Mereka memiliki seorang pemimpin yang disebut "Parabela" dengan struktur di bawahnya mulai dari pemimpin adat dan pemimpin agama, hingga pejabat yang mengurus hari besar tertentu. Pola perkampungan sedikit banyak juga menunjukkan adanya dinamika sosial yang bersistem, seperti adanya bangunan besar tempat bermusyawarah, lapangan terbuka tempat melaksanakan kegiatan tertentu, dsb. Kemandirian juga ditunjukkan dengan adanya areal pertanian, baik yang di dalam benteng maupun di sekitar benteng.
Kesultanan Buton yang paling tidak telah ada sejak abad ke-16 tentu saja memiliki sistem pemerintahan yang rapi, termasuk hubungan dengan "daerah," yaitu komunitas-komunitas yang ada di wilayah kesultanan. Hubungan dengan komunitas ini antara lain juga menjangkau komunitas di Benteng Burangasi. Hubungan ini antara lain diwujudkan paling tidak dalam dua hal, yaitu: 1) adanya seorang perwakilan kesultanan Buton, dan 2) adanya "pusaka" yang menjadi simbol kekuasaan parabela sekaligus sebagai lambang hubungan langsung dengan Sultan. Khusus pusaka ini bentuknya bermacam-macam, seperti meriam kecil atau senapan.
Mengintip Musuh
Seperti halnya benteng lainnya di Buton, benteng Burangasi juga tidak memiliki pola tertentu karena mengikuti kondisi lahan yang ada. Secara umum benteng ini memiliki dua ruang besar dengan ukuran yang berbeda. Ruang di sebelah utara berukuran sekitar 90 x 70 m dan di sebelah selatan berukuran sekitar 60 x 60 m. Kedua ruang ini dibatasi dengan tembok benteng yang juga dibangun dari susunan batu hitam berporus, dan dihubungkan dengan pintu terbuka di bagian tengah.
Fungsi benteng ini memang bukan untuk berperang, akan tetapi lebih sebagai batas tertitorial sebuah komunitas sehingga tidak dilengkapi dengan bastion. Namun demikian, bukan berarti benteng ini rentan serangan, lihat misalnya jumlah pintu yang hanya 4 buah atau 2 pintu pada masing-masing ruangan. Bukan hanya itu, pintu-pintu ini dianggap memiliki kekuatan untuk menangkal kekuatan jahat dari luar kampung. Oleh karena itu pintu-pintu dipersonifikasikan dengan memberi nama: Warorogu, Lampoda, dan Duria. Selain itu, ambang keempat pintu ini juga dibuat lebih tinggi pada bagian bawahnya sehingga untuk melaluinya harus naik beberapa trap anak tangga.
Rasanya memang kurang bisa dimengerti jika harus ada benteng yang melindungi sebuah perkampungan di sini mengingat lingkungannya didominasi oleh ngarai dengan dominasi bongkahan batuan. Namun komunitas Burangasi merasa perlu membangun benteng tentu saja karena rasa aman memang dibutuhkan oleh siapa saja. Yang jelas, mereka melindungi lahan pertanian yang diusahakan di dalam benteng dari serangan binatang, khususnya babi hutan.
Dengan pintu yang dipersonifikasikan sebagai penjaga, menjadikan ambang pintu benteng bukan sekedar sebagai jalan keluar dan menuju perkampungan, karena memiliki nilai yang sangat penting. Selain babi hutan, ancaman lain dalam berbagai bentuk dapat langsung dipantau melalui pintu yang "hidup" ini. Oleh karena itu jangan coba-coba berniat jahat kepada komunitas benteng Burangasi karena apapun yang di dalam benteng dapat mengintip ancaman dalam bentuk apapun, termasuk "yang tidak kelihatan."
Sumber:
Sugeng Riyanto (Pusat Penelitian Arkeologi/Proyek Pemanfaatan Kebudayaan)
www.hupelita.com
Bagi sebagian besar orang - sebenarnya bagi semua orang - rasa aman merupakan hal yang paling utama dan didambakan. Rasa aman di tempat kerja, rasa aman di perjalanan, dan tentu saja rasa aman di rumah dan lingkungannya. Dengan berbagai cara orang atau kelompok orang akan mengusahakan rasa aman antara lain dengan "membatasi" hunian dengan lingkungannya.
Perilaku semacam ini sama sekali bukan dominasi masyarakat sekarang yang memang semakin hari jumlah potensi ancamannya semakin bertambah. Sejak keberadaan manusia, secara naluri, telah mendorong adanya usaha untuk tetap dapat bertahan dari berbagai ancaman. Oleh karena itu tidak boleh heran jika mendengar di Pulau Buton terdapat lebih dari 100 bangunan benteng.
Akan tetapi jangan dibayangkan kalau seluruh benteng tersebut sebagai benteng perang karena sebagian di antaranya sama sekali tidak berhubungan dengan militer, mesiu, meriam, dan tentara. Memang ada dua tipe benteng di sana jika dilihat dari bentuknya, yaitu benteng dengan bastion dan benteng tanpa bastion. Namun persamaannya lebih banyak, yaitu: keduanya dibangun pada masa kesultanan Buton, keduanya terletak di perbukitan, keduanya dibangun dari bahan batu hitam berporus, keduanya tidak mempunyai pola tertentu karena mengikuti lahan yang ada, keduanya memiliki lahan hunian di dalamnya, dan tentu saja keduanya secara umum berfungsi sebagai "pertahanan."
Burangasi yang Pertama?
Contoh benteng yang tidak dilengkapi dengan bastion adalah yang terdapat di Kecamatan Sampolawa, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Yang terkenal adalah benteng Burangasi dan benteng Kaindea di Desa Lapandewa.
Benteng Burangasi disebut-sebut sebagai benteng (hunian) yang tertua karena dihubungkan dengan kerangka sejarah masuknya Islam di Buton.
Disebutkan dalam sejarah bahwa Islam masuk ke Buton dibawa oleh Abdul Wahid bin Suleiman sebagai putra Sultan Suleiman dari Johor yang berdarah Arab pada abad ke-16 atau tahun 1542. Pada saat itu, yang berkuasa di Buton adalah Raja Lakilaponto (raja ke-6 Buton). Desa yang disinggahi pertama kali oleh Abdul Wahid adalah Kampung Burangasi sekarang.
Melalui dakwahnya, Raja Lakilaponto kemudian memeluk Islam dan segera memerintahkan rakyatnya untuk memeluk Islam juga. Sebenarnya, sebelum raja memeluk Islam sebagian rakyat Buton telah muslim, khususnya yang tinggal di sekitar Burangasi. Oleh karena itu Raja merasa heran mengetahui rakyatnya mengucapkan dua kalimat syahadat.
Lokasi benteng Burangasi sebenarnya relatif sulit untuk dijangkau, paling tidak harus mendaki setinggi 5 km dan cenderung terjal. Sampai dengan tahun 1967, seluruh masyarakat yang sekarang tinggal di sekitar benteng adalah penghuni dalam benteng ini. Oleh karena itu saat ini benteng Burangasi dikepung oleh semak belukar yang lebat karena telah ditinggal oleh penghuninya.
Kepindahan mereka dilatarbelakangi oleh kebutuhan air yang pada saat itu sangat kurang, dan lokasi hunian baru dianggap dapat memenuhi kebutuhan air karena letaknya lebih rendah. Sisa-sisa hunian yang diperkirakan sudah sangat tua ini antara lain adalah beberapa gugus makam kuna, pecahan keramik dan tembikar, fondasi bangunan dari batu, dsb. Semua ini jelas menunjukkan adanya dinamika kemasyarakatan yang pernah ada dan berlangsung cukup lama.
Dinamika Kemasyarakatan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas di dalam Benteng Burangasi dan benteng tipe tanpa bastion lainnya ternyata memiliki struktur sosial yang mandiri. Mereka memiliki seorang pemimpin yang disebut "Parabela" dengan struktur di bawahnya mulai dari pemimpin adat dan pemimpin agama, hingga pejabat yang mengurus hari besar tertentu. Pola perkampungan sedikit banyak juga menunjukkan adanya dinamika sosial yang bersistem, seperti adanya bangunan besar tempat bermusyawarah, lapangan terbuka tempat melaksanakan kegiatan tertentu, dsb. Kemandirian juga ditunjukkan dengan adanya areal pertanian, baik yang di dalam benteng maupun di sekitar benteng.
Kesultanan Buton yang paling tidak telah ada sejak abad ke-16 tentu saja memiliki sistem pemerintahan yang rapi, termasuk hubungan dengan "daerah," yaitu komunitas-komunitas yang ada di wilayah kesultanan. Hubungan dengan komunitas ini antara lain juga menjangkau komunitas di Benteng Burangasi. Hubungan ini antara lain diwujudkan paling tidak dalam dua hal, yaitu: 1) adanya seorang perwakilan kesultanan Buton, dan 2) adanya "pusaka" yang menjadi simbol kekuasaan parabela sekaligus sebagai lambang hubungan langsung dengan Sultan. Khusus pusaka ini bentuknya bermacam-macam, seperti meriam kecil atau senapan.
Mengintip Musuh
Seperti halnya benteng lainnya di Buton, benteng Burangasi juga tidak memiliki pola tertentu karena mengikuti kondisi lahan yang ada. Secara umum benteng ini memiliki dua ruang besar dengan ukuran yang berbeda. Ruang di sebelah utara berukuran sekitar 90 x 70 m dan di sebelah selatan berukuran sekitar 60 x 60 m. Kedua ruang ini dibatasi dengan tembok benteng yang juga dibangun dari susunan batu hitam berporus, dan dihubungkan dengan pintu terbuka di bagian tengah.
Fungsi benteng ini memang bukan untuk berperang, akan tetapi lebih sebagai batas tertitorial sebuah komunitas sehingga tidak dilengkapi dengan bastion. Namun demikian, bukan berarti benteng ini rentan serangan, lihat misalnya jumlah pintu yang hanya 4 buah atau 2 pintu pada masing-masing ruangan. Bukan hanya itu, pintu-pintu ini dianggap memiliki kekuatan untuk menangkal kekuatan jahat dari luar kampung. Oleh karena itu pintu-pintu dipersonifikasikan dengan memberi nama: Warorogu, Lampoda, dan Duria. Selain itu, ambang keempat pintu ini juga dibuat lebih tinggi pada bagian bawahnya sehingga untuk melaluinya harus naik beberapa trap anak tangga.
Rasanya memang kurang bisa dimengerti jika harus ada benteng yang melindungi sebuah perkampungan di sini mengingat lingkungannya didominasi oleh ngarai dengan dominasi bongkahan batuan. Namun komunitas Burangasi merasa perlu membangun benteng tentu saja karena rasa aman memang dibutuhkan oleh siapa saja. Yang jelas, mereka melindungi lahan pertanian yang diusahakan di dalam benteng dari serangan binatang, khususnya babi hutan.
Dengan pintu yang dipersonifikasikan sebagai penjaga, menjadikan ambang pintu benteng bukan sekedar sebagai jalan keluar dan menuju perkampungan, karena memiliki nilai yang sangat penting. Selain babi hutan, ancaman lain dalam berbagai bentuk dapat langsung dipantau melalui pintu yang "hidup" ini. Oleh karena itu jangan coba-coba berniat jahat kepada komunitas benteng Burangasi karena apapun yang di dalam benteng dapat mengintip ancaman dalam bentuk apapun, termasuk "yang tidak kelihatan."
Sumber:
Sugeng Riyanto (Pusat Penelitian Arkeologi/Proyek Pemanfaatan Kebudayaan)
www.hupelita.com