Oleh: Gufron
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya. Ketinggian derajat itu ditandai dengan dibekalinya sebuah akal. Dengan akal inilah manusia melengkapi keterbatasan fisiknya dalam usaha mempertahankan eksistensisnya. Dan, dengan akalnya pula manusia mengembangkan simbol-simbol yang dijadikan acuan dalam menanggapi lingkungannya, baik alam, sosial, maupun budaya. Untuk itu, tidak mengherankan jika Geertz (1999) mendefinisikan bahwa kebudayaan adalah sistem simbol. Sesungguhnya bukan hanya manusia yang menciptakan simbol. Binatang juga menciptakannya. Namun demikian, kawanan binatang --karena tidak dibekali akal—tidak dapat mengembangkan sistem simbol yang mereka miliki. Contohnya adalah kawanan burung tempoa. Saya pikir, siapa pun akan sependapat bahwa sarangnya demikian unik, rumit, dan indah. Namun demikian, dari dulu hingga sekarang begitu-begitu saja (tidak ada perubahan). Ini berbeda dengan manusia yang dari waktu ke waktu mengembangkan dan atau menciptakan sesuatu yang baru. Bertolak dari kenyataan dan atau pemikiran ini, dan mengingat bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang bersifat dinamis, maka tidak berlebihan jika dikatakan hanya manusia yang berbudaya. Oleh karena itu, tidak dapat disangkal bahwa manusia adalah makhluk yang berbudaya. Kemudian, karena manusia di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya membutuhkan manusia lain (orang lain), maka terwujudlah organisasi sosial yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Ini artinya, manusia tidak hanya sebagai makhluk yang berbudaya, tetapi makhluk sosial. Oleh karena itu, adalah istilah “internalisasi” (penanaman nilai-nilai) dan “sosialisasi” (penyiapan anak agar dikemudian hari dapat bermasyarakat dengan baik).
Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya itu, tidak hanya mengembangkan pranata-pranata sosial (ekonomi, religi, dan sebagainya), tetapi juga berbagai peralatan yang mendukungnya (sistem teknologi). Koentjaraningrat (1981) mengkategorikan teknologi tradisional pada masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian ke dalam 8 kategori, yakni: (1) alat-alat produktif (alat: pemotong, penusuk, pelubang, pemukul, dan penggiling), (2) senjata (senjata: potong, pukul, tusuk, lempar, dan penahan), (3) Wadah (alat: penyimpan dan pemuat, makan, masak, dan untuk membawa), (4) alat menyalakan api, (5) makanan, (6) pakaian, (7) tempat perlindungan, dan (8) alat transportasi.
Sesuai dengan judul, maka makalah ini hanya akan membahas salah satu dari 8 kategori di atas, yaitu wadah. Itupun secara umum dan beberapa contoh. Artinya, tidak mengupas salah satu alat yang termasuk dalam wadah secara dalam dan mendetail.
Bentuk, Bahan, dan Teknik Pembuatan
Wadah adalah alat atau tempat untuk menimbun, memuat, dan menyimpan barang. Bentuknya bermacam-macam. Namun demikian, umumnya bagian bawahnya berbentuk kotak (segi empat) dan lingkaran (bundar). Bahan mentahnya pun juga bermacam-macam. Ada yang dari kayu (lemari), bambu (keranjang dan bakul), kulit kayu (tas), serat-seratan (tas dan keranjang1)), rotan (keranjang), dedaunan (tas)2), dan tanah liat (gentong). Teknik pembuatannya bergantung pada bahannya. Jika bahannya dari kayu, biasanya dibentuk kemudian diukir. Jika bahannya dari bambu, biasanya dianyam. Demikian juga yang bahannya dari kulit kayu, rotan, dan serat-seratan, kecuali wadah yang bahannya dari tanah liat. Wadah yang sering disebut dengan istilah “tembikar” (“pottery”) ini teknik pembuatannya pada dasarnya ada empat macam, yaitu: (1) dengan cetakan yang kemudian dirusak (lining technique), (2) menyusun gumpalan lempung (tanah liat) yang ditumpuk-tumpuk (coiling technique), (3) membentuk satu gumpalan lempung yang besar (modelling technique), dan membentuk segumpal lempung yang diputar-putar dengan roda (pottery-whell-technique).
Perkembangan Wadah
Seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka wadah, walaupun fungsinya tetap sebagai tempat untuk meimbun, memuat dan menyimpan barang (beberapa diantara juga berfungsi sebagai alat untuk memindahkan barang, seperti keranjang dan ambung pada Orang Kubu dan Talang Mamak), tetapi bukan berarti bahwa wadah sama sekali lepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama sejak “ditemukannya” plastik. Hal itu ditandai dengan semakin langkanya wadah-wadah, khususnya yang terbuat dari bambu, rotan, dedaunan, dan serat-seratan. Dewasa ini, dapat dikatakan, banyak yang telah tergantikan dengan plastik (tas plastik, keranjang plastik, dan sebagainya). Seandainya masih menggunakan bahan yang sama dengan masa lalu pun, tidak utuh. Di sana-sini, khususnya pada bagian permukaannya, telah menggunakan plastik. Tompo (sejenis keranjang) dan ceting misalnya, kini permukaannya tidak lagi dianyam atau dililit dengan rotan atau tali yang terbuat dari bambu. Akan tetapi, telah menggunakan tali plastik, sehingga mencari wadah yang masih benar-benar tradisional relatif sulit, kecuali pada masyarakat yang dikategorikan sebagai terasing3). Hal itu disebabkan plastik lebih praktis ketimbang menggunakan bambu atau rotan yang dibelah sedemikian rupa, sehingga menyerupai tali. Di kalangan orang Kubu, Talang Mamak, dan Sakai peralatan tradisional yang mereka miliki, termasuk wadah, relatif belum terpengaruh oleh unsur-unsur teknologi modern, baik dalam pembuatannya maupun yang bahan yang digunakan. Sebagai contoh adalah wadah yang mereka sebut sebagai “ambong”. Wadah tersebut dari dulu hingga sekarang tetap terbuat dari daun rumbia dengan tali yang terbuat dari kulit kayu.
Penutup
Wadah adalah salah satu unsur teknologi yang ditumbuh-kembangkan oleh suatu komunitas atau masyarakat. Pada masyarakat yang dikategorikan sebagai “terasing”, bentuk dan bahannya relatif tidak mengalami perubahan (pergantian). Namun, pada masyarakat pedesaan, ada kecenderungan bagian-bagian tertentu diganti dengan plasik. Bahkan, ada yang keseluruhannya terbuat dari plastik, seperti keranjang yang digunakan untuk menaruh pakaian-pakaian kotor.
Fungsi wadah dalam suatu masyarakat, tidak hanya untuk menimbun, memuat dan menyimpan barang, tetapi beberapa diantaranya, seperti bakul (pada masyarakat Jawa) dan ambung (pada masyarakat Kubu, Talang Mamak, dan Sakai), juga berfungsi sebagai alat untuk memindahkan barang.
Pengaruh teknologi modern, khususnya dengan “ditemukannya” plastik atau fyber glass sedikit demi sedikit menggantikan bahan wadah, sehingga dewasa ini sulit menemukan wadah yang betul-betul “tradisional”.
Sumber:
Geertz, Clifford. 1999. After the Fact: Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropolog. Yogyakarta: LKIS.
Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
____________ dkk. 1993. Masyarakat Teraing di Indonesia. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.
1) Keranjang yang terbuat dari serat-seratan, menurut pendekar Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat (1981), menjadi sesuatu yang sangat menarik perhatian etnograf karena banyak sukubangsa di berbagai tempat di dunia mengembangkannya dengan cara menganyam yang komples dan indah.
2) Pada Orang Kubu yang berada di daerah pedalaman Jambi dan Orang Talang Mamak yang berada di daerah pedalaman Riau ada suatu wadah yang bentuknya menyerupai tas yang disebut sebagai ambung. Wadah ini disamping berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan peralatan produksi, juga sekaligus sebagai alat transportasi (membawa hasil ramuan dengan cara menggendongnya).
3) Koentjaraningrat (1993) menyarankan agar istilah “masyarakat terasing” sebaiknya dihindari dan diganti dengan istilah “masyarakat yang diupayakan berkembang”, karena istilah “terasing” mengandung makna negatif dan sifatnya memang kurang tepat (hampir semua masyarakat sukubangsa yang disebut “terasing” telah mengalami kontak dengan dunia luar.