Oleh Andi Syamsul Rijal
Akhir-akhir ini, nama Sentani banyak terdengar karena berkaitan dengan perkembangan politik di Irian Jaya (Papua), khususnya mengenai tokoh Papua Theis Hiyo Uluay. Beliau adalah orang yang diangkat sebagai Ondoafi Besar/Ondofolo (kepala suku/tetua adat) oleh suku-suku yang ada di Sentani, bahkan karena kharismanya, juga dianggap sebagai pemimpin rakyat Papua secara keseluruhan. Selain itu tokoh yang berasal dari Sentani ini adalah Barnabas Suebu, mantan gubernur dan sekarang menjabat sebagai salah satu Duta Besar Republik Indonesia.
Pada intinya perubahan-perubahan yang dialami oleh masyarakat Sentani selama satu abad telah melewati tahapan-tahapan sejarah, baik ditinjau dari sejarah pekabaran Injil maupun dari sejarah politik dan pemerintahan. Sejarah pekabaran Injil tahap pertama tahun 1893-1928, tahap kedua 1928-1956, dan tahap ketiga tahun 1956-sekarang. Sedangkan sejarah politik dan pemerintahan terbagi dalam tahap I adalah masa pemerintahan Hindia Belanda (1916-1945), tahap II pada masa pemerintahan Nederlands Nieuw Guinea (1945-1963), tahap III adalah masa pemerintahan UNTEA (1963-1969) dan tahap IV adalah masa pemerintahan RI (1963-sekarang). Namun yang ingin diungkapkan disini adalah berkisar mengenai asal-usul dan perubahan-perubahan dalam struktur nama, kepercayaan/agama, kependudukan, serta tatanan sosial dalam masyarakat Sentani selama kurun waktu tersebut.
Orang Sentani tersebar pada tiga Kecamatan, Sentani Timur, Sentani Tengah dan Sentani Barat. Pemukiman mereka tersebar di kawasan pinggiran Danau Sentani dan beberapa pulau di tengah Danau yaitu Pulau Asei, Pulau Ajau, dan Pulau Kwadeware. Ternyata pembagian secara geografis ini dapat sekaligus menggambarkan pengelompokan orang Sentani ke dalam aspek bahasa maupun dari segi-segi variasi kebudayaan, meskipun banyak kesamaan-kesamaan yang bisa dijumpai. Kelompok-kelompok itu memiliki asal-usul masing-masing. Kelompok Sentani Barat misalnya, berasal dari suatu tempat yang bernama Ponong Yokai Wayo (sebuah daerah di Papua New Guinea/PNG). Kelompok Orang Sentani Timur atau Heram Rasim terbagi dalam dua yaitu kelompok asli dan pendatang (yang telah diterima secara adat). Kelompok asli ini berasal dari bukit Yomokoyo-Waliyauyo. Kalau pendatang, berasal dari Irian Timur (PNG). Di Sentani tengah dimulai oleh klen Asabo dan Pow. Komunitas dalam kampung (yo) yang terdiri dari beberapa rumah (Imyea) dibawah kepemimpinan seorang Ondofolo (ondoafi). Komunitas yang lebih besar terdiri dari beberapa kampung yang seakan-akan membentuk sebuah konfederasi di bawah pemimpin Ondoafi Besar (Hu Ondofolo/Iwaiwa Ondofolo). (Suebu, 1996: 3-4).
Proses Perubahan
Agama Asli orang Sentani pada awalnya menganut kepercayaan pada dewa-dewa. Dalam perkembangannya sejalan dengan kontak dengan orang 'asing' dan datangnya pekabaran Injil, sedikit demi sedikit, kepercayaan itu beralih dan diganti dengan agama Kristen. Pendeta Bink dalam laporannya berjudul Drie Maanden aan de Humboldt Baai, sesudah kunjungannya pada tahun 1893, pertama kali menggunakan kata "Sentani." Kata "Sentani" diperkirakan berasal dari kata "Heram." Orang Sentani sendiri biasa menyebut tempat tinggal mereka dengan Bahasa Sentani, "phuyakha/phuyakhala." Setelah pendeta itu pergi, digantikan oleh para penginjil/guru-guru agama Kristen dari Ambon dan Sangir Talaud, dan sejak tahun 1956 sampai sekarang dikoordinir oleh GKI.
Perkembangan masyarakat, gambarannya tidak terlepas dari perubahan jumlah penduduk. Pada tahun 1900 jumlah penduduk Sentani diperkirakan tidak lebih dari 500 jiwa. Kemudian pada tahun 1947 jumlah penduduk sebanyak 6.074 jiwa, tahun 1970 jumlah penduduk sebanyak 13.640 jiwa, tahun 1979 bertambah lagi menjadi 24.098 jiwa dan pada tahun 1987 jumlah penduduk telah menjadi 34.757 jiwa. Ini terdiri dari 14.279 jiwa orang asli Sentani dan 20.478 jiwa bukan orang Sentani asli.
Angka tersebut menunjukkan pertambahan penduduk dalam kurun waktu 70 tahun (1900-1970), jumlah penduduk bertambah kurang lebih 9.000 jiwa, dan yang paling pesat terjadi hanya dalam kurun waktu 27 tahun (1970-1987), bertambah sebanyak 21.117 jiwa dan tahun 1987-1996, jumlah penduduk bertambah mencapai 10.000 jiwa. Namun antara tahun 1996-2000, telah terjadi penurunan sangat tajam khususnya tahun 1998-2000 yang disebabkan karena terjadinya pergolakan politik, di mana situasi politik dan keamanan tidak terkendali.
Sejak tahun 1987-sampai sekarang, konsentrasi penduduk Sentani berada di desa-desa sepanjang jalan raya (Waena, Nolokla, Sentani Kota, Dobonsolo, Boroway, Sabron-Dosai, Kampung Harapan, dan Maribu). Penduduk asli Sentani sangat sedikit pada desa-desa tersebut dan dari hari ke hari makin mengecil serta bisa saja menghilang karena penduduk asli menjual tanahnya. Konsentrasi penduduk pendatang berada pada pusat kota Sentani, khususnya di sekitar pasar, karena mereka umumnya pedagang. Namun demikian di pulau Asei, Ajau dan Kwadeware, sebagian besar masih mempertahankan budaya asli mereka (walaupun sudah diakulturasikan dengan ajaran Kristen).
Keadaan terakhir menunjukkan bahwa situasi politik dan keamanan yang tidak kondusif, menyebabkan kondisi masyarakat Sentani (multi etnis) yang selama ini tenang dan damai menjadi rusak karena pergolakan politik.
Andi Syamsul Rijal (Direktorat Sejarah/Proyek Pemanfaatan Kebudayaan)
Sumber: www.hupelita.com
Akhir-akhir ini, nama Sentani banyak terdengar karena berkaitan dengan perkembangan politik di Irian Jaya (Papua), khususnya mengenai tokoh Papua Theis Hiyo Uluay. Beliau adalah orang yang diangkat sebagai Ondoafi Besar/Ondofolo (kepala suku/tetua adat) oleh suku-suku yang ada di Sentani, bahkan karena kharismanya, juga dianggap sebagai pemimpin rakyat Papua secara keseluruhan. Selain itu tokoh yang berasal dari Sentani ini adalah Barnabas Suebu, mantan gubernur dan sekarang menjabat sebagai salah satu Duta Besar Republik Indonesia.
Pada intinya perubahan-perubahan yang dialami oleh masyarakat Sentani selama satu abad telah melewati tahapan-tahapan sejarah, baik ditinjau dari sejarah pekabaran Injil maupun dari sejarah politik dan pemerintahan. Sejarah pekabaran Injil tahap pertama tahun 1893-1928, tahap kedua 1928-1956, dan tahap ketiga tahun 1956-sekarang. Sedangkan sejarah politik dan pemerintahan terbagi dalam tahap I adalah masa pemerintahan Hindia Belanda (1916-1945), tahap II pada masa pemerintahan Nederlands Nieuw Guinea (1945-1963), tahap III adalah masa pemerintahan UNTEA (1963-1969) dan tahap IV adalah masa pemerintahan RI (1963-sekarang). Namun yang ingin diungkapkan disini adalah berkisar mengenai asal-usul dan perubahan-perubahan dalam struktur nama, kepercayaan/agama, kependudukan, serta tatanan sosial dalam masyarakat Sentani selama kurun waktu tersebut.
Orang Sentani tersebar pada tiga Kecamatan, Sentani Timur, Sentani Tengah dan Sentani Barat. Pemukiman mereka tersebar di kawasan pinggiran Danau Sentani dan beberapa pulau di tengah Danau yaitu Pulau Asei, Pulau Ajau, dan Pulau Kwadeware. Ternyata pembagian secara geografis ini dapat sekaligus menggambarkan pengelompokan orang Sentani ke dalam aspek bahasa maupun dari segi-segi variasi kebudayaan, meskipun banyak kesamaan-kesamaan yang bisa dijumpai. Kelompok-kelompok itu memiliki asal-usul masing-masing. Kelompok Sentani Barat misalnya, berasal dari suatu tempat yang bernama Ponong Yokai Wayo (sebuah daerah di Papua New Guinea/PNG). Kelompok Orang Sentani Timur atau Heram Rasim terbagi dalam dua yaitu kelompok asli dan pendatang (yang telah diterima secara adat). Kelompok asli ini berasal dari bukit Yomokoyo-Waliyauyo. Kalau pendatang, berasal dari Irian Timur (PNG). Di Sentani tengah dimulai oleh klen Asabo dan Pow. Komunitas dalam kampung (yo) yang terdiri dari beberapa rumah (Imyea) dibawah kepemimpinan seorang Ondofolo (ondoafi). Komunitas yang lebih besar terdiri dari beberapa kampung yang seakan-akan membentuk sebuah konfederasi di bawah pemimpin Ondoafi Besar (Hu Ondofolo/Iwaiwa Ondofolo). (Suebu, 1996: 3-4).
Proses Perubahan
Agama Asli orang Sentani pada awalnya menganut kepercayaan pada dewa-dewa. Dalam perkembangannya sejalan dengan kontak dengan orang 'asing' dan datangnya pekabaran Injil, sedikit demi sedikit, kepercayaan itu beralih dan diganti dengan agama Kristen. Pendeta Bink dalam laporannya berjudul Drie Maanden aan de Humboldt Baai, sesudah kunjungannya pada tahun 1893, pertama kali menggunakan kata "Sentani." Kata "Sentani" diperkirakan berasal dari kata "Heram." Orang Sentani sendiri biasa menyebut tempat tinggal mereka dengan Bahasa Sentani, "phuyakha/phuyakhala." Setelah pendeta itu pergi, digantikan oleh para penginjil/guru-guru agama Kristen dari Ambon dan Sangir Talaud, dan sejak tahun 1956 sampai sekarang dikoordinir oleh GKI.
Perkembangan masyarakat, gambarannya tidak terlepas dari perubahan jumlah penduduk. Pada tahun 1900 jumlah penduduk Sentani diperkirakan tidak lebih dari 500 jiwa. Kemudian pada tahun 1947 jumlah penduduk sebanyak 6.074 jiwa, tahun 1970 jumlah penduduk sebanyak 13.640 jiwa, tahun 1979 bertambah lagi menjadi 24.098 jiwa dan pada tahun 1987 jumlah penduduk telah menjadi 34.757 jiwa. Ini terdiri dari 14.279 jiwa orang asli Sentani dan 20.478 jiwa bukan orang Sentani asli.
Angka tersebut menunjukkan pertambahan penduduk dalam kurun waktu 70 tahun (1900-1970), jumlah penduduk bertambah kurang lebih 9.000 jiwa, dan yang paling pesat terjadi hanya dalam kurun waktu 27 tahun (1970-1987), bertambah sebanyak 21.117 jiwa dan tahun 1987-1996, jumlah penduduk bertambah mencapai 10.000 jiwa. Namun antara tahun 1996-2000, telah terjadi penurunan sangat tajam khususnya tahun 1998-2000 yang disebabkan karena terjadinya pergolakan politik, di mana situasi politik dan keamanan tidak terkendali.
Sejak tahun 1987-sampai sekarang, konsentrasi penduduk Sentani berada di desa-desa sepanjang jalan raya (Waena, Nolokla, Sentani Kota, Dobonsolo, Boroway, Sabron-Dosai, Kampung Harapan, dan Maribu). Penduduk asli Sentani sangat sedikit pada desa-desa tersebut dan dari hari ke hari makin mengecil serta bisa saja menghilang karena penduduk asli menjual tanahnya. Konsentrasi penduduk pendatang berada pada pusat kota Sentani, khususnya di sekitar pasar, karena mereka umumnya pedagang. Namun demikian di pulau Asei, Ajau dan Kwadeware, sebagian besar masih mempertahankan budaya asli mereka (walaupun sudah diakulturasikan dengan ajaran Kristen).
Keadaan terakhir menunjukkan bahwa situasi politik dan keamanan yang tidak kondusif, menyebabkan kondisi masyarakat Sentani (multi etnis) yang selama ini tenang dan damai menjadi rusak karena pergolakan politik.
Andi Syamsul Rijal (Direktorat Sejarah/Proyek Pemanfaatan Kebudayaan)
Sumber: www.hupelita.com