Pada tahun 1985 di Desa Plawangan di pesisir utara Jawa Tengah, Kabupaten Rembang tiba-tiba saja gempar dan ramai menjadi pembicaraan orang karena di desa kecil yang mayoritas penduduknya petani ikan atau nelayan tersebut ditemukan dua rangka manusia dikubur dalam nekara perunggu.
Nekara adalah semacam bejana atau “dandang” perunggu yang bentuknya terbalik. Pada umumnya nekara mempunyai berbagai macam ornamen atau hiasan, seperti bentuk bintang, binatang (burung, kodok, kadal, ikan dan sebagainya) serta bentuk-bentuk manusia atau kodok yang sudah distilir. Nekara merupakan produk budaya prasejarah yang berkembang pada masa perundagian (paleometalik) dan berfungsi sebagai sarana dalam upacara keagamaan. Pada umumnya nekara didapatkan dari hasil “temuan lepas” dan penyebarannya hampir meliputi seluruh kepulauan Indonesia, terutama di Indonesia bagian Timur (NTT).
Nekara unik
Temuan nekara perunggu sebagai wadah kubur di Plawangan ini mempunyai keunikan yang jarang ditemui di seluruh Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Keistimewaannya, kubur nekara ini ditemukan dalam suatu penggalian (ekskavasi) secara sistematis yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang sudah berlangsung tahun 1977-1990. Jadi dapat dipastikan kubur nekara ini merupakan satu-satunya temuan data yang masih “insitu” dan sangat menarik perhatian para ahli, khususnya dalam bidang kepurbakalaan. “Dunia arkeologi” pun mencuat dan menjadi bahan perbincangan hangat di media masa pada waktu itu.
Rangka anak-anak
Nekara perunggu temuan di Situa Plawangan tersebut ternyata merupakan suatu wadah kubur untuk anak-anak. Di dalam nekara tersebut ditemukan rangka anak-anak yang sudah hancur dan berumur antara 8-10 tahun. Di bawah nekara ditemukan lagi satu rangka anak-anak yang lebih muda usianya, yaitu sekitar 4-6 tahun dalam keadaan tertindih oleh nekara dan temuk di bagian kepalanya. Mengapa ada dua rangka anak-anak yang umumnya hampir sebagai dikuburkan dalam nekara perunggu di Plawangan, hal ini masih menjadi tanda tanya dan teka-teki yang belum terpecahkan oleh para ahli prasejarah sampai saat ini.
Ada suatu pendapat menyatakan bahwa rangka anak-anak yang berada di dalam nekara tersebut diduga adalah anak dari salah seorang tokoh masyarakat yang dihormati, sedangkan rangka anak-anak yang terletak di bawah/tertindih oleh nekara adalah pengikut setia atau teman akrab bermainnya yang sengaja dibunuh untuk menemani perjalanan tuannya ke alam baka.
Menurut kepercayaan pada masa prasejarah, seorang tokoh penting dalam masyarakat, seperti misalnya kepala suku, mempunyai pengaruh yang sangat kuat, dihormati dan disegani. Jika ia meninggal dunia, maka dalam penguburannya akan disertakan beberapa bekal kubur yang berharga atau pengikut/pelayan setianya yang rela dibunuh atau dijadikan korban untuk mengikuti perjalanan arwah tuannya. Demikian halnya dengan nekara temuan sebagai kubur di Plawangan tersebut, menunjukkan suatu bukti bahwa paling tidak, orang (anak-anak) yang dikubur tersebut mempunyai status sosial yang tinggi karena nekara merupakan suatu benda yang amat langka dan tinggi nilainya waktu itu.
Kompleks Kubur Kuno
Plawangan merupakan suatu situs atau kompleks kubur kuno dari tinggalan budaya pantai utara Pulau Jawa. Berdasarkan ciri-ciri sistem penguburan yang diterapkan, maka secara kronologis dapat diperkirakan bahwa Situs Plawangan paling tidak menunjukkan tiga fase perkembangan, yaitu tradisi penguburan yang berkembang pada masa prasejarah (paleometalik), tradisi penguburan pra-Islam, dan tradisi penguburan Islam.
Tradisi penguburan pada masa prasejarah di Plawangan ini memiliki ciri-ciri umum berupa kubur tempayan ganda (double urnburial) dan ciri-ciri khusus berupa kubur dengan wadah nekara perunggu, sedangkan sisa-sisa penguburan pra-Islam menunjukkan ciri-ciri mayat yang dikubur mengarah utara-selatan dengan disertai bekal kubur, dan sisa-sisa penguburan Islam dengan ciri-ciri mayat yang dikubur mengarah utara-selatan tanpa disertai bekal kubur.
Selain di Plawangan, tradisi penguburan di tepi pantai di Indonesia antara lain terdapat di Buni dan Anyer (Jawab Barat), Melolo (Sumba Timur) dan di Tondano. Tradisi semacam ini diperkirakan berkembang pada akhir masa prasejarah sampai awal masuknya Hindu di Indonesia dengan ciri-ciri berupa kubur tempayan atau penguburan yang disertai bekal kubur (funeral gift).
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1994. Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nekara adalah semacam bejana atau “dandang” perunggu yang bentuknya terbalik. Pada umumnya nekara mempunyai berbagai macam ornamen atau hiasan, seperti bentuk bintang, binatang (burung, kodok, kadal, ikan dan sebagainya) serta bentuk-bentuk manusia atau kodok yang sudah distilir. Nekara merupakan produk budaya prasejarah yang berkembang pada masa perundagian (paleometalik) dan berfungsi sebagai sarana dalam upacara keagamaan. Pada umumnya nekara didapatkan dari hasil “temuan lepas” dan penyebarannya hampir meliputi seluruh kepulauan Indonesia, terutama di Indonesia bagian Timur (NTT).
Nekara unik
Temuan nekara perunggu sebagai wadah kubur di Plawangan ini mempunyai keunikan yang jarang ditemui di seluruh Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Keistimewaannya, kubur nekara ini ditemukan dalam suatu penggalian (ekskavasi) secara sistematis yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang sudah berlangsung tahun 1977-1990. Jadi dapat dipastikan kubur nekara ini merupakan satu-satunya temuan data yang masih “insitu” dan sangat menarik perhatian para ahli, khususnya dalam bidang kepurbakalaan. “Dunia arkeologi” pun mencuat dan menjadi bahan perbincangan hangat di media masa pada waktu itu.
Rangka anak-anak
Nekara perunggu temuan di Situa Plawangan tersebut ternyata merupakan suatu wadah kubur untuk anak-anak. Di dalam nekara tersebut ditemukan rangka anak-anak yang sudah hancur dan berumur antara 8-10 tahun. Di bawah nekara ditemukan lagi satu rangka anak-anak yang lebih muda usianya, yaitu sekitar 4-6 tahun dalam keadaan tertindih oleh nekara dan temuk di bagian kepalanya. Mengapa ada dua rangka anak-anak yang umumnya hampir sebagai dikuburkan dalam nekara perunggu di Plawangan, hal ini masih menjadi tanda tanya dan teka-teki yang belum terpecahkan oleh para ahli prasejarah sampai saat ini.
Ada suatu pendapat menyatakan bahwa rangka anak-anak yang berada di dalam nekara tersebut diduga adalah anak dari salah seorang tokoh masyarakat yang dihormati, sedangkan rangka anak-anak yang terletak di bawah/tertindih oleh nekara adalah pengikut setia atau teman akrab bermainnya yang sengaja dibunuh untuk menemani perjalanan tuannya ke alam baka.
Menurut kepercayaan pada masa prasejarah, seorang tokoh penting dalam masyarakat, seperti misalnya kepala suku, mempunyai pengaruh yang sangat kuat, dihormati dan disegani. Jika ia meninggal dunia, maka dalam penguburannya akan disertakan beberapa bekal kubur yang berharga atau pengikut/pelayan setianya yang rela dibunuh atau dijadikan korban untuk mengikuti perjalanan arwah tuannya. Demikian halnya dengan nekara temuan sebagai kubur di Plawangan tersebut, menunjukkan suatu bukti bahwa paling tidak, orang (anak-anak) yang dikubur tersebut mempunyai status sosial yang tinggi karena nekara merupakan suatu benda yang amat langka dan tinggi nilainya waktu itu.
Kompleks Kubur Kuno
Plawangan merupakan suatu situs atau kompleks kubur kuno dari tinggalan budaya pantai utara Pulau Jawa. Berdasarkan ciri-ciri sistem penguburan yang diterapkan, maka secara kronologis dapat diperkirakan bahwa Situs Plawangan paling tidak menunjukkan tiga fase perkembangan, yaitu tradisi penguburan yang berkembang pada masa prasejarah (paleometalik), tradisi penguburan pra-Islam, dan tradisi penguburan Islam.
Tradisi penguburan pada masa prasejarah di Plawangan ini memiliki ciri-ciri umum berupa kubur tempayan ganda (double urnburial) dan ciri-ciri khusus berupa kubur dengan wadah nekara perunggu, sedangkan sisa-sisa penguburan pra-Islam menunjukkan ciri-ciri mayat yang dikubur mengarah utara-selatan dengan disertai bekal kubur, dan sisa-sisa penguburan Islam dengan ciri-ciri mayat yang dikubur mengarah utara-selatan tanpa disertai bekal kubur.
Selain di Plawangan, tradisi penguburan di tepi pantai di Indonesia antara lain terdapat di Buni dan Anyer (Jawab Barat), Melolo (Sumba Timur) dan di Tondano. Tradisi semacam ini diperkirakan berkembang pada akhir masa prasejarah sampai awal masuknya Hindu di Indonesia dengan ciri-ciri berupa kubur tempayan atau penguburan yang disertai bekal kubur (funeral gift).
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1994. Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.