Oleh Sunarno Sastro Atmojo
Benteng Ujung Pandang memiliki sejarah yang unik, karena sedikitnya lima peranan telah dilaluinya. Peranan yang berkesinambungan dan selalu berubah sesuai situasi dan kondisi jamannya. Sehingga sejak didirikan hingga keberadaannya sekarang, dapat menggambarkan lintasan sejarah Sulawesi Selatan. Keunikan itu pula yang mengantarkan benteng ini menjadi salah satu objek wisata yang menarik di wilayah Indonesia belahan timur.
Nama Benteng
Terdaftar dalam Monumenten Ordonatie sebagai monumen bersejarah pada tanggal 23 Mei 1940 dengan nama Fort Rotterdam. Bertindak sebagai pendaftarnya adalah Yayasan Fort Rotterdam, yang diberi tugas oleh pemerintah Belanda pada waktu itu untuk memelihara dan melindungi bangunan-bangunan yang terdaftar di dalamnya dari tindakan yang bertentangan dengan fungsi bangunan yang sebenarnya, misalnya penggunaan benteng sebagai asrama.
Nama "Benteng Ujung Pandang," diambil dari nama ibukota Sulawesi Selatan Ujung Pandang, sejak tahun 1772 sampai beberapa tahun lalu. Menurut cerita lontara (naskah lontar) tempat tersebut banyak sekali tumbuh pandan sebelum didirikan benteng. Benteng ini pernah bernama "Benteng Panyua," dikaitkan dengan bentuk menyerupai penyu sedang merayap ke laut. Ada yang menfasirkan sebagai gambaran tempurung penyu yang keras dan kuat, yang diharapkan dapat melindungi rakyat dan Kerajaan Gowa. Pada jaman pendudukan Belanda disebut Katayya karena benteng ini difungsikan sebagai pusat pemerintahan atau kota.
Sejarah Benteng
Benteng ini menjadi salah satu bukti kejayaan dan kebesaran Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, yang masih berdiri dengan utuh dan megah hingga sekarang, meskipun usianya telah mencapai empat abad. Berkaitan dengan usaha pertahanan, hingga abad ke-17 Kerajaan Gowa membangun 14 benteng. Empat belas benteng tersebut adalah benteng-benteng: Sanrobone, Kale Gowa, Galesong, Barombong, Panakukang, Pattunuang, Sombaopu, Bontorannu, Mariso, Baro Boso, Tallo, Ana' Tallo, Ujung Tanah, dan Ujung Pandang. Satu-satunya yang masih ada dari 14 benteng tersebut adalah Benteng Ujung Pandang, lainnya tinggal nama saja.
Sejarah Benteng Ujung Pandang tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Kerajaan Gowa, yang muncul pada abad ke-13. Menurut cerita Lontara (naskah lontar), pendiri Benteng Ujung Pandang adalah raja Gowa ke-10, yaitu I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung, yang disebut juga Tunipalangga Ulaweng, pada tahun 1545. Pada mulanya benteng ini dibangun dari tanah liat, tetapi pada masa pemerintahan raja Gowa ke-14, yaitu Tumenanga ri Gaukanna yang disebut juga Sultan Alauddin, diganti dengan lapisan batu pada tahun 1634.
Pada masa pemerintahan Sultan Allaudin dilakukan perjanjian perdamaian dan perdagangan bebas pada tanggal 26 Juni 1937, dengan ketentuan pedagang-pedagang Kompeni tidak diperkenankan menetap di Somboapu. Karena hak monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku, serta didorong oleh kepribadian rakyat Gowa atas kebebasan, harga diri dan kesetiaan kepada raja, raja Gowa ke-16, yaitu Malombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape yang bergelar Sultan Hasanuddin, berperang melawan Kompeni Belanda. Perang pertama kali dilakukan pada bulan April 1655, dengan kemenangan di pihak Kerajaan Gowa. Perang kedua terjadi pada tahun 1660, karena kesalahan strategi, Kerajaan Gowa mengalami kekalahan, ditandai dengan jatuhnya Benteng Panakhukang pada tanggal 12 Juni 1660. Perang berlanjut sampai enam kali, hingga menimbulkan kerugian besar di kedua pihak. Sehingga pada tanggal 18 November 1667 diadakan perjanjian yang disebut "Cappaya ri Bungaya." Dengan Perjanjian Bungaya, secara resmi Benteng Ujung Pandang menjadi milik Kompeni Belanda dan diubah namanya menjadi "Fort Rotterdam." Pada tanggal 15 Juni 1669, Sombaopu yang menjadi ibukota Kerajaan Gowa, jatuh ke tangan Kompeni Belanda. Baru pada tanggal 22 Juni 1669 Benteng Sombaopu jatuh ke tangan Kompeni Belanda. Sebanyak 272 pucuk meriam termasuk meriam sakti "Anak Makassar" disita. Sultan Hasanuddin turun tahta pada tanggal 29 Juni 1669.
di dalam kompleks benteng dijumpai 15 bangunan rumah dengan gaya arsitektur Belanda abad XVII. Semula bangunan rumah tersebut berbentuk Rumah Makassar dengan tiang tinggi yang terbuat dari kayu. Semuanya dibangun oleh Kompeni Belanda (VOC), kecuali satu bangunan yaitu yang kini disebut bangunan no 11, dibangun oleh Pemerintah Pendudukan Jepang. Perbaikan yang dilakukan oleh Belanda selesai pada tahun 1677.
Fungsi Benteng
Pada jaman kerajaan Gowa, benteng ini berfungsi sebagai benteng pengawal, yang bertugas melindungi Benteng Sombaopu yang berperan sebagai benteng induk, jika mendapat serangan musuh. Pada masa pendudukan Belanda, benteng ini berfungsi ganda yakni sebagai benteng pertahanan sekaligus sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian. Semasa pendudukan Jepang teknologi mengalami perkembangan pesat, sedangkan fungsi benteng untuk pertahanan tidak efektif lagi, sehingga fungsi benteng diubah menjadi pusat penelitian ilmiah, khususnya dibidang bahasa dan pertanian.
Setelah Indonesia merdeka, tempat ini dijadikan tempat penampungan bagi orang-orang pemihak Belanda yang terancam jiwanya oleh para gerilyawan yang menaruh dendam. Dengan demikian benteng ini berfungsi sebagai perumahan. Keadaan ini berlangsung hingga saat terjadi "penyerahan kedaulatan" pada tanggal 27 Desember 1949. Benteng ini difungsikan kembali sebagai benteng pertahanan pada saat berlangsung pertempuran selama tujuh hari antara pasukan KNIL dengan TNI (Tentara Nasional Indonesia). Seusai perang benteng ini berfungsi kembali sebagai perumahan sipil dan militer.
Pusat Kebudayaan Sulawesi Selatan
Ketentuan yang terdapat dalam surat Kepala Dinas Purbakala tanggal 4 April 1953 No 504/D.4 disebutkan bahwa seusai perang hanya usaha yang bersifat kebudayaan saja yang dapat ditempatkan di dalam benteng. Sehingga pada tahun 1770 sekitar 1.500 jiwa berhasil dipindahkan oleh pemerintah Sulawesi Selatan. Selanjutnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Dr Sjarif Thajeb mengeluarkan surat keputusan No 014/A/1/1974 yang menetapkan bahwa benteng Ujung Pandang dijadikan pusat budaya Ujung Pandang serta perlu dibentuk dewan pembinanya.
Sebagai tindak lanjut usaha termaksud, dilakukan beberapa kegiatan, di antaranya memugar bangunan yang ada di dalamnya. Pada tahun 1974, di tengah lapangan kompleks benteng dibangun sebuah panggung pertunjukan kesenian. Segala jenis kegiatan kesenian yang mencakup seni tari, seni suara, seni musik, drama, pameran purbakala dan sebagainya, dipentaskan di panggung ini. Akhirnya pada tanggal 21 April 1977, benteng Ujung Pandang secara resmi dijadikan Pusat Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Sunarno Sastro Atmojo (Asdep Konservasi & Pemeliharaan/Proyek Pemanfaatan Kebudayaan)
Sumber: www.hupelita.com
Benteng Ujung Pandang memiliki sejarah yang unik, karena sedikitnya lima peranan telah dilaluinya. Peranan yang berkesinambungan dan selalu berubah sesuai situasi dan kondisi jamannya. Sehingga sejak didirikan hingga keberadaannya sekarang, dapat menggambarkan lintasan sejarah Sulawesi Selatan. Keunikan itu pula yang mengantarkan benteng ini menjadi salah satu objek wisata yang menarik di wilayah Indonesia belahan timur.
Nama Benteng
Terdaftar dalam Monumenten Ordonatie sebagai monumen bersejarah pada tanggal 23 Mei 1940 dengan nama Fort Rotterdam. Bertindak sebagai pendaftarnya adalah Yayasan Fort Rotterdam, yang diberi tugas oleh pemerintah Belanda pada waktu itu untuk memelihara dan melindungi bangunan-bangunan yang terdaftar di dalamnya dari tindakan yang bertentangan dengan fungsi bangunan yang sebenarnya, misalnya penggunaan benteng sebagai asrama.
Nama "Benteng Ujung Pandang," diambil dari nama ibukota Sulawesi Selatan Ujung Pandang, sejak tahun 1772 sampai beberapa tahun lalu. Menurut cerita lontara (naskah lontar) tempat tersebut banyak sekali tumbuh pandan sebelum didirikan benteng. Benteng ini pernah bernama "Benteng Panyua," dikaitkan dengan bentuk menyerupai penyu sedang merayap ke laut. Ada yang menfasirkan sebagai gambaran tempurung penyu yang keras dan kuat, yang diharapkan dapat melindungi rakyat dan Kerajaan Gowa. Pada jaman pendudukan Belanda disebut Katayya karena benteng ini difungsikan sebagai pusat pemerintahan atau kota.
Sejarah Benteng
Benteng ini menjadi salah satu bukti kejayaan dan kebesaran Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, yang masih berdiri dengan utuh dan megah hingga sekarang, meskipun usianya telah mencapai empat abad. Berkaitan dengan usaha pertahanan, hingga abad ke-17 Kerajaan Gowa membangun 14 benteng. Empat belas benteng tersebut adalah benteng-benteng: Sanrobone, Kale Gowa, Galesong, Barombong, Panakukang, Pattunuang, Sombaopu, Bontorannu, Mariso, Baro Boso, Tallo, Ana' Tallo, Ujung Tanah, dan Ujung Pandang. Satu-satunya yang masih ada dari 14 benteng tersebut adalah Benteng Ujung Pandang, lainnya tinggal nama saja.
Sejarah Benteng Ujung Pandang tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Kerajaan Gowa, yang muncul pada abad ke-13. Menurut cerita Lontara (naskah lontar), pendiri Benteng Ujung Pandang adalah raja Gowa ke-10, yaitu I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung, yang disebut juga Tunipalangga Ulaweng, pada tahun 1545. Pada mulanya benteng ini dibangun dari tanah liat, tetapi pada masa pemerintahan raja Gowa ke-14, yaitu Tumenanga ri Gaukanna yang disebut juga Sultan Alauddin, diganti dengan lapisan batu pada tahun 1634.
Pada masa pemerintahan Sultan Allaudin dilakukan perjanjian perdamaian dan perdagangan bebas pada tanggal 26 Juni 1937, dengan ketentuan pedagang-pedagang Kompeni tidak diperkenankan menetap di Somboapu. Karena hak monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku, serta didorong oleh kepribadian rakyat Gowa atas kebebasan, harga diri dan kesetiaan kepada raja, raja Gowa ke-16, yaitu Malombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape yang bergelar Sultan Hasanuddin, berperang melawan Kompeni Belanda. Perang pertama kali dilakukan pada bulan April 1655, dengan kemenangan di pihak Kerajaan Gowa. Perang kedua terjadi pada tahun 1660, karena kesalahan strategi, Kerajaan Gowa mengalami kekalahan, ditandai dengan jatuhnya Benteng Panakhukang pada tanggal 12 Juni 1660. Perang berlanjut sampai enam kali, hingga menimbulkan kerugian besar di kedua pihak. Sehingga pada tanggal 18 November 1667 diadakan perjanjian yang disebut "Cappaya ri Bungaya." Dengan Perjanjian Bungaya, secara resmi Benteng Ujung Pandang menjadi milik Kompeni Belanda dan diubah namanya menjadi "Fort Rotterdam." Pada tanggal 15 Juni 1669, Sombaopu yang menjadi ibukota Kerajaan Gowa, jatuh ke tangan Kompeni Belanda. Baru pada tanggal 22 Juni 1669 Benteng Sombaopu jatuh ke tangan Kompeni Belanda. Sebanyak 272 pucuk meriam termasuk meriam sakti "Anak Makassar" disita. Sultan Hasanuddin turun tahta pada tanggal 29 Juni 1669.
di dalam kompleks benteng dijumpai 15 bangunan rumah dengan gaya arsitektur Belanda abad XVII. Semula bangunan rumah tersebut berbentuk Rumah Makassar dengan tiang tinggi yang terbuat dari kayu. Semuanya dibangun oleh Kompeni Belanda (VOC), kecuali satu bangunan yaitu yang kini disebut bangunan no 11, dibangun oleh Pemerintah Pendudukan Jepang. Perbaikan yang dilakukan oleh Belanda selesai pada tahun 1677.
Fungsi Benteng
Pada jaman kerajaan Gowa, benteng ini berfungsi sebagai benteng pengawal, yang bertugas melindungi Benteng Sombaopu yang berperan sebagai benteng induk, jika mendapat serangan musuh. Pada masa pendudukan Belanda, benteng ini berfungsi ganda yakni sebagai benteng pertahanan sekaligus sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian. Semasa pendudukan Jepang teknologi mengalami perkembangan pesat, sedangkan fungsi benteng untuk pertahanan tidak efektif lagi, sehingga fungsi benteng diubah menjadi pusat penelitian ilmiah, khususnya dibidang bahasa dan pertanian.
Setelah Indonesia merdeka, tempat ini dijadikan tempat penampungan bagi orang-orang pemihak Belanda yang terancam jiwanya oleh para gerilyawan yang menaruh dendam. Dengan demikian benteng ini berfungsi sebagai perumahan. Keadaan ini berlangsung hingga saat terjadi "penyerahan kedaulatan" pada tanggal 27 Desember 1949. Benteng ini difungsikan kembali sebagai benteng pertahanan pada saat berlangsung pertempuran selama tujuh hari antara pasukan KNIL dengan TNI (Tentara Nasional Indonesia). Seusai perang benteng ini berfungsi kembali sebagai perumahan sipil dan militer.
Pusat Kebudayaan Sulawesi Selatan
Ketentuan yang terdapat dalam surat Kepala Dinas Purbakala tanggal 4 April 1953 No 504/D.4 disebutkan bahwa seusai perang hanya usaha yang bersifat kebudayaan saja yang dapat ditempatkan di dalam benteng. Sehingga pada tahun 1770 sekitar 1.500 jiwa berhasil dipindahkan oleh pemerintah Sulawesi Selatan. Selanjutnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Dr Sjarif Thajeb mengeluarkan surat keputusan No 014/A/1/1974 yang menetapkan bahwa benteng Ujung Pandang dijadikan pusat budaya Ujung Pandang serta perlu dibentuk dewan pembinanya.
Sebagai tindak lanjut usaha termaksud, dilakukan beberapa kegiatan, di antaranya memugar bangunan yang ada di dalamnya. Pada tahun 1974, di tengah lapangan kompleks benteng dibangun sebuah panggung pertunjukan kesenian. Segala jenis kegiatan kesenian yang mencakup seni tari, seni suara, seni musik, drama, pameran purbakala dan sebagainya, dipentaskan di panggung ini. Akhirnya pada tanggal 21 April 1977, benteng Ujung Pandang secara resmi dijadikan Pusat Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Sunarno Sastro Atmojo (Asdep Konservasi & Pemeliharaan/Proyek Pemanfaatan Kebudayaan)
Sumber: www.hupelita.com