Oleh Her Suganda
Lebih dari seabad silam, para peneliti sudah menduga bahwa Dataran Tinggi Bandung pernah dijadikan hunian manusia sejak zaman prasejarah. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya berbagai peralatan dari batu seperti anak panah, pisau dan kapak yang terbuat dari batu obsidian dan artefak lainnya yang tersebar di beberapa tempat.
Usaha menemukan jejak manusia purba di Dataran Tinggi Bandung akhirnya menjadi kenyataan ketika pertengahan Juli lalu, para arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Bandung yang menindaklanjuti penelitian sekelompok geolog muda yang tergabung dalam Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB), menemukan fosil manusia purba di daerah yang disebut Goa Pawon.
“Walaupun usianya lebih muda karena diperkirakan berasal dari masa mesolitik, namun secara arkeologis temuan itu sangat signifikan, terutama dalam hubungannya dengan terbentuknya Danau Bandung Purba,” kata Dr Tony Djubiantono, Kepala Balar Bandung.
Goa Pawon terletak di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Padalarang, Kabupaten Bandung, atau sekitar 25 km arah barat Kota Bandung. Lokasi penemuan terletak tidak jauh dari sisi jalan raya yang menghubungkan Bandung-Cianjur dan kota-kota lainnya di sebelah barat.
Disebut Goa Pawon karena lokasi temuan berada di dalam goa kars yang terletak di sisi tebing bukit kars Gunung Masigit yang oleh penduduk setempat dinamakan Goa Pawon. Dalam bahasa Sunda, pawon artinya sama dengan dapur. Jika diukur dengan permukaan tanah terendah di daerah itu yang diperkirakan merupakan dasar danau, maka letak goa tersebut berada pada ketinggian sekitar 100 meter.
Dugaan goa tersebut pernah dihuni manusia prasejarah pertama kali disampaikan KRBC. Ketika itu, sekitar dua tahun lalu, sekelompok geolog muda yang terdiri dari Eko Yulianto, Budi Brahmantyo, Johan Arief, T Bachtiar, dan dibantu oleh Sujatmiko melakukan penelitian endapat danau Bandung Purba. Namun, tatkala meneliti endapatn Sungai Cibukur yang letaknya sekitar 200 meter dari Goa Pawon, mereka menemukan artefak berupa dua buah mata kapak dan satu kapak genggam. Karena merasa menemukan sesuatu yang dianggapnya “istimewa”, mereka tidak bisa menahan nalurinya sebagai peneliti untuk meneliti lokasi tersebut lebih lanjut. Ternyata dugaannya tidak meleset. Mereka menemukan lebih banyak lagi artefak setelah melakukan penggalian di Goa Pawon yang selama ini dianggap angker oleh masyarakat setempat.
Penelitian lebih mendalam terhadap Goa Pawon barulah dilakukan dua tahun kemudian oleh Balar Bandung. Dipimpin arkeolog Drs Lutfi Youndri, penelitian dilakukan sejak 10-19 Juli lalu. Dari penggalian yang dilakukan, selain ditemukan 20.250 serpihan tulang-belulang dan 4.050 serpihan batu, pada kedalaman 80 cm ditemukan fosil tulang tengkorak manusia. Sementara pada kedalaman 120 cm, ditemukan fosil tulang kering dan telapak kaki manusia prasejarah. Baik Lutfi maupun Tony Djubiantono meyakini masih terdapat fosil individu lainnya di tempat tersebut.
Melihat temuan yang cukup penting dalam sejarah terbentuknya Danau Bandung Purba tersebut, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, H Memet H Hamdan, yang melakukan peninjauan lapangan melihat besarnya potensi sejarah dan budaya situs tersebut. Karena itu, ia segera memerintahkan pemagaran situs tersebut untuk menghindarkan perusakan oleh tangan-tangan iseng.
“Saya juga akan meminta bantuan Bupati Bandung mengamankan lokasi ini,” katanya bersemangat. Keinginan ini disampaikan karena daerah sekitar situs merupakan lokasi eksploitasi kapur dan marmer terbesar di Kabupaten Bandung.
Goa Pawon yang terletak pada kawasan kars Padalarang, menurut geolog Hanang Samodra, merupakan kompleks goa fosil yang bertingkat dengan gejala peruntuhan dan pelarutan yang membentuk beberapa lubang atau sumuran tegak (shaft) sedalam belasan meter. Sedimen di dalam goa yang tebalnya lebih dari tiga meter bercampur dengan endapan fosfat quano.
Pada sedimen goa tersebut diakui pernah ditemukan artefak, kepingan tulang vertebrata dan beberapa jenis moluska darat. Menurut dia, penemuan itu mengukuhkan nilai arkeologi goa yang informasinya dapat dipakai untuk menafsirkan keberadaan manusia purba atau prasejarah yang diduga tinggal di sekitar pinggiran Danau Bandung Purba. Ia menduga, goa tersebut hanya merupakan tempat persinggahan dan bukan merupakan tempat tinggal manusia prasejarah.
Danau Bandung Purba dengan latar belakang sejarah dan legendanya yang memikat, selama ini belum banyak dijual sebagai obyek wisata khusus, terutama geowisata. Padahal, potensinya sangat besar sehingga akan menambah kuat daya tarik wisatawan mengunjungi Dataran Tinggi Bandung.
Dari segi ceritera rakyat Sunda, legenda Sangkuriang yang diciptakan nenek moyang manusia Sunda hingga kini masih tetap memikat untuk diceriterakan kembali. Konon, danau tersebut diciptakan berkat kesaktian Sangkuriang yang berusaha memenuhi permintaan Dayang Sumbi yang akan disuntingnya sebagai isteri. Wanita yang diceriterakan tetap cantik di masa tuanya itu tidak lain dari ibunya sendiri. Rencananya, pasangan anak dan ibu itu akan berbulan madu dengan berlayar mengarungi danau tersebut yang diciptakan dengan membendung Sungai Citarum.
Namun, sang ibu rupanya tak kalah akal untuk menggagalkan rencana tersebut. Dengan kesaktiannya, ia berhasil mengelabui anaknya tercinta. Ia menciptakan seolah-olah fajar yang menjadi batas waktu yang dijanjikan, sudah menyingsing. Keadaan itu disusul dengan ramainya kokok ayam jantan. Burung-burung berkicau bersahut-sahutan menyambut pagi.
Menyadari usahanya telah gagal, Sangkuriang kemudian menendang perahunya yang belum rampung sehingga terbalik. Dan, setelah sadar bahwa dirinya telah tertipu, ia mengejar-ngejar Dayang Sumbi. Wanita bernasib malang itu menyelamatkan diri dengan melompat ke atas lunas perahu yang terbalik sehingga menciptakan lubang yang besar menembus perut bumi.
Kelak dikemudian hari, perahu yang terbalik itu berubah menjadi Gunung Tangkubanperahu. Di bagian tengahnya terdapat kawah Ratu, tempat di mana Dayang Sumbi melompat dan kemudian hilang ditelan bumi. Karena itu, jika swaktu-waktu kita bernasib mujur tatkala berkunjung ke Gunung Tangkubanperahu, sesekali akan terdengar suara yang berasal dari lepasan tufa panas dari kawahnya. Suaranya yang terdengar mendengus-dengus itu diibaratkan sebagai tangis Dayang Sumbi yang harus menanggung derita sampai akhir hayatnya.
Danau Bandung Purba sebenarnya bukanlah hanya dongeng semata. Secara geologis, fenomena itu bisa dibuktikan dengan berbagai peristiwa alam yang pernah dilalui dalam perjalanan sejarahnya. Dataran Tinggi Bandung yang kini dihuni lebih dari tujuh juta jiwa manusia, pada awalnya merupakan dasar lautan. Dataran tertinggi hanya ada di daerah Pangalengan.
Di sebelah utara, menjulang tinggi gunung api yang dikelilingi laut. Tingginya sekitar 3000 meter. Karena puncaknya selalu diselimuti es, gunung tersebut dinamakan Gunung Sunda, kata yang berasal dari bahasa Sanksakerta. Cuda artinya putih, bersih. Kelak dikemudian hari, sejalan dengan peristiwa geologi yang terjadi, daratan bagian selatan Pulau Jawa makin terdesak ke atas. Sementara pantainya di bagian utama main terdesak sehingga dasar laut di daerah Dataran Tinggi Bandung berubah menjadi daratan.
Bukti fenomena alam tersebut hingga kini masih bisa kita saksikan dengan jelas jika memasuki Bandung dari arah barat, baik melalui Cianjur maupun Purwakarta/Cikampek. Seperti kawasan kars lainnnya, kawasan kars Padalarang yang tersebar di daerah Cipatat dan Tagogapu, pada awalnya berasal dari koloni binatang dan tumbuhan yang hidup dan tumbuh di laut dangkal. Namun, dengan terjadinya pergeseran pantai, koloni binatang dan tumbuhan tersebut kemudian mati lalu membentuk batu gamping. Apa yang bisa kita saksikan sekarang ini sebenarnya merupakan hasil proses geologi setelah batuan tersebut kemudian terangkat ke permukaan.
Gunung Sunda yang terdapat di Dataran Tinggi Bandung merupakan gunu api yang sangat aktif. Gunung api tersebut diperkirakan mengalami beberapa kali letusan dahsyat. Gunung Tangkubanperahu yang menjadi land mark Dataran Tinggi Bandung dan Gunung Burangrang di sebelahnya yang selalu dikait-kaitkan dengan legenda Sangkuriang, sebenarnya merupakan prasasti Gunung Sunda setelah mengalami beberapa kali letusan dahsyat.
Letusan dahsyat itu juga meninggalkan patahan Lembang yang hingga kini bisa kita saksikan jika berkunjung ke daerah bagian utara Bandung.
Peristiwa alam tersebut tidak terhenti sampai di situ. Sebagai gunung api yang hingga kini masih aktif, dalam satu letusannya yang paling dahsyat, Gunung Tangkubanperahu memuntahkan abu dan material vulkanik lainnya. Aliran lava dan awan panas mengalir ke segala penjuru sampai akhirnya menyumbat aliran Sungai Citarum dan sejumlah anak sungainya di daerah yang kini bernama Rajamandala.
Secara perlahan-lahan, sumbatan lava itu akhirnya menciptakan Danau Bandung yang sangat luas. Di kalangan masyarakat Sunda, danau tersebut sering disebut Situ Hyang.
Permukaan air Danau Bandung Purba ketika itu diperkirakan tingginya sekitar 725 meter di atas permukaan laut. Ini berarti, bibir danau tersebut membentang dari Sanghyang Tikoro di Rajamandalam di sebelah barat sampai Cicalengka di sebelah timur, sejauh lebih kurang 50 km.
Sumber: www.kompas.com
Lebih dari seabad silam, para peneliti sudah menduga bahwa Dataran Tinggi Bandung pernah dijadikan hunian manusia sejak zaman prasejarah. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya berbagai peralatan dari batu seperti anak panah, pisau dan kapak yang terbuat dari batu obsidian dan artefak lainnya yang tersebar di beberapa tempat.
Usaha menemukan jejak manusia purba di Dataran Tinggi Bandung akhirnya menjadi kenyataan ketika pertengahan Juli lalu, para arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Bandung yang menindaklanjuti penelitian sekelompok geolog muda yang tergabung dalam Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB), menemukan fosil manusia purba di daerah yang disebut Goa Pawon.
“Walaupun usianya lebih muda karena diperkirakan berasal dari masa mesolitik, namun secara arkeologis temuan itu sangat signifikan, terutama dalam hubungannya dengan terbentuknya Danau Bandung Purba,” kata Dr Tony Djubiantono, Kepala Balar Bandung.
Goa Pawon terletak di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Padalarang, Kabupaten Bandung, atau sekitar 25 km arah barat Kota Bandung. Lokasi penemuan terletak tidak jauh dari sisi jalan raya yang menghubungkan Bandung-Cianjur dan kota-kota lainnya di sebelah barat.
Disebut Goa Pawon karena lokasi temuan berada di dalam goa kars yang terletak di sisi tebing bukit kars Gunung Masigit yang oleh penduduk setempat dinamakan Goa Pawon. Dalam bahasa Sunda, pawon artinya sama dengan dapur. Jika diukur dengan permukaan tanah terendah di daerah itu yang diperkirakan merupakan dasar danau, maka letak goa tersebut berada pada ketinggian sekitar 100 meter.
Dugaan goa tersebut pernah dihuni manusia prasejarah pertama kali disampaikan KRBC. Ketika itu, sekitar dua tahun lalu, sekelompok geolog muda yang terdiri dari Eko Yulianto, Budi Brahmantyo, Johan Arief, T Bachtiar, dan dibantu oleh Sujatmiko melakukan penelitian endapat danau Bandung Purba. Namun, tatkala meneliti endapatn Sungai Cibukur yang letaknya sekitar 200 meter dari Goa Pawon, mereka menemukan artefak berupa dua buah mata kapak dan satu kapak genggam. Karena merasa menemukan sesuatu yang dianggapnya “istimewa”, mereka tidak bisa menahan nalurinya sebagai peneliti untuk meneliti lokasi tersebut lebih lanjut. Ternyata dugaannya tidak meleset. Mereka menemukan lebih banyak lagi artefak setelah melakukan penggalian di Goa Pawon yang selama ini dianggap angker oleh masyarakat setempat.
Penelitian lebih mendalam terhadap Goa Pawon barulah dilakukan dua tahun kemudian oleh Balar Bandung. Dipimpin arkeolog Drs Lutfi Youndri, penelitian dilakukan sejak 10-19 Juli lalu. Dari penggalian yang dilakukan, selain ditemukan 20.250 serpihan tulang-belulang dan 4.050 serpihan batu, pada kedalaman 80 cm ditemukan fosil tulang tengkorak manusia. Sementara pada kedalaman 120 cm, ditemukan fosil tulang kering dan telapak kaki manusia prasejarah. Baik Lutfi maupun Tony Djubiantono meyakini masih terdapat fosil individu lainnya di tempat tersebut.
Melihat temuan yang cukup penting dalam sejarah terbentuknya Danau Bandung Purba tersebut, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, H Memet H Hamdan, yang melakukan peninjauan lapangan melihat besarnya potensi sejarah dan budaya situs tersebut. Karena itu, ia segera memerintahkan pemagaran situs tersebut untuk menghindarkan perusakan oleh tangan-tangan iseng.
“Saya juga akan meminta bantuan Bupati Bandung mengamankan lokasi ini,” katanya bersemangat. Keinginan ini disampaikan karena daerah sekitar situs merupakan lokasi eksploitasi kapur dan marmer terbesar di Kabupaten Bandung.
Goa Pawon yang terletak pada kawasan kars Padalarang, menurut geolog Hanang Samodra, merupakan kompleks goa fosil yang bertingkat dengan gejala peruntuhan dan pelarutan yang membentuk beberapa lubang atau sumuran tegak (shaft) sedalam belasan meter. Sedimen di dalam goa yang tebalnya lebih dari tiga meter bercampur dengan endapan fosfat quano.
Pada sedimen goa tersebut diakui pernah ditemukan artefak, kepingan tulang vertebrata dan beberapa jenis moluska darat. Menurut dia, penemuan itu mengukuhkan nilai arkeologi goa yang informasinya dapat dipakai untuk menafsirkan keberadaan manusia purba atau prasejarah yang diduga tinggal di sekitar pinggiran Danau Bandung Purba. Ia menduga, goa tersebut hanya merupakan tempat persinggahan dan bukan merupakan tempat tinggal manusia prasejarah.
Danau Bandung Purba dengan latar belakang sejarah dan legendanya yang memikat, selama ini belum banyak dijual sebagai obyek wisata khusus, terutama geowisata. Padahal, potensinya sangat besar sehingga akan menambah kuat daya tarik wisatawan mengunjungi Dataran Tinggi Bandung.
Dari segi ceritera rakyat Sunda, legenda Sangkuriang yang diciptakan nenek moyang manusia Sunda hingga kini masih tetap memikat untuk diceriterakan kembali. Konon, danau tersebut diciptakan berkat kesaktian Sangkuriang yang berusaha memenuhi permintaan Dayang Sumbi yang akan disuntingnya sebagai isteri. Wanita yang diceriterakan tetap cantik di masa tuanya itu tidak lain dari ibunya sendiri. Rencananya, pasangan anak dan ibu itu akan berbulan madu dengan berlayar mengarungi danau tersebut yang diciptakan dengan membendung Sungai Citarum.
Namun, sang ibu rupanya tak kalah akal untuk menggagalkan rencana tersebut. Dengan kesaktiannya, ia berhasil mengelabui anaknya tercinta. Ia menciptakan seolah-olah fajar yang menjadi batas waktu yang dijanjikan, sudah menyingsing. Keadaan itu disusul dengan ramainya kokok ayam jantan. Burung-burung berkicau bersahut-sahutan menyambut pagi.
Menyadari usahanya telah gagal, Sangkuriang kemudian menendang perahunya yang belum rampung sehingga terbalik. Dan, setelah sadar bahwa dirinya telah tertipu, ia mengejar-ngejar Dayang Sumbi. Wanita bernasib malang itu menyelamatkan diri dengan melompat ke atas lunas perahu yang terbalik sehingga menciptakan lubang yang besar menembus perut bumi.
Kelak dikemudian hari, perahu yang terbalik itu berubah menjadi Gunung Tangkubanperahu. Di bagian tengahnya terdapat kawah Ratu, tempat di mana Dayang Sumbi melompat dan kemudian hilang ditelan bumi. Karena itu, jika swaktu-waktu kita bernasib mujur tatkala berkunjung ke Gunung Tangkubanperahu, sesekali akan terdengar suara yang berasal dari lepasan tufa panas dari kawahnya. Suaranya yang terdengar mendengus-dengus itu diibaratkan sebagai tangis Dayang Sumbi yang harus menanggung derita sampai akhir hayatnya.
Danau Bandung Purba sebenarnya bukanlah hanya dongeng semata. Secara geologis, fenomena itu bisa dibuktikan dengan berbagai peristiwa alam yang pernah dilalui dalam perjalanan sejarahnya. Dataran Tinggi Bandung yang kini dihuni lebih dari tujuh juta jiwa manusia, pada awalnya merupakan dasar lautan. Dataran tertinggi hanya ada di daerah Pangalengan.
Di sebelah utara, menjulang tinggi gunung api yang dikelilingi laut. Tingginya sekitar 3000 meter. Karena puncaknya selalu diselimuti es, gunung tersebut dinamakan Gunung Sunda, kata yang berasal dari bahasa Sanksakerta. Cuda artinya putih, bersih. Kelak dikemudian hari, sejalan dengan peristiwa geologi yang terjadi, daratan bagian selatan Pulau Jawa makin terdesak ke atas. Sementara pantainya di bagian utama main terdesak sehingga dasar laut di daerah Dataran Tinggi Bandung berubah menjadi daratan.
Bukti fenomena alam tersebut hingga kini masih bisa kita saksikan dengan jelas jika memasuki Bandung dari arah barat, baik melalui Cianjur maupun Purwakarta/Cikampek. Seperti kawasan kars lainnnya, kawasan kars Padalarang yang tersebar di daerah Cipatat dan Tagogapu, pada awalnya berasal dari koloni binatang dan tumbuhan yang hidup dan tumbuh di laut dangkal. Namun, dengan terjadinya pergeseran pantai, koloni binatang dan tumbuhan tersebut kemudian mati lalu membentuk batu gamping. Apa yang bisa kita saksikan sekarang ini sebenarnya merupakan hasil proses geologi setelah batuan tersebut kemudian terangkat ke permukaan.
Gunung Sunda yang terdapat di Dataran Tinggi Bandung merupakan gunu api yang sangat aktif. Gunung api tersebut diperkirakan mengalami beberapa kali letusan dahsyat. Gunung Tangkubanperahu yang menjadi land mark Dataran Tinggi Bandung dan Gunung Burangrang di sebelahnya yang selalu dikait-kaitkan dengan legenda Sangkuriang, sebenarnya merupakan prasasti Gunung Sunda setelah mengalami beberapa kali letusan dahsyat.
Letusan dahsyat itu juga meninggalkan patahan Lembang yang hingga kini bisa kita saksikan jika berkunjung ke daerah bagian utara Bandung.
Peristiwa alam tersebut tidak terhenti sampai di situ. Sebagai gunung api yang hingga kini masih aktif, dalam satu letusannya yang paling dahsyat, Gunung Tangkubanperahu memuntahkan abu dan material vulkanik lainnya. Aliran lava dan awan panas mengalir ke segala penjuru sampai akhirnya menyumbat aliran Sungai Citarum dan sejumlah anak sungainya di daerah yang kini bernama Rajamandala.
Secara perlahan-lahan, sumbatan lava itu akhirnya menciptakan Danau Bandung yang sangat luas. Di kalangan masyarakat Sunda, danau tersebut sering disebut Situ Hyang.
Permukaan air Danau Bandung Purba ketika itu diperkirakan tingginya sekitar 725 meter di atas permukaan laut. Ini berarti, bibir danau tersebut membentang dari Sanghyang Tikoro di Rajamandalam di sebelah barat sampai Cicalengka di sebelah timur, sejauh lebih kurang 50 km.
Sumber: www.kompas.com