Kebudayaan Mentawai Tidak Mengenal Logam?

Oleh Rr. Triwuryani

Mentawai merupakan kepulauan yang terdiri dari beberapa puluh pulau. Pulau yang paling besar ada 3, yakni Pulau Siberut, Pulau Pagai dan Pulau Sipora. Di antara ketiga pulau ini pulau yang paling besar adalah Pulau Siberut dengan luas 4.480 km2. Sejak era otonomi daerah pulau-pulau Mentawai tidak lagi termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Padang Pariaman, melainkan menjadi kabupaten tersendiri yaitu Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan ibukota berkedudukan di Pulau Pagai dan termasuk wilayah Provinsi Sumatera Barat.

Jarak Kepulauan Mentawai dari kota Padang +- 135 km melintasi Samudra Hindia nan luas dengan ombak yang tinggi dan sering ganas. Oleh karena itu transportasi menuju ke kepulauan ini sangat tergantung kepada cuaca, apabila sedang musim badai maka jarang ada kapal yang berani melintasinya. Keadaan ini sudah berlangsung selama berpuluh bahkan beratus tahun yang lalu sehingga membuat kepulauan Mentawai menjadi seperti "terisolir." Akan tetapi kondisi ini sesungguhnya sangat menguntungkan di mana kepulauan Mentawai dengan segala isinya tumbuh dengan unik, terutama flora dan fauna yang hanya ada di Kepulauan Mentawai.

Kondisi ini secara tidak langsung juga membuat masyarakat yang tinggal di dalamnya dan budaya yang dimilikinya mempunyai ciri khas tersendiri, mengikuti keadaan alamnya. Merupakan hal yang wajar apabila daerah Mentawai menjadi salah satu kawasan yang dilindungi di Indonesia sebagai 'cagar bioster.' Kawasan Taman Nasional Siberut ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan no 407/Kpts-II/93 yang berlaku surut sejak tahun 1992.

Kehidupan orang Mentawai
Kepulauan yang paling banyak penduduknya adalah Pulau Siberut, yang terdiri dari orang asli Mentawai dan pendatang yang pada umumnya mendiami daerah bagian hilir yang mencari nafkah umumnya dengan berdagang ataupun menjual jasa. Misalnya jasa penginapan, jasa pemandu turis, dan menyediakan segala kebutuhan. Kaum pendatang kebanyakan terdiri atas etnis Minang, Batak, dan sedikit Jawa. Sementara itu orang Mentawai asli tinggal di pedalaman dengan kehidupan yang masih mengandalkan sumberdaya alam, seperti misalnya hasil hutan, rotan, gaharu, enau, nilam, bambu, dll serta buah-buahan seperti durian, sagu, pisang, kelapa, dsb.

Meskipun secara umum daerah Mentawai lembab sepanjang tahun dengan curah hujan yang cukup tinggi, namun ada beberapa waktu yang menunjukkan adanya ketegasan musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim hujan biasanya orang Mentawai mencari ikan dan makanan lainnya di sungai, seperti lokal, kepiting dsb. Pada musim kemarau biasanya mereka berburu hewan seperti babi, rusa, burung dsb, di samping mencari buah-buahan di hutan. Kehidupan seperti ini dalam tingkat kebudayaan prasejarah biasanya dikenal sebagai budaya 'food and gather's.'

Selebihnya mereka juga melakukan kegiatan berladang di hutan-hutan pedalaman. Pada masa sekarang ini dimana teknologi sudah sangat maju, orang Mentawai masih menjalani kehidupan demikian meskipun tidak 100% dilakukan. Hal ini disebabkan karena kehidupan alamiahnya memang demikian dan kekayaan alam yang tidak ada habisnya membuat mereka tidak merasa kekurangan apapun tanpa harus mengadopsi teknologi dari luar. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah berkurangnya hutan-hutan Mentawai secara cepat akibat kegiatan penebangan pohon oleh IIPIL, yang menyebabkan hutan menjadi gundul dan rusaknya ekosistem hutan Mentawai. Hal ini berakibat pula pada kehidupan alamiahnya, di mana dirasakan sangat sulit mencari makanan di hutan ataupun mengambil hasil hutan untuk dijual.

Kegiatan budidaya tanaman seperti sagu dan talas hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, tidak untuk ritual upacara yang membutuhkan dana besar. Babi ataupun rusa tidak lagi mudah didapat di hutan karena hutannya nyaris gundul, begitu pula dengan hewan dan tumbuhan lainnya.

Alangkah baiknya apabila perubahan zaman yang demikian pesat dapat diimbangi dengan kemampuan orang Mentawai dalam mengelola alamnya sehingga mampu bertahan dan berkembang secara semestinya tanpa dibayang-bayangi oleh asumsi bahwa karena kehidupan zaman sudah sangat maju maka orang Mentawai sangat ketinggalan.

Kapan etnis Mentawai bermukim?
Penelitian antropologi belum berhasil membuktikan kapan tepatnya orang Mentawai mendiami Pulau Siberut. Penelitian yang ada menunjukkan bahwa kebudayaan orang Mentawai sejaman dengan kebudayaan Dongson di Asia Tenggara. Asumsi ini didasarkan dari pola hias benda-benda seni dari kayu yang coraknya mirip dengan corak benda-benda perunggu dari wilayah Dongson, seperti bentuk segitiga pada pola geometrik di nekara. Penelitian Reimar (1970) di Pulau Siberat juga menyebutkan ditemukannya kapak batu di pulau ini. Hal ini membuktikan bahwa kebudayaan Mentawai sarat dengan kebudayaan yang dikenal pada masa prasejarah. Kebudayaan Mentawai dikenal sebagai budaya yang tidak mengenal logam.

Menurut penelitian arkeologi, yang selalu berhubungan dengan peninggalan budaya materi yang masyarakat pendukungnya sudah punah, keberadaan etnis Mentawai menjadi sangat penting. Terutama dalam hal memahami kehidupan prasejarah yang masih melakukan kegiatan 'food and gather's (berburu dan mengumpulkan makanan). Hal yang lebih menarik lagi adalah mengetahui kapan manusia pendukung budaya Mentawai bermukim, dan mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan budaya Mentawai bisa bertahan. Dari pengamatan diketahui bagaimana kearifan mengelola alam, bagaimana tingkat adaptasi di daerah yang lembab dan berlumpur tersebut.

Perilaku manusia pendukung tradisi mengumpulkan makanan dan berburu yang masih berlangsung pada abad ini merupakan bukti dan contoh yang amat berharga dari tahapan fase kebudayaan yang pernah berlangsung yang memang sengaja dipelajari dalam ilmu arkeologi. Namun demikian ada tahapan lain yang penting juga untuk digali adalah sejarah dari manusia itu sendiri yaitu asal muasal orang Mentawai berdiam disini. Hal ini diakui pula oleh para ahli antropologi bahwa interpretasi yang ada akan lebih akurat apabila didukung bukti-bukti yang ada yang hanya ada pada ramah arkeologi.

Bahwasannya orang Mentawai tidak mengenal logam atau tidak mengenal cara membuat logam perlu ditelusuri mengingat, segala hasil seni yang dihasilkan dalam ukiran kayu yang mengetengahkan bentuk-bentuk flora dan fauna dengan teknik yang sangat halus dan juga bentuk rumah adat yang dihuni secara kolektif yang disebut dengan 'Uma,' agaknya sulit dipungkiri bahwa orang Mentawai tidak atau belum logam.

Mengingat tipe pekerjaan yang dihasilkan sangat memungkinkan menggunakan logam baik sebagai alat ukir maupun lainnya. Apalagi mengingat alat seni (dari logam) berupa 'gong' yang dipakai dalam ritual upacara. Sejak kapan orang Mentawai mengenal 'gong,' juga hal yang perlu dicari jawabannya. Kapak batu yang ditemukan memungkinkan orang Mentawai membelah kayu dari hutan. Hal ini dibuktikan dengan pembuatan 'uma' yang dilakukan secara gotong royong, dan sambungan-sambungan antar kayu dengan sistem pasak, takik dan ikat dengan akar kayu atau rotan; yang menyebabkan mereka tidak membutuhkan paku untuk membuat rumah. Akan tetapi keadaan sekarang tentu sudah berbeda. Ada alasan yang lebih pragmatis lainnya yang perlu didahulukan mengapa mereka menggunakan benda-benda tersebut. Seperti yang dikatakan salah satu 'sikerei' dari Desa Muntei di Siberut bahwa "tinggal di daerah dekat muara lebih enak dibandingkan tinggal di daerah hulu, karena lebih mudah untuk berhubungan dengan daerah luar dan sekitarnya baik untuk berdagang, mencari makan, maupun bersosialisasi. Hanya saja kadang pakaian (cawat) bagi orang luar melihat aneh. Kamipun tidak berkeberatan untuk menggantinya apabila kami harus ke muara, akan tetapi sesungguhnya kami lebih senang dengan pakaian seperti ini, lebih nyaman dan lebih leluasa. Begitu pula dalam hal memotong kayu rasanya lebih cepat dilakukan dengan gergaji mesin daripada dikerjakan secara manual, lebih lama dan menghabiskan tenaga sementara hasil minimal."

Kadang memang harus disadari bahwa mempelajari suatu budaya terasa ada yang hilang apabila dilakukan secara sepenggal-sepenggal, untuk itu perlu diketahui pula historisnya. Karena mempelajari masa lalu adalah untuk masa kini bahkan masa mendatang. Oleh karena itu diperlukan data yang valid dan akurat. Data-data tersebut paling tidak dapat diperoleh dari penelitian. Apalagi dalam upaya mendapatkan gambaran yang utuh dari kebudayaan nasional atau jati diri suatu bangsa. Bukankah martabat suatu bangsa sangat tergantung dari jati diri bangsa itu sendiri?

Rr. Triwuryani (Pusat Penelitian Arkeologi/Proyek Pemanfaatan Kebudayaan)

Sumber: www.duniaesai.com
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive