Pemalang1 adalah salah satu kabupaten yang secara administratif termasuk dalam Provinsi Jawa Tengah. Ada 14 kecamatan yang tergabung di dalamnya, yaitu Kecamatan: Moga, Warungpring, Pulosari, Belik, Watukumpul, Bodeh, Bantarbolang, Randudongkal, Pemalang, Taman, Petarukan, Ampelgading, Comal, dan Ulujami. Dari masa asal kata “Pemalang” dan apa artinya tidak ada yang mengetahui. Namun demikian, berdasarkan legenda yang ada di kalangan masyarakat Pemalang, di masa lalu daerah tersebut memiliki seorang patih yang sakti. Ia bernama “Patih Sampun”. Nama ini sangat erat kaitannya dengan kesaktiannya. Setiap kali bupati memerintahkannya selalu dijawab dengan “sampun” (sudah). Dan, ketika dicek (dibuktikan) ternyata apa yang diperintahkannya sudah terwujud. Konon, jalan lurus yang menghubungkan antara daerah Tlincing2 (Pantai Widuri) dan kabupaten adalah wujud dari kekuatan sakti Sang Patih Sampun. Jadi, ketika bupati memerintahkannya untuk membuat jalan itu, Sang Patih langsung menjawabnya dengan kata “sampun”, dan terwujudlah jalan tersebut.
Pemalang terletak diantara Pekalongan dan Tegal. Dari ibukota Provinsi Jawa Tengah (Semarang) jaraknya kurang lebih 133 kilometer ke arah barat. Sedangkan, dari ibukota negara (Jakarta) jaraknya kurang lebih 348 kilometer ke arah timur. Sementara, dari Pekalongan jaraknya kurang lebih 31 kilometer ke arah barat, dan dari Tegal jaraknya kurang lebih 30 kilometer ke arah timur. Secara astronomis terletak diantara 109°17²30¢--109°40²30¢ Bujur Timur (BT) dan 8°52²30¢--7°20²11¢ Lintang Selatan (LS). Kabupaten yang luasnya 111.500 hektar ini sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa; sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga; sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tegal; dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan.
Topografinya bervariasi mulai dataran, pantai, rendah, hingga tinggi (pegunungan). Dataran pantai yang ketinggiannya 1--5 meter dari permukaan air laut terletak di bagian utara. Dataran rendah yang ketinggiannya 6--15 meter dari permukaan air laut juga berada di bagian utara. Kemudian, dataran yang ketinggiannya 16--212 meter dari permukaan air laut berada di bagian tengah dan selatan. Sedangkan, dataran yang ketinggiannya mencapai 213--925 meter dari permukaan air laut berada di lembah dan perbukitan Gunung Slamet3. Dataran ini juga berada di bagian selatan. Jenis tanahnya terdiri atas: alluvial, regosol, dan lestasol. Jenis tanah alluvial mendominasi daerah dataran rendah; jenis regosol yang terdiri atas batu-batuan pasir dan intermedier ada di daerah perbukitan sampai gunung; dan jenis lestasol yang berupa batu bekuan pasir dan intermedier juga berada di perbukitan dan gunung.
Iklim yang menyelimuti daerah Pemalang sama seperti daerah lainnya di Indonesia pada umumnya, yaitu tropis yang ditandai oleh adanya dua musim (penghujan dan kemarau). Musim penghujan biasanya dimulai pada Oktober--Maret, sedangkan musim kemarau biasanya dimulai pada bulan April--September. Banyaknya curah hujan perbulan rata-rata 66 milimeter. Sedangkan, temperaturnya rata-rata berkisar 30° Celcius. Sesuai dengan iklimnya yang tropis maka flora yang ada di sana pada umumnya sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia, seperti: jati, kelapa, bambu, tanaman buah (rambutan, manggis, durian, dan lain sebagainya), padi, dan tanaman palawija (jagung, kedelai, mentimun, kacang panjang, dan lain sebagainya). Fauna yang ada di sana juga pada umumnya sama dengan daerah lain di Indonesia, seperti: sapi, kerbau, kambing, ayam, dan berbagai jenis binatang melata. Binatang buas (harimau) sudah sangat langka (kalau tidak dapat dikatakan sudah tidak ada lagi). Konon, di masa lalu binatang ini sering keluar-masuk kampung, khususnya perkampungan yang di daerah pegunungan (Daerah Belik dan Watukumpul).
Kependudukan
Penduduk Kabupaten Pemalang berjumlah 1.352.798 jiwa. Tingkat kepadatannya rata-rata 1.213 jiwa perkilometer persegi. Mereka tersebar di 14 kecamatan yang tergabung di dalamnya. Jumlah penduduk perempuannya ada 683.097 jiwa, sedangkan jumlah penduduk laki-lakinya ada 669.699 jiwa. Ini artinya, jumlah penduduk perempuan lebih banyak ketimbang jumlah penduduk laki-laki. Salah satu faktornya adalah kaum lelakinya, khususnya para pemudanya banyak yang mengadu nasib ke Jakarta dan banyak pula yang kemudian menjadi penduduk di sana. Jumlah penduduk tersebut jika dilihat berdasarkan jenjang pendidikan yang ditamatkan, khususnya mereka yang telah berumur 6 tahun ke atas, sebagian besar hanya tamat Sekolah Dasar (SD). Mereka jumlahnya mencapai 509.830 jiwa dari 1.247.646 jiwa. Urutan kedua adalah mereka yang belum tamat SD (284.275 jiwa), disusul tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sejumlah 178.559 jiwa, tidak/belum sekolah sejumlah 136.004 jiwa, tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sejumlah 106.160 jiwa, dan Akademi/Perguruan Tinggi sejumlah 32.817 jiwa (Kabupaten Pemalang dalam Angka 2007:41).
Sosial Budaya
Masyarakat Pemalang adalah pendukung kebudayaan Jawa. Sebagaimana masyarakat pendukung kebudayaan Jawa lainnya, mereka dalam berkomunikasi juga menggunakan bahasa Jawa. Akan tetapi, dengan dialek “Jawa-Pemalangan” yang termasuk dalam kategori dialek “Banyumasan”. Dialeknya yang khas inilah (berbeda dengan orang Yogya dan Solo) yang kemudian membuat orang Pemalang sering disebut sebagai “Wong Ngapak”, karena jika mengucapkan kata-kata tertentu, “bapak” misalnya, maka pengucapan huruf “k”-nya sangat kental (kentara). Hal ini berbeda dengan orang Jawa-Yogya dan Jawa-Solo yang pengucapan huruf “k”-nya “nyaris tak terdengar” (pinjam istilah iklan Isuzu Panther). Selain itu, ada juga yang menyebutnya sebagai “Jawa Kowek” dan “Jawa Reang”. Bisa jadi, sebutan yang terakhir sangat erat kaitannya dengan suara yang relatif keras dan irama yang relatif cepat, sehingga memberi kesan berisik (reang). Hal ini berbeda dengan suara dan irama orang Jawa-Jogya dan Jawa-Solo yang relatif lembut dan lambat dalam bertutur dan atau bertegur sapa, sehingga terkesan teduh dan tidak berisik (halus). Oleh karena itu, masyarakat Pemalang menyebut bahasa Jawa yang diucapkan oleh orang Yogya dan Solo adalah bandek, yaitu suatu istilah untuk bahasa Jawa yang halus.
Ada satu hal yang perlu dicatat berkenaan dengan bandek karena ternyata di bererapa kecamatan yang tergabung dalam Kabupaten Pemalang, seperti: Petarukan, Ampelgading, Comal, dan Ulujami, masyarakatnya menggunakan bandek-pekalongan dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Ini artinya, masyarakat yang ada di Kecamatan Petarukan dan Ampelgading dalam berkomuniskasi menggunakan bandek. Dengan perkataan lain, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Pemalang sebagian menggunakan dialek jawa-ngapak (masyarakat Kecamatan: Moga, Warungpring, Pulosari, Belik, Watukumpul, Bantarbolang, Randudongkal, Pemalang, dan Taman) dan sebagian jawa-bandek (Bodeh, Petarukan, Ampelgading, Comal, dan Ulujami).
Prinsip keturunan yang dianut oleh masyarakat Pemalang adalah bilateral, yaitu suatu sistem penarikan garis keturunan melalui nenek-moyang laki-laki dan wanita secara serentak (Soekamto, 1983:56). Artinya, yang dianggap sebagai kerabatnya adalah kerabat dari pihak laki-laki dan pihak perempuan. Sedangkan, istilah yang digunakan untuk menyebut dan atau menyapa kerabatnya antara lain: bapak (istilah untuk menyebut orang tua laki-laki), sima (istilah untuk menyebut orang tua perempuan), side lanang (istilah yang digunakan untuk menyebut orang tua laki-laki ayah dan ibu), side wadon (istilah yang digunakan untuk menyebut orang tua perempuan ayah dan ibu), lek atau paman4 (istilah yang digunakan untuk menyebut adik laki-laki ayah dan ibu), bibi5 (istilah yang digunakan untuk menyebut adik perempuan ayah dan ibu), kakang (istilah yang digunakan untuk menyebut saudara tua laki-laki), mbakyu (istilah yang digunakan untuk menyebut saudara tua perempuan), dan edi (istilah yang digunakan untuk menyebut saudara muda baik laki-laki maupun perempuan).
Sistem perkawinan yang mereka anut adalah “bebas”. Artinya, tidak hanya membatasi pada daerah sendiri (indogami-daerah), tetapi juga membolehkan orang kawin dengan gadis atau jejaka dari daerah lain. Sedangkan, tempat tinggal yang dianut setelah perkawinan adalah matrilokal (pengantin baru tinggal di rumah orang tua atau dekat dengan kerabat pihak perempuan). Di masa lalu seorang pengantin lelaki baru bekerja seperti sediakala ketika hari perkawinan sudah mencapai hari ketujuh. Selama itu Sang Pengantin hanya bersih-bersih halaman rumah (pagi dan sore hari). Namun, dewasa ini hal itu dapat dikatakan tidak dilakukan lagi karena pada umumnya setiap keluarga tidak mempunyai halaman yang cukup luas. Disamping itu, pepohonan-pepohonan besar dan rumpun-rumpun bambu telah banyak yang ditebangi dan berganti menjadi perumahan. Padahal, di tahun 60-an banyak rumah yang halamannya cukup luas.
Pemalang, sebagaimana telah disinggung pada bagian depan, wilayahnya dilalui oleh jalur pantura. Ramainya jalur ini ditambah dengan relatif dekatnya dengan ibukota negara, membuat masyarakatnya terbiasa kontak dengan pendukung budaya lain. Oleh karena itu, masyarakatnya relatif terbuka. Artinya, menerima siapa saja yang datang, berusaha, dan bermukim di daerahnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di Pemalang ada “kampung Arab” dan “pecinan”.
Pada masa lalu orang-orang yang status sosialnya tinggi adalah yang memiliki harta benda yang berlimpah dan orang-orang yang pengetahuan agamanya (Islam) dalam/luas. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di masa lalu banyak orang tua yang mengirim anaknya ke pesantren, seperti: Kaliwungu (Semarang), Kraprak (Yogyakarta), dan Lasem (Jawa Timur). Namun, dewasa ini yang termasuk dalam status sosial tinggi adalah tidak hanya orang-orang yang memiliki kekayaan dan pengetahuan agama saja, tetapi juga pendidikan formal yang tinggi. Ini artinya, orang-orang yang hanya memiliki kekayaan, pengetahuan agama, dan pendidikan formal yang sedang-sedang saja temasuk dalam status sosial sedang (menengah). Sedangkan, mereka yang tidak atau kurang mampu, baik dalam kekayaan, pengetahuan agama, dan pendidikan formal termasuk dalam status sosial yang rendah, seperti: tukang becak, songgol6, dan buruh tani. (pepeng)
Foto:
http://www.scbdp.net
Sumber:
Soekamto, Soerjono. 1983. Kamus Sosiologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Pemerintah Kabupaten Pemalang. 2007. Pemalang dalam Angka 2007. Pemalang: Bappeda Kabupaten Pemalang dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Pemalang.
1 Pemalang disamping merupakan nama sebuah kabupaten sekaligus nama kota yang menjadi ibukota kabupaten yang bersangkutan. Daerah ini sering dikelirukan dengan salah satu daerah yang berada di Jawa Timur (Malang). Padahal, keadaan geografisnya dapat dikatakan berlawanan, yaitu yang satu berada di pesisir utara Jawa Tengah bagian barat dan yang satunya lagi berada di daerah pedalaman (dataran tinggi). Selain itu, Pemalang tidak atau belum menghasilkan hasil bumi yang mencuat secara nasional. Sedangkan, Malang populer dengan apelnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika seseorang mendengar kata “Pemalang”, maka yang akan terlintas di benaknya adalah sebuah daerah yang ada di Jawa Timur (Malang).
2 Tlincing adalah sebuah daerah-pantai yang memiliki pepohonan besar sehingga rindang. Di sekitar pepohonan itu ada tempat duduk, permainan anak-anak, dan pangung-panggung (semacam gardu pandang). Tempat ini oleh Pemerintah Daerah setempat dijadikan sebagai obyek wisata yang bernama “Taman Widuri”. Obyek wisata ini sangat populer di kalangan masyarakat Pemalang. Ketika penelitian ini dilakukan sudah ada kolam renangnya dan gedung Bidang Pariwisata, Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Kebudayaan, Kabupaten Pemalang.
3 Menurut kepercayaan masyarakat setempat (Pemalang) gunung ini sampai kapan pun tidak akan meletus. Oleh karena itu, diberi nama Gunung Slamet (selamat). Dan, saya pikir kepercayaan itu cukup beralasan karena gunung tersebut termasuk dalam kategori gunung yang mati. Sebenarnya Pemalang tidak hanya memilki sebuah gunung, tetapi masih ada satu gunung lagi, yaitu Gunung Gajah yang dari jauh bentuknya menyerupai seekor gajah.
4 Dalam kehidupan sehari-hari istilah paman juga digunakan untuk menyebut orang lelaki yang sebaya atau lebih tua dari ayahnya, tetapi bukan termasuk kerabtanya. Maksudnya adalah sebagai wujud kesopan. Jadi, tidak njangkar (menyebut nama saja). Contoh: Man Tarya, Man Yaman, Man Nasoh, Man Muslim, dan lain sebagainya.
5 Dalam kehidupan sehari-hari istilah bibi ini digunakan untuk menyebut orang perempuan yang sebaya atau lebih tua dari lebih tua ibunya, tetapi bukan termasuk kerabatnya. Maksudnya adalah sebagai wujud kesopanan. Jadi, tidak njangkar. (menyebut nama saja). Contoh: Bi Liyah, Bi Semur, Bi Siteng, Bi Setor, Bi Murah, dan lain sebagainya.
6 Songgol adalah orang yang pekerjaannya adalah bongkar-muat barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Biasanya dari truk atau kendaraan angkut barang lainnya ke dalam pasar atau pertokoan.