Seperti halnya masyarakat pada sukubangsa lainnya, masyarakat Melayu Kepulauan Riau juga mengenal berbagai macam upacara, baik yang berkenaan dengan keagamaan, lingkungan alam sekitarnya maupun lingkaran hidup individu. Dalam upacara perkawinan misalnya, Perempuan Melayu menggunakan baju kurung leher tulang belut beserta kain songket dari berbagai daerah, seperti: Sambas (Kalimantan Barat), Palembang, Siak Sri Indrapura, dan Malaka (Malaysia). Pada saat-saat seperti itu mereka juga menggunakan selendang yang dilampirkan di atas bahu kiri, dengan rambut tersisir rapi dan disanggul lipat pandan. Sanggul model ini sangat disukai karena terkesan anggun. Adapun warna pakaian yang dikenakan beraneka ragam mulai dari merah, biru, kuning, sampai hitam.
Selain baju kurung leher tulang belut ada juga yang mengenakan kebaya pendek dengan sampin yang terbuat dari songket atau kain batik Jawa. Warna selendang disesuaikan dengan warna bajunya. Sedangkan, pakaian yang dikenakan oleh para orang tua adalah kebaya labuh, yaitu kebaya panjang yang dilengkapi dengan selendang manto (selendang yang terbuat dari kain yang ditekat). Warna pakaian yang disebut sebagai kebaya labuh ini ada yang krem, coklat, biru, dan ada pula yang hijau.
Hiasan kain songket yang dipakai untuk mengikuti berbagai upacara di lingkaran hidup individu dan keagamaan, seperti perkawinan, khitanan, aqiqah, dan pemberian nama bayi, dan Khatam Al Quran adalah pucuk rebung, lebah bergantung, wajik, bunga tabur atau bunga pecah delapan, bunga pecah empat, serta ragam hias kuntum tak jadi. Selain ragam hias itu ada ragam hias yang dikaitkan dengan keadaan kehidupan sehari-hari yang diinginkan. Ragam hias itik pulang petang, semut beriring, dan siku keluang adalah simbol dari kegotong-royongan, kekompakan, keberanian, dan kebebasan. Kemudian, dalam bentuk tumbuh-tumbuhan pun ada seperti: daun, bunga, dan akar. Ketiga unsur tumbuhan tersebut adalah simbol dari: kesuburan, kemakmuran, dan keselarasan. Sedangkan, dalam bentuk yang lain adalah awan larat yang menyimbolkan keabadian, dan wajik yang terpotong-potong sebagai simbol keadilan dalam setiap tindakan.
Pada saat menghadiri upacara keagamaan, seperti: Maulud Nabi Muhammad S.A.W, Isra Miraj, dan Nuzulul Quran, baju yang mereka kenakan antara lain: leher tulang belut, kebaya panjang, dan kebaya pendek. Baju-baju tersebut dilengkapi dengan sampin, songket, atau kain batik yang merupakan pasangannya. Kelengkapan yang lain adalah alas kaki yang berupa sandal atau selipa. Pada saat-saat seperti itu pula rambut disisir rapi, disanggul dan dikerudungi (menggunakan kerudung).
Bagi perempuan yang telah menunaikan rukun Islam kelima (pergi haji ke tanah suci Mekkah), yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai hajjah, baju yang dikenakan adalah gunting jubah. Baju ini sering disebut juga sebagai gamis, yaitu baju longgar yang belahannya ada di bagian depan, berkancing, dan panjangnya sampai ke pertengahan betis. Jubah ini dilengkapi dengan kain yang terbuat dari bahan dan warna yang sama. Adapun warnanya ada yang biru tua, krem, dan ada yang putih. Kelengkapan yang lain adalah penutup kepala yang berupa kerudung atau jilbab.
Pada saat mengikuti kenduri dan juga pesta perkawinan baju yang dikenakan oleh kaum perempuan juga sama, yaitu baju kurung leher tulang belut. Sedangkan, yang jadi pengantin mengenakan songket beserta aksesorisnya. Pada saat akad nikah para perempuannya mengenakan baju kebaya labuh dengan warna putih atau krem yang dipadukan dengan songket yang selaras dengan bajunya. Dalam acara ini aksesoris berkurang. Umumnya hanya mengenakan sanggul lipat pandan yang dihiasi dengan kembang goyang dan kerudung. Tidak beralas kaki karena umumnya duduk di bawah (lantai). Pakaian yang beraneka warna beserta aksesoris yang lengkap baru dikenakan manakala acara bersanding. Demikian banyak aksesoris yang dikenakannya, sehingga terkesan megah. Oleh karena itu, sangatlah tepat apa yang dikatakan orang bahwa pada saat bersanding pengantin diibaratkan “bagaikan ratu sehari”.
Pada acara bersanding barulah mereka mengenakan pakaian yang warna-warni dengan aksesorisnya, sehingga menambah kecantikan pengantin dengan kemegahan pakaian yang dikenakannya. Oleh karena itu, wajarlah apabila mereka disebut sebagai ratu sehari karena penampilannya menyerupai seorang ratu kerajaan. Seorang pengantin tidak baik mengganti pakaian lebih dari tiga kali karena dapat berakibat keadaan rumah tangganya tidak rukun atau tidak awet. Baju pengantin terbuat dari kain songket yang memakai benang emas. Warnanya ada kuning keemasan dan ada pula yang merah. Warna yang disebutkan terakhir ini biasanya digunakan oleh pengantin perempuan pada saat bersanding. Kemudian, alas kaki yang digunakan adalah kasut sendal, yaitu sepatu yang bagian belakangnya terbuka, sehingga terlihat tumitnya. Sementara, jari-jarinya tertutup semua.
Dibandingkan dengan pengantin lelaki, aksesoris pengantin perempuan lebih beragam. Ada sanggul lintang yang terletak tepat di atas ubun-ubun. Sanggul ini fungsinya adalah sebagai tempat untuk menempelkan atau memasukkan kembang goyang, jurai (kote-kote) gandik (penutup kening). Jurai itu sendiri dikenakan pada samping kiri dan kanan kepala, tepatnya di atas telinga. Selain sanggul lintang, ada sanggul lagi yang disebut sebagai sanggul lipat pandan. Sanggul ini terletak di bawah sanggul lintan. Berbeda dengan waktu Ijab Kabul yang hanya memakai tiga buah kembang goyang pada sanggul sebelah kiri. Pada waktu acara bersanding ini, kembang goyang memenuhi sanggul lintang tersebut. Kalung, gelang, cincin juga dikenakan. Selain itu, kuku jari-jari tangannya dan kakinya tidak lepas dari inai (cat kuku yang berwarna merah).
Sekitar tahun 60-an orang yang berprofesi sebagai mak andam tidak pernah rangkap dalam merias pengantin. Jadi, hanya satu pengantin yang ditanganinya, karena sebelum bersanding calon pengantin dalam rawatannya. Padahal, lama rawatan bisa dua sampai tiga bulan. Dalam masa perawatan itu calon pengantin tidak diperbolehkan keluar. Ia dilulur dan dimandikan dengan rempah ratus (ramuan yang terdiri dari bunga-bungan, daun-daun, dan akar wangi). Setelah itu, semua bulu-bulu halus yang ada ditubuhnya dibuang. Perawatan tersebut memerlukan waktu yang lama dan harus sabar serta cermat. Tujuannya adalah agar pada saatnya, yaitu ketika bersanding, pengantin tampak berbeda dari kesehariannya.
Konon, dalam pemotongan rambut pengantin yang hanya beberapa helai, sebelumnya didahului oleh pembacaan mantera. Dan, ini adalah saat-saat yang sangat ditunggu oleh kerabat dan tetangga dekat. Ada apa kiranya dengan pemotongan itu, sehingga banyak yang menunggu? Ternyata jika rambut yang diambil dari ubun-ubun, belakang, dan sisi kanan atau kiri kepala ditaruh di ujung hidung si pengantin, kemudian rambut tersebut dipotong dan jatuh sebagaimana biasanya, maka si pengantin masih perawan. Sebaliknya, jika rambut tersebut jatuh dan tergulung, maka si pengantin sudah tidak perawan lagi. Sekarang tampaknya hal itu tidak pernah dilakukan lagi.
Sementara itu, pakaian yang dikenakan oleh anak-anak perempuan dalam upacara perkawinan adalah baju kurung tulang belut beserta pasangannya, ditambah dengan sarung palekat atau kain songket. Sedangkan, penutup kepalanya adalah kerundung atau jilbab. Kemudian, ketika mereka mengikuti upacara yang berkenaan dengan keagamaan, seperti: Maulud Nabi, Idul Adha, Idul Fitri, dan khataman, maka pakaian yang dikenakan adalah sama, kecuali remajanya. Dalam hal ini para remajanya mengenakan kebaya dengan kain batik atau songket yang juga dilengkapi dengan kerudung dan capal. Selain pakaian tersebut ada juga yang menggunakan baju gamis (jubahnya perempuan). Berbagai bentuk pakaian tersebut warnanya beragam dan kebanyakan bermotif bunga.
Sumber:
Galba, Sindu, Dwi subowati dkk. 2002. Pakaian Tradisional Masyarakat Melayu Kepulauan Riau. Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.
www.heritage.gov.my
www.tamanmini.com
Selain baju kurung leher tulang belut ada juga yang mengenakan kebaya pendek dengan sampin yang terbuat dari songket atau kain batik Jawa. Warna selendang disesuaikan dengan warna bajunya. Sedangkan, pakaian yang dikenakan oleh para orang tua adalah kebaya labuh, yaitu kebaya panjang yang dilengkapi dengan selendang manto (selendang yang terbuat dari kain yang ditekat). Warna pakaian yang disebut sebagai kebaya labuh ini ada yang krem, coklat, biru, dan ada pula yang hijau.
Hiasan kain songket yang dipakai untuk mengikuti berbagai upacara di lingkaran hidup individu dan keagamaan, seperti perkawinan, khitanan, aqiqah, dan pemberian nama bayi, dan Khatam Al Quran adalah pucuk rebung, lebah bergantung, wajik, bunga tabur atau bunga pecah delapan, bunga pecah empat, serta ragam hias kuntum tak jadi. Selain ragam hias itu ada ragam hias yang dikaitkan dengan keadaan kehidupan sehari-hari yang diinginkan. Ragam hias itik pulang petang, semut beriring, dan siku keluang adalah simbol dari kegotong-royongan, kekompakan, keberanian, dan kebebasan. Kemudian, dalam bentuk tumbuh-tumbuhan pun ada seperti: daun, bunga, dan akar. Ketiga unsur tumbuhan tersebut adalah simbol dari: kesuburan, kemakmuran, dan keselarasan. Sedangkan, dalam bentuk yang lain adalah awan larat yang menyimbolkan keabadian, dan wajik yang terpotong-potong sebagai simbol keadilan dalam setiap tindakan.
Pada saat menghadiri upacara keagamaan, seperti: Maulud Nabi Muhammad S.A.W, Isra Miraj, dan Nuzulul Quran, baju yang mereka kenakan antara lain: leher tulang belut, kebaya panjang, dan kebaya pendek. Baju-baju tersebut dilengkapi dengan sampin, songket, atau kain batik yang merupakan pasangannya. Kelengkapan yang lain adalah alas kaki yang berupa sandal atau selipa. Pada saat-saat seperti itu pula rambut disisir rapi, disanggul dan dikerudungi (menggunakan kerudung).
Bagi perempuan yang telah menunaikan rukun Islam kelima (pergi haji ke tanah suci Mekkah), yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai hajjah, baju yang dikenakan adalah gunting jubah. Baju ini sering disebut juga sebagai gamis, yaitu baju longgar yang belahannya ada di bagian depan, berkancing, dan panjangnya sampai ke pertengahan betis. Jubah ini dilengkapi dengan kain yang terbuat dari bahan dan warna yang sama. Adapun warnanya ada yang biru tua, krem, dan ada yang putih. Kelengkapan yang lain adalah penutup kepala yang berupa kerudung atau jilbab.
Pada saat mengikuti kenduri dan juga pesta perkawinan baju yang dikenakan oleh kaum perempuan juga sama, yaitu baju kurung leher tulang belut. Sedangkan, yang jadi pengantin mengenakan songket beserta aksesorisnya. Pada saat akad nikah para perempuannya mengenakan baju kebaya labuh dengan warna putih atau krem yang dipadukan dengan songket yang selaras dengan bajunya. Dalam acara ini aksesoris berkurang. Umumnya hanya mengenakan sanggul lipat pandan yang dihiasi dengan kembang goyang dan kerudung. Tidak beralas kaki karena umumnya duduk di bawah (lantai). Pakaian yang beraneka warna beserta aksesoris yang lengkap baru dikenakan manakala acara bersanding. Demikian banyak aksesoris yang dikenakannya, sehingga terkesan megah. Oleh karena itu, sangatlah tepat apa yang dikatakan orang bahwa pada saat bersanding pengantin diibaratkan “bagaikan ratu sehari”.
Pada acara bersanding barulah mereka mengenakan pakaian yang warna-warni dengan aksesorisnya, sehingga menambah kecantikan pengantin dengan kemegahan pakaian yang dikenakannya. Oleh karena itu, wajarlah apabila mereka disebut sebagai ratu sehari karena penampilannya menyerupai seorang ratu kerajaan. Seorang pengantin tidak baik mengganti pakaian lebih dari tiga kali karena dapat berakibat keadaan rumah tangganya tidak rukun atau tidak awet. Baju pengantin terbuat dari kain songket yang memakai benang emas. Warnanya ada kuning keemasan dan ada pula yang merah. Warna yang disebutkan terakhir ini biasanya digunakan oleh pengantin perempuan pada saat bersanding. Kemudian, alas kaki yang digunakan adalah kasut sendal, yaitu sepatu yang bagian belakangnya terbuka, sehingga terlihat tumitnya. Sementara, jari-jarinya tertutup semua.
Dibandingkan dengan pengantin lelaki, aksesoris pengantin perempuan lebih beragam. Ada sanggul lintang yang terletak tepat di atas ubun-ubun. Sanggul ini fungsinya adalah sebagai tempat untuk menempelkan atau memasukkan kembang goyang, jurai (kote-kote) gandik (penutup kening). Jurai itu sendiri dikenakan pada samping kiri dan kanan kepala, tepatnya di atas telinga. Selain sanggul lintang, ada sanggul lagi yang disebut sebagai sanggul lipat pandan. Sanggul ini terletak di bawah sanggul lintan. Berbeda dengan waktu Ijab Kabul yang hanya memakai tiga buah kembang goyang pada sanggul sebelah kiri. Pada waktu acara bersanding ini, kembang goyang memenuhi sanggul lintang tersebut. Kalung, gelang, cincin juga dikenakan. Selain itu, kuku jari-jari tangannya dan kakinya tidak lepas dari inai (cat kuku yang berwarna merah).
Sekitar tahun 60-an orang yang berprofesi sebagai mak andam tidak pernah rangkap dalam merias pengantin. Jadi, hanya satu pengantin yang ditanganinya, karena sebelum bersanding calon pengantin dalam rawatannya. Padahal, lama rawatan bisa dua sampai tiga bulan. Dalam masa perawatan itu calon pengantin tidak diperbolehkan keluar. Ia dilulur dan dimandikan dengan rempah ratus (ramuan yang terdiri dari bunga-bungan, daun-daun, dan akar wangi). Setelah itu, semua bulu-bulu halus yang ada ditubuhnya dibuang. Perawatan tersebut memerlukan waktu yang lama dan harus sabar serta cermat. Tujuannya adalah agar pada saatnya, yaitu ketika bersanding, pengantin tampak berbeda dari kesehariannya.
Konon, dalam pemotongan rambut pengantin yang hanya beberapa helai, sebelumnya didahului oleh pembacaan mantera. Dan, ini adalah saat-saat yang sangat ditunggu oleh kerabat dan tetangga dekat. Ada apa kiranya dengan pemotongan itu, sehingga banyak yang menunggu? Ternyata jika rambut yang diambil dari ubun-ubun, belakang, dan sisi kanan atau kiri kepala ditaruh di ujung hidung si pengantin, kemudian rambut tersebut dipotong dan jatuh sebagaimana biasanya, maka si pengantin masih perawan. Sebaliknya, jika rambut tersebut jatuh dan tergulung, maka si pengantin sudah tidak perawan lagi. Sekarang tampaknya hal itu tidak pernah dilakukan lagi.
Sementara itu, pakaian yang dikenakan oleh anak-anak perempuan dalam upacara perkawinan adalah baju kurung tulang belut beserta pasangannya, ditambah dengan sarung palekat atau kain songket. Sedangkan, penutup kepalanya adalah kerundung atau jilbab. Kemudian, ketika mereka mengikuti upacara yang berkenaan dengan keagamaan, seperti: Maulud Nabi, Idul Adha, Idul Fitri, dan khataman, maka pakaian yang dikenakan adalah sama, kecuali remajanya. Dalam hal ini para remajanya mengenakan kebaya dengan kain batik atau songket yang juga dilengkapi dengan kerudung dan capal. Selain pakaian tersebut ada juga yang menggunakan baju gamis (jubahnya perempuan). Berbagai bentuk pakaian tersebut warnanya beragam dan kebanyakan bermotif bunga.
Sumber:
Galba, Sindu, Dwi subowati dkk. 2002. Pakaian Tradisional Masyarakat Melayu Kepulauan Riau. Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.
www.heritage.gov.my
www.tamanmini.com