Di Sulawesi Utara, tepatnya di Desa Sawangan, Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa, ada sebuah pekuburan yang dinamakan Taman Waruga. Ada beberapa versi mengenai asal usul nama waruga. Versi pertama mengatakan bahwa istilah “waruga” berasal dari kata “maruga” (bahasa Tombulu, Tondano, Tonsea) yang artinya “direbus”. Versi kedua mengatakan bahwa “waruga” berasal dari kata “meruga” (bahasa Minahasa Kuna) yang berarti “lembek” atau “cair”. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa “waruga” berasal dari dua kata, yaitu “waru” yang berarti “rumah” dan “ruga” yang berarti “badan”. Jadi, waruga dapat diartikan sebagai “rumah tempat badan yang akan kembali ke surga”.
Konon, makam yang terbuat dari batu yang dipahat dan dibentuk seperti rumah khas orang Minahasa ini adalah salah satu warisan tradisi zaman megalitikum yang terus dipertahankan hingga kira-kira pertengahan abad ke-19. Hal ini dapat dibuktikan dari pahatan angka tahun pada beberapa waruga seperti: 1769, 1839, 1850 dan lain sebagainya. Waruga dahulu digunakan sebagai sarana pemakaman keluarga yang ditaruh di pekarangan atau di kolong rumah. Namun, tidak semua orang Minahasa Utara memiliki waruga. Hanya orang-orang yang mempunyai status sosial yang cukup tinggi saja yang memilikinya. Itu pun jumlahnya tidak terlalu banyak. Menurut catatan, di seluruh daerah Minahasa bagian utara, termasuk Kodya Manado, hanya terdapat sekitar 2.000 buah waruga yang tersebar di beberapa tempat seperti: Sawangan 142 buah, Airmadidi Bawah 155 buah, Kema 14 buah, Kaima 9 buah, Tanggari 14 buah, Woloan 19 buah, Tondano 40 buah dan lain sebagainya.
Pada awal abad ke-20, tradisi mengubur mayat dalam waruga ini berhenti karena muncul wabah penyakit (kolera dan tifus) yang diduga bersumber dari mayat yang membusuk dalam waruga. Di daerah Sawangan, atas instruksi Hukum Tua (kepala desa), waruga-waruga yang tersebar diseluruh desa dikumpulkan dan di taruh di pinggir desa. Hal ini dilakukan agar warga desa tidak terjangkit wabah penyakit yang disebabkan oleh mayat yang membusuk tadi.
Waruga-waruga yang ada di daerah Minahasa ini mulai banyak menarik perhatian orang luar, terutama para peneliti, sejak C.T. Bertling menulis artikel De Minahasche Waruga en Hockernestattung yang dimuat dalam majalah Nederlansche Indis Oud en Niew (NION), No. XVI, tahun 1931. Setelah itu, C.I.J. Sluijk juga menulis artikel tentang waruga berjudul Tekeningen op Grafsten uit de Minahasa.
Pada tahun 1976, Drs. Hadi Moeljono yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Sulawesi Selatan, mengadakan penelitian tentang waruga di Kabupaten Minahasa. Dari hasi penelitiannya itu, pada tahun 1977 Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Sulawesi Selatan melakukan pemugaran terhadap kompleks waruga di Sawangan dan Airmadidi. Hasilnya, pada tahun 1978 kompleks makam itu menjadi suatu Taman Waruga. Oleh pemerintah taman waruga ini kemudian dijadikan sebagai benda cagar budaya dan sekaligus juga sebagai obyek wisata budaya yang unik dan menarik. Kompleks makam waruga Sawangan peresmiannya dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Dr. Daoed Joeseof pada tanggal 23 Oktober 1978.
Kompleks Taman Waruga Sawangan
Taman Waruga dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: tempat pemakaman, museum, dan bangunan tambahan. Berikut ini adalah uraian tentang bagian-bagian tersebut.
Tempat pemakaman yang berisi ratusan buah waruga berada di bagian belakang taman. Waruga-waruga yang ada di tempat ini bahannya terbuat dari batu dengan lebar rata-rata 1 meter dan tinggi 1-2 meter, terdiri atas dua bagian yang berfungsi sebagai wadah dan tutup. Bagian tutup waruga bentuknya menyerupai atap rumah yang menjulang tinggi. Di bagian tutup ini banyak dipahatkan berbagai macam hiasan berupa: manusia dalam berbagai posisi, binatang, benda alam, tumbuh-tumbuhan, matahari, tumpal, untaian permata, rumbai-rumbai, ragam hias geometris dan lain-lain. Ada yang mengatakan bahwa hiasan-hiasan tersebut merupakan gambaran situasi surgawi atau gambaran situasi saat orang yang ada di dalamnya mati. Misalnya, ada yang meninggal waktu melahirkan, digambarkan dalam posisi mengangkang. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa hiasan-hiasan itu merupakan gambaran profesi saat orang itu masih hidup. Misalnya, apabila di waruga tersebut ada gambar binatang, maka orang yang dikubur di dalamnya, dahulunya adalah seorang pemburu. Atau hiasan orang yang sedang bermusyawarah, maka dahulu orang yang dikuburkan di waruga itu adalah seorang Dotu Tangkudu (hakim).
Pada bagian depan kompleks kubur Waruga terdapat sebuah museum yang bentuknya berupa rumah panggung khas Minahasa. Di dalam museum itu terdapat beberapa lemari kaca yang menyimpan berbagai macam cincin, gelang, kalung, keramik Cina dari Dinasti Ming dan Ching, tulang belulang manusia dan lain sebagainya. Barang-barang tersebut adalah isi dari waruga yang telah dibongkar dan dipindahkan ke dalam museum. Sebagai catatan, mayat yang akan ditaruh di dalam waruga biasanya disertai dengan berang-barang perhiasan miliknya.
Selain itu, di beberapa dinding bagian dalam museum ini juga terpampang peta kompleks waruga, foto-foto pemugaran kompleks, dan kliping foto orang-orang terkenal yang pernah datang ke kompleks waruga ini, yaitu: Ratu Beatrix dari Belanda yang pernah datang tahun 1995, Ratu Juliana pada tahun 1971, dan Pangeran Bernard.
Di sebelah museum, ada sebuah bangunan pendukung yang berbentuk rumah “modern”. Bangunan ini pada bagian depannya tidak berdinding dan di dalamnya terdapat sebuah kereta yang tampak seperti kereta pengangkut jenazah.
Foto:
http://www.highlandresort.info
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Dierktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Konon, makam yang terbuat dari batu yang dipahat dan dibentuk seperti rumah khas orang Minahasa ini adalah salah satu warisan tradisi zaman megalitikum yang terus dipertahankan hingga kira-kira pertengahan abad ke-19. Hal ini dapat dibuktikan dari pahatan angka tahun pada beberapa waruga seperti: 1769, 1839, 1850 dan lain sebagainya. Waruga dahulu digunakan sebagai sarana pemakaman keluarga yang ditaruh di pekarangan atau di kolong rumah. Namun, tidak semua orang Minahasa Utara memiliki waruga. Hanya orang-orang yang mempunyai status sosial yang cukup tinggi saja yang memilikinya. Itu pun jumlahnya tidak terlalu banyak. Menurut catatan, di seluruh daerah Minahasa bagian utara, termasuk Kodya Manado, hanya terdapat sekitar 2.000 buah waruga yang tersebar di beberapa tempat seperti: Sawangan 142 buah, Airmadidi Bawah 155 buah, Kema 14 buah, Kaima 9 buah, Tanggari 14 buah, Woloan 19 buah, Tondano 40 buah dan lain sebagainya.
Pada awal abad ke-20, tradisi mengubur mayat dalam waruga ini berhenti karena muncul wabah penyakit (kolera dan tifus) yang diduga bersumber dari mayat yang membusuk dalam waruga. Di daerah Sawangan, atas instruksi Hukum Tua (kepala desa), waruga-waruga yang tersebar diseluruh desa dikumpulkan dan di taruh di pinggir desa. Hal ini dilakukan agar warga desa tidak terjangkit wabah penyakit yang disebabkan oleh mayat yang membusuk tadi.
Waruga-waruga yang ada di daerah Minahasa ini mulai banyak menarik perhatian orang luar, terutama para peneliti, sejak C.T. Bertling menulis artikel De Minahasche Waruga en Hockernestattung yang dimuat dalam majalah Nederlansche Indis Oud en Niew (NION), No. XVI, tahun 1931. Setelah itu, C.I.J. Sluijk juga menulis artikel tentang waruga berjudul Tekeningen op Grafsten uit de Minahasa.
Pada tahun 1976, Drs. Hadi Moeljono yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Sulawesi Selatan, mengadakan penelitian tentang waruga di Kabupaten Minahasa. Dari hasi penelitiannya itu, pada tahun 1977 Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Sulawesi Selatan melakukan pemugaran terhadap kompleks waruga di Sawangan dan Airmadidi. Hasilnya, pada tahun 1978 kompleks makam itu menjadi suatu Taman Waruga. Oleh pemerintah taman waruga ini kemudian dijadikan sebagai benda cagar budaya dan sekaligus juga sebagai obyek wisata budaya yang unik dan menarik. Kompleks makam waruga Sawangan peresmiannya dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Dr. Daoed Joeseof pada tanggal 23 Oktober 1978.
Kompleks Taman Waruga Sawangan
Taman Waruga dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: tempat pemakaman, museum, dan bangunan tambahan. Berikut ini adalah uraian tentang bagian-bagian tersebut.
Tempat pemakaman yang berisi ratusan buah waruga berada di bagian belakang taman. Waruga-waruga yang ada di tempat ini bahannya terbuat dari batu dengan lebar rata-rata 1 meter dan tinggi 1-2 meter, terdiri atas dua bagian yang berfungsi sebagai wadah dan tutup. Bagian tutup waruga bentuknya menyerupai atap rumah yang menjulang tinggi. Di bagian tutup ini banyak dipahatkan berbagai macam hiasan berupa: manusia dalam berbagai posisi, binatang, benda alam, tumbuh-tumbuhan, matahari, tumpal, untaian permata, rumbai-rumbai, ragam hias geometris dan lain-lain. Ada yang mengatakan bahwa hiasan-hiasan tersebut merupakan gambaran situasi surgawi atau gambaran situasi saat orang yang ada di dalamnya mati. Misalnya, ada yang meninggal waktu melahirkan, digambarkan dalam posisi mengangkang. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa hiasan-hiasan itu merupakan gambaran profesi saat orang itu masih hidup. Misalnya, apabila di waruga tersebut ada gambar binatang, maka orang yang dikubur di dalamnya, dahulunya adalah seorang pemburu. Atau hiasan orang yang sedang bermusyawarah, maka dahulu orang yang dikuburkan di waruga itu adalah seorang Dotu Tangkudu (hakim).
Pada bagian depan kompleks kubur Waruga terdapat sebuah museum yang bentuknya berupa rumah panggung khas Minahasa. Di dalam museum itu terdapat beberapa lemari kaca yang menyimpan berbagai macam cincin, gelang, kalung, keramik Cina dari Dinasti Ming dan Ching, tulang belulang manusia dan lain sebagainya. Barang-barang tersebut adalah isi dari waruga yang telah dibongkar dan dipindahkan ke dalam museum. Sebagai catatan, mayat yang akan ditaruh di dalam waruga biasanya disertai dengan berang-barang perhiasan miliknya.
Selain itu, di beberapa dinding bagian dalam museum ini juga terpampang peta kompleks waruga, foto-foto pemugaran kompleks, dan kliping foto orang-orang terkenal yang pernah datang ke kompleks waruga ini, yaitu: Ratu Beatrix dari Belanda yang pernah datang tahun 1995, Ratu Juliana pada tahun 1971, dan Pangeran Bernard.
Di sebelah museum, ada sebuah bangunan pendukung yang berbentuk rumah “modern”. Bangunan ini pada bagian depannya tidak berdinding dan di dalamnya terdapat sebuah kereta yang tampak seperti kereta pengangkut jenazah.
Foto:
http://www.highlandresort.info
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Dierktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://gried.multiply.com
http://www.sinarharapan.co.id
http://www.indonesia.go.id
http://www.woc2009.org