Sari Bulan

(Cerita Rakyat Daerah Nusa Tenggara Barat)

Alkisah, pada zaman dahulu ada seorang putera mahkota dari suatu kerajaan di daerah Sumbawa bagian timur yang bernama Datu Panda’i. Suatu malam Datu Panda’i bermimpi yang sangat aneh namun mengasyikkan. Dalam mimpinya itu, ia mengawini seorang puteri cantik jelita yang bernama Sari Bulan. Oleh karena mimpi itu selalu mengganggu pikirannya, beberapa minggu kemudian ia memutuskan untuk mencari puteri yang bernama Sari Bulan itu.

Dalam usaha mencari puteri Sari Bulan, Datu Panda’i meminta izin kepada ayahandanya untuk mempersiapkan sebuah armada laut yang terdiri dari orang-orang yang gagah berani. Datu Panda’i sendiri yang akan menjadi pemimpinnya karena tidak mungkin armada akan memperoleh gadis yang dimaksud tanpa mengetahui wajah gadis yang dicari.

Perjalanan armada pencari gadis Sari Bulan itu memakan waktu cukup lama. Puluhan kali mereka terpaksa menyinggahi pulau-pulau kecil karena kehabisan bekal air dan makanan. Entah berapa mantra yang sudah diucapkan dan berapa biaya telah dihamburkan untuk membuat sesajen di tempat-tempat keramat serta memohon berkah kepada arwah nenek moyang. Perjalanan masih jauh, tetapi apa boleh buat. Idaman hati Datu Panda’i belum tercapai.

Pada hari yang ke-672, perahu kembali kehabisan air. Mereka kemudian mendekati sebuah pelabuhan. Setelah merapat, beberapa awak perahu diturunkan untuk mencari air minum. Beberapa ratus meter dari tempat perahu berlabuh, mereka menemukan sebuah sumur yang sangat jernih arinya. Mereka pun mulai menimba air dan mengangkutnya ke kapal.

Menjelang Asar, ketika mereka kembali lagi untuk mengambil air, terdengar suara gadis-gadis yang sedang bersenda gurau di sekitar sumur itu. Saat melihat para gadis itu, seluruh awak perahu yang ditugaskan mengambil air menjadi terpesona. Bibir mereka terasa kaku, lidah terasa kelu. Semua diam, seakan lupa akan tugasnya.

Setelah dapat mengendalikan diri, salah seorang awak perahu membuka percakapan, “Kalian cantik-cantik semua, ya?”

Mendengar kata-kata awak perahu itu para gadis hanya tersenyum simpul.

Salah seorang awak perahu yang teringat akan tujuan mereka berlayar adalah untuk mencari seseorang yang bernama Sari Bulan, segera bertanya kepada para gadis itu, “Adakah di kampung kalian seorang gadis bernama Sari Bulan?”

“O, ya, ada. Yang satu baru sebulan kawin. Sari bulan yang lain sebentar lagi juga datang untuk mengambil air,” jawab salah seorang dari para gadis itu.

“Ada hubungan apa kalian dengan Sari Bulan? Apakah kalian mempunyai pertalian darah?” gadis yang lain bertanya.

“Tidak. Kami cuma ingin tahu,” jawab salah seorang awak perahu.

Usai saling berkenalan, mereka pun bergiliran mengambil air dari sumur itu. Dan, setelah seluruh gentong terisi air, para awak perahu pun berpamitan hendak kembali ke perahu.

Saat sampai di perahu, para awak perahu itu langsung menghadap Datu Panda’i dan menceritakan semua kejadian di sumur tempat mereka mengambil air. Datu Panda’i yang merasa penasaran dengan cerita awak perahunya itu segera turun dari perahu. Ia ingin membuktikan sendiri ucapan anak buahnya yang menyatakan bahwa para gadis di tempat itu berparas cantik dan di kampung itu juga ada gadis yang bernama Sari Bulan.

Pada saat Datu Panda’i bersama anak buahnya telah berada di sumur, mereka bertemu dengan gadis-gadis itu yang salah seorang diantaranya dikawal oleh bapaknya. Para awak perahu tak ada seorang pun yang membuka mulut. Semua diam. Datu Panda’i terpaku, kagum menikmati kecantikan dan kemolekan gadis yang dikawal oleh bapaknya tersebut.

Tiba-tiba ayah gadis itu mendekat ke sumur dan berkata, “Sari Bulan, bawa periukmu kemari!”

Mendengar nama itu disebut, darah berahi Datu Panda’i tersiap. Ia pun berjalan ke arah sumur dan berkata pada ayah si gadis, “Bapak, dapatkah bapak menolong kami?”

“Kalian dari mana dan hendak ke mana?” tanya orang tua itu.

Tanpa banyak berbasa-basi, Datu Panda’i langsung berkata, “Tujuan kami cuma satu, yaitu mencari pasangan hidup.”

Suasana menjadi hening. Namun dari percakapan kedua orang itu tadi, dimulailah suatu awal pergaulan yang akhirnya memberikan kebahagiaan kepada Datu Panda,i. Ia akhirnya berhasil melamar Sari Bulan, idaman hati yang selama ini mengganggu pikirannya.

Singkat cerita, perkawinan Datu Panda’i dengan Sari Bulan pun akhirnya diselenggarakan. Mereka hidup amat rukun dengan semua keluarga serta kaum kerabat Sari Bulan. Beberapa bulan setelah kawin, Datu Panda’I meminta izin kepada mertuanya untuk membawa isterinya pulang ke kerajaannya di Sumbawa. Mertuanya pun mengizinkan, namun ia berpesan agar sepanjang pelayaran jangan menyinggahi Pulau Dewa sebab pulau itu merupakan tempat tinggal para jin, setan dan iblis.

Demikianlah, Datu Panda’i, Sari Bulan dan para awak perahunya mulai berlayar meninggalkan kampung Sari Bulan. Beberapa hari kemudian, ketika mereka melewati Pulau Dewa, terbitlah keinginan Sari Bulan yang sedang mengandung itu untuk memakan daging menjangan. Melihat isterinya yang sedang mengidam itu, Datu Panda,i tidak sampai hati dan tanpa sadar menyuruh awak kapalnya berlabuh di Pulau Dewa.

Setelah perahu berlabuh, Datu Panda’i bersama seluruh anak buah perahunya segera turun untuk mulai berburu menjangan. Sementara Sari Bulan ditinggalkan seorang diri di dalam perahu.

Konon dengan berlabuhnya perahu Datu Panda’i, menimbulkan banyak keanehan-keanehan di atas pulau itu. Para iblis saling berebutan rezeki. Salah satu diantara adalah Kunti. Ia adalah pelayan iblis yang bernama Doro. Kunti ingin pergi dari tempat itu karena selama ini ia hanya menjadi pelayan. Dengan menggunakan lenong perumpung1 ia menyeberang menuju perahu Datu Panda’i.

Saat lenong perumpangnya mendekati perahu, ia pun berteriak, “Perahu siapa ini?”

“Perahu suamiku, Datu Panda’i,” jawab Sari Bulan dari atas perahu.

“Kau sendirian?” tanya Kunti.

“Ya. Suamiku beserta anak buahnya sedang berburu menjangan,” jawab Sari Bulan.

Mendengar jawaban itu, tanpa banyak bicara Kunti langsung melompat ke perahu dan menyerang Sari Bulan. Kedua mata Sari Bulan dicukilnya dan dalam keadaan tak berdaya, ia dijatuhkan ke laut. Namun Sari Bulan tidak langsung tenggelam, sebab rambutnya yang panjang tersangkut pada kemudi yang ada di dalam air.

Setelah itu, si Kunti lalu masuk ke bilik Datu Panda’i dan mengenakan pakaian serta perhiasan Sari Bulan. Ia menyangka dengan mengenakan baju serta perhiasan tersebut, maka ia dapat menggantikan kedudukan Sari Bulan sebagai isteri Datu Panda’i.

Beberapa saat kemudian, Datu Panda’i bersama dengan awak perahunya kembali dengan membawa seekor anak menjangan. Namun, ketika ia telah naik ke perahu, suasana di anjungan tampak sangat berantakan. Keadaan ini membuat Datu Panda’i menjadi terkejut sekaligus cemas. Apalagi setelah ia melihat wajah isterinya yang tiba-tiba menjadi buruk rupa dan sudah tidak mengandung lagi.

Setelah dapat mengendalikan diri dari keterkejutannya, Datu Panda’i baru teringat akan nasihat mertuanya agar tidak singgah di Pulau Dewa. Datu Panda’i kini sadar bahwa ia telah berlabuh di Pulau Dewa dan menyangka bahwa isterinya telah terkena kutukan sehingga menjadi buruk rupa. Datu Panda’i menerima kejadian itu dengan rasa malu yang berkecamuk dalam dada. Ia malu apabila nanti telah sampai di kerajaannya, akan dicemooh oleh seluruh rakyatnya karena membawa seorang isteri yang buruk rupa. Saat perahu mulai berlayar lagi, Datu Panda’i lebih banyak berdiam diri dan tampak seperti orang yang tidak mempunyai gairah hidup lagi.

Ketika perahu telah merapat di pelabuhan kerajaan, Datu Panda’i langsung menuju ke istananya tanpa menghiraukan rakyat yang menyambutnya. Rasa bangga yang tadinya ada dalam diri Datu Panda’i, kini telah berganti menjadi rasa malu yang teramat sangat karena hanya membawa seorang isteri yang buruk rupa. Sedangkan Kunti, yang merasa telah diakui sebagai isteri Datu Panda’i, berlaku sebaliknya. Ia amat bertingkah dan tidak bersedia turun tanpa diusung di atas tandu. Ia ingin menikmati hidup layaknya seorang puteri raja, karena selama ini ia hanya menjadi pelayan Doro, raja iblis yang ada di Pulau Dewa.

Sementara itu, Sari Bulan yang ikut terseret di buritan, ketika perahu Datu Panda’i berlabuh, langsung diselamatkan oleh seekor kerang raksasa. Dalam keadaan tidak sadar karena sedang hamil tua dan kedua bola matanya telah dicongkel Kunti, Sari Bulan dibawa oleh kerang raksasa menuju pantai yang agak jauh letaknya dari kerajaan Datu Panda’i. Setelah berhasil membawa Sari Bulan ke tepi pantai, kerang raksasa itu pun mati karena terlalu lelah. Sedangkan Sari Bulan yang telah berada di darat dan masih dalam keadaan tidak sadar, langsung melahirkan bayinya.

Beberapa jam kemudian, setelah Sari Bulan sadar kembali, ia langsung membawa bayinya menjauh dari bibir pantai untuk mencari tempat berlindung. Namun karena ia telah menjadi buta, akhirnya ia kembali lagi ke tepi pantai untuk mengambil kulit kerang raksasa yang telah menolongnya tadi. Kulit itu kemudian diseretnya menjauh dari bibir pantai untuk dijadikan tempat berlindung. Singkat cerita, di rumah kerang itulah ia membesarkan anaknya yang diberi nama Aipad, hingga bisa berjalan dan berbicara. Dan, untuk dapat terus bertahan hidup, mereka melakukan matila (meminta-minta) kepada orang lain.

Pada suatu hari, sebagaimana biasa, Aipad kembali matila kepada seorang nelayan bernama Tangko yang baru saja pulang dari melaut. Melihat anak kecil yang sangat kurus itu matila kepadanya, hati Tangko merasa iba. Ia lalu memberikan seekor ikan terbesar di antara ikan-ikan lain yang berhasil ditangkapnya.

Setelah mengucapkan terima kasih kepada Tangko, Aipad pun segera berlari pulang untuk memberikan ikan tersebut kepada ibunya. Konon, setelah ikan itu dibelah, Aipad menemukan kedua biji mata ibunya di dalam perut ikan tersebut. Kedua biji mata itu kemudian dipasangkan kembali sehingga ibunya dapat melihat seperti sedia kala. Dan, untuk membalas jasa baik nelayan tersebut, Aipad bersama ibunya menawarkan diri untuk mengabdi kepada keluarga Tangko.

Tangko bersama isterinya yang sudah lama tidak dikaruniai anak, merasa gembira dan dengan senang hati menerima Aipad dan Sari Bulan untuk tinggal di rumahnya. Setelah Aipad bersama Sari Bulan tinggal di rumah Tangko, kehidupan keluarga nelayan itu menjadi amat bahagia dan banyak memperoleh rezeki. Aipad sangat dimanjakan oleh Tangko dan isterinya. Ia dibelikan seekor anak kuda pacuan yang harganya mahal.

Beberapa tahun kemudian, terdengarlah berita bahwa kerajaan yang saat itu telah dipimpin oleh Datu Panda’i akan mengadakan suatu pacuan kuda secara meriah dengan taruhan yang amat besar yaitu mahkota kerajaan. Apabila seseorang dapat memenangkan pertandingan, maka ia akan mendapatkan mahkota kerajaan. Namun, apabila ia kalah, maka ia akan menjadi budak istana untuk selama-lamanya.

Mendengar berita itu, Aipad merasa tertarik dan berkeinginan untuk mengikuti pertandingan pacuan kuda yang diselenggarakan oleh Datu Panda’i. Ia lalu meminta izin kepada ibunya dan juga Tangko. Setelah berpikir agak lama, karena apabila kalah Aipad harus menjadi budak kerajaan untuk selamanya, akhirnya mereka menyetujui keinginan Aipad. Seluruh keluarga itu lalu berdoa kepada Tuhan agar mendapat perlindungan selama Aipad bertanding.

Setelah mendapat restu dari Sari Bulan dan Tangko, Aipad pun segera pergi ke istana Datu Panda’i untuk mengikuti pertandingan pacuan kuda. Singkat cerita, dalam pertandingan itu kuda milik Aipad selalu dapat mengalahkan lawan-lawannya, hingga akhirnya berhadapan dengan kuda milik Datu Panda’i untuk memperebutkan taruhan yang berupa mahkota kerajaan.

Dalam pertandingan melawan kuda milik Datu Panda’i itu, ternyata kuda milik Aipad berhasil menjadi pemenangnya. Pihak keluarga raja dan para pembesar istana menjadi pucat dan tak dapat berkata apa-apa. Dengan muka pucat, Datu Panda’i segera mendatangi Aipad dan memintanya nanti malam hadir di istana untuk mengadakan upacara penyerahan mahkota kerajaan.

Malam harinya, bersama Sari Bulan dan Tangko suami-isteri, Aipad berangkat ke istana raja untuk mendapatkan mahkota dan menjadi raja. Setelah berada di dalam istana, ia memperkenalkan orang-orang yang diajaknya. Pada saat Datu Panda’i melihat Sari Bulan, tak ayal lagi, ia langsung menitikkan air mata bahagia. Datu Panda’i langsung berlari memeluk isterinya yang selama ini dikiranya telah berubah menjadi seorang yang buruk rupa.

Singkat cerita, setelah diangkat menjadi raja, untuk mengenang jasa dan jerih payah Tangko, maka Aipad memutuskan untuk mengganti nama kerajaan menjadi kerajaan Tangko. Sedangkan Kunti, yang dinyatakan bersalah karena menggantikan kedudukan Sari Bulan, oleh Aipad dihukum kurungan dalam sebuah sumur yang sangat dalam.

Sumber:
Diadaptasi bebas dari Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive