Pengantar
Polewali-Mandar adalah sebuah daerah yang tergabung dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Di masa lalu, di daerah yang terletak di pesisir utara Sulawesi Selatan ini pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Pitu Baba Binaga. Saharudin (1977), menyebutkan bahwa kerajaan ini ketika berperang dengan kerajaan lainnya selalu mengusung panji-panji (bendera) yang harus dibela mati-matian oleh para jowak-nya (prajuritnya). Tradisi inilah yang kemudian melahirkan suatu permainan yang disebut sebagai makbenteng. Makbenteng itu sendiri adalah bahasa setempat yang merupakan gabungan atas dua kata, yaitu “mak” yang berarti “tiang” dan “benteng” yang berarti “tempat pertahanan”. Dengan demikian, makbenteng dapat diartikan sebagai usaha mempertahankan benteng.
Pada masa lalu, permainan yang intinya adalah mempertahankan benteng ini hanya diselenggakan oleh dan untuk kerajaan. Artinya, hanya para remaja bangsawanlah yang melakukannya. Tujuannya, di samping untuk menghibur pejabat-pejabat istana dan keluarga kerajaan, juga untuk menanamkan rasa cinta tanah air dan menjunjung tinggi panji-panji kebesaran kerajaan (arajang[1]). Selain itu, melalui permainan ini anak-anak remaja kaum bangsawan akan terlatih dalam membela dan mempertahankan kerajaan dari serangan musuh.
Seiring dengan perkembangan zaman, ditambah dengan runtuhnya kerajaan Pitu Baba Binaga, maka permainan ini tidak hanya menjadi “milik” para bangsawan lagi, melainkan dewasa ini siapa saja dapat melakukannya.
Pemain
Permainan yang disebut sebagai makbenteng termasuk dalam kategori “keras” karena membutuhkan fisik yang kuat dan tenaga yang prima. Sehubungan dengan itu, maka permainan ini pada umumnya hanya dimainkan oleh anak laki-laki yang berusia sekitar 10--16 tahun. Bentuk permainan ini adalah beregu dengan anggota 4 orang.
Tempat Permainan
Makbenteng memerlukan tempat yang agak luas (sekitar 10 x 20 meter). Luas tersebut dibagi menjadi dua bagian; sebagian untuk regu yang satu dan sebagian regu yang lain. Mengingat arena yang dibutuhkan relatif luas, maka permainan ini biasanya dilakukan di sebuah tanah yang lapangan (lapangan) atau halaman rumah yang cukup luas.
Peralatan Permainan
Peralatan yang digunakan dalam permainan ini adalah: (1) dua buah bendera yang terbuat dari kain, berukuran 15 x 20 cm dan berbentuk segi empat (bendera yang digunakan oleh setiap regu memiliki warna yang berbeda agar pemain tidak keliru saat memperebutkannya); (2) dua buah tiang bendera dengan tinggi sekitar 1,5 meter; dan (3) sebuah kentongan bambu beserta kayu pemukulnya yang nantinya akan digunakan oleh wasit untuk mengatur jalannya permainan. Wasit itu sendiri dari salah seorang penonton.
Peraturan Permainan
Permainan yang disebut sebagai makbenteng intinya adalah saling menyerang ke daerah pertahanan lawan dan merobohkan benderanya. Siapa diantara kedua regu tersebut yang dapat merobohkan bendera paling banyak akan menjadi pemenangnya. Agar permainan itu dapat berjalan secara baik, maka dibutuhkan aturan main. Aturan-aturan itu adalah sebagai berikut: (1) permainan baru dimulai ketika kentongan telah dipukul oleh wasit sebanyak 3 kali; (2) setiap terjadi pelanggaran, kentongan akan berbunyi 1 kali; (3) setiap pemain tidak boleh keluar dari arena permainan; (4) pada waktu menyerang tidak boleh menyakiti atau melukai lawan; (5) saat menjatuhkan lawan harus dilakukan secara perlahan-lahan; (6) pemain boleh menangkap lawan untuk menghalangi pergerakannya; (7) tiang bendera tidak boleh dipindahkan dari tempatnya semula karena jika hal itu dilakukan, maka dianggap sebagai suatu kesalahan dan regu lawan akan mendapatkan satu nilai; (8) tiang bendera tidak boleh ditanam terlalu dalam agar mudah ketika dirobohkan; (9) ujung tiang bendera tidak boleh menyentuh tanah ketika dirobohkan, jika itu terjadi (dilanggar), maka regu pemilik bendera akan mendapatkan satu nilai; dan (10) selain dirobohkan, bendera yang berhasil dipegang oleh anggota regu lawan dalam waktu yang agak lama, maka regu lawan akan mendapatkan satu nilai. Penentuan lama tidaknya bendera dipegang ditentukan oleh wasit.
Jalannya Permainan
Setelah lokasi permainan ditentukan, peralatan permainan disiapkan, dan pembagian regu telah dilakukan, maka pemain akan berdiri pada posisinya masing-masing. Dalam satu regu, 3 orang anggotanya akan ditempatkan sebagai penyerang dan satu orang yang dianggap paling kuat sebagai penjaga bendera (jowak). Para penyerang tersebut nantinya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: penyerang tengah (jowak tangnga), penyerang sayap kiri (jowak biring) dan penyerang sayap kanan (jowak biring) yang akan berdiri tepat di belakang garis batas wilayah kekuasaan regunya dengan regu lawan. Selanjutnya, wasit akan memberikan aba-aba dengan memukul kentongan sebanyak tiga kali agar permainan dimulai. Ketika kentongan telah dipukul tiga kali, barulah para penyerang akan berlari dan berhadapan untuk saling menghalangi dengan memegang, mendorong atau membanting lawannya. Apabila ada penyerang yang berhasil lolos dari hadangan penyerang regu lain, maka akan berhadapan dengan penjaga bendera. Dan, apabila berhasil memegang atau menjatuhkan bendera lawan, kelompoknya akan mendapatkan satu nilai dan permainan dimulai kembali seperti semula. Pelanggaran yang dilakukan pada saat permainan sedang berlangsung ditentukan oleh wasit dengan membunyikan kentongan satu kali. Jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh setiap regu nantinya akan digunakan sebagai perhitungan kalah-menangnya sebuah regu. Permainan akan berhenti apabila para pemain sudah merasa lelah atau salah satu regu mengaku kalah. Permainan akan diakhiri oleh wasit dengan memukul kentongan sebanyak tiga kali.
Regu yang dinyatakan sebagai pemenang adalah regu yang dapat mengumpulkan nilai lebih banyak dari regu lawannya. Regu yang menang ini disebut sebagai topuang (penguasa). Sedangkan regu yang kalah disebut sebagai batuah musuk atau orang yang dijadikan budak karena kalah perang. Namun, apabila perolehan nilainya sama, penentuannya adalah dengan menghitung banyaknya pelanggaran “ringan” yang dilakukan oleh setiap anggota regu (keluar lapangan atau menjatuhkan bendera hingga menyentuh tanah). Dan, jika ternyata pelanggaran yang dilakukan oleh kedua regu itu pun sama banyaknya, maka jumlah pelanggaran “berat” yang akan dihitung, seperti membanting secara sengaja dan menyakiti lawan (taupalik).
Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan yang disebut sebagai makbenteng ini adalah kecintaan terhadap wilayah (tanah air), kerja keras, kerja sama, dan sportivitas. Nilai kecintaan terhadap wilayah tercermin dari usaha para pemain untuk mempertahankan bentengnya. Nilai kerja keras dan kerja sama tercermin dari usaha untuk mempertahankan bendera regunya dan merobohkan bendera lawan. Dan, nilai sportivitas tercermin dari sikap dan perilaku yang sportif dari para pemain. Dalam konteks ini jika kalah akan mengakui kekalahannya dengan lapang dada, dan jika menang tidak menyombongkan diri. Sikap sportif perlu ditunjukkan karena permainan ini adalah permainan fisik (adu kekuatan) yang dapat menyulut emosi setiap pemain yang pada gilirannya dapat menimbulkan perkelahian. (pepeng)
Sumber:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1980. Permainan Anak-Anak Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Saharudin. 1977. Susunan dan Sistem Pemerintahan Kerajaan Bala. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[1] Arajang adalah alat-alat kerajaan yang dipelihara dan sangat dihormati oleh masyarakat pendukungnya, dan merupakan simbol yang dapat mempersatukan seluruh penduduk di suatu kerajaan.