Oleh Y. EriawatiTelah cukup banyak ahli arkeologi yang tidak lagi menyangsikan bahwa Wilayah Trowulan, yang terletak sekitar 10 km dari Kota Mojokerto, merupakan sisa Kota Kuno Masa Majapahit (abad 14-15 Masehi). Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya ribuan bahkan ratusan ribu fragmen tembikar yang sebagian besar menunjukkan wadah-wadah yang biasa dipakai sehari-hari, seperti kendi, mangkuk, piring, cangkir, tempayan, serta puluhan jenis wadah lainnya. Demikian pula temuan arkeologi yang dikenal dengan terakota, memperlihatkan jumlah, bentuk, jenis, ukuran beraneka-rupa. Terakota yang terkenal dari Trowulan ini adalah celengan dengan bermacam bentuk dan ukuran, boneka-boneka terakota, serta miniatur bangunan "rumah."
Tinggalan lain yang juga sangat mendukung bahwa Trowulan merupakan bekas kota kuno adalah ditemukannya sisa-sisa bangunan, berupa bangunan-bangunan keagamaan seperti: candi, petirtaan, dll, juga sisa-sisa bangunan yang diinterpretasikan sebagai bangunan tempat tinggal atau bangunan bekas "rumah."
Tinggalan keramik asing dari berbagai negara (Cina, Vietnam, Thailand, Burma, dll) yang juga banyak ditemukan di situs ini memperlihatkan bahwa hubungan "kenegaraan" Majapahit dengan negara-negara asing pun telah dibina dengan baiknya, serta dalam jangka waktu yang tidak pendek.
Sekelumit Mengenai Awal Berdirinya Kerajaan MajapahitSumber-sumber sejarah yang menyebutkan asal mula berdirinya Majapahit cukup banyak jumlahnya. Sumber yang berasal dari dalam negeri terdiri dari prasasti dan berita yang terdapat dalam kesusastraan. Prasasti yang isinya dapat dipakai sebagai sumber keterangan peristiwa-peristiwa yang ada hubungan dengan kemunculan kerajaan Majapahit antara lain: Prasasti Gunung Butak atau Prasasti Kudadu (1294 M) dan Prasasti Sukamerta (1296 M); sedangkan sumber yang berupa hasil kesusastraan, yaitu: Nagarakrtagama dan Pararaton.
Di samping sumber dari dalam negeri, berita China dari Dinasti Yuan (1280-1367) memperkuat bukti bahwa apa yang disebut di dalam sumber-sumber dari dalam negeri memang merupakan suatu peristiwa sejarah.
Berdasarkan sumber-sumber data tekstual tersebut, dapat diuraikan secara ringkas bahwa Kertanegara, Raja Singasari terakhir, gugur pada tahun 1292 karena serangan Jayakatwang dari Kediri. Menantunya yaitu Raden Wijaya dengan beberapa pengiringnya dapat menyelamatkan diri ke Madura dan meminta bantuan adipati Sumenep bernama Wiraraja. Dengan bantuan Wiraraja, disusun rencana dengan cara Raden Wijaya menyerahkan diri ke Jayakatwang dan menghamba kepadanya. Setelah itu, Raden Wijaya memohon membuka hutan di wilayah Trik yang diluluskan Jayakatwang.
Mulailah hutan Trik dibuka dengan dibantu oleh orang-orang Madura. Tempat itu kemudian dinamakan Majapahit, dari sinilah Raden Wijaya mempersiapkan kekuatan untuk melawan kekuasaan Jayakatwang, yang akhirnya bisa ia kalahkan. Raden Wijaya kemudian dinobatkan menjadi Raja Majapahit pertama dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana, pada tahun 1293 M.
Perkiraan Bentuk-bentuk Bangunan "Rumah"Sebagai bekas kota, tidaklah heran bahwa salah satu jenis tinggalan arkeologi yang banyak ditemukan di Situs Trowulan ini adalah sisa-sisa bangunan. Baik sisa-sisa struktur bata dalam bentuk bekas tembok atau dinding, serta batu-batu kali maupun tanah liat bakar yang membentuk sisa-sisa lantai. Temuan lainnya artefak berupa genteng yang juga dibuat dari tanah liat bakar. Banyak di antaranya masih dalam keadaan utuh, sehingga kita bisa tahu adanya berbagai bentuk genteng yang ada di wilayah Trowulan ini pada masa lalunya.
Artefak yang tidak kalah menariknya adalah tinggalan berupa miniatur bangunan "rumah" yang dibuat dari tanah liar bakar. Bangunan yang terlihat dari terakota tersebut memiliki tiga dimensi yang menggambarkan rumah lengkap dengan komponen bangunannya. Bentuk atap rumah yang digambarkan menunjukkan bentuk tajuk atau limasan, dengan penutup atap digambarkan dibuat dari berbagai bahan (sirap, genteng, dll).
Hasil penelitian T.P. Galestin tahun 1936, memberikan pengetahuan kepada kita mengenai bentuk-bentuk arsitektur bangunan hunian masa Majapahit di Jawa Timur, yang dalam hal ini termasuk juga bangunan di "Kota Trowulan." Secara garis besar dikatakan bahwa ada bangunan yang bertiang satu, empat, lima, enam, dan delapan, memiliki denah dasar berbentuk empat persegi panjang atau bujur sangkar, serta bentuk-bentuk atap berupa limasan atau kampung. Pengetahuannya itu didapat atas dasar penelitiannya terhadap relief-relief candi yang menggambarkan bentuk-bentuk "rumah" tinggal.
Penelitian Parmono Atmadi yang dipublikasikan pada tahun 1993 menyatakan bahwa rumah Majapahit dapat dibagi ke dalam tiga bentuk arsitektur, yaitu: 1) bentuk arsitektur Jawa Kuno berupa konstruksi kayu dengan tiang langsung berdiri di permukaan tanah, dan ada kolong di bawah lantai; 2) bentuk arsitektur Majapahit Lama, yaitu bangunan kayu yang berdiri pada batur, tetapi tidak mempunyai pemisah ruangan; 3) bentuk arsitektur Majapahit Akhir yang pada dasarnya memiliki kemiripan dengan bentuk arsitektur Majapahit Lama, tetapi pada konstruksi ini telah dikenal adanya pemisahan ruangan.
Tahun 1999, dalam tesis S2nya Osrifoel Oesman yang telah melakukan analisis pada beberapa sisa-sisa struktur bangunan yang ditemukan di Situs Trowulan, menuliskan sketsa bangunan hunian Masa Majapahit, yang dibaginya ke dalam 3 bagian, yaitu: kaki bangunan, badan bangunan, dan kepala bangunan. Menurutnya bangunan ada yang berdiri di atas batur tanpa umpak atau dengan umpak, serta tanpa batur dengan umpak langsung berdiri di tanah, serta bangunan tanpa batur dan umpak. Badan bangunan ada yang memperlihatkan dinding terbuka, setengah terbuka, dan dinding yang tertutup. Kepala bangunan, dengan atap berbentuk limasan, kampung, tajuk, dan pangang-pe.
Bangunan "Rumah" Berlantai Segi EnamSalah satu lokasi temuan sisa struktur bangunan yang cukup penting di wilayah Situs Trowulan, adalah area tempat ditemukannya lantai yang memiliki bentuk khusus, yaitu lantai berbentuk segi enam. Lokasi temuan "sisi rumah" berlantai berbentuk segi enam itu berada di Dukuh Kedaton, Desa Sentonorejo, yang masih berada dalam wilayah Situs Trowulan.
Tempat ini pertama kali ditemukan oleh seorang penduduk pada tahun 1982, pada saat ia sedang menggali perkarangan belakang rumahnya. Berdasarkan laporan adanya temuan tersebut, maka dilakukan ekskavasi penyelamatan pada tahun 1982, 1984, dan 1985 oleh Proyek Pemugaran Kota Majapahit dan SPSP Jawa Timur.
Hasil pembukaan kotak sebanyak 22 buah dapat diketahui bahwa wilayah yang mengandung temuan sisa-sisa struktur bangunan ini memiliki ukuran luas sekitar 12,50 m x 12,50 meter. Temuan-temuan hasil ekskavasi dapat dilihat masih dalam keadaan in-situ.
Dari sisa-sisa bangunan yang ada, yang paling menarik adalah susunan lantai bata yang masih tersusun rapih, terpasang dari bata-bata yang berbentuk segi enam. Lantai bata segi enam tersebut memiliki ukuran panjang sisi-sisi luasnya: 17 cm, dan tebal sekitar 6 cm, disusun dengan jarak antara dua-sisi-sisi luar bata rata-rata 30 x 30 cm.
Di samping susunan lantai segi enam, ditemukan pula susunan lantai berbentuk segi empat, serta susunan struktur bata dengan ukuran yang berbeda-beda, berukuran panjang antara satu setengah hingga dua setengah meter, lebar sekitar 60 cm, serta terdiri dari susunan 5-7 bata yang masing-masing memiliki ukuran tebal sekitar 15-20 cm. Di situs ini pun ditemukan beberapa umpak batu yang dibuat dari batuan andesit, berbentuk limas terpancung.
Berdasarkan sisa struktur bangunan yang ditemukan di situs ini, diperkirakan bahwa bangunan "rumah" memiliki ukuran yang cukup luas, dengan denah bangunan berpola geometris dan berbentuk persegi panjang. Lantai bata berbentuk segi enam dan segi empat, yang dibuat dari bata. Bangunan mempunyai tiang yang diletakkan di atas umpak batu berukuran besar, di mana umpak tersebut berdiri di atas lantai. Sayangnya belum dapat diketahui arah hadap maupun ruang-ruang pemisah dari "rumah" berlantai segi enam ini.
PenutupAdanya temuan-temuan arkeologi yang menggambarkan sisa-sisa pemukiman kota, menjadikan Situs Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur merupakan situs yang cukup penting. Bahkan dari semua kerajaan-kerajaan masa Hindu-Buddha di Indonesia, hanya kerajaan terakhir, yaitu Kerajaan Majapahit yang meninggalkan sisa bangunan-bangunan hunian di Situs Trowulan.
Tampaknya Situs Trowulan dalam perjalanan sejarahnya mengalami proses penurunan kualitas secara terus menerus akibat rusak dan berkurangnya tinggalan arkeologis yang ada. Faktor penyebab terjadinya tersebut bisa bermacam-macam. Secara garis besar dapat dibedakan akibat dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor tangan-tangan manusia. Faktor kedua ini tampaknya yang paling intensif merusakkannya, misalnya pembukaan areal sawah, dan seperti yang banyak terjadi yaitu pengerukan tanah guna pembuatan batu bata. Tampaknya kita memang harus berlomba dengan mereka dalam usaha "menyelamatkan" Situs Kota Kuno Trowulan ini.
Y. Eriawati (Pusat Penelitian Arkeologi/Proyek Pemanfaatan Kebudayaan)
Sumber: www.hupelita.com