Dalam sebuah permainan bal budhi, pemain yang menginjak tali batas dianggap “mati”. Demikian juga ketika bola yang dilambungkan tertangkap lawan. Jika pemain dapat melakukannya dengan baik (tidak menginjak tali dan tepakannya bagus), maka yang besangkutan mendapat nilai satu. Selanjutnya, pemain tersebut melakukan tepakannya yang kedua dengan cara menghadap lawan. Tepakan ketiga dilakukan dengan kedua tangannya. Tepakan keempat oleh masyarakat setempat disebut taba. Demikian seterusnya sampai tepakan ketujuh.yang disebut sabung. Sebagai catatan, setiap tepakan yang berhasil mendapat nilai satu. Jadi, dalam permainan yang menjadi pemenangnya adalah yang paling banyak mengumpulkan nilai.
Bal Budhi
Dalam sebuah permainan bal budhi, pemain yang menginjak tali batas dianggap “mati”. Demikian juga ketika bola yang dilambungkan tertangkap lawan. Jika pemain dapat melakukannya dengan baik (tidak menginjak tali dan tepakannya bagus), maka yang besangkutan mendapat nilai satu. Selanjutnya, pemain tersebut melakukan tepakannya yang kedua dengan cara menghadap lawan. Tepakan ketiga dilakukan dengan kedua tangannya. Tepakan keempat oleh masyarakat setempat disebut taba. Demikian seterusnya sampai tepakan ketujuh.yang disebut sabung. Sebagai catatan, setiap tepakan yang berhasil mendapat nilai satu. Jadi, dalam permainan yang menjadi pemenangnya adalah yang paling banyak mengumpulkan nilai.
Asal Mula Nama Desa Kasmaran di Indramayu
Di Kecamatan Widasari, Kabupaten Indramayu, ada sebuah desa bernama unik, yaitu Kasmaran. Kata yang dalam KBBI berarti “jatuh cinta” ini terkait erat dengan asal usul keberadaannya. Ada sebuah cerita rakyat yang dapat menjelaskan asal usul nama tersebut. Adapun ceritanya sebagai berikut.
Berawal dari dua orang putra mahkota yang sedang berguru di wilayah Cirebon. Mereka adalah putra Pangeran Darma dari Indramayu dan putra Pangeran dari Sumedang Larang. Selama berguru rupanya mereka jatuh hati pada perempuan yang sama. Keduanya saling tebar pesona untuk merebut hati si perempuan hingga berbuah perkelahian karena tidak ada yang mau saling mengalah. Perkelahian akhirnya dimenangkan oleh putra Pangeran Darma dengan menewaskan putra mahkota Sumedang Larang.
Tewasnya putra mahkota Sumedang Larang tentu membuat ketegangan antarkedua belah pihak. Cirebon turun tangan menengahi. Sebagai pihak yang dirugikan Sumedang Larang meminta sebagian tanah di Lelea Indramayu yang akhirnya diberikan oleh Pangeran Darma agar peperangan tidak terjadi. Namun, pemberian tadi hanyalah siasat, sebab Pangeran Darma berusaha mengatur strategi agar dapat merebutnya kembali.
Caranya adalah dengan menyamar menjadi seorang perempuan genit yang memikat kaum pria namun sulit untuk dinikahi. Dia mendatangi wilayah perbatasan di tanah yang diminta Sumedang Larang untuk menggoda setiap laki-laki di sana. Hasilnya, banyak yang menjadi terpikat dan bahkan sanggup meninggalkan istri mereka.
Kehebohan tentang seorang perempuan Indramayu cantik yang mampu menggoda lelaki itu rupanya terdengar pula oleh Raja Sumedang Larang. Sang Raja yang merasa penasaran ingin melihat paras perempuan itu kemudian mendatanginya. Ketika bertemu langsung, dia pun tertarik dan hendak mempersuntingnya.
Sang “perempuan” penyamar bersedia dinikahi dengan catatan Raja Sumedang Larang harus menyerahkan daerah yang berada di wilayah Lelea sebagai maharnya. Oleh karena sudah kasmaran berat, keinginan itu dipenuhi Sang Raja dengan memberikan surat pengesahan di atas kulit kerbau yang telah ditandatangani.
Setelah berhasil mendapatkan surat pengesahan, “perempuan” itu mencoba melarikan diri. Raja Sumedang langsung mengejar hingga memasuki kawasan perbatasan Indramayu di Sungai Cipelang. Terdesak karena tidak bisa menyeberang, akhirnya Pangeran Darma membongkar kedoknya sebagai laki-laki tulen. Tentu saja hal ini membuat Raja Sumedang Larang kaget bukang kepalang. Dia sudah kasmaran pada seorang laki-laki yang menyamar menjadi seorang perempuan. Dan, tempat yang merupakan saksi bisu Pangeran Darma membuka kedoknya tadi oleh masyarakat sekitar kemudian dinamakan sebagai Kasmaran. Saat ini Kasmaran telah menjadi sebuah desa karena bertambahnya jumlah penduduk.
Boza, Minuman Tradisional Khas Turki
Boza berbentuk menyerupai puding berasa manis-asam dan beraroma tajam. Ia dibuat dari berbagai macam bahan, di antaranya adalah: jagung, gandum, gandum hitam, millet, malt, kayu manis, bulgur, ragi, dan nasi. Pembuatan boza memerlukan waktu relatif lama karena harus melalui proses fermentasi yang menghasilkan alkohol berkaadar sangat rendah.
Adapun prosesnya diawali dengan merebus bulgur dan nasi hingga seperti bubur. Setelah lembek disaring dan dijemur selama beberapa jam. Bila telah kering, campuran bulgur dan nasi tadi direbus lagi bersama ragi dan gula lalu didiamkan selama kurang lebih 20 jam. Gula akan ditambahkan lagi sebelum adonan disimpan di dalam lemari pendingin. Dan, apabila ingin disajikan akan ditaburi bubuk kayu manis dan buncis panggang sebagai penambah aroma dan rasa.
Foto: https://stock.adobe.com/nl/search?k=boza
Pentheng
Sebelum bermain, untuk menentukan siapa yang akan memulai (bermain lebih dulu) diadakan dengan sute. Dalam hal ini siapa yang menang akan main bermain lebih dahulu. Pemenang sute meletakkan budhu di atas lubang dengan cara melintang. Kemudian, mengungkitnya dengan korbi. Sementara, lawan berjaga dan berusaha untuk menangkap budhu. Jika tertangkap, pemain itu berarti “mati” dan digantikan dengan lawan. Jika tidak tertangkap, budhu diarahkan ke korbi yang telah diletakkan di atas lubang dengan posisi melintang. Jika kena (menyentuhnya), maka berarti pemain “mati” dan digantikan oleh lawan mainnya. Namun, jika tidak mengenainya, pemain melanjutkan dengan melemparkan budhu dan memukulnya di udara. Jika budhu tertangkap lawan, maka berarti pemain “mati”, Namun, jika tidak, budhu tersebut dilemparkan ke arah lubang permainan. Jika budhu tersebut masuk dan atau berada di sekitar lubang dan jarak tidak lebih dari panjang korbi, berarti pemain “mati”. Namun, jika jauh dari lubang, pemaian pemain mendapatkan nilai dengan cara mengukur jarak antara lubang dan budhu dengan korbi. Selanjutnya, pemain meletakkan budhu ke mulut lubang. Kemudian, mencoba melayangkan budhu tersebut dan memukulnya. Jika budhu tersebut tertangkap lawan berarti “mati”. Namun, jika tidak, jarak budhu dengan lubang dihitung dengan korbi. Jumlah hitungan itulah yang menentukan menang dan atau kalahnya seorang pemain. Setelah itu, kembali ke awal dan seterusnya.
Tari Topeng Gettak
Tarian yang disebut sebagai topeng gettak ini merupakan tarian masyarakat (orang kebanyakan) di luar keraton. Agar tidak melanggar aturan keraton, selama menari penari tidak boleh memegang senjata. Padahal tokoh Baladewa memiliki senjata andalan berupa tombak. Sebagai solusinya, tombak diganti dengan sapu tangan.
Tari topeng gettak diiringi oleh seperangkat waditra terdiri atas: sronen, kennong tello beserta perlengkapannya seperti: kendang, kempul, dan gong. Sesuai dengan namanya, tarian ini didominasi oleh bunyi gettak yang berfungsi sebagai pengatur gerak. Adapun pemangku geraknya adalah: sraman, senduwan, kojeran, balungan, dan lain sebagainya. Dewasa ini tari topeng gettak berfungsi sebagai hiburan. Tarian ini sering dipentaskan dalam rangka memeriahkan hari-hari besar nasional, menyambut tamu daerah, dan acara yang berkenaan dengan upacara di lingkaran hidup individu (ruwatan, kehamilan, dan kelahiran).
Orkes Tongtong
Orkes tongtong pada umumnya dibentuk (ada) pada bulan Ramadhan (puasa). Jenis alat musiknya beraneka ragam. Sedangkan, ukurannya bergantung pada dana yang tersedia, keterampilan, dan tingkahnya. Setiap kelompok dapat menambahkan berbagai alat musik lainnya, seperti: gendhang, kencer, kerca, dan pekeng. Susunan orkes dapat berubah-ubah menurut jam, kelelahan anggota rombongan, atau pun pertengkaran. Orkes ini pada dasarnya bertujuan untuk membangunkan orang yang berpuasa dan sekaligus mengingatkan agar bersaur sebelum matahari terbit. Oleh karena itu, mestinya dilakukan menjelang subuh (antara pukul 02.00 dan 03.00 WIB). Akan tetapi, anak-anak muda cenderung bermain pada awal atau tengah malam agar waktunya lebih lama.
Orkes tongtong selalu dimainkan berdasarkan improvisasi dan formula ritmis yang cukup pendek (diulang-ulang oleh satu atau beberapa alat sekaligus). Alat perkusi yang lebih rendah bunyinya (gendhang) menyusun irama jalin-menjalin yang merupakan struktur keseluruhan permainan. Sementara, tongtong itu sendiri mengisi sinkope yang disediakan oleh perkusi rendah. Penambahn alat perkusi rendah dan keras pada tongtong pada gilirannya membuat orkes semakin mempesona. Akan tetapi, kini yang menonjol adalah bunyi kerca dengan latar belakang suara yang rendah. Sedangkan, tongtong terdengar sebagai bunyi pinggiran, bagaikan sulaman ritmis ringan dalam panduan ritme-ritme alat perkusi yang bersuara rendah.
Tari Rondhing
Rondhing disajikan secara berkelompok terdiri atas 4 orang penari, atau lebih (massal). Mereka bisa satu jenis kelamin (laki-laki semua atau perempuan semua), tetapi juga bisa berlainan jenis (laki-laki dan perempuan). Kostum yang dikenakan menyerupai pasukan Hindia Belanda dengan berbagai tambahan, seperti: udeng (ikat kepala), rompi, semacam tanda pangkat yang berumbai, celana setengah panjang (sampai di bawah lutut), dan genta-genta kecil yang melingkari pergelakan kaki para penari.
Waditra yang digunakan untuk mengiringinya adalah: sronen dan kennong tello beserta seperangkat gamelan, seperti: kendang, kempol, dan gong. Adapun gendhing-gendhing yang dilagukan antara lain: sramaan, kojeran, dan balungan.
Muhammad Saud
Alkisah, ada seorang bernama K. Abdullah. Dia adalah seorang lali-laki yang mempunyai istri lebih dari satu. Salah satunya bernama Nyai Nurima yang merupakan istri pertama. Suatu malam, K. Abdullah pulang ke rumah Nyai Nurima. Akan tetapi, setelah mengetuk dan mengucapkan salam berulang kali tidak juga ada jawaban dari dalam rumah. Dia tidak tahu kalau sang istri yang tengah hamil sedang sholat tahajjud.
Dalam suasana kesal menunggu, tiba-tiba terdengar jawaban salam anak laki-laki kecil dari dalam rumah. Dia sangat terkejut karena istrinya masih dalam keadaan hamil. Kalaupun telah melahirkan tidak akan mungkin sang bayi sudah bisa menjawab salamnya.
Usai sholat Nyai Nurima membukakan pintu. Setelah meminta maaf dia lalu menjelaskan bahwa dirinya tengah tahajjud sehingga tidak langsung menyongsong kehadiran K. Abdullah. Dia juga tidak menyangka kalau K. Abdullah akan datang, sebab “jadwalnya” bukanlah malam itu.
Mendengar penjelasan sang istri K. Abdullah hanya mengangguk. Fokus pikirannya tertuju pada jawaban salam dari suara anak kecil yang tadi didengarnya. Oleh karena itu, dia langsung menangnyakan siapakah gerangan anak kecil yang telah menjawab salamnya.
“Itu suara anakmu,” jawab Nyai Nurima sambil mengelus perut dan tersenyum simpul.
Terkejutlah K. Abdullah mendengar perkataan istrinya. Dia tidak menyangka kalau sang anak yang masih di dalam kandungan telah memiliki keistimewaan. K. Abdullah langsung bersujud syukur kepada Allah SWT.
Beberapa bulan kemudian, sang bayi pun lahir dalam keadaan sehat. Oleh karena sejak di dalam kandungan telah dapat berbicara, maka ketika lahir diberi nama Muhammad Saud yang artinya bisa menyahut.
Sejak lahir hingga berumur enam tahun Muhammad Saud tumbuh menjadi anak yang cerdas dan semakin bertambah keistimewaannya. K. Abdullah meyakini kalau anaknya kelak akan menjadi seorang pemimpin hingga tujuh turunan. Dan, agar selalu berjalan di jalur yang lurus, dia kemudian dimasukkan ke pesantren milik pamannya, K. Fakih, yang letaknya saat ini di daerah Lembung Barat, Kecamatan Lenteng.
Selama berada di pesantren, Muhammad Saud juga menunjukkan kecerdasan dan keistimewaanna. Konon, suatu malam muncul cahaya terang dari salah satu santri yang tengah tertidur pulas. K. Fakih yang melihat cahaya itu lalu membungkus tubuh santri yang bersinar dengan cara membuntal sebagian sarungnya. Esok harinya, dia meminta santri yang sarungnya terbuntal agar maju dan ternyata adalah Muhammad Saud. Melihat Muhammad Saud memiliki keistimewaan, sama seperti K. Abdullah, K Fakih juga berpendapat bahwa dia akan menjadi seorang pemimpin sampai tujuh turunan.
Lulus dari pesantren, Muhammad Saud menikah dengan perempuan bernama Nyai Izzah. Mereka dikaruniai dua orang anak, bernama Aryo Pacinan dan Panembahan Sumolo. Oleh masyarakat setempat dia kemudian diberi gelar “Waliallah” karena memiliki keistimewaan.
Wer Warat
Wer warat dilakukan dengan cara membentangkan rotan yang dililit janur dari pesisir ke tengah laut. Bila dirasa sudah banyak ikan yang terperangkap, bentangan ditarik ke darat hingga membentuk sebuah lingkaran besar. di dalam lingkaran nelayan akan mengarahkan ikan yang terperangkap menuju ke satu tempat yang sudah disiapkan.
Sate Loso Khas Pemalang
Sate sebagai kuliner hampir ada di seluruh Indonesia. Bahannya dapat berupa ayam, kambing, sate, hingga kerbau. Nama dan cara pengolahannya pun bermacam-macam, bergantung dari daerah mana sate itu berasal.
Di Pemalang, misalnya, ada sate yang dinamakan Loso. Konon, kuliner berbahan daging kerbau atau sapi muda ini diciptakan oleh Pak Loso, empu sate dari daerah Weleri, Kendal, yang bermukim di Pemalang. Dan, dari resep peninggalan Pak Loso yang diwariskan secara turun temurun inilah sate loso kemudian berkembang dengan berbagai varian yang dijual di hampir setiap sudut Kota Pemalang.
Sate resep Pak Loso bertekstur empuk karena sebelum dibakar akan melalui proses pembaceman terlebih dahulu. Adapun bumbu-bumbu yang diperlukan, di antaranya: bawang merah (dihaluskan), bawang putih (dihaluskan), ketumbar (dihaluskan), serai (digeprek), lengkuas (digeprek), santan, gula merah, garam, dan saus kacang.
Bumbu-bumbu tadi dibacem dengan cara direbus hingga mendidih lalu dicampur dengan potongan daging sapi atau kerbau. Setelah meresap, potongan daging ditusuk dengan bambu atau kayu kecil dan dibakar di atas bara api hingga matang. Dan terakhir, sebelum disajikan ditambah dengan bumbu kacang.
Foto: https://www.inibaru.id/kulinary/mengenal-kuliner-khas-pemalang-sate-loso
Topeng Dalang Madura
Perkawinan antara seorang keluarga Mataram dan seorang keluarga Madura, yaitu Pangeran Buwono (1830-1850) dengan salah satu puteri raja Madura (Bangkalan) semakin mengangkat topeng dalang madura. Malahan, Paku Buwono VII memberi hadiah berupa seperangkat topeng lengkap dengan busana dan perlengkapannya. Pada abad ke-20, setelah kerajaan-kerajaan mulai runtuh di bumi Madura, topeng madura kembali menjadi kesenian rakyat hingga tahun 1950-an. Hal itu tercermin dari banyaknya group kesenian topeng dan pengrajin topeng di berbagai pelosok Madura. Memasuki tahun 1960-an topeng Madura mengalami kesurutan. Hal itu disebabkan para tokohnya banyak yang meninggal, sementara generasi muda belum menguasainya. Pada tahun 1970-an topeng madura kembali bangkit atas jasa dalang tua yang bernama Sabidin dari Sumenep, sehingga di daerah Sumenep banyak dijumpai kesenian ini. Di Desa Slopeng, Kalianget, Marengan, dan Pinggir Papas misalnya, banyak seniman tradisional yang masih menekuninya. Salah satu kelompok topeng dalang yang sangat tua adalah yang ada di Desa Slopeng Dasuk dengan nama “Rukun Perawas”.
Warna dalam topeng dalang erat kaitannya wataknya. Warna merah mencermin pemberani; warna kuning mencermin keluruhan budi; warna hitam mencerminkan kebijaksanaan; warna hijau mencerminkan kelembutan; dan warna kuning emas mencerminkan keagungan. Sementara, gerakan tari dalam topeng dalang meliputi gerak: halus, sedang, dan kasar. Dalam suatu pementasan, kesenian ini diawali dengan gending pembuka. Kemudian, disusul dengan tari gambuh tameng, sebuah tari yang menggambarkan keperkasaan. Tarian ini mencerminkan sebuah ungkapan “Etembang pote mata lebbi bagus pote tolang” yang artinya dari pada hidup bercermin bangkai lebih baik mati berkalang tanah. Selanjutnya, disusul dengan tari branyak rampak prapatan, yaitu tari yang menggambarkan kegesitan dan kelincahan empat satria. Lalu, disusul dengan tari klono tunjung seto, yaitu tari yang menggambarkan seorang satria utusan dewa dari Swargaloka yang diutus turun ke mayapada untuk memberi suri tauladan kepada para remaja. Sebagai puncaknya, tiba-tiba datang sumber penyakit (Raja Setan). Namun, hal tersebut dapat diatasi dengan mudah.
Kabupaten Tasikmalaya
Kabupaten Tasikmalaya merupakan satu dari delapan belas kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Barat. Secara geografis kabupaten ini sebelah utara berbatasan dengan Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis; sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia; sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Garut; dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Ciamis (jabarprov.go.id). Wilayahnya tidak hanya berada di kaki tapi juga di lereng gunung, sehingga tidak hanya berupa dataran rendah semata, tetapi juga dataran tinggi atau berbukit-bukit. Sedangkan luasnya berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Tahun 2010 tentang Batas Daerah Kabupaten Tasikmalaya adalah 270.882 km² dengan titik koordinat 7°02’29” – 7°419’08” Lintang Selatan dan 107°54’10” – 108°26’42” Bujur Timur.
Kabupaten Tasikmalaya terdiri atas 39 kecamatan yang mencakup 351 desa. Ke-39 kecamatan itu beserta luasnya adalah sebagai berikut: (1) Kecamatan Cipatujah beribukota di Cipatujah terdiri atas 15 desa seluas 246,67 km² (9,12%); (2) Kecamatan Karangnunggal beribukota di Karangnunggal terdiri atas 14 desa seluas 136,33 km² (5,04%); (3) Kecamatan Cikalong beribukota di Cikalong terdiri atas 13 desa seluas 139,66 km² (5,16%); (4) Kecamatan Pancatengah beribukota di Cibongas terdiri atas 11 desa seluas 201,85 km² (7,46%); (5) Kecamatan Cikatomas beribukota di Pakemitan terdiri atas 9 desa seluas 132,68 km² (4,90%); (6) Kecamatan Cibalong beribukota di Cibolang terdiri atas 6 desa seluas 58,58 km² (2,16%); (7) Kecamatan Parungponteng beribukota di Parungponteng terdiri atas 8 desa seluas 47,27 km² (1,75%); (8) Kecamatan Bantarkalong beribukota di Hegarwangi terdiri atas 8 desa seluas 59,83 km² (2,21%); (9) Kecamatan Bojongasih beribukota di Bojongasih terdiri atas 6 desa seluas 38,58 km² (1,43%); (10) Kecamatan Culamega beribukota di Cintabodas terdiri atas 5 desa seluas 68,32 km² (2,52%); (11) Kecamatan Bojonggambir beribukota di Mangkonjaya terdiri atas 10 desa seluas 169,29 km² (6,26%); (12) Kecamatan Sodonghilir beribukota di Sodonghilir terdiri atas 12 desa seluas 93,11 km² (3,44%); (13) Kecamatan Taraju beribukota di Taraju terdiri atas 9 desa seluas 55,85 km² (2,06%); (14) Kecamatan Salawu beribukota di Salawu terdiri atas 12 desa seluas 50,50 km² (1,87%); (15) Kecamatan Puspahiang beribukota di Puspahiang terdiri atas 8 desa seluas 34,90 km² (1,29%); (16) Kecamatan Tanjungjaya beribukota di Tanjungjaya terdiri atas 7 desa seluas 43,08 km² (1,362,%); (17) Kecamatan Sukaraja beribukota di Sukapura terdiri atas 8 desa seluas 43,08 km² (1,59%); (18) Kecamatan Salopa beribukota di Mandalahayu terdiri atas 9 desa seluas 121,76 km² (4,50%); (19) Kecamatan Jatiwaras beribukota di Jatiwaras terdiri atas 11 desa seluas 73,37 km² (2,71%), (20) Kecamatan Cineam beribukota di Cineam terdiri atas 10 desa seluas 24,61 km² (2,91%); (21) Kecamatan Karangjaya beribukota di Karangjaya terdiri atas 3 desa seluas 47,90 km² (1,77%); (22) Kecamatan Manonjaya beribukota di Manonjaya terdiri atas 12 desa seluas 39,41 km² (1,46%); (23) Kecamatan Gunungtanjung beribukota di Gunungtanjung terdiri atas 7 desa seluas 33,61 km² (1,24%); (24) Kecamatan Singaparna beribukota di Singasari terdiri atas 10 desa seluas 24,82 km² (0,92%); (25) Kecamatan Mangunreja beribukota di Mangunreja terdiri atas 6 desa seluas 29,64 km² (1,1%); (26) Kecamatan Sukarame beribukota di Sukarame terdiri atas 6 desa seluas 19,92 km² (0,74%); (27) Kecamatan Cigalontang beribukota di Jayapura terdiri atas 16 desa seluas 119,75 km² (4,43%); (28) Kecamatan Leuwisari beribukota di Arjasari terdiri atas 7 desa seluas 53,26 km² (1,97%); (29) Kecamatan Sariwangi beribukota di Jayaratu terdiri atas 8 desa seluas 49,66 km² (1,84%); (30) Kecamatan Padakembang beribukota di Cisaruni terdiri atas 5 desa seluas 37,71 km² (1,39%); (31) Kecamatan Sukaratu beribukota di Sukaratu terdiri atas 8 desa seluas 57,13 km² (2,11%); (32) Kecamatan Cisayong beribukota di Cisayong terdiri atas 13 desa seluas 59,40 km² (2,20%); (33) Kecamatan Sukahening beribukota di Calincing terdiri atas 7 desa seluas 28,42 km² (1,05%); (34) Kecamatan Rajapolah beribukota di Rajapolah terdiri atas 8 desa seluas 21,45 km² (0,79%); (35) Kecamatan Jamanis beribukota di Sindangraja terdiri atas 8 desa seluas 21,28 km² (0,79%); (36) Kecamatan Ciawi beribukota di Ciawi terdiri atas 11 desa seluas 45,32 km² (1,67%); (37) Kecamatan Kadipaten beribukota di Buniasih terdiri atas 6 desa seluas 45,79 km² (1,69%); (38) Kecamatan Sukaresik beribukota di Sukaratu terdiri atas 8 desa seluas 17,80 km² (0,66%); dan (38) Kecamatan Pagerageung beribukota di Pagerageung terdiri atas 11 desa dengan luas 66,74 km persegi (2,47%) (BPS Kabupaten Tasikmalaya, 2020).
Topografi Kabupaten Tasikmalaya bervariasi mulai dari dataran rendah hingga tinggi (perbukitan dan pegunungan) dengan ketinggian 25-880 meter dari permukaan air laut. Adapun daerah dataran rendah hingga tinggi secara berurut adalah: Cikalong, Cipatujah, Culamega, Parungponteng, Cibolang, Pancatengah, Cikatomas, Sukaraja, Bantarkalong, Karangnunggal, Bojongasih, Salopa, Manonjaya, Cineam, Karangjaya, Tanjungjaya, Gunungtanjung, Sukarame, Jatiwaras, Singaparna, Mangunreja, Leuwisari, Sukaresik, Rajapolah, Ciawi, Sukaratu, Cisayong, Jamanis, Sariwangi, Pagerageung, Kadipaten, Salawu, Cigalontang, Padakembang, Puspahiang Sukahening, Sodonghilir, Bojonggambir, dan Taraju.
Iklim yang menyelimutinya sama seperti daerah lain di Indonesia, yaitu tropis yang ditandai oleh adanya dua musim, penghujan dan kemarau. Musim penghujan biasanya dimulai pada bulan Oktober - Maret, sedangkan musim kemarau biasanya dimulai pada bulan April - September. Curah hujan rata-rata 179 milimeter per tahun. Sedangkan, temperaturnya rata-rata 20°-31° Celcius. Sesuai dengan iklimnya yang tropis maka flora yang ada di sana pada umumnya sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia, seperti: jati, kelapa, bambu, tanaman buah (seperti rambutan, manggis, duku, kopi, dan durian), padi, dan tanaman palawija (jagung, kedelai, singkong, dan mentimun). Fauna yang ada di wilayah kabupaten ini seperti yang biasa diternakan oleh masyarakat di Indonesia pada umumnya.
Pemerintahan
Pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya memiliki sejarah yang cukup panjang. Menurut jabarprov.go.id, sejak abaf VII hingga XII di wilayah yang sekatang menjadi Kabupaten Tasikmalaya telah ada sebuah bentuk pemerintahan kebataraan di sekitar Galunggung. Pucuk pemerintahannya silih berganti dipimpin oleh Batara Semplakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan terakhir Batari Hyang.
Pada masa Batari Hyang, berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi Kecamatan Leuwisari, sistem pemerintahan kebataraan menjadi kerajaan bernama Galunggung (13 Bhadrapada 1033 Saka atau 21 Agustus 1111). Setelah Batari Hyang lengser, masih ada 6 orang keturunannya yang menjadi Raja di Galunggung.
Kerajaan Galunggung kemudian digantikan oleh kerajaan baru yang berpemerintahan di Sukakerta (sekarang wilayah Dayeuh Tengah, Kecamatan Salopa) dengan rajanya bernama Sri Gading Anteg. Pemerintahan di Sukakerta selanjutnya digantikan lagi oleh pemerintahan yang berkedudukan di Sukapura. Pada masa VOC yang berkedudukan di Batavia, Sultan Agung Mataram mengangkat penerus kekuasaan Sukapura Bupati dengan gelar Wiradadaha I atas jasanya membasmi pemberontakan Dipati Ukur.
Antara tahun 18-13-1814 (masa pemerintahan RT Surialaga) ibukota kabupaten dipindahkan ke Tasikmalaya. Pada pemerinahan Wiradadaha VII (1832) ibukota dipindahkan ke Manonjaya untuk memperkuat pertahanan Belanda dalam menghadapi serangan Pangeran Diponegoro. Namun, oleh Belanda ibukota dipindahkan lagi ke Tasikmalaya dengan alasan lebih mendukung kepentingan ekonomi ketimbang Manonjaya yang kurang strategis guna dijadikan tempat pengumpulan hasil perkebunan. Dan, nama Kabupaten Sukapura pun diganti menjadi Kabupaten Tasikmalaya hingga sekarang.
Saat ini, struktur organisasi pemerintahan tertinggi di Kabupaten Tasikmalaya dipegang oleh seorang Bupati yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Jawa Barat. Bupati menjalankan pemerintahan dengan tugas-tugas meliputi bidang pemerintahan, ketentraan dan ketertiban, kesejahteraan masyarakat, sosial politik. Agama, tenaga kerja, pendidikan, kepemudaan dan olahraga, kependudukan, perekonomian, dan pembangunan fisik prasarana lingkungan, serta bidang-bidang lain yang ditetapkan oleh Gubernur Jawa Barat.
Dalam menjalankannya Bupati dibantu oleh Inspektorat Daerah (PPID) dan Sekretariat Daerah. Sekretariat Daerah terdiri atas: Bagian Pemerintahan Desa, Bagian Organisasi, Bagian Pemerintahan, Bagian Hukum, Bagian Pengadaan Barang/Jasa, Bagian Ekonomi dan Pembangunan Penduduk, Bagian Kesejahteraan Rakyat, dan Bagian Tata Usaha. Selain itu ada pula dinas-dinas yang menjalankan peran tertentu dalam menunjang roda pemerintahan daerah, di antaranya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan; Dinas Kesehatan dan Pengendalian Penduduk; Dinas Pekerjaan Umum, Tata Ruang, Perumahan, dan Permukiman; Dinas Sosial, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Dinas Perindustrian dan Perdagangan; Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga; Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan; Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah dan Tenaga Kerja; Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil; Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu; Dinas Lingkungan Hidup; Dinas Perhubungan; Dinas Kerarsipan dan Perpustakaan; dan Dinas Komunikasi dan Informatika (struktur.tasikmalayakab.go.id).
Para aparatur bekerja dalam satu kerangka visi dan misi yang sama untuk kemajuan Kabupaten Tasikmalaya. Visi tersebut adalah “Kabupaten Tasikmalaya yang Religius/Islami, Maju, dan Sejahtera Tahun 2025”. Visi itu dijadikan sebuah misi yang harus dilaksanakan atau diemban agar seluruh anggota organisasi dan pihak yang berwenang dapat mengetahui dan mengenal keberadaan serta peran Kabupaten Tasikmalaya dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Adapun misinya adalah: (a) mewujudkan masyarakat yang beriman, bertakwa, berkualitas, dan Mandiri; (b) mewujudkan perekonomian yang tangguh berbasis keunggulan agribisnis; (c) mewujudkan tata keperintahan yang baik (good governance); dan (d) mewujudkan infrastruktur wilayah yang lebih merata dengan memperhatikan aspek lingkungan yang asri dan lestari (jabarprov.go.id).
Dan, sama seperti daerah lain di Indonesia, Kabupaten Tasikmalaya juga memiliki logo sebagai bagian dari identitas wilayah. Adapun logo Kabupaten Tasikmalaya dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu: (1) Perisai bersudut lima berwarna putih menunjukkan sifat gotong royong yang melambangkan kepribadian, adat istiadat, kepercayaan dan kebudayaan daerah, sejak dulu sekarang dan kemudian; (2) gunung galunggung berwarna biru yang melambangkan ciri Tasikmalaya; (3) simbol industri melambangkan sebagian dari sumber penghidupan rakyat beserta kekayaan alam di daerah Kabupaten Tasikmalaya; (4) tiga buah sungai yang melambangkan pemberi sumber kehidupan rakyat; (5) sawah 17 petak berwarna hijau melambangkan kesuburan/kemakmuran rakyat yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945; (6) sawah berwarna kuning melambangkan sebagian penghidupan rakyat yang didapat dari kerajinan tangan; (7) bambu runcing melambangkan sejarah perjuangan rakyat daerah Tasikmalaya dalam mengusir penjajah; (8) pita kuning melambai bertuliskan “Sukapura Ngadaun Ngora” melambangkan kemajuan yang abadi; dan (9) warna putih melambangkan tekad suci, warna hitam melambangkan kekekalan yang abadi, warna kuning melambangkan keadaan gilang gemilang, warna hijau melambangkan kehidupan yang tertinggi, adil, subur makmur, dan warna biru melambangkan kesetiaan dan kejujuran (jabarprov.go.id).
Kependudukan
Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Bandung (sensus tahun 2019) penduduk Kabupaten Tasikmalaya berjumlah 1.796.496 jiwa dengan jumlah Kelapa Keluarga (KK) 619.018. Jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, maka jumlah penduduk laki-laki mencapai 913.795 jiwa dan penduduk berjenis kelamin perempuan mencapai 882.701 jiwa. Para penduduk ini tersebar di 39 kecamatan, yaitu: Cipatujah dihuni oleh 66.575 jiwa (laki-laki 33.778 jiwa dan perempuan 32.797 jiwa); Karangnunggal dihuni oleh 84.807 jiwa (laki-laki 42.965 jiwa dan perempuan 41.842 jiwa); Cikalong dihuni oleh 63.695 jiwa (laki-laki 32.099 jiwa dan perempuan31.596 jiwa); Pancatengah dihuni oleh 46.522 jiwa (laki-laki 23.656 jiwa dan perempuan 22.896 jiwa); Cikatomas dihuni oleh 49.775 jiwa (laki-laki 25.445 jiwa dan perempuan 24.330 jiwa) Cibalong dihuni oleh 33.221 jiwa (laki-laki 16.756 jiwa dan perempuan 16.465 jiwa); Parungponteng dihuni oleh 35.713 jiwa (laki-laki 18.222 jiwa dan perempuan 17.491 jiwa); Bantarkalong dihuni oleh 36.097 jiwa (laki-laki 18.479 jiwa dan perempuan 17.618 jiwa); Bojongasih dihuni oleh 20.339 jiwa (laki-laki 10.420 jiwa dan perempuan 9.919 jiwa); Culamega dihuni oleh 24.801 jiwa (laki-laki 12.735 jiwa dan perempuan 12.066 jiwa); Bojonggambir dihuni oleh 40.127 jiwa (laki-laki 20.484 jiwa dan perempuan 19.643 jiwa); Sodonghilir dihuni oleh 63.773 jiwa (laki-laki 32.691 jiwa dan perempuan 31.082 jiwa); Taraju dihuni oleh 40.024 jiwa (laki-laki 20.287 jiwa dan perempuan 19.737 jiwa); Salawu dihuni oleh 59.819 jiwa (laki-laki 30.317 jiwa dan perempuan 29.502 jiwa); Puspahiang dihuni oleh 34.298 jiwa (laki-laki 17.206 jiwa dan perempuan 17.092 jiwa); Tanjungjaya dihuni oleh 43.865 jiwa (laki-laki 22.239 jiwa dan perempuan 21.626 jiwa); Sukaraja dihuni oleh 51.534 jiwa (laki-laki 26.345 jiwa dan perempuan 25.189 jiwa); Salopa dihuni oleh 47.968 jiwa (laki-laki 24.521 jiwa dan perempuan 23.447 jiwa); Jatiwaras dihuni oleh 51.303 jiwa (laki-laki 26.376 jiwa dan perempuan 24.927 jiwa); Cineam dihuni oleh 33.831 jiwa (laki-laki 16.861 jiwa dan perempuan 16.970 jiwa); Karangjaya dihuni oleh 11.823 jiwa (laki-laki 5.958 jiwa dan perempuan 5.865 jiwa); Manonjaya dihuni oleh 62.238 jiwa (laki-laki 31.474 jiwa dan perempuan 30.764 jiwa); Gunungtanjung dihuni oleh 30.381 jiwa (laki-laki 15.685 jiwa dan perempuan 14.696 jiwa); Singaparna dihuni oleh 69.330 jiwa (laki-laki 35.000 jiwa dan perempuan 34.330 jiwa); Mangunreja dihuni oleh 39.396 jiwa (laki-laki 19.847 jiwa dan perempuan 19.549 jiwa); Sukarame dihuni oleh 40.503 jiwa (laki-laki 20.669 jiwa dan perempuan 19.834 jiwa); Cigalontang dihuni oleh 74.045 jiwa (laki-laki 38.047 jiwa dan perempuan 35.998 jiwa); Leuwisari dihuni oleh 40.548 jiwa (laki-laki 20.631 jiwa dan perempuan 19.917 jiwa); Sariwangi dihuni oleh 35.106 jiwa (laki-laki 17987 jiwa dan perempuan 17.119 jiwa); Padakembang dihuni oleh 40.327 jiwa (laki-laki 20.421 jiwa dan perempuan 19.906 jiwa); Sukaratu dihuni oleh 50.082 jiwa (laki-laki 25.573 jiwa dan perempuan 24.509 jiwa); Cisayong dihuni oleh 59.278 jiwa (laki-laki 30.170 jiwa dan perempuan 29.108 jiwa); Sukahening dihuni oleh 31.486 jiwa (laki-laki 15.875 jiwa dan perempuan 15.611 jiwa); Rajapolah dihuni oleh 48.980 jiwa (laki-laki 25.008 jiwa dan perempuan 23.972 jiwa); Jamanid dihuni oleh 37.110 jiwa (laki-laki 18.956 jiwa dan perempuan 18.154 jiwa); Ciawi dihuni oleh 64.019 jiwa (laki-laki 32.446 jiwa dan perempuan 31.573 jiwa); Kadipaten dihuni oleh 37.044 jiwa (laki-laki 19.222 jiwa dan perempuan 17.822 jiwa); Pagerageung dihuni oleh 57.855 jiwa (laki-laki 29.386 jiwa dan perempuan 28.469 jiwa); serta Kecamatan Sukaresik dihuni oleh 38.828 jiwa yang terdiri atas laki-laki 19.558 jiwa dan perempuan 19.270 jiwa (BPS Kabupaten Tasikmalaya, 2020).
Jika dilihat berdasarkan golongan usia, penduduk yang berusia 0-4 tahun ada 161.378 jiwa (laki-laki 84.385 jiwa dan perempuan 76.993 jiwa), kemudian yang berusia 5-9 tahun ada 167.186 jiwa (laki-laki 87.637 jiwa dan perempuan 79.549 jiwa), berusia 10-14 tahun ada 174.972 jiwa (laki-laki 91.768 jiwa dan perempuan 83.204 jiwa), berusia 15-19 tahun ada 151.043 jiwa (laki-laki 78.374 jiwa dan perempuan 72.669 jiwa), berusia 20-24 tahun ada 119.555 jiwa (laki-laki 58.845 jiwa dan perempuan 60.710 jiwa), berusia 25-29 tahun ada 120.877 jiwa (laki-laki 59.376 jiwa dan perempuan 61.502 jiwa), berusia 30-34 tahun ada 122.918 jiwa (laki-laki 60.618 jiwa dan perempuan 62.300 jiwa), berusia 35-39 tahun ada 138.390 jiwa (laki-laki 68.216 jiwa dan perempuan 70.174 jiwa), berusia 40-44 tahun ada 135.211 jiwa (laki-laki 68.975 jiwa dan perempuan 66.236 jiwa), berusia 45-49 tahun ada 126.440 jiwa (laki-laki 65.762 jiwa dan perempuan 60.678 jiwa), berusia 50-54 tahun ada 101.537 jiwa (laki-laki 52.135 jiwa dan perempuan 49.402 jiwa), berusia 55-59 tahun ada 80.693 jiwa (laki-laki 41.314 jiwa dan perempuan 39.378 jiwa), dan berusia 60 tahun ke atas ada 196.298 (laki-laki 96.392 jiwa dan perempuan 99.906 jiwa) dari jumlah total penduduk. Ini menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten Tasikmalaya sebagian besar berusia produktif.
Pendidikan dan Kesehatan
Sebagai sebuah daerah yang relatif dekat dengan ibu kota provinsi, Kabupaten Tasikmalaya tentu saja memiliki sarana pendidikan dan kesehatan yang memadai bagi masyarakatnya. Adapun sarana pendidikan yang terdapat di kabupaten ini adalah: 330 buah Taman Kanak-kanan (TK) dengan jumlah siswa sebanyak 12.364 orang dan 870 tenaga pengajar; 558 buah Raudatul Atfah (RA) dengan jumlah siswa sebanyak 15.902 orang dan 1.151 orang tenaga pengajar; 1.087 buah Sekolah Dasar (SD) dengan jumlah siswa sebanyak 161.286 orang dan 8.856 orang tenaga pengajar; 223 buah Madrasah Ibtidaiyah dengan jumlah siswa sebanyak 28.351 orang dan 1.663 orang tenaga pengajar; 268 buah Sekolah Menengah Pertama dengan jumlah siswa 63.928 orang dan 4.005 orang tenaga pengajar; 203 buah Madrasah Tsanawiyah dengan jumlah siswa sebanyak 36.505 orang dan 2.356 orang tenaga pengajar; 68 buah Sekolah Menangah Atas dengan jumlah siswa sebanyak 20.727 orang dan 1.295 orang tenaga pengajar; 139 buah Sekolah Menangah Kejuruan dengan jumlah siswa sebanyak 44.289 orang dan 2.656 orang tenaga pengajar; 96 buah Madrasah Aliah dengan jumlah siswa 16.838 orang dan 1.262 orang tenaga pengajar; dan 6 buah perguruan tinggi.
Sementara untuk sarana kesehatan terdapat 3 buah rumah sakit, 1 buah rumah sakit bersalin, 48 buah poliklinik, 41 buah puskesmas, 151 buah puskesmas pembantu, dan 64 buah apotek (BPS Kabupaten Tasikmalaya, 2020).
Mata Pencaharian
Jenis-jenis mata pencaharian yang digeluti oleh masyarakat Kabupaten Tasikmalaya sangat beragam, di antaranya: pegawai negeri di berbagai instansi pemerintah, seperti: kabupaten, kelurahan, kecamatan, pemerintah daerah, dan lain sebagainya (12.146 orang). Kemudian, ada juga yang berusaha sendiri/own account worker (169.542 orang), berusaha dibantu buruh tidak tetap/employer assisted by temporary worker (163.120 orang), berusaha dibantu buruh tetap/employer assisted permanent worker (46.096 orang), buruh/karyawan (33.626 orang), pekerja bebas di pertanian/agriculture free time worker (79.859 orang), pekerja bebas non pertanian/non agriculture free time worker (90.028 orang), pekerja tak dibayar/unpaid worker (95.230 orang), buruh/karyawan/pegawai/employee (182.006 orang), dan lain sebagainya.
Agama dan Kepercayaan
Agama yang dianut oleh warga masyarakat Kabupaten Tasikmalaya sangat beragam. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Tasikmalaya tahun 2020, Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar penduduknya (1.753.535 orang). Sedangkan sisanya adalah penganut Kristen Protestan (447 orang), Katolik (92 orang), Hindu (5 orang), dan agama lainnya sejumlah 49 orang. (Gufron)
Sumber:
“Kabupaten Tasikmalaya”, diakses dari https://jabarprov.go.id/index.php/pages/ id/1046, Tanggal 10 November 2020.
“Struktur Kabupaten Tasikmalaya”, diakses dari https://struktur.tasikmalayakab. go.id/, tanggal 10 November 2020.
BPS Kabupaten Tasikmalaya. 2020. Kabupaten Tasikmalaya Dalam Angka 2020. Tasikmalaya, Badan Pusat Statistik Kabupaten Tasikmalaya.
Dupplang
Tarian dupplang dibawakan oleh seorang penari perempuan. Busana yang dikenakan bergantung di mana pertunjukkan itu digelar. Jika di lingkungan keraton, biasanya berbusana adat legha. Sedangkan, jika di kalangan masyarakat biasa, busana yang digunakan adalah kain panjang dan kebaya. Adapun durasi pertunjukkannya sekitar 1-2 jam. Tarian dupplang menggambarkan proses bercocok tanak sejenis umbi-umbian yang dilakukan oleh seorang perempuan, mulai dari penanaman, pemupukan, pemanenan, penjemuran, sampai pemasakan (memasaknya). Tarian ini sering dipentaskan untuk menyambut tamu, memeriahkan acara perkawinan, selamatan desa atau sedekah laut. Pementasannya tidak memerlukan panggung, tetapi halaman yang luas. Gerakan-gerakannya cukup rumit dan membutuhkan stamina yang tinggi. Oleh karena tingkat kesulitannya relatif tinggi, maka banyak penari yang segan mempelajarinya, sehingga tarian dupplang semakin dilupakan orang dan akhirnya tidak dikenal lagi oleh generasi berikutnya.
Upacara Ngekak Sangger di Desa Legung, Sumenep
Menjelang hari perkawinan ada upacara mapar gigi, yaitu meratakan gigi agar tampak indah. Calon pengantin perempuan dipingit, tidak boleh keluar dari pekarangan rumah. Bahkan, dijaga agar tidak terkena serampat (kemasukan roh halus). Sehari menjelang upacara perkawinan, seorang wanita yang dituakan, dengan pakaian yang serba tertutup, membawa kendi berisi air serta damar kambheng (lampu minyak) ke rumah mempelai pengantin perempuan. Di sepanjang perjalan dia tidak boleh membalas teguran orang (membisu) sambil menuangkan air dalam kendi setetes demi setetes. Sedangkan, damar kambheng diletakkan di kamar mempelai perempuan dengan maksud agar menjadi pembuka jalan demi keselamatan kedua mempelai.
Pagi harinya rombongan pengantin pria yang diiringi kesenian hadrah dan saronen menuju rumah pengantin wanita untuk melaksanakan upacara ngekak sanger. Mereka membawa berbagai macam bingkisan yang berupa: (1) Sepasang ayam yang terbuat dari kayu sebagai lambang keuletan (kegigihan); (2) Bendera uang yang ditancapkan pada kue sebagai lambang kesejahteraan; (3) Bunga sekar mayang sebagai lambang kerejekian yang melimpah; (4) Sirih dan pinang beserta kelengkapannya; (5) Pangonong sebagai lambang keulatan dan kemakmuran; (6) Judang yang berisi keperluan rumah tangga; dan (7) Aneka macam kue.
Pengantin beserta rombongannya disambut oleh wakil keluarga pihak perempuan. Di sini terjadi dialog dalam bentuk parsemon (kiasan) atau pantun. Intinya adalah bahwa pihak pengantin pria datang dan pihak pengantin perempuan mempersilahkan masuk. Sementara, di depan serambi ada satu buah sangger yang untaiannya lepas satu. Tugas pengantin pria adalah merangkainya (mengikat kembali) sebagai simbol bahwa perkawinan bukan hanya pertautan antarkedua mempelai, tetapi sekaligus masuknya pengantin pria dalam keluarga besar sang isteri. Makna lainnya adalah sebagai pembelajaran bagi pengantin pria agar selalu arif, tertib, dan bersopan-santun sebagaimana halnya rangkaian sangger.
Acara selanjutnya adalah ngarak pengantin perempuan dengan tandu oleh beberapa orang, sementara pengantin pria naik kuda serek. Mereka melewati pusat-pusat keramaian seperti: pasar, persimpangan jalan, alun-alun, masjid, kantor kecamatan, dan seputaran desa. Ngarak tersebut diiringi oleh kesenian saronen. Selesai ngarak acara dilanjutkan dengan sabung (mempertemukan kedua mempelai). Dalam hal ini pengantin perempuan didudukkan di atas talam kuningan berisi beras dilapisi kain kuning yang disebut lekser talam. Kemudian, dilanjutkan dengan nyacap, yaitu para sesepuh, kerabat meneteskan kuntum melati yang direndam dalam air. Sedangkan, sisanya diminum oleh kedua mempelai dengan harapan dikaruniai rejeki serta keturunan yang saleh/sholeha. Terakhir, kedua mempelai duduk bersanding di pelaminan disertai dengan hiburan topeng dalang atau mocopat.
Jajangkungan
Pemain
Permainan jajangkungan dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan dari kanak-kanak hingga orang dewasa. Jumlah pemainnya bergantung dari jumlah bambu yang tersedia. Seorang pemain menggunakan dua bilah bambu sebagai pengganti kaki ketika berjalan.
Tempat Permainan
Jajangkungan tidak membutuhkan tempat (lapangan) khusus. Ia dapat dimainkan di mana saja, asalkan di tanah. Jadi, dapat di tanah lapang, halaman rumah, atau di jalanan sepi. Bentuknya memanjang karena selama permainan berlangsung akan digunakan sebagai arena berlari.
Peralatan Permainan
Peralatan yang digunakan dalam permainan adalah sepasang bambu yang dibuat sedemikian rupa agar dapat dinaiki. Adapun bambu yang biasa dipakai berjenis tali, hejo, atau hideung. Pemilihan ketiga jenis bambu ini sebagai bahan baku karena dianggap cepat kering, tidak mudah retak, dan tidak merekah ketika disambungkan.
Setelah bambu dipilih dan dikeringkan, tahap selanjutnya adalah memotongnya menjadi dua bagian masing-masing sepanjang 2,5-3 meter atau lebih dengan diameter seukuran pegangan tangan. Terakhir, pada bagian bawah bambu (sekitar 30-60 centimeter dari pangkal) dilubangi untuk memasang ruas bambu lain sebagai pijakan kaki. Panjang bambu pijakan disesuaikan dengan ukuran kaki penggunanya.
Aturan Permainan
Ada beberapa macam aturan dalam jajangkungan, bergantung dari kesepakatan para pemainnya. Aturan yang paling umum adalah adu kecepatan dari titik A munuju titik B. Pemain yang pertama mencapai titik B (garis finish) dinyatakan sebagai pemenang. Aturan lainnya adalah ketahanan di atas jajangkungan dengan saling adu kekuatan. Pemain yang dapat menjatuhkan lawannya dinyatakan sebagai pemenang.
Jalannya Permainan
Apabila jajangkungan bersifat adu kecepatan, maka para pemain akan berdiri di garis start sambil memegang bambu. Setelah diberi aba-aba barulah mereka menaiki bambu dan berlari secepatnya menuju garis finish. Pemenangnya adalah pemain yang pertama menyentuh garis finish. Sedangkan apabila bersifat adu ketangkasan, pemain akan saling menjatuhkan dengan mengadukan bambu yang dinaiki hingga salah seorang terjatuh. Pemain yang tetap berdiri di atas bambu dianggap sebagai pemenang. Begitu seterusnya hingga seluruhnya mendapat giliran bermain. Permainan akan berakhir bila mereka lelah atau hari telah petang.
Nilai Budaya
Permainan jajangkungan jika dicermati secara mendalam mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, keberanian, kerja sama, persaingan, kecermatan, ketekunan, ketelitian, ketertiban, dan sportivitas.
Nilai kerja keras tercermin dalam usaha seseorang agar dapat berdiri seimbang di atas dua bilah bambu. Tanpa kerja keras dalam berlatih, seseorang tidak akan mungkin berdiri di atas bambu sambil menunjukkan kehebatan berlari tanpa terjatuh.
Nilai keberanian tercermin dari para pemain yang harus memiliki keberanian berdiri dan berjalan gunakan dua bilah gambu. Keberanian sangat diperlukan sebab tidak mustahil seseorang akan terjatuh ketika sedang bermain jajangkungan. Keberanian juga diperlukan ketika seseorang ingin tampil dengan jajangkungan yang lebih tinggi (di atas rata-rata).
Nilai kerja sama tercermin dalam proses permainan itu sendiri. Walau hanya sekadar permainan, jajangkungan adalah suatu kegiatan yang melibatkan berbagai pihak, seperti pemain, wasit, dan penonton. Pihak-pihak itu satu dengan lainnya saling bekerja sama sesuai dengan kedudukan dan peranan masing-masing agar permainan terselenggara dengan baik.
Nilai persaingan tercermin dalam arena jajangkungan. Para pemain berusaha sedemikian rupa agar dapat mendahului lawan mencapai garis finish (bila adu kecepatan) atau berusaha sekuat mungkin menendang jajangkungan lawan agar terjatuh (bila adu kekuatan). Atau dengan kata lain, setiap pemain akan berusaha saling mengalahkan dalam persaingan yang sehat.
Nilai ketertiban juga tercermin dalam proses jajangkungan itu sendiri. Olahraga atau permainan apa saja, termasuk jajangkungan, perlu sebuah ketertiban. Ketertiban tidak hanya ditunjukkan oleh para peserta yang dengan sabar menunggu giliran, tetapi juga penonton yang mematuhi peraturan-peraturan sehingga tidak mengganggu jalannya permainan.
Nilai ketekunan dan ketelitian tercermin dalam proses pembuatan jajangkungan. Untuk membuat alat permainan ini diperlukan ketelitian dalam hal pemilihan serta aturan pemotongan bambu. Sedangkan ketekunan tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan waktu. Apabila pembuat tidak tekun, niscaya jajangkungan yang dibuat tidak sesuai dengan yang diharapkan
Nilai kecermatan tercermin dari perlunya perhitungan yang pas agar berlari dengan cepat atau menendang jajangkungan lawan agar terjatuh tanpa kehilangan keseimbangan sendiri. Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada. (Gufron)
Foto: https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2015/Keseimbangan-Hidup-dalam-Permainan-Egrang/
Ali Agrem
Ali agrem berbahan dasar tepung beras yang dicampur dengan parutan kelapa, gula merah, gula pasir, garam, dan air. Adapun proses pembuatannya diawali dengan menyangrai kelapa parut hingga berwarna kecoklatan. Selanjutnya, campur kelapa sangrai tadi bersama tepung beras, tepung ketan, dan garam dalam air mendidih lalu aduk hingga merata. Dan, setelah ulen adonan dibentuk menyerupai donat.
Bila telah matang (berwarna kecoklatan), langkah terakhir adalah mencelupkannya di lelehan gula (merah dan pasir) dan siap sajikan. Dalam setiap kue ali agrem memiliki kandungan kalori, protein, karbohidrat, lemak, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B1, dan vitamin C.
Upacara Adat Nyadar di Desa Kebundadap Barat, Madura
Pelaksanaan nyadar didasarkan pada perhitungan bergesernya matahari dari equator menuju garis balik utara (23,5° Lintang Utara) antara tanggal 21 Maret dan 21 Juni. Pada posisi itu bintang Karteka (Kartika) dan bintang Nanggele (Bajak) muncul dari arah timur sebagai tanda musim kemarau telah tiba. Hari yang ditetapkan untuk pelaksanaan upacara adalah Jumat (hari pertama) dan Sabtu (hari kedua). Penentuan tanggal pelaksanaan ditetapkan oleh penghulu yang melaporkan kepada ketua adat dan diputuskan (disyahkan) melalui musyawarah. Hasilnya tidak diumumkan secara terbuka, melainkan disebarkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Sebelum upacara dilaksanakan, sebagai persiapan, ada kegiatan yang disebut korabhan, yaitu pengecatan kompleks pemakaman. Kegiatan ini dilakukan oleh empat kelompok yang terdiri dari keturunan Anggosuto, Syeh Kuasa, Embah Dukun, dan Embah Bangsa. Upacara nyadar itu sendiri dipimpin oleh empat orang berdasarkan asal-usul leluhurnya. Mereka memimpin bersama-sama. Tiap keputusan merupakan hasil keputusan musyawarah dengan tokoh lainnya. Para pemimpin itu dibantu oleh seorang penghulu yang dilantik pada saat pelaksanaan upacara nyadar.
Upacara nyadar di Desa Kebundadap Barat, Kecamatan Saronggi merupakan upacara rutin yang dilaksanakan tiga kali dalam satu tahun, yaitu bulan: Juli (Nyadar Pertama), Agustus (Nyadar Kedua), dan September (Nyadar Ketiga). Pelaksanaan berbagai nyadar itu adalah sebagai berikut.
Nyadar pertama pada dasarnya adalah ziarah (nyekar). Nyadar ini dilakukan pada hari Jumat. Sebagai tanda bahwa seseorang telah mengikuti nyadar pertama adalah bahwa yang bersangkutan ada tandanya, yaitu ada bedak cair yang menempel di bagian belakang telinga atau dahinya. Penanda tersebut diyakini dapat bebas dari gangguan makhluk halus. Selanjutnya, penaruhan tumpeng dilakukan pada hari kedua (Sabtu). Tumpeng tersebut ditaruh di bawah pohon asem yang ada di sekitar pemakaman. Kegiatan ini disebut sebagai upacara knoman. Kemudian, salah seorang penghulu menghitung panjheng dan membaca mantra. Dengan cara seperti itu, konon Sang Penghulu dapat mengetahui siapa-siapa yang tidak hadir. Bagi yang tidak hadir diwajibkan mengadakan upacara nyadar di rumahnya.
Nyadar kedua dilaksanakan sebulan setelah nyadar pertama. Dalam nyadar kedua ini senjata milik Anggosuto yang berupa keris dan kodik perangshang dikeluarkan dari pasarean. Kedua senjata tersebut dibawa ke pintu gerbang kompleks pemakaman, kemudian diberi doa. Setelah itu, dikembalikan ke tempat semula.
Nyadar ketiga pada dasarnya adalah pembacaan Layang Jati Suara dan Layang Sempurnaning Sembah secara serentak di pasarean ke empat tokoh yang dihormati. Kedua layang tersebut berisi pengetahuan tentang sikap dan perilaku seorang hamba Allah.
Nilai Budaya
Apaila dicermati, ada beberapa nilai budaya yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam hidup bersama di masyarakat. adapun nilai budaya tersebut diantaranya adalah. kebersamaan, gotong-royong, penghormatan. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya masyarakat dalam satu tempat untuk mengadakan upacara. nilai gotong-royong tercermin dari semua pihak yang saling bahu membahu agar pelaksanaan upacara berjalan lancar. Dalam hal ini ada yang menjadi pemimpin upacara, peserta, dan lain sebagainya. Sementara nilai penghormatan tercermin dari upacara itu sendiri yang ditujukan untuk mengenang jasa Pangeran Anggosuto bagi masyarakat Desa Kebundadap.
Sintung
Peralatan musik kesenian Sintung terdiri atas: jodor terbuat dari batang pohon besar, gendang, dan tong-tong yang terbuat dari buah siwalan. Setiap pementasan jumlah penarinya minimal 25 orang yang kesemuanya laki-laki. Mereka diiringi 5 pemusik yang terdiri atas: seorang penabuh jidor, dua orang penabuh gendang, dan dua orang penabuh rebana. Adapun tata rias serta aksesoris yang digunakan dalam setiap penampilan terdiri atas: kain sarung, kemeja taqwa, dan ikat kepala. Ragam gerak tariannya ditujukan kepada ke Sang Pencipta. Kesenian ini dipentaskan dalam kegiatan upacara di lingkaran hidup individu (perkawinan dan khitanan) dan hari-hari besar Agama Islam.
Ghul-ghul
Di masa lalu hampir setiap desa yang ada di Kecamatan Lenteng Timur ada organisasi yang berkenaan dengan musik ghul-ghul. Akan tetapi, dewasa ini tidak tampak lagi, kecuali di Desa Lenteng Timur. Di desa ini para pencintanya membentuk organisasi yang bernama “Perkumpulan Dara Gettak”. Setiap hari Sabtu mereka mengadakan pertemuan dan pertunjukkan dengan lokasi yang berbeda. Pertemuan biasanya dimulai pukul 14.00 WIB sampai menjelang senja. Sembari menunggu anggota yang belum datang, mereka memainkan instrumen ghul-ghul yang berirama sarka (mars). Setelah seluruh anggota datang, irama musik diganti dengan irama yang lebih lembut. Mereka membawa burung merpati jenis jambul ysng dimasukkan dalam sangkar tertutup. Ketika hari mulai senja, maka acara pelepasan merpati dilakukan. Masing-masing anggota, dengan merpati yang ada dalam sangkarnya, bersiap-siap dalam posisi duduk (jongkok). Begitu ada aba-aba, para anggota membuka pintu sangkar, sehingga merpati berhamburan menghiasi angkasa, kemudian kembali sarang masing-masing Jika pada saat yang diitentukan ada merpati yang belum pulang, maka alat musik tul-tul diperdengarkan (ditabuh). Dalam tempo beberapa menit biasanya merpati tersebut akan datang (pulang). Dan, dengan masuknya semua merpati ke sangkar masing-masing, maka berakhirlah permainan ini.
Pangkak
Prosesi upacara pangkak diawali dengan pembagian peserta upacara menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok membentuk formasi lingkaran dan berjalan searah dengan jarum jam. Selanjutnya, pawang pangkak memimpin doa bersama sebagai suatu ungkapan rasa syukur dan permohonan agar panen mendatang hasilnya memuaskan. Acara selanjutnya adalah atraksi pangkak. Dalam acara ini sesepuh yang ditunjuk sebagai ketua mendendangkan lagu yang bersyair daerah Kangean dengan iringan gendang dumek. Kemudian, disusul dengan yang lain dalam lagu dan irama yang berbeda, namun tetap menciptakan irama yang harmonis. Pembawa syair dengan pakian yang berbeda tampil ke galanggang. Peserta yang lain menyusul dan menari sambil mengelilingi pembawa syair. Sementara, di sisi lain para muda-mudi saling mencari perhatian untuk mendapatkan jodoh. Bila ada yang cocok, yang bersangkutan akan dilempari ketan. Jika gayung bersambut, maka akan terjadi saling-lempar ketan. Upacara pangkak akan diakhiri dengan sebuah kirab menuju lumbung desa. Mereka menyumbang hasil usaha taninya sebagai wujud kepedulian terhadap masyarakat desa yang tidak mampu.
Mamaca
Mamaca biasanya diselenggarakan para acara arisan. Acara ini biasanya dimulai pada pukul 21.00-23.00 WIB. Selain pada acara arisan, mamaca juga dipentaskan dalam berbagai kesempatan, seperti pada upacara rokat bhuju (makam keramat) atau di rumah pribadi dalam rangka upacara di lingkaran hidup individu (sunat, perkawinan, dan nazar). Mengingat teks yang harus dibaca biasanya utuh (seluruhnya), maka waktu yang dibutuhkan relatif lama ketimbang pementasan mamaca dalam acara arisan (pukul 22.00-04.00 WIB).
Mamaca menggunakan buku berbahasa Madura dan Jawa. Sedangkan, huruf yang digunakan adalah huruf Jawa dan atau Arab. Teksnya sendiri menggunakan bahasa Jawa-Kawi dengan aksara Arab. Beberapa tembang di tulis dalam bahasa Madura yang berasal dari abad ke-20. Namun, tembang-tembang yang populer diambil dari kesusasteraan Jawa. Tembang-tembang berbahasa Jawa tidak hanya terdapat di kalangan luar keraton (di pedasaan), tetapi juga di kalangan bangsawan. Dalam pementasan sebuah mamaca ada dua atau tiga repertoar, yaitu naratif (cerita), prosodis (tembang), dan musikal (gendhing).
Saronen
Sebagai sebuah seni pertunjukan, saronen dapat dipergelarkan pada acara kerapan sapi, dan juga acara-acara yang berkaitan dengan ritual keluarga. Apabila dipergelarkan dalam kerapan sapi, para pemain berjalan mengikuti iring-iringan sapi (menyerupai arak-arakan). Akan tetapi, dalam ritual kekuarga, musiknya tidak lagi berfungsi sebagai pengiring arak-arakan. Peningkatan tempo dilakukan secara bertahap. Mula-mula untuk semua alat musik. Lalu, jika diperlukan, penutup dilakukan dalam tempo yang tinggi (cepat). Gung, kempul, dan kennong raja juga temponya dipercepat.
Tradisi Lisan Hahiwang Pada Perempuan Di Pesisir Barat Lampung
Oleh Ali Gufron
Abstrak
Artikel ini bertujuan
menguraikan bagaimana tradisi hahiwang
berkembang pada masyarakat 16 marga di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, yang
dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama membahas hahiwang sebagai salah satu bentuk tradisi lisan. Bagian kedua
membahas sistem kekerabatan yang bersifat patrilineal dan konsep patriarki pada
masyarakat Pesisir Barat.
Bagian ketiga membahas tentang bentuk dan struktur hahiwang.
Dan, bagian terakhir membahas hahiwang
dan dominasi laki-laki. Metode penelitian yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif. Adapun teknik untuk menjaring data dan informasi adalah
wawancara dan observasi. Hasilnya, menunjukkan bahwa hahiwang lahir akibat dominasi patriarki yang mensubordinasikan
perempuan Lampung Saibatin dalam
bentuk aturan adat. Hahiwang
merupakan ungkapan pengalaman dan perasaan jiwa perempuan Lampung Saibatin atas ketidakberdayaannya dalam
menghadapi dominasi laki-laki. Hahiwang
tidak bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan patriarki, melainkan hanya
sebagai ungkapan atas ketertindasan perempuan dalam bentuk ratapan yang dilantunkan.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, hahiwang
dieksploitasi kaum patriaki menjadi
sarana siar agama, pelengkap begawi
adat, dan bahkan penarik simpatisan dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah.
Kata kunci: hahiwang, perempuan, tradisi
lisan, sistem kekerabatan, patriarki.
Abstract
This article aims to describe
how the hahiwang tradition which develops in a community of 16 clan in West
Coast District, Lampung, which is divided into four parts. The first part
discusses hahiwang as one form of oral tradition. The second section discusses
the patrilineal kinship system and the patriarchal concept of the West Coast
community. The third section deals with the shape and structure of hahiwang.
And, last part discusses hahiwang and male domination. The research method used
is descriptive qualitative. The techniques getting the data and information are
used interviews and observation. The result shows that hahiwang were born due
to patriarchal dominance that subordinating Lampung Saibatin women in the form
of custom rules. Hahiwang is an expression of experience and feelings of the
female soul of Lampung Saibatin for his powerlessness in the face of male
domination. Hahiwang does not aim to overthrow patriarchal rule, but only as an
expression of women's oppression in the form of laments sung. However, in later
developments, hahiwang exploited the patriarchs to be a means of religious
broadcasting, supplements of traditional begawi, and even the pullers of
sympathizers in the General Election of Regional Head.
Keywords: Hahiwang,
Womens, oral tradition, kinship system, patriarchy.
A.
PENDAHULUAN
Jauh sebelum manusia mengenal tulisan,
proses pewarisan kebudayaan dilakukan dengan cara dituturkan dari satu generasi
kepada generasi berikutnya. Cara
penyampaiannya menurut Irwanto (2012:126), dapat melalui cerita rakyat
(dongeng, legenda, mitologi), nyanyian-nyanyian, sistem kognitif, adat
istiadat, sarana ekspresi, sistem religi dan kepercayaan, kearifan lokal atau
bentuk lainnya. Proses penyampaian secara lisan inilah yang kemudian disebut
sebagai tradisi lisan.
Tradisi lisan dapat diartikan sebagai
segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara atau sistem
wacana yang bukan beraksara (Pudentia, 1998:vii). Kandungan wacana tersebut menurut Sedyawati
(1996:5-6), sangat bervariasi serta mempunyai cakupan luas mulai dari uraian
genealogis, sistem pengetahuan, ungkapan seremonial ritual, hingga seni tutur
atau sastra lisan. Oleh Danandjaja (1998:54), sastra lisan atau sastra rakyat (folk literature) dianggap sinonim dengan
folklor lisan karena merupakan bagian kebudayaan yang tersebar dan diwariskan
turun-temurun baik yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat. Sebagai bagian dari kebudayaan, sastra lisan tidak lepas dari
pengaruh nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Ia memberikan
ciri khas daerahnya sendiri yang menganut nilai-nilai tertentu yang mengikat
masyarakat agar tetap utuh mempertahankan tradisinya.
Di daerah Lampung, tempatnya di
Kabupaten Pesisir Barat terdapat sejenis seni tutur yang disebut sebagai hahiwang. Hahiwang merupakan satu dari beberapa ragam karya sastra orang
Lampung. Sanusi (2001:7) membagi karya sastra lisan etnis Lampung menjadi 5
(lima) macam, yaitu: Peribahasa (sesikun/sekiman); (2) teka-teki (seganing/teteduhan); (3) mantera (memmang, asihan, pebukkem/pebukkom, pengheppek/pengheppok, balung, jappei/ jappi); (4) cerita
rakyat (warahan); dan (5) puisi (paradinei/paghadini, papaccur/ papaccogh/wawancan, pattun/adi-adi, bebandung, ringget/pisaan/highing-highing/wayak/ngehahaddo, hahiwang).
Sebagai bagian dari sastra lisan
Lampung, hahiwang berupa ungkapan
pengalaman dan perasaan jiwa atau tanggapan perempuan Lampung atas
lingkungannya (dalam arti luas) yang diwujudkan dalam dunia fiksi melalui media
bahasanya (bahasa Lampung) dalam bentuk tuturan. Hahiwang sendiri berasal dari kata dasar hiwang yang berarti menangis, mengisak, meratap atau penyesalan.
Awalan /ha/ di depan kata /hiwang/ menunjukkan arti sangat yang memiliki makna
“hiperbolisme”; yakni sedih yang amat sangat, kesedihan mendalam. Arti tersebut
tergambarkan pada seni tutur hahiwang
yang menyuarakan isi hati dengan lantunan suara yang menyayat.
Hahiwang berkembang pada
masyarakat adat Saibatin/Peminggir, khususnya 16 Marga Pesisir
Krui, Kabupaten Pesisir Barat. Bahasa yang digunakan dalam ber-hahiwang adalah bahasa Lampung subdialek
Belalau atau lebih dikenal dengan dialek Api/"A" (Hadikusuma, 1996).
Subdialek ini juga dipertuturkan oleh ulun Lampung Saibatin/Peminggir yang
berdomisili di Melinting-Meranggai, Pesisir Rajabasa, Pesisir Teluk, Pesisir
Semaka, Kedondong, Belalau, Way Tenong, Sumber Jaya, Ranau, Komering, Kayu
Agung serta ulun Lampung Pepadun yang
berdomisili di Way Kanan, Sungkay Utara, Natar dan Pubian
(khufronimi9.wordpress.com).
Sejak kapan hahiwang muncul sudah tidak diketahui lagi. Sebab, apabila mengacu
pada definisi folklor lisan seperti yang dikemukakan Danandjaja di atas, maka
seni tutur diwariskan secara oral untuk dijadikan sebagai milik komunal. Jadi,
sudah tidak mungkin lagi untuk menelusuri kapan serta siapa yang pertama kali
menciptakannya. Satu hal yang menarik, tradisi ini masih tetap dilantunkan oleh
sebagian orang, khususnya kaum perempuan Pesisir Krui. Oleh karena itu,
penelitian tentang hahiwang perlu
dilakukan dengan masalah: Bagaimana bentuk dan struktur hahiwang serta apa fungsi bagi masyarakat pendukungnya. Adapun
tujuannya adalah untuk menggambarkan bentuk atau strukur hahiwang serta mengetahui fungsi bagi masyarakat khususnya kaum
perempuan di 16 marga Pesisir Krui. Materi yang akan dibahas meliputi: struktur
sosial masyarakat Pesisir Krui, bentuk dan struktur hahiwang, sistem kekerabatan masyarakat Pesisir Krui, dan
aturan-aturan dalam sistem kekerabatan yang mengikat kaum perempuan berdasarkan
prinsip patriarki.
Penelitian
tentang hahiwang yang ada di
Kebupaten Pesisir Barat masih belum banyak dilakukan orang. Dari penelusuran
literatur hanya ada beberapa tulisan yang relatif lengkap membahas tentang hahiwang.
Salah satunya adalah tulisan Fauzi Fattah pada harian Lampung Post terbitan 20
Juli 2013 dengan judul "Menyingkap Makna Filosofis Hahiwang". Dalam
tulisannya Fattah membahas tentang makna filosofis hahiwang berjudul Janji Sebudi yang berkisah tentang kekecewaan
seorang bujang karena sang kekasih menikah dengan orang lain. Menurut Fattah, walau
berisi penderitaan seseorang "Janji Sebudi" juga mengandung makna
filosofis yang dapat menggambarkan kehidupan orang Lampung, yaitu: agamis,
patuh pada pimpinan adat, rendah hati, sabar, saling menghormati, dan kesederhanaan.
Selain Fattah,
ada pula penelitian dari Kurnia (2010) yang berjudul "Fungsi Hahiwang pada
Ulun Saibatin Krui Kecamatan Pesisir Tengah Lampung Barat". Dalam
penelitiannya Kurnia mendefinisikan hahiwang
yang diperoleh dari sastrawan Mamak Lawok sebagai puisi berbentuk cerita yang
dibagi menjadi dua bagian, yaitu hahiwang
agama dan adat. Hahiwang agama berisi
syariat dan ajaran-ajaran Islam yang umumnya disenandungkan saat memperingati
hari-hari besar agama Islam, sedangkan hahiwang
adat berisi ketentuan adat tentang silsilah, perkawinan, dan lain sebagainya
yang disenandungkan pada acara begawi
adat. Berdasarkan kedua bentuk tersebut Kurnia menyimpulkan bahwa fungsi hahiwang adalah sebagai saran dakwah
keagamaan serta pengingat orang Lampung akan adat istiadatnya. Seiring
perkembangan zaman, fungsi ini telah bergeser menjadi alat bagi sebagian orang
untuk mendapatkan perhatian publik.
Penelitian-penelitian
tersebut menunjukkan bahwa aspek sistem kekerabatan yang bersifat patrilineal
tidak menjadi sesuatu yang ditekankan oleh para peneliti. Fauziah Fattah lebih
menekankan pada makna filosofis hahiwang
yang bersumber dari jati diri orang Lampung. Penekanan Kurnia lebih pada fungsi
hahiwang sebagai sarana berdakwah dan
pengingat orang Lampung akan adat istiadatnya. Sedangkan penelitian ini lebih
menekankan pada hubungan hahiwang
dengan dominasi laki-laki yang mensubrodinasikan perempuan Lampung Saibatin.
B. METODE
PENELITIAN
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Teknik pengumpulan data dan informasi menggunakan wawancara dan observasi. Wawancara ditujukan kepada para pelantun hahiwang
dan tokoh informal yang
menguasai adat istiadat Lampung Saibatin di Pesisir Krui.
Melalui wawancara dengan para informan yang dilakukan pada pertengahan bulan
Juni 2016 dan awal bulan April 2017, diperoleh data dan informasi
berupa: (1) definisi hahiwang; (2)
struktur hahiwang; (3) pelantunan hahiwang, dan (4) struktur serta sistem kekerabatan masyarakat Pesisir Krui. Sementara, melalui observasi diperoleh data tentang
lingkungan alam, pola pemukiman, dan perilaku masyarakat Pesisir Barat dalam
kehidupan sehari-hari.
Selain metode
beserta teknik di atas, studi literatur (kepustakaan
dan atau dokumentasi) juga
dilakukan dalam kegiatan ini. Studi literatur dilakukan dalam rangka memeroleh
pengertian atau konsep-konsep yang berkenaan dengan hahiwang, sistem
kekerabatan,
patriarki, dan gender. Adapun data-data yang
berkenaan dengan Kabupaten Pesisir Barat, seperti posisi geografis,
kependudukan,
pola pemukiman, dan mata pencaharian diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Pesisir Barat.
C. HASIL DAN
BAHASAN
1. Sekilas
tentang Kabupaten Pesisir Barat
Kabupaten Pesisir Barat secara administratif termasuk dalam wilayah
Provinsi Lampung dengan batas geografis sebelah utara dengan Kabupaten Lampung
Barat dan Kabupaten Ogan Komering Ulu (Provinsi Sumatera Selatan); sebelah
timur dengan Kecamatan Pematang Sawah dan Kecamatan Semaka; sebelah selatan
dengan Samudera Hindia; dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kaur
(Provinsi Bengkulu). Kabupaten yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 22
Tahun 2012 (Lembaran Negara Nomor 231, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5364)
yang diundangkan tanggal 17 November 2012 ini memiliki luas wilayah sekitar
2.907,23 km² atau 495.04 ha dengan titik koordinat 4° 40’ 0” – 6° 0’ 0” Lintang
Selatan dan 103° 30’ 0” – 104° 50’ 0” Bujur Timur (uun-halimah. blogspot.co.id).
Penduduk Kabupaten Pesisir Barat berjumlah 144.763 jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 33.292. Jika dilihat berdasarkan
jenis kelaminnya, maka jumlah penduduk laki-lakinya mencapai 76.240 jiwa dan
penduduk berjenis kelamin perempuan mencapai 68.523 jiwa. Para penduduk
ini tersebar di 11 kecamatan, yaitu Pesisir Selatan dihuni oleh 21.762 jiwa
(5,09%), Bengkunat dihuni oleh 7.620 jiwa (5,61%), Bengkunat Belimbing 24.009
jiwa (5,61%), Ngambur 17.953 jiwa 4,20%, Pesisir Tengah 18.358 jiwa (4,29%),
Karya Penggawa 14.292 jiwa (3,34%), Way Krui 8.328 jiwa 1,95%, Krui Selatan
8.531 jiwa 1,99%, Pesisir Utara 8.202 jiwa 1,92%, Lemong 14.365 jiwa 3,36%, dan
Pulau Pisang dihuni oleh 1.343 jiwa (0,31%). Sementara jika dilihat
berdasarkan golongan usia, maka penduduk yang berusia 0-14 tahun ada 54.825
jiwa (34,44%), kemudian yang berusia 15—54 tahun ada 76.632 jiwa (50,83%), dan
yang berusia 55 tahun ke atas 12.559 jiwa (14,73%). Golongan umur tersebut secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
Tabel 1. Penduduk
Pesisir Barat Berdasarkan Golongan Umur
No |
Gol Umur |
Jumlah |
Prosentase |
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. |
0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59
60-64 65-69 70-ke
atas |
18.784 19.830 16.211 12.190 10.234 10.883 10.874 9.742 8.558 7.788 6.363 4.596 3.213 2.267 2.183 |
12,98 13,70 11,20 8,42 7,07 7,52 7,51 6,73 5,91 5,38 4,40 3,17 2,22 1,57 1,51 |
|
|
144.763 |
100,00 |
Sumber: (BPS Kabupaten Lampung Barat)
Pola pemukiman
penduduk Pesisir Barat umumnya perumahan berada di sekitar jalan, baik itu
jalan kabupaten, kecamatan, maupun desa, berjajar, dengan arah menghadap ke
jalan (pola pita/ribbon). Arah rumah
yang berada bukan di pinggir jalan pun arahnya mengikuti yang ada di pinggir
jalan. Sebagian besar rumah tersebut masih berbentuk
tradisional yang mengelompok dan tersebar secara sporadis. Adapun cirinya
berupa bangunan semi permanen berbentuk panggung, menggunakan sumur (air tanah)
sebagai sumber air minum, dan kurang atau belum mendapat pasokan listrik.
Khusus untuk pasokan listrik, kabupaten baru ini relatif masih kurang. Oleh
karena itu, tidak mengherankan apabila sering terjadi pemadaman listrik secara
bergilir. Bahkan, pemadaman hampir terjadi setiap hari dengan jangka waktu
antara beberapa jam hingga beberapa hari. Untuk mensiasatinya hampir di setiap
rumah memasang genset berbahan bakar solar agar tetap menikmati listrik.
Letak Kabupaten Pesisir Barat yang relatif jauh dari ibukota provinsi
(Bandarlampung) membuat perekonomian mayoritas penduduknya masih mengandalkan
sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Menurut data dari BPS Lampung
Barat (Kabupaten Induk) tahun 2013, aktivitas perekonomian mencapai 2,9 triliun
yang dibagi menjadi beberapa kategori lapangan usaha, yaitu: pertanian,
kehutanan dan perikanan 52,90%; pertambangan dan penggalian 5,15%; industri
pengolahan 5,37%; pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang
0,06%; konstruksi 5,09%; perdagangan besar/eceran, reparasi mobil, dan sepeda
motor 11,23%; transportasi dan pergudangan 0,9%; penyedia akomodasi dan makan
minum 1,55%; informasi dan komunikasi 1,56%; jasa keuangan dan asuransi 1,64%;
real estate 3,55%; jasa perumahan 0.14%; dan administrasi pemerintahan,
pertanahan dan jaminan sosial 5,17%.
2. Struktur
Masyarakat Pesisir Barat
Masyarakat
Pesisir Barat merupakan pendukung adat Saibatin (Peminggir) yang umumnya
bertempat tinggal di sekitar pantai, mulai dari Krui hingga Kayu Agung
(Harsono, 2013:246). Sebagai sebuah kesatuan sosial, mereka mempunyai struktur
tersendiri yang tercermin dalam kelas-kelas sosial yang ditentukan berdasarkan
asal usul serta hubungan kekerabatan. Struktur tersebut dipertahankan dari satu
generasi ke generasi berikutnya dalam bentuk mitos-mitos sebagai perwujudan
keyakinan yang berkembang menjadi identitas kelompok (Rudito, 2013:3). Menurut
mitos tentang asal usul, orang Pesisir Barat berkeyakinan bahwa mereka berasal
dari keturunan Kepaksian Skala Brak/Sekala Beghak
yang lokasinya berada di kawasan lereng Gunung Pesagi (sekarang di sekitar
Kabupaten Lampung Barat). Sebelum menjadi kepaksian, menurut Masduki (2006:
23-25),
pada abad 15 datang empat kelompok masyarakat yang menduduki sekitar Danau
Ranau. Di sebelah barat danau dihuni orang-orang yang datang dari Pagaruyung
Sumatera Barat pimpinan Dipati Alam Padang. Di sisi timur danau, kelompok
orang-orang Sekala Beghak yang dipimpin Pangeran Liang Batu dan Pahlawan
Sawangan (berasal dari Kepaksian Nyekhupa) serta kelompok yang dipimpin Raja
Singa Jukhu (dari Kepaksian Bejalan Di Way). Sementara
kelompok terakhir menempati sisi utara danau yang dipimpin Umpu Sijadi Helau
yang juga dari Sekala Beghak.
Mereka kemudian berbaur dan membentuk sebuah persekutuan buway (keturunan) bernama Kepaksian
Sekala Baghak dan membaginya menjadi empat marga atau kebuayan, yaitu: (1) Umpu Bejalan Di Way memerintah daerah Kembahang
dan Balik Bukit dengan Ibu Negeri Puncak, daerah ini disebut dengan Paksi
Bejalan Di Way; (2) Umpu Belunguh memerintah daerah Belalau dengan Ibu
Negerinya Kenali, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Belunguh; (3) Umpu
Nyerupa memerintah daerah Sukau dengan Ibu Negeri Tapak Siring, daerah ini
disebut dengan Paksi Buay Nyerupa; dan (4) Umpu Pernong memerintah daerah Batu
Brak dengan Ibu Negeri Hanibung, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Pernong.
Keempat paksi
tersebut mengutus lima orang penggawanya (Raja
Penyukang Alam, Raja Panglima, Raja Nurakdim, Raja Belang, dan Nungkah Nungkeh
Dego Pemasok Rulah) untuk membantu
Lumia Ralang Pantang dari Pantau Kota Besi yang masih keturunan Pangeran Tanah
Jaya dari daerah Banten (Imron, 2014). Bersama-sama mereka menumpas
sukubangsa Tumi yang tinggal di sekitar wilayah Pesisir Barat. Setelah berhasil
ditaklukkan kelima penggawa bersepakat mendirikan kerajaan yang diberi nama
Penggawa Lima di bekas wilayah orang Tumi. Masing-masing menempati wilayah yang
telah disepakai bersama. Raja Penyukang Alam bersama marga-marga yang dinaunginya
menempati wilayah Cukuh Mersa (Bandar), Raja Panglima menempati wilayah Pekon
Teba (Perpasan), Raja Nurakdim menempati wilayah Pematang Gedung (Pekon Balak -
Laay), Raja Belang menempat wilayah Pematang Gedung (Pekon Laay), dan Raja
Nungkah Nungkeh Dego Pemasok Rulah menempati wilayah Pagar Dewa (Imron, 2014).
Pada masa kekuasaan Inggris, wilayah pesisir barat
Lampung menjadi salah satu Onderafdelling
dalam wilayah administrasi Regenschap
(Karesidenan) Bengkulu. Sebagai konsekuansinya,
struktur kekuasaan lokal berada di bawah Onderafdeling
melalui Inlandsche Gemeent Ordonantie
Buitengewestan (peraturan dasar mengenai pemerintahan desa) (Imron, 2014). Menurut Masduki
(2006: 27) pada masa ini kekuasaan marga-marga Penggawa Lima dan kebuayan Sekala Bekhak dipecah menjadi:
(1) Bukti-bukti terdiri atas Marga Sukau, Marga Liwa, Marga Kembahang, Marga
Batu Brak, Marga Kenali, Marga Suoh, Marga Way Tenong; (2) Krui Utara terdiri
atas Marga Pulau Pisang, Marga Pugung Tampak, Marga Pugung Penengahan, Marga
Pugung Malaya; (3) Krui Tengah terdiri atas Marga Way Sindi, Marga Laay, Marga
Bandar, Marga Pedada, Marga Ulu Krui, Marga Pasar Krui, Marga Way Napal; dan
(4) Krui Selatan terdiri atas Marga Tenumbang, Marga Ngambur, Marga Ngaras,
Marga Bengkunat, Marga Belimbing.
Perkembangan
selanjutnya, kebuayan Paksi Sekala
Beghak menjadi enam, yaitu: Belunguh (Kenali), Pernong (Batu Brak), Bejalan Di
Way (Kembahang), Nyerupa (Sukau), Bulan/Nerima (Lenggiring), dan Buay
Menyata/Anak Mentuha (Luas). Namun, dari enam kebuayan tersebut hanya empat yang menjadi Raja. Dua buay yang
tidak memerintah adalah Buay Menyata/Anak Mentuha dan Buay Bulan/Nerima. Buay
Menyata yang merupakan penghuni pertama Kerajaan Skala Brak diangkat sebagai Anak Mentuha atau yang dihormati,
sedangkan Buay Nerima merupakan Nakbar/Mirul (anak perempuan yang diambil
orang).
Saat ini,
berdasarkan SK Gubernur Lampung No. G/362/B.II/HK/1996, wilayah adat marga-marga di wilayah Pesisir memiliki batas yang cukup jelas.
Masing-masing marga dipimpin oleh seorang kepala
marga
dan memiliki tujuh tingkatan Gelar yaitu: Suntan, Raja, Batin, Radin, Minak,
Kimas dan Mas. Adapun nama-nama Marga di Wilayah Pesisir di Kabupaten
Pesisir Barat Lampung yakni: Belimbing Bandar Dalam Bengkunat, Bengkunat
Sukamarga Bengkunat, Ngaras Negeri Ratu Ngaras Bengkunat, Ngambur Negeri Ratu
Ngambur Pesisir Selatan, Tenumbang Negeri Ratu Tenumbang Pesisir Selatan, Way
Napal Way Napal Pesisir Tengah, Pasar Krui Krui Pesisir Tengah, Ulu Krui Gunung
Kemala Pesisir Tengah, Pedada (Penggawa V Ilir) Pedada Pesisir Tengah, Bandar
(Penggawa V Tengah) Bandar Pesisir Tengah, Laay (Penggawa V Ulu) Laay Karya
Penggawa, Way Sindi Karya Penggawa, Pulau Pisang Pesisir Utara, Pugung Tampak
Pesisir Utara, Pugung Penengahan Lemong, dan Pugung Malaya Lemong.
3. Sistem
Kekerabatan dan Ideologi Patriarki
Sistem kekerabatan memiliki peranan
penting untuk menggambarkan struktur sosial masyarakat. Menurut Lowie,
sebagaimana yang dikutip oleh Hermaliza (2011:124), kekerabatan adalah
hubungan-hubungan sosial melalui jalur genealogis dan atau perkawinan yang
terjadi antara seseorang dengan saudara-saudaranya atau keluarganya (baik
keluarga inti maupun luas). Lebih lanjut, interaksi antarkerabat berdasarkan
peran dan statusnya masing-masing membentuk sebuah sistem yang meliputi istilah
kekerabatan, keluarga inti, peran dan fungsi anggota keluarga, keluarga luas,
dan peran dalam tatanan adat.
Sistem kekerabatan dalam suatu
masyarakat dapat berbentuk unilineal,
bilateral, dan sistem keturunan ganda. Menurut
Koentjaraningrat (1985: 129-130) sistem kekerabatan matrilineal bersama dengan
patrilineal termasuk ke dalam sistem kekerabatan yang menetapkan garis
keturunan berdasarkan satu garis atau unilineal.
Dalam sistem kekerabatan matrilineal menghitung hubungan kekerabatan melalui garis
perempuan sementara sistem kekerabatan patrilineal menetapkan garis keturunan
menurut ayah atau laki-laki. Sistem kekerabatan lainnya adalah sistem
kekerabatan non unilineal yaitu
bilineal dan bilateral. Sistem kekerabatan
bilineal menghitung hubungan kekerabatan melalui laki-laki saja untuk sejumlah
hak dan kewajiban tertentu dan melalui perempuan saja untuk sejumlah hak dan
kewajiban tertentu pula. Sedangkan
sistem kekerabatan bilateral menghitung hubungan kekerabatan melalui laki-laki
maupun perempuan.
Pada masyarakat adat Saibatin di Pesisir
Barat sistem kekerabatannya ditarik secara patrilineal mulai dari asal usul
mereka. Adapun penerapannya bersifat primogenitur, yaitu
bahwa harta
pusaka berupa rumah, pekarangan, sawah dan atau ladang serta seluruh harta
kekayaan sebuah keluarga hanya akan diwariskan pada anak laki-laki tertua
(sulung). Dengan demikian harta pusaka tidak pecah terbagi-bagi. Anak laki-laki
lainnya tidak mendapat warisan dan apabila tetap tinggal di desa sebagai
petani, hanya sebagai penggarap tanah pusaka yang dikuasai oleh kakak laki-laki
tertua (Imron, 2014).
Aturan
kekerabatan yang bersifat patrilineal-primogenitur dianut seluruh marga yang membangun buay dan kepaksian di Pesisir Barat. Oleh karena itu, dalam setiap marga kedudukan adat tertinggi berada
pada anak laki-laki tertua dari keturunan tertua yang disebut Penyimbang. Seseorang yang memperoleh
gelar dan status sebagai penyimbang marga akan sangat dihormati dalam
masyarakatnya karena menjadi penentu dalam setiap proses pengambilan keputusan
adat. Sementara
kesatuan hidup masyarakatnya tercermin dalam ikatan kekerabatan yang menganut
sistem keluarga luas (extended family). Ikatan kekerabatan didasarkan
pada hubungan keturunan (ikatan darah), ikatan perkawinan, ikatan mewarei
(pengangkatan saudara), dan ikatan berdasarkan pengangkatan anak.
Kontruksi sosial berdasar hubungan
patrilineal ini mengarah pada dominasi kekuasaan laki-laki atau Patriarki.
Menurut Wably sebagaimana yang dikutip oleh Wiyatmi (2015:7), patriarki adalah
sebuah sistem dari struktur sosial yang menempatkan laki-laki dalam posisi
dominan, menindas, dan mengeksploitasi perempuan. Patriarki muncul sebagai
bentuk kepercayaan atau ideologi yang menempatkan kedudukan laki-laki lebih
tinggi dibanding perempuan melalui lembaga-lembaga sosial, politik, dan
ekonomi.
Kultur patriarki di Kepaksian Sekala Beghak mempengaruhi struktur sosial masyarakatnya,
mulai dari level paling tinggi (Kepaksian) hingga ke level terendah yaitu
keluarga. Dalam kehidupan rumah tangga misalnya, laki-laki ditempatkan sebagai
pusat kekuasaan. Bila berasal dari kalangan bangsawan, maka dialah yang berhak
mewarisi gelar kebangsawanan ayahnya. Bila dia berasal dari kalangan
kebanyakan, dia berhak meneruskan garis keturunannya kepada anak-anaknya.
Sebagai pusat kekuasaan, laki-laki
memiliki kuasa untuk mengambil keputusan dalam kerumahtanggaan. Ia
digambarkan sebagai orang yang kuat, jantan, berani, bersifat pelindung,
pantang menyerah dan rasional. Sementara perempuan dicitrakan sebagai lemah lembut,
emosional, dan selalu mengandalkan insting sehingga ditempatkan pada posisi
subordinasi yang hanya berkiprah di sektor domestik.
Berdasarkan konstruksi sosial di atas,
Herwanto (2012), menyatakan bahwa orang tua cenderung memberi kebebasan pada
anak laki-lakinya untuk melakukan aktivitas di luar rumah, baik siang maupun
malam hari serta kegiatan yang cenderung mengukuhkan sifat kelaki-lakiannya
sehingga memungkinkan anak laki-laki secara fisiologi, sosiologis maupun
psikologis tumbuh sebagai pribadi yang kuat dan mandiri. Sedangkan terhadap
anak perempuan cenderung mendiskriminasikan dengan memberi pembelajaran yang
berkenaan dengan peran domestiknya untuk menyelesaikan pekerjaan di lingkungan
rumah tangga saja.
Pembedaan kewajiban dan hak antara kedua
gender itu melahirkan ketidakadilan terhadap kaum perempuan dalam melakukan
kegiatan sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Manifestasinya tercermin
dalam berbagai bentuk ketidakadilan, marginalisasi, dan subrodinasi peran yang
merugikan perempuan. Namun karena telah berlangsung sejak lama, maka dianggap
sebagai suatu kebiasaan turun-temurun dan tidak dipersoalkan lagi sebagai
tindakan ketidakadilan dan subordinasi gender. Posisi subordiasi ini diterima
sebagai ketentuan adat yang harus ditaati, tetapi di dalam diri sebagian
perempuan timbul suatu "perlawanan". Salah satu bentuknya adalah
muncul tradisi tutur hahiwang.
4. Hahiwang
a. Struktur Hahiwang
Sebagaimana disebutkan di atas, hahiwang merupakan satu dari beberapa
ragam karya sastra tutur masyarakat Lampung, khususnya masyarakat 16 Marga
Pesisir Krui. Hahiwang umumnya
dilantunkan oleh kaum perempuan sebagai ungkapan perasaan jiwa atas situasi
yang dihadapinya dalam lantunan khas yang menyayat hati. Adapun struktur hahiwang yang dilantunan itu sama seperti
setiap puisi tradisional lainnya yang terikat oleh bentuk dan isi. Dalam hahiwang bentuknya terdiri atas bait-bait yang bersajak. Sebuah
bait secara tradisional dibangun oleh sejumlah baris dan pola-pola sajak pada
setiap akhir larik. Banyaknya jumlah baris pada setiap bait sangat bergantung
pada kemampuan seorang dalam mengungkapkan ekspresi jiwanya.
Penelaahan pada sejumlah hahiwang diperoleh
petunjuk (1) pola
sajak akhir tidak harus sama; bisa saja bait pertama mempunyai pola sajak akhir
a-b-a-b-a-b, sedangkan bait kedua berpola c-d-c-d-c-d; dan (2) Jumlah baris
pada setiap bait tidak selalu sama. Ada yang berjumlah enam baris setiap
baitnya, ada pula yang delapan baris atau empat baris. Berikut contoh hahiwang yang berjumlah 4 baris dengan
pola sajak a-b-a-b.
Sakik sikam ji nimbang
Kak kapan ago segai
Hiwang ni sanak malang
Sikal kilu mahap
pai
Hgatong mangedok
sai di usung
Ya gila sanak
aghuk
Apak ni saka
lijung
Sisi di tinggal induk
Mangedok daya lagi
Sikam ghatong jak bungkuk
Nyeghahko jama kuti
Tabikpun di puskam kaunyinna,
kalau ya
keteghima
Lain mak ngaku gila
Kindang payu juga mu
Ajo ku kak dia
Mak santor pengandanmu
Mula kunduh
katinuh
Seno sai nyak
mak nyakak
Mak nambak ku
kintu luh
Kak niku mak ku
liak
Lain ki basi bacakh
Wat aga ti rancaka
Nyak ku jak nengiis kabakh
Daleh ti tengan diya
Way ni uma
dunggak ni atakh
Sanak pungaji
cawa
Kintu ya mak
muhellakh
Masa do niku
muba
Sumber: Mardiah, (61 tahun), Sandaran Agung
Penggawa 5 Krui, Lampung Pesisir.
Baris atau larik pada hahiwang tidak memiliki sampiran. Semua baris
mengandung isi. Tidak ada larik yang mengandung kata atau kalimat samar-samar.
Oleh karena itu, mudah dipahami apabila isi hahiwang
dapat berbentuk cerita yang terdiri atas puluhun bait/tidak terbatas. Penulis
memiliki kebebasan untuk mencurahkan ide, ekspresi jiwa dan pandangannya sesuai
dengan keperluannya. Hal ini pula menjadi petunjuk bahwa hahiwang merupakan “tuturan bercerita”, tuturan yang memiliki
cerita tertentu.
Pemakaian sebuah bait dalam 2 (dua)
baris sebagaimana ditunjukkan data di atas
dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, tidak semua bentuk hahiwang memakainya. Kedua, peletakan bait 2 baris terpola pada bagian awal dan akhir atau
pada pergantian bahasan. Pemakaian pada bagian awal digunakan sebagai salam
pembukaan dan pada akhir digunakan sebagai penutup cerita. Adapun di
tengah berfungsi sebagai jeda atau
pengalihan bahasan. Ketiga, berfungsi penyingkat cerita semacam pantun kilat
dalam sastra Melayu.
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah
beberapa contoh hahiwang.
Badan Siji sai
ghayang
Lain nyak kurang
mengan
Ngegham
semanjang-manjang
Guwai neghasa
badan
Nengah bingi nyak miweng
Ngipi gham setunggaan
Ati ngelaruh mulang
Kakak di perantauan
Ya Allah tulung babang
Ngadapi garis tangan
Jarak pulau nyeberang
Jejama seandanan
Kira kak dapat mulang
Kapan gham setunggaan
Ngesaikan pilih tunang
Wa ati sai tujuwan
Diri ku
ngambang-kambang
Debingi ngegabah
bulan
Kakak ku
bayang-bayang
Kunah di lam
lamunan
Hahiwang di atas
bercerita tentang ratapan hati para perempuan. Hahiwang pertama berkisah tentang perempuan yang ditinggal pergi
oleh suaminya. Sang suami pergi merantau mencari kerja hingga ke Pulau Jawa dan
berjanji setelah berhasil akan segera pulang ke kampung halaman. Namun, janji
hanya tinggal janji. Setelah ditunggu sekian lama suami tidak kunjung pulang.
Dia hanya dapat meratapi nasib dan tidak dapat berbuat apa-apa selain menunggu
Sang suami pulang.
Sumber: Mardiah, (61 tahun), Sandaran Agung
Penggawa 5 Krui, Lampung Pesisir.
Minyak khum ni minyak khum
Tebeli di Pulau Pisang
Asalamualaikum
Skinda nyembuka
Ajo ngebuka kisah
Kisah ni Bebai Ganding
Lamon sai bugindah
Tilaju muneh pusing
Ngegetas
ditekhatas
Siwok campokh
sajekhu
Lamon muli sai
ngusung tas
Mikhat ti ucak
gukhu
Ngedekhing kuol mangking
Halipu sakik tengah
Anjak di khok angging
Mikudo sai kupenah
Apisai nyining
sining
Mendikha ampai
mesak
Khadu saka nyak
gekhing
Kidang mak kuawa
ngucak
Bukhung nyalai di hatok
Makdacok nginong kayu
Sabah jawoh makmirok
Pekhulang nyak ulihmu
Tekhuk mid suoh
Kidang cakak
pekharu
Tekhoknya
munggak medoh
Duaan jama niku
Bejukung patoh dayung
Belabuh di kuala
Mulang nyaku mik Lampung
Merantau mak dok kerja
Nutuk tian mik
pugung
Nebukak pulan
rimba
Nanom kupi rek
tiyung
Tiselang muneh
lada
Kupi muakni ngagung
Bang dialau ko papi'a
Tisuah muneh anjung
Delom ni kupi rek lada
Jak miwang
tumpak lalang
Kelitah jak
sekeli
Najin kuti
masenang
Dang lupa
dipuari
Kipak kham tungga ralang
Dang lupa jak lom hati
Kipak pokon kham sumang
Dang putus siratu rohmi
Ibarat ramji
tandang
Pagun mak munsa
huwi
Biluk ram laju
mulang
Tikekoh dibi
khani
Najin gumah tisandang
Nekham huhik dibumi
Dang sedih daleh miwang
Tiwewah kon hati
Banjer muneh way
kunjer
Iwani mak ngedok
lagi
Hahap ni Lampung
pesisir
Haga wat do
majuni
Taru pai antak ija
Karangngani mak lagi
Kitubang salah cawa
Ampun beribu kali
Pelepai betik
sapai
Di dwakha
tambulek
Wayak ji antak
ija pai
Nanti tisambung
muneh
Hahiwang di atas berkisah tentang perempuan yang akan menikah.
Sebagai bagian dari masyarakat Saibatin yang patrilineal dan beradat menetap
patrilokal, setelah menikah dia akan tinggal di lingkungan kerabat suaminya.
Selain itu, dia juga harus melepas status sebagai bagian dari marga orang tua
karena akan mengikuti marga suami. Oleh karenanya, sebelum menikah dia
berhahiwang mengungkapkan kesedihan hati sekaligus salam perpisahan kepada para
perempuan di rumahnya (nenek, ibu, bibi, dan kaum kerabat lain) secara satu
persatu mulai tengah malam hingga adzan subuh berkumandang.
Sumber: Lakma Dewi, (54 tahun), Sandaran Agung
Penggawa 5 Krui, Lampung Pesisir
4. Hahiwang dan
Dominasi Patriarki
a. Hahiwang sebagai Ungkapan Ketidakberdayaan
Perempuan
Beberapa hahiwang di atas merupakan ungkapan perempuan atas problematika
ketimpangan yang mengarah pada ketidakadilan gender. Gender yang oleh Mansour
Fakih (1997:7) didefinisikan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum
laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural,
dalam masyarakat 16 marga Pesisir Krui
digunakan untuk membedakan hak dan kewajiban dalam melakukan kegiatan sosial,
ekonomi, politik, maupun budaya. Perbedaan peran berdasar gender ini terjadi
melalui proses sosialisasi norma-norma kultural dan keagamaan yang lama dan
sangat panjang sehingga seolah-olah telah menjadi kodrat Ilahi.
Bagi perempuan Saibatin
Krui, mulai dari masa kanak-kanak telah disosialisasikan berbagai macam nilai
dan norma yang dibentuk oleh budaya patriarki, baik oleh keluarganya sendiri
(terutama pihak ibu) maupun lingkungan di sekitarnya (kerabat dan para
tetangganya) dengan tujuan agar dapat berinteraksi dengan lingkungan
komunitasnya. Bentuk sosialisasi yang dilakukan adalah pembelajaran yang
berkenaan dengan peran perempuan dalam menyelesaikan urusan domestik saja.
Selain itu, anak perempuan juga dibentuk sedemikian rupa dengan tidak diberi
ruang atau keleluasaan berada di sektor publik, sesuai dengan kehendak budaya
masyarakat maupun ajaran agamanya.
Hasil sosialisasi konstruksi sosial
tentang gender ini mempengaruhi perkembangan kondisi fisik dan psikis kaum
perempuan. Mereka menjadi pribadi yang kurang berani, penurut, rajin, lemah,
emosional, dan selalu meminta dilindungi. Akibatnya kehidupan perempuan menjadi
sangat dependen pada laki-laki yang dianggap mempunyai posisi lebih tinggi.
Laki-laki memanfaatkan kebergantungan ini untuk mengekalkan kekuasaannya dalam
bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Akibatnya timbul berbagai bentuk
ketidakadilan, marginalisasi, dan subrodinasi peran yang merugikan perempuan.
Salah satu bentuk ketidakadilan gender
tersebut berkaitan dengan pranata perkawinan. Masyarakat Saibatin di Pesisir
Barat menganut sistem perkawinan yang mengutamakan jalur lineage atau keturunan yang saling berkaitan dari nenek moyang yang
sama (Masduki, 2006:65). Selain itu, perkawinan juga bersifat patrilineal
dengan adat menetap patrilokal. Setelah menikah seorang perempuan harus masuk
dalam marga dan tinggal di lingkungan keluarga suaminya (mengiyan). Melalui mas kawin atau yang lebih dikenal dengan sistem dowry yang nominalnya antara puluhan
hingga ratusan juta rupiah, perempuan "diambil" oleh kerabat suami
untuk dijadikan sebagai aset tenaga kerja. Konsekuensinya, perempuan harus
keluar dari keluarganya sendiri dan memaksanya menjadi "pelayan"
laki-laki. Dia menjadi tidak berdaya dan teralineasi karena seluruh aktivitas
hidupnya hanya merupakan kelengkapan bagi orang lain.
Ketidakberdayaan perempuan untuk
mengkaunter dominasi laki-laki disiasati dengan membangun aktivitas-aktivitas
tertentu sebagai pengibur diri. Hahiwang
merupakan salah satu bentuknya. Apabila dihayati lantunannya dipenuhi rasa
kesedihan yang mencerminkan kenestapaan hati. Hal itu mengindikasikan
penderitaan seseorang terhadap satu hal. Seorang informan menceritakan
pengalaman hidupnya saat menikah dahulu. Ia demikian galau, sedih yang teramat
mendalam. Terbayang dalam benak pikirannya akan berpisah dengan sanak
keluarganya. Malam hari sebelum pernikahan, ia mendatangi sanak keluarga
terdekatnya untuk menyampaikan salam perpisahan. Semalaman menangis, bercucur air
mata menyalami satu persatu kerabatnya sambil berhahiwang.
Seiring waktu hahiwang tidak hanya digunakan saat masa peralihan saja, melainkan
juga ke segala aspek yang membentuk pencitraan inferioritas pada diri
perempuan. Misalnya, ketika seorang perempuan kawin dengan "Bang
Toyib" yang jarang pulang, atau ketika sang suami jarang menafkahi
(lahir-batin), ia akan berhahiwang juga. Oleh karena sifatnya yang sangat
personal, hahiwang biasanya
disenandungkan seorang diri tatkala sedang mengerjakan sesuatu hal di dalam
rumah atau di kebun. Adapun tujuannya hanya sebagai ratapan yang diperuntukkan
bagi diri sendiri. Sebab, perempuan yang telah tersubordinasi oleh konstruksi
adat patriarkis cenderung memilih bungkam dan tidak akan melalukan perlawanan.
Dia tetap akan berperan sebagai fixer
dan pleaser untuk menjaga hubungannya
tetap stabil, harmonis, dan menyenangkan. Selain itu, dia juga akan tetap
mencoba sebagai martyr untuk memenuhi
harapan pasangannya walau harus mengorbankan diri.
b. Hahiwang sebagai
Sebuah Kesenian
Dalam perkembangannya saat ini, hahiwang telah mengalami pergeseran
fungsi. Ia tidak lagi sebatas "kepentingan pribadi" dalam upaya
melepas kegundahan hati. Hahiwang
juga difungsikan sebagai kesenian pelengkap acara muda-mudi (nyambai, miyah damagh, kedayek), hiburan pengisi waktu luang,
media dakwah, penyampai nasihat kepada masyarakat, peningkat apresiasi
masyarakat terhadap kesenian daerah (Sanusi, 2001:109), senandung pada saat
menidurkan anak, hingga penarik simpatisan dalam Pemilukada.
Perkembangan fungsi tersebut tidak
terlepas dari kungkungan budaya patriarki. Para lelaki yang merasa tertarik
mendengar lantunan hahiwang, bukan
menjadikannya sebagai ajang introspeksi diri agar lebih baik dalam memposisikan
kaum perempuan. Mereka malah "memaksa" para perempuan pelantun
membuat hahiwang sesuai dengan maksud
dan tujuannya masing-masing. Apabila difungsikan sebagai pelengkap dalam
upacara adat, pelantun akan membuat teks hahiwang
yang sesuai dengan maksud dan tujuan upacara. Apabila digunakan sebagai media
dakwah, pelantun diharuskan membuat teks hahiwang
yang berkaitan dengan keagamaan, seperti: ketauhidan, imbauan beribadah atau
kisah-kisah para nabi. Sedangkan bila dijadikan sebagai penarik simpatisan
dalam Pemilukada, pelantun membuat teks hahiwang
yang berkenaan dengan kondisi daerah serta calon wakil rakyat yang memesan hahiwang.
Struktur dan bahasan hahiwang pun tidak lagi sesuka hati,
melainkan memiliki pola umum seperti pada penulisan bentuk sastra tradisional.
Pola umum tersebut diawali dengan pembukaan (salam penghormatan pada para
pendengar, maksud dan tujuan pelantunan), kemudian isi atau kandungan yang
bergantung pada pesanan atau acara yang sedang diikuti, dan diakhiri dengan
penutup berupa harapan pelantun, permintaan maaf, serta salam.
Dalam konteks ini, teks hahiwang telah bergeser fungsi dari
ratapan diri menjadi sebuah kesenian. Isinya pun tidak lagi sebatas
"kepentingan pribadi" dalam upaya melepas kegundahan hati, melainkan
telah berkembang ke arah lingkungan sosial yang lebih luas, bergantung dari
situasi dan kondisi ketika dilantunkan. Berdasarkan fungsinya tersebut Kurnia
(2010) mengkategorikan hahiwang
menjadi tiga, yaitu: hahiwang
kesedihan, hahiwang agama, dan hahiwang adat. Hahiwang kesedihan tidak hanya berupa ekspresi kesedihan dalam
hidup berumah tangga, tetapi juga tanggapan terhadap kerusakan lingkungan. Hahiwang agama menceritakan hal-hal
seputar syariat (hukum-hukum Islam), rukun iman, rukun Islam, peristiwa Isra
Miraj, aturan membaca dalam Al Quran, perjuangan para nabi, dan lain sebagainya
yang berhubungan dengan agama Islam. Sedangkan hahiwang adat berisi tentang silsilah keturunan suatu keluarga atau
pesan-pesan khusus bagi pasangan yang menikah. Hahiwang adat umumnya dikumandangkan pada acara-acara adat
(perkawinan, pemberian gelar adat, nyambai,
dan lain sebagainya).
Dominasi laki-laki tidak
hanya dalam bentuk "perintah" membuat lirik yang tidak lagi bersifat
personal. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang ikut terjun menjadi
pelantun hahiwang. Namun tidak semua
orang sanggup melantunkannya karena hahiwang
memiliki gaya dan irama atau cengkok khas yang relatif sukar dipelajari. Hanya
para seniman yang telah terbiasa bergelut dengan seni tradisi yang dapat
membuat teks sekaligus melantunkannya.
Salah seorang di antaranya
adalah Mursi M atau lebih dikenal dengan nama panggung Mamak Lawok. Dia adalah
seniman tradisi yang biasa membawakan segata, bebandung, ringget, wayak/muayak dan hahaddo yang berirama mirip seperti hahiwang.
Mamak Lawoklah yang mengembangkan hahiwang
agama dan adat dengan cara menampilkan di setiap acara begawi yang dihadirinya. Hahiwangnya
tidak berupa ekspresi
kesedihan mengenai pengalaman hidup, melainkan menembus ranah adat istiadat dan
keagamaan.
Penghilangan unsur ratapan ini berkaitan
dengan konstruksi budaya patriarki yang mencitrakan bahwa laki-laki haruslah
memiliki sifat pemberani, kuat, agresif, mandiri, cekatan, pantang menyerah
yang menjadikannya terlatih dan termotivasi mempertahankan sifat tersebut. Hahiwang yang berarti ratapan hati hanya
ada dalam konstruksi gender perempuan Saibatin yang dicitrakan sebagai lemah
lembut, emosional, penakut, penurut, serta keibuan. Oleh karena itu, teks hahiwang yang dibuat oleh Mamak Lawok
atau seniman laki-laki di Pesisir Barat umumnya berisi tentang petuah-petuah
adat dan aturan-aturan yang berlaku dalam agama Islam. Yang penting adalah nada,
irama, dan suara pekau yang khas hahiwang sehingga membuat pendengar
tersentuh hati bila mendengarnya.
c. Pewarisan Hahiwang dalam Budaya Patriarki
Dalam hal pewarisan hahiwang pun budaya patriarki tetap
berperan. Seorang informan menyatakan bahwa dia sulit mengajarkan hahiwang kepada anak-anak yang berada di
sekitar tempat tinggalnya. Adapun penyebabnya tidak hanya karena relatif sulit
mempelajari seni tradisi hahiwang,
tetapi juga oleh stratifikasi sosial masyarakat adat Saibatin Krui. Dalam
proses regenerasi seseorang yang ingin belajar hahiwang harus mampu menciptakan bait-bait terdiri dari 3-6 baris
yang membentuk rangkaian cerita atau kisah. Selain itu, juga mampu
melantunkannya menjadi sebuah tembang yang memiliki cengkok-cengkok tertentu
sehingga terdengar memilukan dan menyayat hari. Oleh karena itu, untuk
mempelajarinya tentu membutuhkan waktu yang relatif lama.
Perempuan pelantun hahiwang yang sudah mahir dan ingin
menularkan ilmunya kepada orang lain tidak dapat begitu saja melaksanakan
niatnya. Dia harus melihat statusnya dalam masyarakat yang mempunyai
struktur tersendiri yang tercermin dalam kelas-kelas sosial yang ditentukan
berdasarkan asal usul serta hubungan kekerabatan. Masyarakat adat Saibatin di
Pesisir Barat membagi diri menjadi 16 marga. Masing-masing marga dipimpin
oleh seorang Saibatin (Kepala Marga) dan memiliki tujuh tingkatan Gelar
yaitu: Suntan, Raja, Batin, Radin, Minak, Kimas dan Mas.
Struktur sosial berdasarkan tingkatan
gelar adat tersebut mempengaruhi ruang gerak masyarakat, mulai dari level
paling tinggi (Kepaksian) hingga ke level terendah yaitu keluarga. Atau dengan
kata lain, terdapat rambu-rambu tertentu yang mengatur hubungan antarstatus
dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang tidak dapat sesuka hati berhubungan
tanpa mengindahkan statusnya karena akan mendapat sanksi-sanksi tertentu (adat
maupun sosial) apabila melanggarnya.
Apabila pelantun hahiwang berada dalam keluarga berstatus atau bergelar Minak
misalnya, dia akan relatif mudah menggerakkan anak-anak dari keluarga yang
berstatus di bawahnya (Kimas dan Mas) untuk belajar hahiwang. Namun, sulit "memaksa" anak-anak dari keluarga
berstatus Radin, Batin, Raja, apalagi Suntan tanpa persetujuan orang tua
mereka. Apabila orang tua menyetujui, dalam menentukan jadwal latih pun tidak
dapat begitu saja menyuruh anak-anak mereka datang. Dia harus membujuk atau
merayu sedemikian rupa pada anak yang akan diajari agar orang tuanya tidak
tersinggung.
Dominasi patriarki membuat perempuan
pelantun hanya mampu
mengajarkan hahiwang pada orang-orang
terdekat saja (keluarga atau tetangga). Konstruksi sosial demikian menghendaki
perempuan agar "taat aturan" atau tidak boleh berlaku sembarangan
terhadap orang-orang yang lebih tinggi statusnya. Disadari atau tidak,
Agen-agen sosial (mulai dari keluarga, sekolah, hingga masyarakat), memelihara
praktik tersebut yang justru mempertahankan ketimpangan gender.
Hasilnya,
saat ini tradisi hahiwang hampir
ditinggalkan oleh masyarakat Pesisir Barat. Pelantunnya hanya didominasi oleh
orang tua-tua penikmat hahiwang serta
para seniman saja. Sementara generasi muda hampir melupakannya. Hanya beberapa
gelintir saja yang mau menggeluti hahiwang.
Sisanya cenderung memilih seni tradisi lain yang lebih mudah dipelajari.
Untuk
lebih jelasnya mengenai tahap perkembangan beserta fungsi hahiwang
dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 2.
Tahap Perkembangan Hahiwang
No |
Tahap |
Fungsi |
1. |
Ungkapan Ketidarberdayaan
Perempuan |
Sarana
penghibur diri dari kungkungan Dominasi laki-laki yang memarginalkan dan
mensubrodinasi peran perempuan sehingga hanya berkutat di sektor domestik.
Konstruksi sosial tentang gender memposisikan perempuan lebih rendah serta
dibuat bergantung secara sosial dan ekonomi pada laki-laki. Hahiwang
digunakan sebagai sarana penghibur diri atas ketidakberdayaan mengkaunter
dominasi laki-laki. |
2. |
Sebagai Kesenian |
Hahiwang difungsikan
sebagai kesenian atau media hiburan. Laki-laki mengeksploitasi perempuan
pelantun membuat teks hahiwang
sesuai dengan maksud dan tujuan tertentu, seperti pelengkap acara adat, media
dakwah, dan penyampai nasihat. Laki-laki dapat melantunkan hahiwang dengan menghilangkan unsur
ratapan menjadi nasihat atau petuah adat. Struktur hahiwang menjadi berpola seperti sastra tradisional pada umumnya. |
3. |
Perkembangan Terakhir |
Budaya patriarki membatasi pewarisan hahiwang. Stratifikasi
masyarakat yang dibentuk oleh budaya ini membatasi ruang gerak perempuan
dalam menularkan ilmu pada generasi muda. Ada aturan main tertentu yang
mengatur hubungan antarstatus dalam masyarakat. |
Sumber: Hasil Wawancara
dengan Informan, 2016 dan 2017
Tabel di atas menunjukkan bahwa ada perubahan fungsi hahiwang mulai dari tahap awal muncul
hingga perkembangannya saat ini yang tidak terlepas dari dominasi patriarki.
Pada tahap awal, hahiwang digunakan
sebagai sarana pengibur diri dari kungkungan adat yang mendiskriminasi dan
mensubrodinasi perempuan. Pada tahap berikutnya, hahiwang dieksploitasi oleh laki-laki menjadi sarana hiburan. Dan,
tahap terakhir merupakan tahap berkurangnya eksistensi hahiwang pada masyarakat Lampung Pesisir karena aturan adat yang
membatasi ruang gerak perempuan.
D. PENUTUP
Hahiwang sebagai khasanah tradisi masyarakat Lampung, khususnya
Kabupaten Pesisir Barat, tidak lepas dari latar belakang budayanya. Perbedaan
biologis antara laki-laki dan perempuan yang membedakan peran di antara
keduanya menjadi dasar munculnya kesenian ini. Laki-laki dikonstruksi dan
disosialisasikan dalam hubungan-hubungan sosial yang lebih dominan sehingga
mengungkung posisi perempuan hanya dalam sektor domestik. Konsekuensinya,
perempuan menjadi tersubordinasi dan selalu bergantung pada laki-laki. Hahiwang hadir hanya sebatas penyalur
kepedihan hati sekaligus "protes sosial" perempuan Saibatin Krui. Hahiwang besifat sangat personal (untuk
diri sendiri) dan tidak bertujuan untuk menggulingkan dominasi laki-laki.
Dalam perkembangan
selanjutnya, hahiwang malah
dieksploitasi kaum patriakh menjadi sarana siar agama, pelengkap begawi adat, hingga penarik simpatisan
dalam Pemilukada. Hegemoni patriarki membuat hahiwang tidak lagi
bersifat personal, melainkan telah ditarik ke ranah publik dengan aturan main
atau pakem seperti seni tradisi pada
umumnya. Pelantun hahiwang dapat
dilakukan oleh laki-laki dengan mengeliminasi unsur "ratapan" yang
dikonstruksi hanya sebagai milik perempuan.
DAFTAR
SUMBER
1. Jurnal, Makalah, Laporan Penelitian, Skripsi, dan Tesis
Danandjaja, James. 1998. “Folklor dan Pembangunan Kalimantan Tengah:
Merekonstruksi Nilai Budaya Orang Dayak Ngaju dan Ot Danum Melalui Cerita
Rakyat Mereka”. Dalam Metodologi
Kajian Tradisi Lisan. Editor Pudentia MPSS. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
Harsono,
Dibyo. 2013. "Upacara Lingkaran Hidup Orang Lampung", dalam Bunga Rampai Ekspresi Budaya sebagai
Strategi Adaptasi. Hal. 245-268. Bandung: CV. Izda Prima.
Hermaliza,
Essi. 2011. "Sistem Kekerabatan Suku Bangsa Kluet di Aceh Selatan",
dalam Jurnal Widyariset, Vol. 14 No.1, 2011. Hlm. 124.
Irwanto,
Dedi. 2012. "Kendala dan Alternatif Penggunaan Tradisi Lisan dalam
Penulisan Sejarah Lokal di Sumatera Selatan", dalam Jurnal Forum Sosial, Volume V No. 2, September
2012. hlm. 123-126.
Kurnia.
2010. Fungsi Hahiwang pada Ulun Saibatin
Krui Kecamatan Pesisir Tengah Lampung Barat. Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik. Universitas Lampung, Bandarlampung.
Masduki,
Aam. 2006. Upacara Pineng Ngerabung
Sanggagh pada Masyarakat Lampung. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Rudito,
Bambang. 2013. "Etnografi", Makalah pada Bimbingan Teknis Penelitian
2013, Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung.
Sedyawati,
Edi. 1996. "Kedudukan Tradisi Lisan dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu-ilmu
Budaya", dalam Warta Atl. Jurnal Pengetahuan
dan Komunikasi Peneliti dan Pemerhati Tradisi Lisan. Edisi II Maret.
Jakarta: ATL.
Wiyatmi.
2015. "Menggugat Kuasa Patriarki melalui Sastra Feminis", makalah
pada Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Kekuasaan di Universitas Negeri
Yogyakarta, 26 November 2015.
2.
Buku
Fakih, Mansour.
1997.
Analisis Gender
dan Transformasi Sosial, cet.2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadikusuma,
Hilman. 1996.
Adat Istiadat
Daerah Lampung. Bandarlampung: Bagian Proyek
Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah Lampung.
Koentjaraningrat.
1985.
Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Aksara Baru. Hlm 129-130.
Lampung Barat Dalam Angka 2013. 2013.
Liwa: Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Barat.
Pudentia
MPSS (ed). 1998.
Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
Sanusi, A. Effendi. 2001.
Sastra Lisan
Lampung. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
3. Surat Kabar dan Majalah
Fattah, Fauzi.
"Menyingkap Makna Filosofis Hahiwang", Lampung Post,
Sabtu, 20 Juli 2013, hlm. 12.
4. Internet
"Bahasa
Lampung", diakses dari https://khufronimi9.wordpress.com/bahasa-lampung/,
tanggal 15 Januari 2017, pukul 00.10 WIB
Herwanto,
AM. 2012. "Diskriminasi Gender dan Hegemoni Patriarkhi", diakses dari
http://herwanto-a-d-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-68475-UmumDiskriminasi%20 Gender%20dan%20Hegemoni%20Patriarkhi.html, tanggal 15
Desember 2016, pukul 10.34 WIB.
Imron,
Ali. 2014. "Selayang Pandang Kabupaten Pesisir Barat Propinsi
Lampung", diakses dari http://kar yaaliimron.blogspot.co.id/2014/01/selayang-pandang-kabupaten-pesi sir-barat.html, tanggal 20 Juli 2017, pukul
13.20 WIB.
"Kabupaten
Pesisir Barat", diakses dari http://uun-halimah.blogspot.co.id/ 2017/02/kabupaten-pesisir-barat. html, tanggal 20 Februari 2017, pukul 20.55
WIB.
Tulisan diambil dari