Gambelan rindik juga dibuat dari bambu, tetapi berupa bilahan-bilahan yang lebar. Bambu yang dipakai adalah yang berukuran besar dan tebal, biasanya dari sejenis bambu yang disebut tiing petung.
Sebagaimana bambu untuk membuat suling, dan sifat alami dari bambu itu, maka bambu yang baru ditebang yang sudah cukup tua dikeringkan perlahan-lahan agar jangan pecah. Ada kalanya perlu juga direndam dalam air selama beberapa hari agar tidak cepat lapuk dimakan ngengat atau serangga lainnya. Setelah kering baru dipotong-potong sesuai dengan ukuran bilahan yang kita ingini.
Prinsip pembuatan bilahan rindik sama dengan gambelan kerawang. Tentu saja yang berbeda adalah proses pembuatannya karena bahannya berbeda. Misalnya bilahan kerawang dihasilkan dari mencampur beberapa jenis logam, memanaskan dan kemudian menempanya. Untuk membuat bilahan rindik cukup dengan parang dan pisau.
Tinggi rendah nadanya sesuai dengan tebal tipisnya bambu. Keadaan bambu dari pangkal batang ke ujung makin menipis. Oleh sebab itu maka untuk nada-nada yang tinggi dipakai bambu di bagian pangkal, dan nada-nada rendah di bagian ujung.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah waktu memotongnya harus masih tertinggal minimal dua buku dalam ruas-ruas potongannya. Sebab batas ujung bilahan harus terdiri dari buku atau ruas mata bambu. Selanjutnya berupa buku yang ada pada bilahan tersebut tergantung pada panjang pendeknya. Mungkin terdiri dari satu, dua tau tiga buku.
Gambelan rindik ada yang memakai resonator dan ada yang tidak. Yang memakai resonator, ukuran selawah, yaitu konstruksi penyangga bilahan gambelan tinggi, umpamanya pada rindik Gandrung. Sedangkan yang tidak memakai resonator ukuran selawangnnya rendah, seperti misalnya pada gambelan dan Saron. Kecuali pada gambelan Terompong Beruk yang memakai resonator, tetapi pelawahnya pendek. Resonatornya berupa “beruk”. Yaitu batok kelapa yang sudah dihilangkan kulit dan isinya, namun masih utuh dan bulat. Hanya pada bagian atasnya saja dibuat lubang yang bundar sebagai lubang resonator. Dan beruk ini dahulu secara tradisional dipakai oleh masyarakat Bali sebagai tempat air pengganti kendi. Karena beruk sebagai resonator seukuran butiran kelapa yang ditaruh di bawah bilahan bambu sedemikian rupa, maka pelawah Terompong Beruk itu rendah.
Seperti pada bilahan gambelan kerawang, bilahan rindik bambu itu dilubangi pada kedua ujungnya. Cara untuk melekatkan pada pelawahnya di masing-masing “tungguh”, yaitu konstruksi utuh dalam satu wujud instrumen, ada dua macam. Pertama, dengan menempatkan lubang-lubang bilahan rindik pada paku-paku yang terpasang pada pelawah yang ukurannya sudah disesuaikan dengan jarak dan besar masing-masing lubang bilahan. Cara yang demikian mengikuti sistem pacek, yang diterapkan umpamanya pada gambelan Saron dan Gambang. Kedua, dengan menghubungkan antara bilahan yang satu dengan yang lainnya mempergunakan tali. Tali itu dimasukkan ke dalam lubang-lubang dan masing-masing ditahan atau disekat dengan potongan kecil lidi atau bambu. Setelah kedua jalur tali baik di bagian ujung bilahan maupun dibagian pangkalnya terpasang, baru dilekatkan pada selawahnya. Cara yang demikian memakai sistem “gantung”, yang diterapkan umpamanya pada gambelan Gandrung.
Gandrung adalah suatu jenis tari Bali tradisional yang berupa tari pergaulan. Para penonton bisa berperan serta menari atau menabuh. Sedang gambelan dan saron secara tradisional merupakan barungan yang tidak berfungsi mengiringi suatu jenis tarian. Tapi berfungsi sebagai pelengkap upacara atau yadnya, misalnya dalam “Ngaben” sebagai bagian penting dari upacara “Pitra Yadnya”.
Sumber:
Triguna, Ida Bagus Gde Yudha, dkk,. 1994. Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.