Luwu merupakan salah satu kabupaten yang terdapat dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Masyarakatnya adalah pendukung budaya Bugis-Makassar. Dalam kehidupan sehari-hari mereka menggunakan bahasa Bugis dengan dialek Luwu (Melalatoa, 1995:184). Di daerah ini ada sebuah permainan yang disebut sebagai makkatto. Makkatto itu sendiri sebenarnya merupakan kata jadian yang berasal dari kata “ma” yang berarti “melakukan sesuatu” dan “katto” yang berarti “kentongan”. Dengan demikian, makkatto dapat diartikan sebagai “melakukan sesuatu dengan kentongan”.
Konon, permainan makkatto berawal dari kebiasaan yang dilakukan oleh petani pada saat-saat akan menuai padi. Pada saat-saat seperti itu biasanya kepala desa membunyikan (memukul) kentongan yang kemudian diikuti oleh warganya sebagai tanda bahwa padi siap dituai. Kemudian, mereka bersama-sama pergi ke sawah dan menuai padi di sana. Ketika para orang tua membawa hasil tuaiannya ke tempat penampungan padi (lumbung) dan menyimpannya di sana, biasanya anak-anak masih tetap tinggal di sawah. Di sana mereka bermain kentongan. Kebiasaan inilah yang kemudian melahirkan suatu permainan yang disebut sebagai makkatto.
Dalam kehidupan sehari-hari katto tidak hanya berfungsi sebagai alat permainan tetapi juga sebagai alat komunikasi. Bunyi-bunyian yang dikeluarkan dari kentongan dapat menjadi tanda bagi warga akan adanya suatu kejadian penting di sekitarnya, seperti: ada serangan dari pihak luar, kebakaran, dan bencana alam.
Pemain
Makkatto adalah permainan kelompok. Artinya, permainan ini baru dapat dilakukan jika ada dua kelompok. Jumlah keseluruhan pemainnya minimal 4 orang. Permainan anak-anak yang berumur 6--15 tahun ini umumnya dilakukan oleh anak laki-laki.
Tempat Permainan
Permainan yang disebut sebagai makkatto ini dapat dilakukan di mana saja; bisa di halaman rumah, di halaman rumah adat, ataupun di lapangan, yang penting tempat yang akan digunakan untuk bermain minimal panjangnya 15 meter. Dahulu permainan ini hanya dilaksanakan pada saat musim panen tiba, saat tanah sawah sudah bersih dari tanaman padi. Jadi, dapat dikatakan bahwa permainan ini adalah permainan musiman, karena hanya dilakukan pada waktu musim panen padi saja. Namun, dewasa ini kapan saja dapat dimainkan karena tempatnya bisa di mana saja.
Peralatan Permainan
Peralatan yang digunakan dalam permainan ini adalah: (1) sebuah batu paklekbak (pelontar) untuk setiap pemain, yaitu sebuah batu yang bentuknya bundar dan agak pipih dengan diameter sekitar 6 cm yang banyak terdapat di sekitar pinggiran sungai; (2) dua buah batu tombon, yaitu batu-batu yang akan digunakan untuk menyangga sebilah bambu yang panjangnya sekitar 40 cm yang nantinya akan digunakan sebagai alas bagi bambu yang harus dikenai oleh batu paklekbak pemain; (3) satu buah kentongan untuk setiap kelompok yang berukuran panjang sekitar 45--50 cm dan diamater 15--25 cm.; dan (4) tiga batang bambu, yang dua diantaranya berukuran panjang sekitar 1,5 meter yang akan digunakan sebagai penyangga bambu yang panjangnya sekitar 3 meter, sehingga membentuk seperti tiang gawang dalam permainan sepak bola. Tiang tersebut letaknya sekitar 1 meter dari batu tombon dan akan digunakan sebagai gantungan kentongan dari setiap kelompok.
Aturan Permainan
Inti dari permainan yang disebut sebagai makkatto ini adalah pelontaran batu (paklekbak) ke arah batu sasaran yang disebut batu tombon. Apabila berhasil mengenai batu tombon, maka dua orang pemain (perwakilan) dari masing-masing kelompok akan berlomba memukul kentongan sambil berteriak “kattoo”. Oleh karena itu, aturan mainnya adalah saling melempar ke arah batu tombon, kemudian berlari untuk memukul kentongan. Siapa diantara kedua regu tersebut yang anggotanya dapat melempar batu paklekbak dan memukul kentongan terbanyak akan menjadi pemenangnya. Secara lebih rinci aturan tersebut adalah: (1) pemain tidak boleh melanggar garis anjak (start) ketika sedang melempar; (2) pemain lain tidak boleh mengganggu pemain yang sedang melontar paklekbak; (3) batu paklembak harus jatuh jauh dari posisi semula; (4) pelari-pelari yang akan memukul kentongan tidak boleh mendahului pelontar batu paklekbak; (5) pemukul kentongan tidak boleh melemparkan kayu pemukulnya ke arah kentongan agar lebih cepat mengenai sasaran; (6) pemukul kentongan tidak boleh berteriak “kattoo” sebelum kentongan berhasil dipukul; (7) apabila anggota regu pelempar tidak mengenai sasaran, maka akan digantikan oleh anggota yang lain dalam regunya; (8) Apabila regu pelontar dapat menjatuhkan bambu di atas batu tombon, maka regu lain yang telah memukul kentongan dianggap tidak sah. Apabila peraturan-peraturan tersebut dilanggar oleh regu pelontar, maka akan terjadi pergantian posisi. Regu pelontar hanya menjadi regu pemukul kentongan, sedangkan regu pemukul menjadi regu pelontar dan pemukul kentongan.
Proses Permainan
Permainan diawali dengan pembagian regu (kelompok) yang dilakukan secara aklamasi. Selanjutnya, regu-regu yang telah terbentuk itu melakukan undian untuk menentukan regu mana yang akan mendapat kesempatan melempar terlebih dahulu. Sedangkan cara mengundinya adalah dengan berbaris di garis anjak, kemudian satu-persatu pemain akan melontarkan batu paklekbak-nya ke arah batu tombon. Apabila ada anggota regu yang berhasil menjatuhkan bambu di atas tombon, maka regunya akan mendapat kesempatan pertama untuk melontar. Namun, apabila tidak ada seorang pun yang dapat mengenai batu tombon, maka perhitungannya adalah batu paklekbak yang paling dekat dengan batu tombon akan mendapat kesempatan melontar.
Setelah undian dilakukan, maka kegiatan berikutnya adalah permainan makkatto itu sendiri. Permainan ini dapat dibagi kedalam 4 tahap, yaitu: (1) aklekbak (melontar), (2) akkatto (memukul kentongan), (3) nisulle (tahap susulan), dan (4) tahap nisonda (tahap pergantian regu). Tahap pertama, pemain yang mendapat kesempatan pertama akan bersiap-siap melontarkan paklekbak-nya ke arah tombon. Saat akan melontar tersebut sebelumnya telah ada dua orang pemain, yang salah satunya berasal dari regu lawan, yang telah bersiap-siap di garis anjak untuk memukul kentongan. Tahap kedua, pelontar akan melontarkan paklekbak-nya ke arah tombon. Setelah paklekbak jatuh, barulah kedua pemain tersebut akan berlari menuju kentongan yang jaraknya sekitar 15 meter dari garis anjak. Setelah sampai, pemain akan memukul kentongan dan berteriak “kattoo”, sebelum kembali lagi ke garis anjak dan menyerahkan kayu pemukul kentongan pada pemain lain dalam regunya. Pada tahap ini apabila pelontar dapat menjatuhkan bambu di atas tombon, maka secara otomatis akan memperoleh satu nilai dan regu lawan tidak perlu berlari dan memukul kentongan. Tahap ketiga, memberikan kesempatan kepada pemain lain di dalam regunya untuk melontar. Selanjutnya ia akan mengambil kayu pemukul kentongan untuk bersiap-siap berlari dan memukul kentongan. Dan, tahap keempat, apabila masing-masing pemain dari regu pelontar telah melontarkan paklekbak-nya, maka permainan akan diambil oleh regu lawan yang sebelumnya hanya boleh memukul kentongan saja. Pergantian regu juga dapat dilakukan sebelum seluruh anggota regu selesai melontar apabila peraturan yang telah ditetapkan dilanggar oleh pemain.
Dalam permainan ini, regu yang dapat mengumpulkan nilai terbanyak akan dianggap sebagai pemenang dan dinyatakan sebagai indan. Sedangkan regu yang kalah harus rela disebut sebagai regu bay (babi).
Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan yang disebut sebagai makkatto ini adalah kerja sama, kerja keras, dan sportivitas. Nilai kerja sama tercermin dari anggota regu yang bahu membahu melontar dan memukul kentongan agar mendapatkan nilai bagi kelompoknya. Keadaan ini digambarkan sebagai simbol hubungan antarwarga Luwu yang selalu bekerja sama dalam menghadapi bahaya yang datangnya dari luar (manusia atau binatang liar), maupun dalam kegiatan keseharian warganya (panen, upacara seputar lingkaran hidup, dan lain sebagainya). Nilai kerja keras tercermin dari para pemukul kentongan yang berusaha secepat mungkin untuk berlari dan memukul kentongan agar dapat mengumpulkan nilai bagi regunya. Dan, nilai sportivitas tercermin dari sikap dan perilaku yang sportif para pemain. Dalam hal ini, pemain yang kalah harus mengakui kekalahannya dan dengan lapang dada bersedia disebut sebagai regu babi. Sebutan babi bagi sebagian besar orang Indonesia dapat dianggap sebagai sebuah penghinaan, karena babi dianggap sebagai binatang yang kotor dan oleh agama tertentu diharamkan untuk di makan. Orang yang disebut babi akan merasa terhina, karena dianggap berperilaku sama seperti babi. (pepeng)
Sumber:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1980. Permainan Anak-Anak Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.