Pengantar
Orang Kubu tersebar secara mengelompok di daerah pedalaman (hutan) di 3 kabupaten dari 6 kabupaten/kota yang tergabung dalam Provinsi Jambi (Kabupaten: Bungo Tebo, Sarolangon, dan Batanghari). Ini artinya, hanya Kota Jambi, Kabupaten Kerinci, dan Tanjung Jabung yang “bebas” dari Orang Kubu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika seseorang mendengar kata “Kubu”, maka apa yang terbayang di kepalanya adalah “Jambi”, walaupun Orang Kubu ada juga di daerah Sumatera Selatan, tepatnya di Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Musi Rawas, Indonesia (Melalatoa, 1995:38).
Populasi yang pasti tentang Orang Kubu sulit diketahui karena mereka hidup secara berkelompok dan berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain. Namun, sebagai gambaran di awal abad ke-20, tepatnya tahun 1907, diperkirakan jumlahnya mencapai 7.500 jiwa (Melalatoa, 1995:38). Masing-masing kelompok membentuk komunitas tersendiri. Di kawasan TNBD (Taman Nasional Bukit Duabelas) misalnya, di sana ada tiga kelompok, yakni kelompok yang ada di bagian selatan cagar biosfer (Air Hitam), kemudian yang ada di bagian utara dan timur (Kejagung), dan kelompok yang ada di sebelah barat (Makekal). Sebutan mereka disesuaikan dengan daerah di mana mereka berada. Oleh karena itu, mereka ada yang menyebut sebagai Orang atau Kelompok: “Air Hitam”, “Kejagung”, dan “Makekal”.
Banyak versi yang berkenaan dengan asal-usul orang Kubu, antara lain mereka berasal dari: Palembang (Sumatera Selatan), Sumatera Barat (Pagaruyung), perantau (Bujang Perantau), dan bajak laut. Lepas dari berbagai versi yang berdasarkan ceritera rakyat itu yang jelas bahwa kehidupan mereka tidak lepas dari hutan. Hutan bagi mereka tidak hanya berfungsi sebagai sumber penghidupan, tempat berlindung, dan sarana integrasi sosial, tetapi juga sebagai wahana untuk reproduksi sosial dan aktualisasi diri. Begitu pentingnya keberadaan hutan bagi mereka sehingga memerlukan pengembangan organisasi sosial, pengetahuan, dan pranata-pranata pengendaliannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika mereka benar-benar menguasai seluk beluk setiap jengkal kawasan hutannya. Mereka tahu di mana harus berlindung dari sergapan binatang buas. Mereka tahu persis potensi hutan tempatnya bermukim dan bagaimana mengolahnya, serta tanaman dan binatang apa yang dapat dimanfaatkan. Bahkan, mereka tahu bagaimana melestarikannya (mempertahankan wilayahnya yang telah dikuasai dari generasi ke generasi, mengendalikan, menguasai, dan memanfaatkannya). Tidak sembarang bagian hutan boleh dibuka sebagai tempat berladang, meramu, berburu atau mendirikan perkampungan baru. Pendek kata, orang Kubu mengetahui persis luas hutan yang boleh dibuka dari tepi sungai hingga puncak bukit. Mereka juga tahu tumbuhan apa yang harus ditanam dan bagaimana caranya.
Tulisan ini tidak mengemukakan berbagai cara yang dilakukan oleh orang Kubu dalam melestarikan lingkungan alamnya. Akan tetapi, akan mengemukakan mengenai terintegrasinya seseorang dalam sistem sosial masyarakat Kubu melalui sebuah perkawinan, karena dengan perkawinan berarti seseorang telah dianggap sebagai anggota masyarakat yang penuh (mempunyai hak dan kewajiban sosial yang sama dengan anggota masyarakat lainnya). Melalui perkawinan akan terbentuk sebuah keluarga yang tidak hanya berfungsi sebagai kesatuan ekonomi, tetapi juga pendidikan dan pengembang-biakan keturunan. Untuk itu, sebuah keluarga di manapun dan pada masyarakat manapun, termasuk orang Kubu, didahului dengan perkawinan (berdasarkan agama dan atau adat-istiadat masyarakat yang bersangkutan). Perkawinan yang ideal di kalangan orang Kubu adalah perkawinan antara seorang pemuda dan gadis anak saudara laki-laki dari pihak ibu (cross causin). Sungguhpun demikian, seorang pemuda boleh memilih jodoh dengan siapa saja asal bukan seperut (sedarah).
Proses Perkawinan Orang Kubu
Perkenalan
Sebagaimana lazimnya proses perkawinan pada masyarakat Indonesia secara umum, perkawinan orang Kubu juga didahului oleh pertemuan antara dua remaja yang berlainan jenis. Pertemuan yang kemudian membuat mereka saling kenal dan saling tetarik ini bisa terjadi di ladang, sungai, hutan, atau di pesta perkawinan. Jika dalam pertemuan tersebut keduanya bersepakat untuk hidup bersama, maka pihak orang tua akan memberitahukannya kepada tetua tenganai (orang-orang tua yang berpengalaman). Jika mereka telah sepakat, maka peminangan dapat dilakukan.
Peminangan dan Pertunangan
Peminangan pada dasarnya adalah suatu kegiatan untuk membicarakan kemungkinan adanya suatu perkawinan. Kegiatan ini oleh orang Kubu disebut sebagai “moro”. Untuk itu, ayah sang pemuda menemui ayah sang gadis untuk memastikan apakah anak laki-lakinya dapat ditunangkan dengan anak gadisnya. Jika dalam pembicaraan itu keduanya sepakat, maka mereka menemui tetua tenganai terdekat. Kemudian, mereka menentukan kapan pertunangan dilakukan.
Ketika hari yang disepakati untuk bertunangan tiba, maka pihak keluarga laki-laki datang ke rumah keluarga perempuan dengan membawa bawaan yang terdiri atas: pakaian perempuan seperlunya, sirih pinang selengkapnya, dan selemak-semanis (beras dan lauk-pauk). Dengan diterimanya bawaan tersebut berarti sepasang remaja yang berlainan jenis telah bertunangan menurut adat mereka.
Lama dan singkatnya waktu pertunangan antara seorang jejaka dan seorang gadis Kubu bergantung kesepakatan orang tua (ayah) kedua belah pihak. Melalatoa (1995:39) menyebutkan 8--9 tahun. Malahan, terkadang sampai 10 tahun. Ada beberapa alasan yang mendasari mengapa masa pertunangan mereka berlangsung dalam waktu yang relatif lama, yaitu umur dan kesiapan pihak keluarga laki-laki untuk memenuhi persyaratan upacara perkawinan yaitu mas kawin yang berupa kain panjang atau sarung sejumlah 140 buah, selemak semanis (bahan makanan yang berupa ubi dan beras), lauk-pauk yang berupa daging binatang buruan, dan masih banyak lainnya yang mesti diserahkan kepada pihak keluarga perempuan sebelum upacara perkawinan dilaksanakan.
Perlu diketahui bahwa umur ketika seorang jejaka menjadi pengantin (kawin) pada umumnya 11--14 tahun, sedangkan seorang gadis pada umunya berumur 17--21 tahun. Jadi, pada umunya calon suami lebih muda ketimbang calon isterinya. Sehubungan dengan itu, calon suami harus “didewasakan” dengan berbagai kegiatan yang biasa dilakukan oleh orang dewasa. Dalam hal ini calon pengantin laki-laki harus menunjukkan ketangkasannya (uji tangkas). Misalnya, ia harus dapat meniti kayu yang telah dikupas kulitnya (licin) dan atau membangun balai1) (bangsal) dalam waktu setengah hari (dikerjakan sendiri mulai dari matahari terbit sampai dengan tengah hari). Jika ia dapat melakukannya (meniti kayu yang licin dan atau mendirikan balai), maka dianggap lulus dan perkawinan dapat dilangsungkan. Akan tetapi, jika tidak dapat melakukannya dengan baik alias gagal, bukan berarti bahwa perkawinan diurungkan atau gagal, tetapi calon pengantin laki-laki masih diberi kesempatan untuk mengulanginya pada hari berikutnya. Pendek kata, sampai calon pengantin laki-laki dapat melakukannya dengan baik (berhasil). Biasanya ujian tersebut dilaksanakan dua hari menjelang perkawinan (upacara perkawinan).
Sebagai catatan, meskipun jangka waktu pertunangan telah disepakati oleh kedua belah pihak, namun percepatan bisa saja terjadi. Hal itu bergantung pada kesiapan pihak keluarga laki-laki untuk melangsungkan perkawinan. Jika itu terjadi, biasanya pihak keluarga laki-laki yang mengusulkannya. Sedangkan, pihak keluarga perempuan sifatnya hanya mengikuti saja.
Upacara Perkawinan
Sebelum upacara perkawinan (akad nikah) dilaksanakan, pihak keluarga laki-laki menyiapkan dan menyerahkan semua persyaratan yang diminta oleh pihak keluraga perempuan. Persyaratan itu tidak hanya mas kawin dan selemak semanis, tetapi masih banyak lainnya, yaitu: seekor ayam berugo pikatan (ayam yang digunakan untuk memburu ayam hutan), seekor anjing yang mau (anjing yang pandai menggiring dan atau menangkap biawak, babi hutan, dan napo-napo (sejenis pelanduk), sebuah pesap atau ambat atau saok-saok (jaring ikan yang berukuran kecil), seekor burung puyul (puyuh) yang pandai berkelahi dengan sejenisnya, dan sepotong pakaian atau kain yang bagus. Jika permintaan yang sekaligus merupakan persyaratan itu dipenuhi, maka perkawinan bisa dilaksanakan. Akan tetapi, jika tidak bisa dipenuhi, maka perkawinan ditangguhkan atau bisa saja dibatalkan.
Upacara perkawinan itu sendiri biasanya bertempat di tengah-tengah pemukiman, sehingga mempermudah bagi sanak-saudara yang akan menghadirinya. Di sana sebelumnya telah dibangun sebuah pondok yang dilakukan secara gotong-royong. Luasnya 4 x 4 meter, atapnya daun rumbia, dan lantainya terbuat dari batang kayu yang garis tengahnya kurang lebih 5 cm. Lantai tersebut tingginya kurang lebih 60 cm dari permukaan tanah. Di pondok inilah kedua mempelai duduk saling berhadapan. Sementara, keluarga kedua belah pihak beserta undangan duduk melingkarinya. Temenggung, yang dalam hal ini bertindak sebagai “pejabat nikah”, duduk menghadap kedua pengantin. Dan memberi nasehat tentang kehidupan dalam sebuah rumah tangga. Kemudian, memegang tangan kedua pengantin dan mengucapkan kata-kata sebagai berikut: “Seko si ... kembali kepada seki si ..., semalam iko si ... nikah sampai menyeluat betongkat tebu seruas, lah lengok nyawo yang jantan maupun betino, nak sedingin air nak sepanjang rotan”. Selanjutnya, kedua tangan pengantin ditepukkan sejumlah tujuh kali. Setelah itu, kedua kening pengantin diadukan (dibenturkan) secara perlahan sejumlah tujuh kali pula. Dengan selesainya benturan itu berarti sepasang remaja yang berlainan jenis itu telah menjadi suami-isteri. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa upacara perkawinan selesai karena di kalangan orang Kubu ada kebiasaan penyelenggaraan suatu upacara perkawinan berlangsung kurang lebih tujuh hari. Jadi, setelah akad nikah dilaksanakan, maka pada malam berikutnya pihak keluarga pengantin perempuan mengadakan kendurian yang bertempat di rumah pengantin perempuan dan di balai yang dibuat oleh pengantin laki-laki ketika uji ketangkasan. Demikian juga pada malam-malam berikutnya sampai kurang lebih tujuh malam, mulai dari pukul 20.00--24.00 WIB. Mengingat bahwa kendurian memerlukan bahan makanan yang tidak sedikit, maka pihak keluarga pengantin laki-laki, melalui kegiatan yang disebut antaran, menyumbang kurang lebih separuh (50%) dari perkiraan kebutuhan.
Ada kebiasaan di kalangan orang Kubu bahwa setelah akad nikah pengantin baru pergi ke hutan selama kurang lebih tujuh hari. Di sana mereka tidak hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam sebuah keluarga, tetapi juga memperoleh binatang buruan. Binatang buruan, apakah itu biawak, babi hutan, atau napo-napo nantinya akan dibawa pulang kepada orang tuanya. Di kalangan orang Kubu hasil buruan yang didapatkan oleh pengantin baru yang pergi ke hutan selama kurang lebih tujuh hari adalah bukan sekedar “oleh-oleh”. Akan tetapi, itu sebagai suatu tanda bahwa kelak kehidupan rumah tangga pengantin baru tersebut banyak rezekinya (berlimpah).
Sepulangnya dari hutan (setelah menyerahkan hasil buruannya), pasangan pengantin baru tersebut mendirikan gubug yang letaknya berdampingan atau tidak jauh dari gubug orang tua laki-laki. Adat menetap seperti ini dalam ilmu antropologi disebut “virilocal”, yaitu adat yang menentukan bahwa pengantin baru menetap di sekitar tempat kediaman kerabat laki-laki (suami).
Catatan:
Jika pihak keluarga laki-laki tidak dapat memenuhi persyaratan suatu perkawinan yang relatif berat itu, maka bukan bahwa berarti anaknya tidak dapat membentuk keluarga baru (kawin). Ada cara lain yang disebut dengan kawin lari, yaitu sepasang remaja yang telah bersepakat untuk hidup bersama bertemu pada suatu tempat di malam hari. Oleh karena perginya secara sembunyi-sembunyi (tidak diketahui oleh siapapun), maka kedua sejoli itu dianggap hilang atau ada seorang gadis yang dibawa lari oleh seorang pemuda. Dengan tersebarnya berita itu, maka orang tua kedua belah pihak beserta masyarakat berusaha untuk mencarinya. Setelah ditemukan, pemuda yang membawa lari gadis orang itu dipukuli oleh keluarganya sendiri karena dianggap memalukan keluarga. Masyarakat pun segera menggelar sidang untuk menghukumnya. Dan, berdasarkan ketentuan adat, maka pihak keluarga laki-laki harus membayar denda yang berupa 200 lembar kain sarung kepada pihak keluarga perempuan. Dengan terbayarnya denda tersebut berarti kedua sejoli tersebut dianggap sah sebagai suami-isteri. Dan, upacara perkawinan tidak perlu diadakan, sehingga pihak keluarga laki-laki tidak perlu memenuhi berbagai persyaratan perkawinan sebagaimana lazimnya sebuah perkawinan di kalangan orang Kubu.
Nilai Budaya
Perkawinan, di manapun dan pada masyarakat manapun, termasuk masyarakat Kubu, adalah masalah sosial. Artinya, ia tidak hanya menjadi urusan individu-individu yang berlainan jenis semata (yang akan mendirikan sebuah rumah tangga). Akan tetapi, akan melibatkan berbagai pihak, yaitu: keluarga pihak laki-laki, keluarga pihak perempuan, dan masyarakatnya. Untuk itu, sebuah perkawinan mesti mengikuti ketentuan-ketentuan adat yang berlaku dalam masyarakatnya. Sistem perkawinan di kalangan orang Kubu, jika dicermati, mengandung nilai-nilai yang tidak hanya dapat dijadikan sebagai acuan bagi keluarga baru dalam menjalani kehidupan bersamanya, tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya. Nilai-nilai itu, antara lain: kerja keras, kerjasama, dan tanggung jawab.
Nilai kerja keras tidak hanya tercermin dari usaha calon pengantin (laki-laki) melewati kayu-bulat yang licin dan atau membuat balai dalam waktu yang relatif singkat (setengah hari), tetapi juga dalam hidup berdua selama kurang lebih tujuh hari di hutan dan sekaligus berburu sekuat tenaga untuk menemukan dan mendapatkan binatang buruan (biawak, babi hutan, atau napo-napo). Nilai kerjasama juga tercermin dalam kehidupan bersama selama tujuh hari di hutan. Untuk dapat bertahan, mereka mesti bahu-membahu (kerjasama), baik dalam memperoleh makanan maupun binatang buruan. Kemudian, nilai tanggung jawab tercerimin dalam makna simbolik dari binatang buruan yang diserahkan kepada mertuanya. (Pepeng)
Sumber:
Galba, Sindu. 2002. “Manusia dan Kebudayaan Kubu” (Nasakah Laporan Hasil Penelitian)
Hidayah, Z. 1996. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
1) Balai adalah bangunan yang bertiang kayu atau rotan dan beratap daun rumbia dengan luas balai 7x7 depa (kurang lebih 10x10 meter).
Orang Kubu tersebar secara mengelompok di daerah pedalaman (hutan) di 3 kabupaten dari 6 kabupaten/kota yang tergabung dalam Provinsi Jambi (Kabupaten: Bungo Tebo, Sarolangon, dan Batanghari). Ini artinya, hanya Kota Jambi, Kabupaten Kerinci, dan Tanjung Jabung yang “bebas” dari Orang Kubu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika seseorang mendengar kata “Kubu”, maka apa yang terbayang di kepalanya adalah “Jambi”, walaupun Orang Kubu ada juga di daerah Sumatera Selatan, tepatnya di Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Musi Rawas, Indonesia (Melalatoa, 1995:38).
Populasi yang pasti tentang Orang Kubu sulit diketahui karena mereka hidup secara berkelompok dan berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain. Namun, sebagai gambaran di awal abad ke-20, tepatnya tahun 1907, diperkirakan jumlahnya mencapai 7.500 jiwa (Melalatoa, 1995:38). Masing-masing kelompok membentuk komunitas tersendiri. Di kawasan TNBD (Taman Nasional Bukit Duabelas) misalnya, di sana ada tiga kelompok, yakni kelompok yang ada di bagian selatan cagar biosfer (Air Hitam), kemudian yang ada di bagian utara dan timur (Kejagung), dan kelompok yang ada di sebelah barat (Makekal). Sebutan mereka disesuaikan dengan daerah di mana mereka berada. Oleh karena itu, mereka ada yang menyebut sebagai Orang atau Kelompok: “Air Hitam”, “Kejagung”, dan “Makekal”.
Banyak versi yang berkenaan dengan asal-usul orang Kubu, antara lain mereka berasal dari: Palembang (Sumatera Selatan), Sumatera Barat (Pagaruyung), perantau (Bujang Perantau), dan bajak laut. Lepas dari berbagai versi yang berdasarkan ceritera rakyat itu yang jelas bahwa kehidupan mereka tidak lepas dari hutan. Hutan bagi mereka tidak hanya berfungsi sebagai sumber penghidupan, tempat berlindung, dan sarana integrasi sosial, tetapi juga sebagai wahana untuk reproduksi sosial dan aktualisasi diri. Begitu pentingnya keberadaan hutan bagi mereka sehingga memerlukan pengembangan organisasi sosial, pengetahuan, dan pranata-pranata pengendaliannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika mereka benar-benar menguasai seluk beluk setiap jengkal kawasan hutannya. Mereka tahu di mana harus berlindung dari sergapan binatang buas. Mereka tahu persis potensi hutan tempatnya bermukim dan bagaimana mengolahnya, serta tanaman dan binatang apa yang dapat dimanfaatkan. Bahkan, mereka tahu bagaimana melestarikannya (mempertahankan wilayahnya yang telah dikuasai dari generasi ke generasi, mengendalikan, menguasai, dan memanfaatkannya). Tidak sembarang bagian hutan boleh dibuka sebagai tempat berladang, meramu, berburu atau mendirikan perkampungan baru. Pendek kata, orang Kubu mengetahui persis luas hutan yang boleh dibuka dari tepi sungai hingga puncak bukit. Mereka juga tahu tumbuhan apa yang harus ditanam dan bagaimana caranya.
Tulisan ini tidak mengemukakan berbagai cara yang dilakukan oleh orang Kubu dalam melestarikan lingkungan alamnya. Akan tetapi, akan mengemukakan mengenai terintegrasinya seseorang dalam sistem sosial masyarakat Kubu melalui sebuah perkawinan, karena dengan perkawinan berarti seseorang telah dianggap sebagai anggota masyarakat yang penuh (mempunyai hak dan kewajiban sosial yang sama dengan anggota masyarakat lainnya). Melalui perkawinan akan terbentuk sebuah keluarga yang tidak hanya berfungsi sebagai kesatuan ekonomi, tetapi juga pendidikan dan pengembang-biakan keturunan. Untuk itu, sebuah keluarga di manapun dan pada masyarakat manapun, termasuk orang Kubu, didahului dengan perkawinan (berdasarkan agama dan atau adat-istiadat masyarakat yang bersangkutan). Perkawinan yang ideal di kalangan orang Kubu adalah perkawinan antara seorang pemuda dan gadis anak saudara laki-laki dari pihak ibu (cross causin). Sungguhpun demikian, seorang pemuda boleh memilih jodoh dengan siapa saja asal bukan seperut (sedarah).
Proses Perkawinan Orang Kubu
Perkenalan
Sebagaimana lazimnya proses perkawinan pada masyarakat Indonesia secara umum, perkawinan orang Kubu juga didahului oleh pertemuan antara dua remaja yang berlainan jenis. Pertemuan yang kemudian membuat mereka saling kenal dan saling tetarik ini bisa terjadi di ladang, sungai, hutan, atau di pesta perkawinan. Jika dalam pertemuan tersebut keduanya bersepakat untuk hidup bersama, maka pihak orang tua akan memberitahukannya kepada tetua tenganai (orang-orang tua yang berpengalaman). Jika mereka telah sepakat, maka peminangan dapat dilakukan.
Peminangan dan Pertunangan
Peminangan pada dasarnya adalah suatu kegiatan untuk membicarakan kemungkinan adanya suatu perkawinan. Kegiatan ini oleh orang Kubu disebut sebagai “moro”. Untuk itu, ayah sang pemuda menemui ayah sang gadis untuk memastikan apakah anak laki-lakinya dapat ditunangkan dengan anak gadisnya. Jika dalam pembicaraan itu keduanya sepakat, maka mereka menemui tetua tenganai terdekat. Kemudian, mereka menentukan kapan pertunangan dilakukan.
Ketika hari yang disepakati untuk bertunangan tiba, maka pihak keluarga laki-laki datang ke rumah keluarga perempuan dengan membawa bawaan yang terdiri atas: pakaian perempuan seperlunya, sirih pinang selengkapnya, dan selemak-semanis (beras dan lauk-pauk). Dengan diterimanya bawaan tersebut berarti sepasang remaja yang berlainan jenis telah bertunangan menurut adat mereka.
Lama dan singkatnya waktu pertunangan antara seorang jejaka dan seorang gadis Kubu bergantung kesepakatan orang tua (ayah) kedua belah pihak. Melalatoa (1995:39) menyebutkan 8--9 tahun. Malahan, terkadang sampai 10 tahun. Ada beberapa alasan yang mendasari mengapa masa pertunangan mereka berlangsung dalam waktu yang relatif lama, yaitu umur dan kesiapan pihak keluarga laki-laki untuk memenuhi persyaratan upacara perkawinan yaitu mas kawin yang berupa kain panjang atau sarung sejumlah 140 buah, selemak semanis (bahan makanan yang berupa ubi dan beras), lauk-pauk yang berupa daging binatang buruan, dan masih banyak lainnya yang mesti diserahkan kepada pihak keluarga perempuan sebelum upacara perkawinan dilaksanakan.
Perlu diketahui bahwa umur ketika seorang jejaka menjadi pengantin (kawin) pada umumnya 11--14 tahun, sedangkan seorang gadis pada umunya berumur 17--21 tahun. Jadi, pada umunya calon suami lebih muda ketimbang calon isterinya. Sehubungan dengan itu, calon suami harus “didewasakan” dengan berbagai kegiatan yang biasa dilakukan oleh orang dewasa. Dalam hal ini calon pengantin laki-laki harus menunjukkan ketangkasannya (uji tangkas). Misalnya, ia harus dapat meniti kayu yang telah dikupas kulitnya (licin) dan atau membangun balai1) (bangsal) dalam waktu setengah hari (dikerjakan sendiri mulai dari matahari terbit sampai dengan tengah hari). Jika ia dapat melakukannya (meniti kayu yang licin dan atau mendirikan balai), maka dianggap lulus dan perkawinan dapat dilangsungkan. Akan tetapi, jika tidak dapat melakukannya dengan baik alias gagal, bukan berarti bahwa perkawinan diurungkan atau gagal, tetapi calon pengantin laki-laki masih diberi kesempatan untuk mengulanginya pada hari berikutnya. Pendek kata, sampai calon pengantin laki-laki dapat melakukannya dengan baik (berhasil). Biasanya ujian tersebut dilaksanakan dua hari menjelang perkawinan (upacara perkawinan).
Sebagai catatan, meskipun jangka waktu pertunangan telah disepakati oleh kedua belah pihak, namun percepatan bisa saja terjadi. Hal itu bergantung pada kesiapan pihak keluarga laki-laki untuk melangsungkan perkawinan. Jika itu terjadi, biasanya pihak keluarga laki-laki yang mengusulkannya. Sedangkan, pihak keluarga perempuan sifatnya hanya mengikuti saja.
Upacara Perkawinan
Sebelum upacara perkawinan (akad nikah) dilaksanakan, pihak keluarga laki-laki menyiapkan dan menyerahkan semua persyaratan yang diminta oleh pihak keluraga perempuan. Persyaratan itu tidak hanya mas kawin dan selemak semanis, tetapi masih banyak lainnya, yaitu: seekor ayam berugo pikatan (ayam yang digunakan untuk memburu ayam hutan), seekor anjing yang mau (anjing yang pandai menggiring dan atau menangkap biawak, babi hutan, dan napo-napo (sejenis pelanduk), sebuah pesap atau ambat atau saok-saok (jaring ikan yang berukuran kecil), seekor burung puyul (puyuh) yang pandai berkelahi dengan sejenisnya, dan sepotong pakaian atau kain yang bagus. Jika permintaan yang sekaligus merupakan persyaratan itu dipenuhi, maka perkawinan bisa dilaksanakan. Akan tetapi, jika tidak bisa dipenuhi, maka perkawinan ditangguhkan atau bisa saja dibatalkan.
Upacara perkawinan itu sendiri biasanya bertempat di tengah-tengah pemukiman, sehingga mempermudah bagi sanak-saudara yang akan menghadirinya. Di sana sebelumnya telah dibangun sebuah pondok yang dilakukan secara gotong-royong. Luasnya 4 x 4 meter, atapnya daun rumbia, dan lantainya terbuat dari batang kayu yang garis tengahnya kurang lebih 5 cm. Lantai tersebut tingginya kurang lebih 60 cm dari permukaan tanah. Di pondok inilah kedua mempelai duduk saling berhadapan. Sementara, keluarga kedua belah pihak beserta undangan duduk melingkarinya. Temenggung, yang dalam hal ini bertindak sebagai “pejabat nikah”, duduk menghadap kedua pengantin. Dan memberi nasehat tentang kehidupan dalam sebuah rumah tangga. Kemudian, memegang tangan kedua pengantin dan mengucapkan kata-kata sebagai berikut: “Seko si ... kembali kepada seki si ..., semalam iko si ... nikah sampai menyeluat betongkat tebu seruas, lah lengok nyawo yang jantan maupun betino, nak sedingin air nak sepanjang rotan”. Selanjutnya, kedua tangan pengantin ditepukkan sejumlah tujuh kali. Setelah itu, kedua kening pengantin diadukan (dibenturkan) secara perlahan sejumlah tujuh kali pula. Dengan selesainya benturan itu berarti sepasang remaja yang berlainan jenis itu telah menjadi suami-isteri. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa upacara perkawinan selesai karena di kalangan orang Kubu ada kebiasaan penyelenggaraan suatu upacara perkawinan berlangsung kurang lebih tujuh hari. Jadi, setelah akad nikah dilaksanakan, maka pada malam berikutnya pihak keluarga pengantin perempuan mengadakan kendurian yang bertempat di rumah pengantin perempuan dan di balai yang dibuat oleh pengantin laki-laki ketika uji ketangkasan. Demikian juga pada malam-malam berikutnya sampai kurang lebih tujuh malam, mulai dari pukul 20.00--24.00 WIB. Mengingat bahwa kendurian memerlukan bahan makanan yang tidak sedikit, maka pihak keluarga pengantin laki-laki, melalui kegiatan yang disebut antaran, menyumbang kurang lebih separuh (50%) dari perkiraan kebutuhan.
Ada kebiasaan di kalangan orang Kubu bahwa setelah akad nikah pengantin baru pergi ke hutan selama kurang lebih tujuh hari. Di sana mereka tidak hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam sebuah keluarga, tetapi juga memperoleh binatang buruan. Binatang buruan, apakah itu biawak, babi hutan, atau napo-napo nantinya akan dibawa pulang kepada orang tuanya. Di kalangan orang Kubu hasil buruan yang didapatkan oleh pengantin baru yang pergi ke hutan selama kurang lebih tujuh hari adalah bukan sekedar “oleh-oleh”. Akan tetapi, itu sebagai suatu tanda bahwa kelak kehidupan rumah tangga pengantin baru tersebut banyak rezekinya (berlimpah).
Sepulangnya dari hutan (setelah menyerahkan hasil buruannya), pasangan pengantin baru tersebut mendirikan gubug yang letaknya berdampingan atau tidak jauh dari gubug orang tua laki-laki. Adat menetap seperti ini dalam ilmu antropologi disebut “virilocal”, yaitu adat yang menentukan bahwa pengantin baru menetap di sekitar tempat kediaman kerabat laki-laki (suami).
Catatan:
Jika pihak keluarga laki-laki tidak dapat memenuhi persyaratan suatu perkawinan yang relatif berat itu, maka bukan bahwa berarti anaknya tidak dapat membentuk keluarga baru (kawin). Ada cara lain yang disebut dengan kawin lari, yaitu sepasang remaja yang telah bersepakat untuk hidup bersama bertemu pada suatu tempat di malam hari. Oleh karena perginya secara sembunyi-sembunyi (tidak diketahui oleh siapapun), maka kedua sejoli itu dianggap hilang atau ada seorang gadis yang dibawa lari oleh seorang pemuda. Dengan tersebarnya berita itu, maka orang tua kedua belah pihak beserta masyarakat berusaha untuk mencarinya. Setelah ditemukan, pemuda yang membawa lari gadis orang itu dipukuli oleh keluarganya sendiri karena dianggap memalukan keluarga. Masyarakat pun segera menggelar sidang untuk menghukumnya. Dan, berdasarkan ketentuan adat, maka pihak keluarga laki-laki harus membayar denda yang berupa 200 lembar kain sarung kepada pihak keluarga perempuan. Dengan terbayarnya denda tersebut berarti kedua sejoli tersebut dianggap sah sebagai suami-isteri. Dan, upacara perkawinan tidak perlu diadakan, sehingga pihak keluarga laki-laki tidak perlu memenuhi berbagai persyaratan perkawinan sebagaimana lazimnya sebuah perkawinan di kalangan orang Kubu.
Nilai Budaya
Perkawinan, di manapun dan pada masyarakat manapun, termasuk masyarakat Kubu, adalah masalah sosial. Artinya, ia tidak hanya menjadi urusan individu-individu yang berlainan jenis semata (yang akan mendirikan sebuah rumah tangga). Akan tetapi, akan melibatkan berbagai pihak, yaitu: keluarga pihak laki-laki, keluarga pihak perempuan, dan masyarakatnya. Untuk itu, sebuah perkawinan mesti mengikuti ketentuan-ketentuan adat yang berlaku dalam masyarakatnya. Sistem perkawinan di kalangan orang Kubu, jika dicermati, mengandung nilai-nilai yang tidak hanya dapat dijadikan sebagai acuan bagi keluarga baru dalam menjalani kehidupan bersamanya, tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya. Nilai-nilai itu, antara lain: kerja keras, kerjasama, dan tanggung jawab.
Nilai kerja keras tidak hanya tercermin dari usaha calon pengantin (laki-laki) melewati kayu-bulat yang licin dan atau membuat balai dalam waktu yang relatif singkat (setengah hari), tetapi juga dalam hidup berdua selama kurang lebih tujuh hari di hutan dan sekaligus berburu sekuat tenaga untuk menemukan dan mendapatkan binatang buruan (biawak, babi hutan, atau napo-napo). Nilai kerjasama juga tercermin dalam kehidupan bersama selama tujuh hari di hutan. Untuk dapat bertahan, mereka mesti bahu-membahu (kerjasama), baik dalam memperoleh makanan maupun binatang buruan. Kemudian, nilai tanggung jawab tercerimin dalam makna simbolik dari binatang buruan yang diserahkan kepada mertuanya. (Pepeng)
Sumber:
Galba, Sindu. 2002. “Manusia dan Kebudayaan Kubu” (Nasakah Laporan Hasil Penelitian)
Hidayah, Z. 1996. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
1) Balai adalah bangunan yang bertiang kayu atau rotan dan beratap daun rumbia dengan luas balai 7x7 depa (kurang lebih 10x10 meter).