Oleh: Yasmine Zaki Shahab
Abstrak
Orang Betawi yang terbentuk antara tahun 1873 dan 1923 merupakan peleburan dari berbagai etnik, diantaranya etnik Melayu. Walaupun demikian jumlah etnik Melayu bukanlah yang dominan karena jumlahnya sama dengan orang Bugis, Makassar, Mandar dan hanya setengah dari jumlah orang Bali. Jadi pembentuk utama etnis Betawi berasal dari timur Indonesia, tetapi penampilan budaya berasal dari barat Indonesia yaitu Melayu, seperti bahasa, kesenian, busana, boga dan griya. Yang amat menarik ciri khas Betawi amat identik dengan ciri khas Melayu yaitu Islam. Sebenarnya unsur Melayu dominan pada orang Betawi Kota dan tidak pada orang Betawi di pinggir Kota Jakarta yang juga amat terpengaruh tradisi Sunda dan Cina. Dalam rekacipta tradisi Betawi yang dimulai pada tahun 1970an unsur Melayu kurang tersentuh karena lebih bernuansa Islam dan agak sulit untuk diangkat sebagai komoditas yang merupakan salah satu tujuan utama dalam proses rekacipta ini.
Penduduk asli Jakarta ini yang dikenal sebagai orang Betawi sering disebut sebagai Melayu Betawi. Bahkan beberapa waktu yang lalu mereka menamakan dirinya orang Melayu. Baru setelah istilah Betawi dipopulerkan kembali pada tahun 1970an, maka istilah ini berhasil menggeser kata Melayu sehingga kini kata Melayu Betawi praktis hampir tak terdengar lagi. Salah sebuah teori yang mengungkapkan mengenai sejarah pembentukan orang Betawi memperlihatkan peran Melayu pada kelompok ini. Orang Betawi merupakan peleburan dari berbagai etnik di Batavis, diantaranya orang Melayu seperti tampak pada tabel 1.
Tabel 1
Penduduk Jakarta pada tahun 1673, 1815 dan 1893
(1) | 1673 (2) | 1815 (3) | 1893 (4) |
1. Eropa 2. Cina (remasuk peranakan 3. Mardijkers 4. Arab 5. Moors 6. Jawa (termasuk Sunda) 7. Kelompok Sulawesi Selatan 8. Bali 9. Sumbawa 10. Ambon dan Banda 11. Melayu 12. Budak | 2750 2747 5362 - - 6339 - 981 - - 611 13278 | 2028 11584 - 318 119 3331 4139 7720 232 82 3155 14249 | 9017 26569 - - 2842 - - - 72241 - - - |
Sumber: Lance Castles, 1969:157
Lohanda (2004) dalam tulisannya mengenai “Batavia Dibawah Penguasaan Kolonial” menyatakan bahwa penguasa VOC pada waktu itu membangun tembok yang membagi Batavia menjadi dua, daerah dalam tembok (Intramuros) dan luar tembok (Ommelanden). Tembok ini selesai dibangun pada tahun 1650. Penduduk pribumi diusir dari dalam kota dan diharuskan menetap di Ommelanden, ditempatkan dibawah pengawasan seorang kepala atau komandan yang bertanggungjawab atas kehidupan kelompok etnis masing-masing. Penempatan ini dimaksudkan sebagai tindakan pengamanan, menjadi wilayah pelindung kota dari serangan luar, khususnya Banten. Mereka tidak dibolehkan pindah ke kampung lain, harus mengenakan pakaian daerah asal mereka dan dilarang melakukan kawin campur. Tapi kenyataannya peraturan ini tidak efektif, karena hukumannya tidak pernah benar-benar dilaksanakan sehingga tampak adanya tingkat kawin campur yang tinggi. Dilaporkan oleh asisten residen untuk wilayah Stad en Voorsteden, J van der Vinnie dan A.L.P. Serriere untuk wilayah Ommelanden, percampuran antar kelompok etnis menyebabkan identitas masing-masing sulit dikenali[1]. Sehubungan dengan ini menarik untuk mengutip pengalaman van der Aa, pegawai pemerintah Belanda, yang mengatakan bahwa dalam melakukan pekerjaannya ia dihadapi pada masalah orang-orang yang tidak dapat mengidentifikasikan afiliasi etnik mereka. Merujuk pada tabel 1, maka 72.241 orang ini kemungkinan mengimplikasikan situasi di Batavia pada waktu itu, bahwa banyak orang tidak dapat menentukan afiliasi etnis mereka.
Sensus penduduk tahun 1930 yang merupakan sensus pertama di Indonesia kembali memperlihatkan distribusi etnik seperti tampak pada tabel 2. Pada sensus tahun 1930 terdapat kelompok etnik baru yang tidak terdapat pada catatan penduduk sebelumnya yaitu etnik Betawi. Argumentasi yang dapat dimunculkan disini adalah bahwa sampai dengan tahun 1893 secara ofisial orang Betawi belum terdapat di Batavia.
Tabel 2
Persebaran Penduduk di Batavia tahun 1930
(1) | (2) | Sensus 1930 (3) | (4) |
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 | Sukubangsa Betawi Sunda Jawa Aceh Batak Minangkabau Sumatera Selatan Banjar Sulawesi Selatan Sulawesi Utara Maluku dan Irian NTT NTB Bali Melayu Total | Jumlah 419.800 150.300 60.00 - 1.300 3.202 800 - - 3.800 2.000 - - - 5.300 653.400 | % 64.3 24.5 9.2 - 0.2 0.5 0.1 - - 0.6 0.3 - - - 0.8 100.0 |
Sumber: Lance Castles hlm 185
Pada perempat pertama abad 20 ketika aham nasionalisme baru tiba pada fase kesadaran tingkat lokal, bermunculan banyak gerakan nasionalisme etnis, diantaranya organisasi Kaoem Betawi yang didirikan pada 1 Januari 1923 oleh Muhamad Husni Thamrin. Lohanda mencatat bahwa Perkumpulan Warga Betawi ini mendapat pengakuan resmi dari pemerintah dengan dikeluarkannya besluit 22 Desember 1923 yang dimuat dalam Javasche Courant 4 Januari 1924 No. 2. Dengan demikian terjadi pengakuan resmi secara terbuka akan kehadiran kelompok etnis Betawi. Selanjutnya Lohanda berargumentasi bahwa berdasarkan catatan memori serah terima jabatan dari P.H. Willemse yang menjabat residen sejak Juli 1929 hingga Oktober 31, dalam “Memorie van Overgave, residentie Batavia 26 Oktober 1931 halaman 10 secara eksplisit mencatat adanya berbagai kelompok etnis di Batavia, tetapi…door een sterke mening met de oorspronkelijke inheemsche bevolking, in de loop der eeuwn een nieuwe volkras deden onstaan…(oleh adanya percampuran yang kuat dengan penduduk asli setempat, di dalam perjalanan waktu berabad-abad muncul sebuah ras etnik yang baru). Lebih lanjut Willemse mengamati bahwa…door allerlei kruizengen en mengingen een vlkstype onstaan, dat als het vare een eigen ras vormt, de Batavianen, die en vele eigenaardigheden, in het bijzonder de taal, waaarover nader meer, van hun eerste voorouders verschillen…(oleh berbagai persilangan dan percampuran suatu tipe etnis muncul yang sebagaimana jadinya membentuk sebuah ras sendiri, orang Betawi, yang di dalam banyak keunikan, terutama dalam hal bahasa, sangat berbeda dari nenek moyang mereka). Dengan demikian berarti kelompok etnik ini terbentuk antara 1893-1923, yang terjadi karena peleburan berbagai kelompok etnik diantaranya etnik Melayu.
Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah etnis Melayu tidak terlalu besar, relatif sama dengan jumlah orang Jawa dan Bugis bahkan hanya setengah jumlah orang Bali. Inilah yang dipertanyakan Lance Castles, mengapa orang Betawi yang unsur pembentuknya terutama berasal dari timur Indonesia menyandang gaya hidup yang berasal dari belahan barat Indonesia. Belahan barat yang dimaksud adalah Melayu dan Islam. Demikianla unsur Melayu pada orang Betawi terdapat pada sejarah pembentukan dan gaya hidup atau kebudayaannya.
Seperti kami katakan bahwa hingga beberapa waktu yang lalu penduduk asli Jakarta mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Melayu atau menurut lokasi tempat tinggal mereka, seperti orang Kwintang; orang Kemayoran; orang Tanahabang dan seterusnya. Setelah tahun 1970an yang merupakan titikbalik kebangkitan kebetawian di Jakarta telah terjadi pergeseran lebel dari Melayu ke Betawi. Orang yang dulu menyebut kelompoknya sebagai Melayu telah menyebut dirinya sebagai orang Betawi. Tetapi generasi muda telah menanamkan diri mereka orang Betawi. Ternyata sensus tahun 2000, tabel 3, telah mencatat orang Melayu yang ada di Jakarta dimana terdapat 134.477 orang Melayu atau 1,62% dari penduduk Jakarta. Siapakah orang Melayu ini? Apakah mereka orang Betawi generasi tua? Ataukah orang Melayu yang bukan orang Betawi. Kontrol dengan variabel umum (tabel 4) dan tempat lahir (tabel 5) dapat memberikan jawaban yang lebih pasti mengenai kejelasan dari kelompok Melayu ini.
Tabel 3
Komposisi sukubangsa di Jakarta tahun 2000
No (1) | Sukubangsa (2) | Jakarta (3) | (4) |
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total | Jawa Betawi Sunda Lain-lain Cina Batak Minangkabau Melayu Bugis Madura Banten Banjar | Jumlah 2.927.340 2.301.587 1.271.531 539.529 460.002 300.562 264.639 134.477 49.426 47.055 20.582 7.777 8324.707 | % 35.16 27.65 15.27 6.48 5.53 3.61 3.18 1.62 0.59 0.57 0.25 0.10 100.0 |
*) Termasuk suku-suku lain yang tidak didaftar dalam tabel ini
Sumber: Leo Suryadinata, 2003: 12 dan 19
Tabel 4 yang menunjukkan distribusi orang Melayu di Jakarta menurut kelompok umur menunjukkan bahwa orang Melayu di Jakarta yang lahir di Jakarta tersebar pada semua kelompok umur mengikuti piramida penduduk pola umum Indonesia. Orang Melayu di Jakarta yang lahir di luar jakarta mengelompok pada umur tua. Berdasarkan kenyataan bahwa kebetawian mulai bangkit pada 1970-an, maka generasi yang dilahirkan para periode ini yang pada saat sensus 2000 termasuk kelompok umur 30 tahun kebawah akan cenderung menyebut dirinya orang Betawi. Dengan asumsi kelompok umum 0-19 tahun dikelompokkan menurut afiliasi etnik orang tua, maka kelompok umur 20-30 tahun yang lahir di Jakarta mestinya menggolongkan diri sebagai Betawi ketimbang Melayu. Namun tampaknya proporsi yang menyebut dirinya sebagai Melayu pada kelompok umur 20-30 tahun cukup tinggi yaitu 34.0% untuk kelompok umur 20-24 dan 23.7% untuk kelompok umur 25-29. Dengan demikian asumsi bahwa orang Melayu dalam sensus 2000 adalah generasi tua yang lahir di Jakarta masih menyebut dirinya Melayu tidak didukung oleh data dalam tabel 4. Menarik sekali ada generasi muda yang lahir di Jakarta masih menyebut dirinya orang Melayu. Adapun yang lahir di luar Jakarta mengelompok pada umur tua, artinya mereka adalah orang Melayu dari luar Jakarta yang bermigrasi ke Jakarta. Ini tampak dari tabel 5 dimana hanya 37.o% dari orang Melayu yang tinggal di Jakarta juga dilahirkan di Jakarta. Jadi orang Melayu di Jakarta umumnya adalah orang Melayu yang berasal dari Sumatera Selatan (25.0%), Lampung (8.1%), Sumatera Barat (4.3%), Riau (4.9%) dan Kalimantan Barat (4.0%). Dengan demikian hanya sebagian saja dari orang Melayu itu orang Betawi atau masih ada sebagian orang Betawi yang menakaman dirinya orang Melayu.
Tabel 4
Korelasi etnis Melayu dengan umur dan tempat lahir
| Lahir Jkt % | Lahir di lr Jkt % | Total |
0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 75+ Total | 84.8 81.6 76.9 56.3 34.0 23.7 17.6 13.8 10.4 8.3 6.2 5.3 4.9 6.1 6.7 7.2 37.0 | 13.2 18.4 23.1 43.7 66.0 76.3 72.4 86.2 89.6 91.7 93.8 94.7 95.1 93.9 93.3 92.8 63.0 | 15869 13095 13441 19620 26494 26124 18968 13650 11172 8915 6828 4910 3383 1778 1120 825 186192 |
Sumber: diolah pribadi
Tabel 5
Korelasi etnis Melayu, Betawi dan Tempat Lahir (Propinsi)
| Melayu | % | Betawi | % |
DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Irian Jaya Barat Irian jaya Irian Jaya Timur Luar Negeri Total | 1384 7429 8144 9199 5201 46467 3879 15124 69030 2720 1466 227 767 94 107 120 7540 213 3723 1037 731 95 891 53 149 27 22 21 36 196 186192 | 0.7 3.9 4.3 3.9 2.7 25.0 2.0 8.1 37.0 1.4 0.7 0.1 0.4 0.1 0.1 0.1 4.0 0.1 1.9 0.5 0.3 0.1 0.4 * 1.0 * * * * 0.1 100.0 | 566 1859 1386 346 200 1361 175 1117 2233104 34583 16632 1546 4352 276 208 127 507 33 230 181 1251 87 597 58 217 24 119 19 43 383 2301587 | 0.02 0.08 0.06 0.01 * 0.05 0.01 0.04 97.0 1.50 0.70 0.06 0.10 0.01 0.01 0.01 0.02 * 0.01 0.01 0.05 * 0.02 * 0.01 * 0.01 0.01 * 0.01 100.0 |
Sumber: diolah pribadi
Berikut yang menunjukkan keterkaitan Betawi dengan Melayu adalah bahasa Betawi. Ikranegara (1980) yang mengadakan penelitian diantara orang Betawi pada tahun 1973 mencatat bahwa berdasarkan perbendaharaan kata maka bahasa Betawi merupakan dialek bahasa Melayu yang dalam pembentukan dan pertumbuhannya dipengaruhi oleh bahasa Jawa, Sunda dan Bali. Batavia yang dibentuk tahun 1619 oleh Belanda, dibanjiri oleh berbagai kelompok dengan bahasa yang berbeda-beda, Belanda, Portugis, bahasa India sebelah selatan, Melayu dan sebagainya. Daus dalam penelitiannya mencatat bahwa penggunaan bahasa ini meresleksikan status sosial dari pembicaranya. Bahasa Belanda digunakan oleh kelompok kolonial. Bahasa Sunda yang merupakan bahasa penduduk asli sebelum Belanda menginjakkan kakinya disini, merupakan bahasa dari kelompok kelas bawah. Bahasa Melayu dan bahasa Portugis merupakan baasa yang digunakan sebagai alat komunikasi diantara kaum pedagang yang akhirnya berkembang menjadi lingua franca di Batavia. Akhirnya bahasa Portugis digeser kedudukannya oleh bahasa Melayu. Menurut catatan James Cook pada tahun 1767 orang di Batavia lebih banyak menggunakan bahasa Melayu daripada bahasa Portugis. Pada pertengahan abad 18 bahasa formal untuk penduduk asli adalah bahasa Melayu. Secara perlahan-lahan kelompok-kelompok etnik di Batavia menggunakan bahasa Melayu dan akhirnya berkembang menjadi bahasa penduduk asli di tempat ini yang dikenal sebagai bahasa Betawi (Daus, 1989).
Hingga kini bahasa merupakan ciri yang amat penting dalam karakter orang Betawi. Dalam penelitian kami mengenai kebangkitan kembali kebetawian di Jakarta amat jelas mendemonstrasikan situasi ini. Ketika Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta 1966-1977, bermaksud menghidupkan kembali kebetawian di Jakarta, pemda DKI dihadapkan pada kenyataan bahwa Betawi sedang tenggelam di rumahnya sendiri. Demikianlah Pemda DKI menunjuk sekelompok orang, ahli bahasa, seniman, penulis dan sebagainya untuk menghidupkan kembali tradisi penduduk asli Jakarta ini. Kesulitan menemukan kebetawian, mereka menggunakan pendekatan yang biasa digunakan dalam foklor dalam mendefinisikan tradisi yaitu mendefinisikan kebetawian berdasarkan bahasa bahwa yang dinamakan tradisi Betawi adalah tradisi yang penduduknya berbahasa Betawi. Dalam usaha pemda DKI Jakarta mengidentifikasikan kebetawian, mereka menyadari adanya dialek bahasa Betawi yang diiringi dengan perbedaan gaya hidup, sehingga mereka melihat adanya variasi Betawi yang tampak nyata dari bahasa yang mereka gunakan. Dari sini muncullah istilah Betawi Kota, Betawi Pinggir, Betawi Orang dan sebagainya. Sebenarnya pengklasifikasian ini bukan gejala baru karena istilah ini bukan ciptaan dari peneliti, tetapi istilah yang digunakan oleh pendukungnya, kemudian digunakan oleh pengamat sebagai klasifikasi varian-varian betawi.
Pada saat usaha menghidupkan kembali kebetawian di Jakarta, Orang Betawi Kota merupakan varian Betawi yang hampir tidak menggunakan bahasa Betawi dalam kehidupan publik mereka, walaupun mereka menggunakannya dalam kehidupan privat atau dalam berkomuniasi dengan sesama oarng Betawi. Ada beberapa faktor yang memberikan kontribusinya disini. Pertama, stereotype Betawi sebagai kelompok inferior di Jakarta menyebabkan orang Betawi yang berada di tengah kota Jakarta, yang ciri-ciri sosial budayanya bersifat urban yang amat berbeda dengan ciri-ciri sosial budaya varian Betawi Pinggir yang bersifat rural, menyembunyikan identitas mereka sebagai orang Betawi. Salah satu cara dalam penyembunyian identitas ini adalah dengan tidak menggunakan bahasa Betawi dalam kehidupan publik. Kedua, mereka yang tinggal di tengah kota dikonfrontasi dengan aneka ragam etnik sehingga mereka lebih ditantang untuk berbahasa Indonesia dalam kehidupan publik mereka. Ini berbeda dengan orang Betawi yang berada di pinggiran Kota Jakarta, yang dalam kehidupan sehari-hari mereka lebih banyak bergaul dengan kelompoknya. Mereka juga tidak terpaksa harus menyembunyikan identitas mereka dalam kehidupan publiknya karena mereka tidak merasa terganggu dengan stereotype orang Betawi. Demikianlah, orang Betawi yang ada di tengah Kota Jakarta tidak mudah terlihat sebagai orang Betawi oleh orang luar. Tidak demikian halnya dengan orang Betawi yang berada di pinggir kota, mereka amat mudah dikenali sebagai Betawi melalui bahasa mereka. Oleh karena itu ketika kebetawian dihidupkan kembali yang banyak tersentuh adalah kebetawian dari pinggiran Kota Jakarta.
Bila orang Betawi kita bedakan atas orang Betawi Kota dan Betawi Pinggir, maka orang Betawi Pinggir yang berlokasi di pinggiran kota Jakarta yang berbatasan dengan kota Bekasi, Bogor dan Tangerang mengalami pengaruh yang berbeda-beda, sesuai dengan kelompok etnik dominan dalam kehidupan mereka. Orang Betawi Pinggir yang berada di sebelah selatan dan sebelah timur Kota Jakarta, berarti berbatasan dengan Bogor dan bekasi yang penduduknya dominan Sunda amat dipengaruhi oleh kebudayaan Sunda. Untuk mereka yang berlokasi di sebelah barat Kota Jakarta amat dipengaruhi kebudayaan Cina sedangkan Betawi Kota amat mereflesikan pengaruh kebudayaan Melayu[2].
Agak menarik bahwa warna Melayu amat kuat diantara Betawi Kota, tetapi tidak di Betawi Pinggir. Apakah tidak terdapat orang Melayu di Ommelanden (luar tembok kota) atau dengan kata lain domisili orang Melayu pada masa kolonial terdapat di Intramuros (dalam tembok kota). Dalam sumber yang sama Lohanda (2004) menjelaskan bahwa komandan-komandan etnis yang ada di luar tembok Batavia pada abad 18 terdapat enambelas komandan, 2 kapitan Jawa, 5 kapitan Bali, 3 kapitan Bugis, 1 kapitan Makassar, 1 kapitan Mandhar, 1 kapitan Sumbawa, 1 kapitan Ambon, 1 kapitan Buton dan 1 kapitan peranakan Cina Muslim. Apakah dengan absennya komandan Melayu di Ommelanden mengimplikasikan bahwa tidak ada orang Melayu dalam jumlah yang berarti di Ommelanden? Dengan demikian ini mungkin yang merupakan salah satu sebab lemahnya pengaruh unsur Melayu pada Betawi Pinggir.
Pada akhir abad 17 Belanda menjual tanah di Ommelanden secara besar-besaran dalam rangka memperbaiki pemerintahan mereka. Tanah-tanah ini yang dinamakan tanah partikelir menjadi milik tuan tanah terutama Belanda dan Cina. Menarik bahwa banyak tuan tanah Cina di Tangerang. Berbeda dengan tuan tanah Belanda yang tidak membaur dan berpengaruh pada pola hidup orang lokal. Sehingga kita lihat bahwa tradisi Betawi di Tangerang yang merupakan daerah yang dikuasai tuan tanah Cina amat mencerminkan pengaruh tradisi Cina.
Kuatnya pengaruh Melayu pada orang Betawi Kota tampak pada salah satu ciri khas Betawi Kota yang juga merupakan ciri khas Melayu adalah agama Islam, dimana Islam mewarnai kehidupan mereka seperti tampak dalam kutipan-kutipan berikut ini.
Kuatnya orientasi Islam dalam kehidupan sehari-hari anak Betawi ini merupakan salah satu faktor yang menghambat pendidikan mereka. Sekolah dilihat sebagai agaya hidup orang Kristen (Belanda) atau orang Cina, yang keduanya tidak disenangi orang Betawi. Disamping itu guru mengaji mereka juga telah mendorong mereka untuk masuk sekolah agama dan tidak masuk ke sekolah Kristen (Koentjaraningrat, 1975: 4-5).
…the orang Betawi…were devout and orthodox Muslims…poverty and lack of education, have always placed the orang Betawi at a disadvantage (Abeasekere, 1985: 21).
…The Betawi were strongly Islamic, as can be seen in their customary law…probably because of strongly Islamic influence, woemn held a subordinate role in society although in many other ethnic Indonesian groups, woemn (sic) status equalled or surpassed men’s. Girls were given Arabic names…(Tilden, 1985:35).
Busana, boga, upacara-upacara, kesenian orang Betawi Kota amat dekat dengan busana, boga, upacara dan kesenian Melayu yang amat bernuansa Islam.
Kurang teridentifikasinya orang kota sebagai orang Betawi menyebabkan kebudayaan orang Betawi Kota hampir tidak tersentuh dalam tahap-tahap awal proses kebangkitan kembali kebetawian di Jakarta. Lagi pula kuatnya warna Islam dalam kebudayaan mereka kurang memberi peluang untuk mengangkat kebudayaan ini sebagai komodiatas yang merupakan salah satu tujuan penghidupan kembali kebetawian di Jakarta, dimana banyak tradisi mendapat perhatian untuk dijual sebagai obyek wisata. Dengan demikian Betawi dengan warna Melayu kurang mewarnai kota Jakarta pada awal kebangkitan kembali Betawi di kota ini.
Pemegang peran utama dalam proses kebangkitan kembali kebetawian di Jakarta di tahap awal berada di tangan Pemda DKI Jakarta yang dibantu oleh banyak tokoh profesional seperti akademisi dan budayawan. Hampir seluruh jajaran Pemda DKI yang terlibat serta pihak yang membantu Pemda DKI tersebut umumnya bukan orang Betawi. Walaupun demikian orang Betawi turut dilibatkan pada saat produk rekacipta tradisi ini akan disosialisasikan. Saat itu hanya terdapat satu organisasi yang mewakili masyarakat Betawi yaitu Yayasan Muhammad Husni Thamrin yang anggotanya adalah orang Betawi Kota. Dapat dimengerti bila mereka amat terkejut dan tidak dapat menerima sebagian besar produk rekacipta ini yang menurut hemat mereka bukan tradisi Betawi. Namun mereka tidak dapat berbuat banyak. Setidak-tidaknya orang Betawi yang tidak pernah tersentuh dalam pembangunan kota Jakarta mulai dilibatkan. Dalam proses ini secara perlahan-lahan orang Betawi mulai terlibat didalamnya terutama dalam penghidupan kembali kesenian Betawi. Sebagai reaksi dari kegiatan pemerintah dalam rekacipta tradisi Betawi, maka masyarakat Betawi, yang dalam hal ini orang Betawi Kota, mulai aktif membangun aktifitas membangkitkan kembali tradisi mereka. Tampak nyata perbedaan antara produk dari mereka yang orang Betawi dan yang bukan Betawi dimana banyak produk rekacipta anak Betawi Kota bernuansakan Melayu dan Islam. Secara perlahan-lahan orang Betawi Kota mulai kembali menyandang identitas kebetawian sehingga eksistensi mereka mulai nyata. Diikuti dengan usaha peningkatan peran oleh anak Betawi, maka proses penghidupan kebetawian ini mulai berpindah ke tangan anak Betawi. Berpindahnya proses rekacipta tradisi Betawi dari tangan Pemda DKI Jakarta ke tangan anak Betawi, yang nota bene adalah orang Betawi Kota, menyebabkan tampilnya tradisi Betawi yang bernuansakan Melayu yang tampak misalnya pada busana, boga, upacara dan kesenian yang merupakan unsur yang paling banyak tersentuh dalam proses rekacipta tradisi Betawi.
Kuatna warna Islam pada tradisi Betawi Kota menyebabkan banyak dari produk rekacipta tradisi Betawi tengah muncul dalam acara-acara yang bernuansakan keagamaan. Sayang beberapa dari tradisi Betawi Kota ini praktis hilang seperti lenong Betawi. Yang kini populer adalah lenong yang berasal dari Betawi Pinggir, padahal lenong pada Betawi Kota amat identik dengan teater rakyat di daerah-daerah Melayu seperti mamanda di Kalimantan, rudat di Lomok dan randai di Sumatera Barat.
Daftar Buku
Abayasekere, S. 1989. Jakarta, a History. Singapore: Oxford University Press
Castles, L. 1967. “The Ethnic Profile in Jakarta” Indonesia 3: 153-204.
Daus, R. 1989. Portuguese Eurasian Communities in South East Asia. Singapore: Institute of South Eas Asia Studies.
Ikranagara, K. 1980. Melayu Betawi Grammar. Jakarta: Badan Penyelenggara seri NUSA Universitas Atma Jaya.
Koentjaraningrat. 1975. Masyarakat Desa di Djakarta Selatan. Jakarta: Jambatan.
Lohanda. 2004. Batavia Dibawah penguasaan Kolonial. Draft buku.
Shahab, Yasmin. 2004. Identitas dan Otoritas. Rekonstruksi Tradisi Betawi. Laboratorium Antropologi Universitas Indonesia.
Tilden, K.E. 2004. Sociolinguistic Aspects of Djakarta Dialect Switching in Bahasa Indonesia in Eight Education Novels. Unpublished PhD Thesis. University of Michigan.
Van de Aa, A.J. 1846. Nederlands Oos Indie (2): 272-273.Sumber: