(Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Tengah)
Pada zaman dahulu kala ada seorang raja yang bertahta di Desa Tavebia, daerah Kulawi, Sulawesi Tengah, bernama Datuelo. Suatu hari Datuelo ingin membangun sebuah baruga (rumah adat). Untuk itulah ia mengadakan suatu pertemuan dengan para penasihatnya. Dalam pertemuan tersebut diputuskan bahwa di Desa Tavebia akan didirikan sebuah baruga yang diberi nama Ntamalilo.
Setelah baruga itu selesai dibangun raja menginginkan untuk membuat sebuah pesta besar yang tidak hanya dihadiri oleh seluruh rakyatnya yang ada di Tavebia saja, melainkan juga orang-orang yang berasal dari tempat yang jauh, seperti Tobaku, Banggaiba, Ntipe, Sivongi dan Tovulu. Agar orang-orang yang berada di luar Tavebia datang dan mengikuti pesta, maka Datuelo beserta para pengawalnya pergi ke berbagai daerah untuk menyampaikan undangan.
Setelah para undangan datang, mulailah diadakan suatu upacara khusus sebagai tanda peresmian baruga. Selanjutnya mereka dipersilakan untuk menikmati berbagai macam hidangan lezat yang telah dipersiapkan sebelumnya. Saat para hadirin sedang berpesta, Raja Datuelo lalu memanjat baruga yang baru tersebut hingga sampai ke bubungannya untuk menggantungkan telinga kerbau. setelah telinga kerbau sudah terpasang ia pun turun kembali dan duduk dekat Raja Tobaku yang bernama Logia.
Kepada Logia, Datuelo lalu berkata, “Kalau engkau sanggup memanjat dan sekaligus memotong telinga kerbau yang baru saja aku gantung engkau pasti dapat mengalahkanku. Namun apabila engkau tidak mampu mengambilnya, engkau pasti aku kalahkan.”
Mendengar kata-kata tantangan dari Raja Datuelo, tanpa berpikir panjang lagi Raja Logia langsung melompat dari tempat duduknya sambil berkata, “Aku adalah seorang raja yang terkenal gagah dan berani. Aku tentu saja dapat dengan mudah melakukan apa yang engkau katakan itu.”
Lalu ia naik ke baruga untuk memutuskan ikatan telinga kerbau. Sesampainya di bubungan ia lalu meraih telinga kerbau yang digantung itu. Namun sayang, ketika telah berhasil mengambil telinga kerbau, tiba-tiba kakinya terpeleset dan ia pun langsung terjatuh. Dan, ketika sampai di bawah tubuhnya langsung ditikam dengan keris oleh Datuelo sehingga tewas seketika.
Seluruh hadirin yang menyaksikan kejadian itu merasa heran melihat tindakan Datuelo yang dirasa kurang pantas dan memalukan. Ada yang merasa sedih, iba, pilu, dan ada pula yang merasa terpukul hatinya disertai perasaan dendam. Mereka yang berasal dari Tobaku dengan perasaan sedih dan dendam segera mengangkat mayat rajanya untuk dibawa pulang ke Tobaku.
Sesampai di Tobaku jazad Logia segera dikuburkan melalui suatu upacara adat kematian. Kemudian para lelaki di daerah Tobaku berkumpul di baruga desa itu untuk membicarakan sebab-musabab kematian rajanya yang dianggap tidak wajar akibat dikhianati oleh Datuelo. Dan, dalam pertemuan itu akhirnya mereka bersepakat menyerang Tavebia untuk membalas dendam atas kematian raja mereka. Setelah itu tujuh orang diantara mereka diutus untuk menyampaikan berita kepada Raja Datuelo bahwa pasukan Tobaku akan melakukan peperangan terhadap Tavebia satu bulan mendatang.
Singkat cerita, setelah hari yang ditentukan tiba Pasukan Tobaku segera menyerang Tavebia. Terjadilah pertempuran yang sangat sengit diantara kedua pasukan tersebut. Namun karena jumlah pasukan Tobaku kalah banyak, maka mereka akhirnya terpaksa mundur dengan hanya menyisakan 30 orang saja.
Merasa pasukannya menang Datuelo segera berteriak kepada pasukan Tobaku yang berhasil dipukul mundur, “Kalau kalian belum puas, silahkan datang lagi. Kami siap menunggu serangan berikutnya! Moma mupakule mompaeva tavua bola bo tavua lei (kamu tidak akan mampu melawan lebah putih dan lebah merah)”
Keesokan harinya pasukan Tobaku datang lagi menyerang. Kali ini mereka dibantu oleh orang-orang dari daerah Ntipe, Banggaiba, Tovulu dan Sivongi sehingga jumlahnya lebih banyak dari pasukan Tavebia. Pertempuran pun terjadi lagi dengan membawa korban jiwa yang semakin banyak. Darah pun mengalir di sepanjang kaki Gunung Tiva. Dan, dalam pertempuran tersebut Raja Datuelo akhirnya tewas bersama sebagian besar penduduk Tavebia lainnya. Untunglah isterinya yang sedang hamil tua dapat meloloskan diri dengan menyusuri Sungai Oo hingga sampai di hutan sekitar daerah Hoho. Di sana ia bersembunyi di sebuah goa selama beberapa minggu hingga melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat.
Pada suatu ketika ada seorang pemburu asal Hoho yang sedang berburu di sekitar goa tempat isteri Datuelo bersembunyi. Di tempat itu ia mendengar suara tangis seorang bayi. Karena penasaran, ia kemudian secara perlahan-lahan memasuki goa itu untuk melihat bayi siapa yang sedang menangis tersebut. Sesampai di dalam gua ia menyaksikan seorang ibu yang sedang menyusui bayinya. Sang pemburu lalu bertanya, “Siapakau engkau dan dari mana asalmu?”
Si ibu yang sedang menyusui itu pun terkejut. Ia tidak menyangka kalau tempat persembunyiannya telah diketahui orang. Akhirnya ia pun menjawab, “Saya adalah isteri Raja Datuelo yang tewas ketika berperang melawan pasukan Tobaku. Untunglah saya sempat meloloskan diri dan bersembunyi di sini hingga melahirkan anakku ini.”
Karena merasa iba melihat kondisi si ibu beserta bayinya, sang pemburu lalu menawarkan untuk tinggal di rumahnya, “Gendonglah anakmu itu dan ikutlah kerumahku.”
Singkat cerita, ibu dan bayinya yang diberi nama Sesoki kemudian tinggal di rumah si pemburu. Beberapa tahun kemudian Sesoki tumbuh menjadi seorang anak yang gagah dan berani. Ia sering pergi berburu bersama ayah angkatnya hingga ke daerah-daerah yang berada di sebelah utara Tavebia, seperti Gunung Vongu, Kulawi dan Lindu.
Suatu hari, saat sedang berburu di sekitar Gunuk Pekalotia ia bertemu dengan pemburu lain bernama Nculelindu. Dan, dari pertemuan tersebut akhirnya mereka menjalin suatu persahabatan yang ditandai dengan saling menukar buah pinang. Mereka pun kemudian sering berburu bersama di hutan-hutan sekita Hoho dan Lindu.
Suatu ketika, saat sedang berburu di daerah sekitar Gunung Tamuku mereka dihadapkan pada cuaca yang sangat buruk. Guntur dan kilat saling menyambar tiada henti-hentinya dan angin bertiup sangat kencang yang dibarengi pula dengan hujan lebat sehingga keadaan sekeliling menjadi gelap. Dalam suasana seperti itu mereka memutuskan untuk pulang dan tidak jadi berburu. Namun ketika tengah mengemasi alat-alat berburunya, tiba-tiba Sesoki dan Nculelindu mendengar sebuah suara yang seakan-akan memanggil mereka, “Hei, tunggu dulu. Bolehkan aku ikut kalian?”
“Perlihatkanlah dirimu,” kata Sesoki penasaran.
“Kalau aku perlihatkan diriku, janganlah sampai ada anjing-anjingmu yang menggonggong. Kalau mereka menggonggong, aku seketika akan berubah bentuk,” kata suara itu.
“Baiklah,” kata Sesoki dan Nculelindu berbarengan sambil memegang anjing mereka masing-masing.
Setelah mendapat jaminan dari Sesoki dan Nculelindu, secara perlahan-lahan ada sesosok tubuh yang keluar dari batang pohon pinang. Ternyata ia adalah seorang perempuan yang sangat cantik. Perempuan itu lalu berkata, “Di mana tempat tinggal kalian?”
“Saya Sesoki dan tinggal di Desa Hoho, sedangkan teman saya bernama Nculelindu berasal dari Desa Levunto,” jawab Sesoki.
Oleh karena Nculelindu lebih tua dari sesoki maka si perempuan yang bernama Halilienu itu memilih untuk ikut bersama Nculelindu. Dan beberapa minggu setelah itu mereka pun melangsungkan perkawinan. Saat Sesoki datang ke pesta perkawinan, Nculelindu menjanjikan kepadanya apabila nanti ia mempunyai anak perempuan, maka anaknya itu akan ia kawinkan dengan Sesoki. Hal ini ia lakukan sebagai rasa terima kasih kepada Sesoki karena tidak berkeberatan ketika ia membawa Halilienu ke rumahnya.
Beberapa bulan kemudian Halilienu pun hamil dan akhirnya melahirkan seorang bayi perempuan yang diberinya nama Cindivongi. Ketika anak ini lahir, Halilienu berkata pada suaminya, “Kalau anak kita buang air besar, maka engkaulah yang harus membasuh pantatnya. Pantang bagiku untuk melakukan hal itu. Dan, apabila aku sampai melakukannya, maka akan terjadi sesuatu pada diriku.”
“Tak usah khawatir, aku akan melaksanakan apa yang telah engkau katakan itu,” jawab suaminya.
Namun janji Nculelindu itu ternyata ternyata tidak dapat ia tepati. Hal ini terjadi ketika ia sedang berburu bersama Sesoki Gunung Tamuku. Waktu itu anaknya buang air besar, sehingga mau tidak mau isterinya harus membersihkannya sendiri. Dan, setelah itu Halilienu tiba-tiba menghilang dan tidak pernah kembali lagi.
Akhirnya, sejak saat itu Nculelindu pun harus merawat Cindivongi seorang diri hingga dewasa. Dan, setelah Cindivongi dewasa ia dikawinkan dengan Sesoki. Dari perkawinan ini lahirlah seorang anak yang diberi nama Taura yang setelah dewasa diangkat menjadi Raja Kulawi yang pertama.
Sumber:
Diadaptasi bebas dari
Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Sulawesi Tengah. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.