Pengantar
Sejak orang-orang di seluruh Nusantara mulai mengenal tulisan, mereka banyak sekali menghasilkan karya-karya yang dituliskan dalam berbagai media seperti: lontar, batu, kayu dan lain sebagainya. Tulisan-tulisan yang jumlahnya ribuan tersebut saat ini banyak yang sudah hilang (hanya berupa salinannya saja) atau telah dibawa dan disimpan di museum-museum yang ada di luar negeri. Salah satu dari sekian banyak tulisan tersebut adalah Serat Dewaruci. Serat Dewaruci adalah salah satu naskah[1] kuno yang mempunyai banyak versi[2], namun mempunyai alur cerita yang hampir sama yang menampilkan tiga tokoh utama, yaitu: Sang Bima Sena sebagai peraga penuntut cita-cita; Resi Durna sebagai perantara yang memberikan wejangan atau petunjuk jalan; dan Sang Dewaruci sebagai tokoh guru sejati yang menyempurnakan segenap cita-cita Sang Sena.
Isi Serat Dewaruci
Secara ringkas isi setiap versi Serat Dewaruci bercerita tentang Sang Bima Sena, wakil dari lima bersaudara satria Pandawa yang merasa kecewa karena belum memiliki Tirta Pawitradi yang dianggap sebagai lambang kesucian. Agar keinginannya tersebut dapat terlaksana, yaitu memperoleh Tirta Pawitradi, maka Sang Sena menemui Resi Durna untuk meminta petunjuk. Singkat cerita, berkat ketaatan dan ketekunan Sang Sena mengindahkan wejangan Resi Durna akhirnya ia bertemu dengan Sang Guru Sejati, Dewaruci. Dan dari pertemuan tersebut, ia kemudian mendapatkan Tirta Pawitradi.
Demikian pokok-pokok yang dapat diambil dari cerita Dewaruci. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa: (1) seseorang cenderung berusaha agar dapat meningkatkan diri lahir dan batin guna mencapai hakikat diri pribadinya; (2) sebagai realisasi dari keinginannya itu, seseorang berusaha mencari jalan (ilmu) yang dapat mengantar cita-citanya; dan (3) apabila ia bersungguh-sungguh dalam mencapai cita-citanya itu, maka niscaya Tuhan akan mengabulkan dan melimpahkan rahmat-Nya sesuai dengan proporsinya sebagai manusia.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[1] Menurut umum, naskah sering diartikan sebagai sesuatu yang tertulis dan asli. Namun, menurut ilmu perpustakaan dan filologi, tidaklah demikian. Ia diartikan lebih sempit dari pengertian khalayak ramai, yaitu sesuatu peninggalan dari masa lampau dalam bentuk tertulis (Ikhram, 1993). Naskah sering disebut sebagai manuschrift (di-Indonesiakan menjadi “manuskrip”). Istilah ini berasal dari bahasa Belanda; manu berarti “tangan” dan schrift berarti “tulisan”. Jadi, sesuatu yang ditulis dengan tangan (karena pada waktu itu percetakan belum ada atau belum lazim) disebut sebagai naskah. Namun, perkembangan zaman pada gilirannya membuat apa yang disebut sebagai naskah tidak hanya berupa tulisan tangan saja, tetapi dapat juga dalam bentuk yang sudah dicetak (lihat juga Hamidy, 1986).
[2] Apabila ada perbedaan antara satu dengan yang lain hanya merupakan kreasi pengarang yang bertujuan untuk meramaikan alur cerita saja. Sebagai contoh, antara Serat Dewaruci karya Yasadipura I dan II hanya berbeda bentuk (tembang dan prosa atau gancaran), tetapi isi cerita tetap sama. Demikian juga antara karya Reditanaya dengan karya Ki Mangunwijaya atau karya para dalang, tidak menampakkan perbedaan cerita yang berpengaruh terhadap masyarakat.