Asal Usul
Di Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau ada sebuah desa yang bernama Resun. Di desa ini ada sebuah upacara yang disebut sebagai “Ratif Saman”. Konon, desa ini pernah disinggahi oleh orang Aceh. Malahan, mereka menentap di desa ini. Namun, mereka tidak tahan lama karena di desa itu ada sebuah wabah penyakit yang membahayakan jiwa seseorang. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai penyakit ta’un yang berasal dari makhluk halus (roh jahat). Makhluk ini juga sering menampakkan wujudnya sehingga warga dusun tersebut menjadi ketakutan. Selain gangguan dari makhluk halus, warga dusun juga sering didatangi kawanan perampok, yang tidak hanya menjarah harta benda, tetapi juga memperkosa dan membunuh orang-orang yang berusaha melawan.
Untuk menghindari berbagai gangguan itu, mereka (orang Aceh) pindah ke pulau-pulau kecil di sekitar Lingga. Setelah mendengar desa yang ditinggalkan itu bebas dari berbagai gangguan (aman), mereka pun berbondong-bondong kembali ke tempat semula (Desa Resun). Namun, ketika mereka menetap kembali di Desa Resun gangguan datang lagi, sehingga mereka, sekali lagi, meninggalkannya. Oleh mereka, daerah yang ditinggalkan itu dijuluki sebagai “daerah resah” karena kondisinya meresahkan.
Kabar tentang daerah yang meresahkan itu tampaknya tidak sampai ke Bangka. Justeru yang terdengar adalah bahwa Pulau Lingga tanahnya sangat subur. Maka, berdatanganlah orang-orang Bangka ke Pulau Lingga di bawah pimpinan Haji Muhammad Yusuf bin Haji Hasan. Mereka mendirikan perkampungan yang dahulu pernah ditinggali oleh orang-orang Aceh. Di sana mereka mencoba mengolah tanahnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, dalam waktu yang tidak begitu lama, apa yang pernah dialami pendatang sebelumnya (orang Aceh) datang menimpa, sehingga banyak yang meninggal karena penyakit ta’un atau ulah perampok. Suasana pun menjadi sangat meresahkan, sehingga banyak yang ingin pindah ke pulau lain yang dianggap aman. Namun, keinginan itu tidak terlaksana karena pimpinannya (Haji Muhammad Yusuf bin Haji Hasan) menghimbau agar mereka bersabar.
Untuk meredakan keresahan pengikutnya, Haji Muhammad Yusuf bin Haji Hasan yang kala itu sering bepergian ke daerah Serawak dan Brunai untuk berdagang, membawa empat “orang pandai” dari daerah tersebut untuk membantu mengatasi bencana di desanya. Namun, keempat orang pandai itu ternyata tidak dapat mengatasinya. Malahan, keempat-empatnya terserang panyakit ta’un dan meninggal dunia. Mereka di kubur secara bersusun dalam satu liang lahat. Untuk menghormati keempat “orang pandai” tersebut, nama “Resah” diganti menjadi “Resun”. Jadi, nama desa Resun diambil dari awal kata “resah” yaitu “re” dan akhir kata “susun” yaitu “sun”. “Resah” berasal dari orang-orang Aceh yang hidupnya tidak tenang setelah menetap di Lingga, dan “susun” diambil dari para orang pintar dari Serawak dan Brunai yang dikubur bersusun dalam satu liang.
Melihat keadaan desanya yang terus-menerus mengalami malapetaka, akhirnya Haji Muhammad Yusuf memutuskan pergi ke Mekkah untuk mencari jalan keluarnya. Pada perjalanan pertama, kedua dan ketiga, Beliau belum menemukan satu pun petunjuk yang dapat membawa rakyatnya bebas dari bencana. Pada perjalanan keempatnya ke Mekkah, Beliau bertemu dengan tuan Syeh Akhmad Khatif Sambas yang berasal dari Sambas, Kalimantan. Dari Syeh Akhmad Khatif Sambas inilah, akhirnya Haji Muhammad Yusuf mendapatkan suatu amalan peribadatan yang dapat bermanfaat untuk menghilangkan keresahan warga desanya. Amalan itu berupa rangkaian zikir yang panjang yang disebut dengan “Ratif Saman”. Ratif artinya “wirid” atau “zikir” dan Saman berasal dari nama Syeh yang menciptakan zikir tersebut yang merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang telah menjadi guru Syeh Akhmad Khatif Sambas. Apa yang terkandung dalam zikir ini adalah keseluruhan harapan-harapan manusia, termasuk agar terhindar dari gangguan jin, penyakit-penyakit, dan perampokan serta pembunuhan.
Setelah pulang dari Mekkah, Haji Muhammad Yusuf memerintahkan kepada para pengikutnya untuk melakukan upacara Ratif Saman secara terus menerus sesuai dengan aturan yang berlaku, yaitu 3 kali dalam satu bulan (setiap malam Jumat) di surau kampung (sekarang menjadi mesjid Al Hidayah). Pada minggu pertama dipusatkan di dalam mesjid. Sedangkan pada minggu selanjutnya, disertai dengan berjalan ke luar mesjid menuju pangkal (bagian selatan) dan ujung kampung (bagian utara), karena bagian-bagian tersebut dipercayai sebagai tempat tinggal para makhluk halus.
Dengan upacara tersebut lambat laun apa yang mereka harapkan mulai terwujud. Penyakit “ta’un” sudah mulai hilang dan gangguan jin dan roh jahat pun juga mulai jarang. Dan, para perampok tidak berani lagi masuk mengganggu masyarakat, sehingga suasana desa menjadi aman dan tenteram. Mulailah mereka mengembangkan pertanian dan perkebunan sambil tetap menjalankan upacara Ratif Saman.
Sampai dengan pertengahan tahun 1996 upacara ini dilaksanakan setiap malam Jumat (3 kali dalam satu bulan), karena masyarakat Resun masih percaya bahwa pada malam tersebut para makhluk halus bergentayangan dan perlu diusir dengan Ratif Saman. Upacara itu sendiri dilakukan setelah sholat Isya (sekitar pukul 19.30 WIB). Namun, setelah tahun 1996 kerutinan itu mulai memudar. Sejak itu upacara seringkali dilakukan hanya pada saat-saat tertentu, yaitu manakala desa mulai banyak gangguan.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam upacara ini adalah: (1) tasbih, yaitu alat untuk menghitung jumlah shalawat yang diucapkan, agar sesuai dengan yang diharuskan (tidak kurang atau lebih); (2) serpihan kayu cendana dan gaharu yang kemudian dibakar sebagai wewangian; (3) korek api dan sebuah lilin untuk menerangi pembacaan Al Quran; dan (4) air putih yang kemudian dibawa pulang oleh peserta sebagai obat yang dipercaya dapat menyembuhkan segala macam penyakit, terutama penyakit yang datangnya dari makhluk gaib.
Jalannya Upacara
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian atas, upacara Ratif Saman dilakukan pada malam Jumat, yaitu setelah sholat Isya. Bagi yang tidak mengikuti upacara (perempuan dan anak-anak) akan pulang ke rumah masing-masing, kemudian menutup pintu, jendela, mematikan penerangan (lampu), dan tidak diperkenankan keluar rumah. Sebab jika berada di luar rumah ada kemungkinan tertabrak oleh makhluk halus yang lari ketakutan karena zikir yang diucapkan oleh para peserta upacara.
Waktu yang diberikan untuk melakukan sesuatu dan tidak boleh ke luar rumah, terutama bagi yang tidak mengikuti upacara ini, kurang lebih 30 menit. Setelah waktu imbauan itu habis, pemimpin upacara duduk di hadapan mimbar. Ini artinya, para peserta diperbolehkan memasuki mesjid (Mesjid Al Hidayah yang berada di Desa Resun) dengan membawa air. Air yang berada dalam berbagai wadah itu diletakkan dekat dengan sebuah wadah yang terbuat dari logam. Wadah yang merupakan tempat pembakaran serpihan kayu cendana dan gaharu ini, oleh mereka, disebut “setanggi”. Wewangian yang dikeluarkan oleh kayu tersebut tidak hanya berfungsi sebagai pengharum ruangan, tetapi juga sekaligus sebagai penarik malaikat dan makhluk halus yang baik (jin putih) untuk ikut serta dalam upacara.
Setelah perlengkapan upacara tersedia, para peserta yang berusia di atas 30 tahun akan duduk dan membentuk sebuah lingkaran (mulai dari kanan dan kiri pimpinan upacara). Selanjutnya, yang lebih muda usianya, duduk di belakang para orang tua tersebut. Ketika semuanya sudah duduk dengan sempurna (menyerupai posisi duduk dalam “tahyatul akhir” yang dilakukan dalam sholat), pemimpin upacara menjelaskan bahwa apa yang dilakukan bukan untuk memuja Syeh Saman, melainkan kepada Allah agar meridhoi ratif dan menurunkan malaikat beserta jin putih (jin muslim) untuk memerangi dan mengusir setan dari Desa Resun. Selain itu, pemimpin upacara juga menjelaskan tata cara melaksanakan Ratif Saman. Selanjutnya pemimpin upacara memberi penjelasan tentang aturan mengucapkan zikir “Laillaha illallah”. Karena pengucapannya harus mengikuti aturan tertentu. Sebelum mengucapkan kata “Laillah”, nafas harus ditarik dalam-dalam. Selanjutnya, kata “hail” diucapkan sambil kepala diputar ke bahu bagian kiri, diteruskan pengucapan “lal” (kepala diputar ke bahu kanan), sampai akhirnya pengucapan “lah” yang disertai dengan tundukan kepala ke rusuk kanan. Pengucapan kalimat “Lailahaillallah” sambil melakukan gerakan-gerakan tersebut, dimaksudkan agar peserta senantiasa mengingat Allah. Hidung yang menarik udara, menurut keyakinan mereka, merupakan sumber masuknya penyakit dan juga masuknya jin jahat yang mengganggu tubuh manusia. Dengan ditariknya udara dan dihembuskan kembali sembari mengucapkan “Lailahaillallah” diharapkan segala penyakit akan ikut terbuang. Penjelasan yang lain adalah mengenai aturan pembacaan ayat yang terkadang begitu panjang yang hanya dikuasai oleh pimpinan upacara dan para tetua kampung yang sudah biasa melakukannya. Apabila tidak hafal atau tidak dapat mengikuti ayat yang dilafazkan maka peserta cukup membaca “Allahuma Salli Ala Muhammad” secara berulang-ulang hingga ayat yang panjang tersebut selesai dibacakan pemimpin upacara.
Setelah menyampaikan hal-hal tersebut di atas, barulah pemimpin upacara memulai jalannya Ratif Saman. Beberapa surat dalam Al Quran pun dibaca, diteruskan dengan beberapa ratif (zikir) yang diikuti oleh seluruh peserta. Setelah upacara selesai, pemimpin upacara mempersilahkan masing-masing peserta mengambil air yang telah dibawanya.
Ada pantangan-pantangan yang diindahkan (dari saat upacara dilakukan sampai dengan hari yang ketiga). Pantangan-pantangan itu adalah: (1) tidak boleh membawa mayat masuk ke dalam desa karena jin hitam akan kembali masuk ke desa dengan cara menempel pada tubuh mayat; (2) tidak boleh memikul sampan melintasi jalan desa karena akan digunakan oleh jin hitam sebagai “kendaraan” untuk kembali masuk desa; dan (3) tidak boleh menjemur pakaian di pagar rumah bagian depan, karena pakaian tersebut dikhawatirkan masih belum bebas dari najis, sehingga dapat mengundang datangnya jin hitam.
Doa-Mantera
Doa-doa yang diucapkan dalam upacara Ratif Saman, diantaranya adalah:
Berdasarkan uraian di atas, upacara yang disebut Ratif Saman ini, jika dicermati, mengandung nilai-nilai sebagai berikut:
Galba, Sindu, Dibyo Harsono, dkk. 2001. Upacara Tradisional Di Daik Lingga. Tanjungpinang: Bappeda Kabupaten Kepulauan Riau dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.
Di Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau ada sebuah desa yang bernama Resun. Di desa ini ada sebuah upacara yang disebut sebagai “Ratif Saman”. Konon, desa ini pernah disinggahi oleh orang Aceh. Malahan, mereka menentap di desa ini. Namun, mereka tidak tahan lama karena di desa itu ada sebuah wabah penyakit yang membahayakan jiwa seseorang. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai penyakit ta’un yang berasal dari makhluk halus (roh jahat). Makhluk ini juga sering menampakkan wujudnya sehingga warga dusun tersebut menjadi ketakutan. Selain gangguan dari makhluk halus, warga dusun juga sering didatangi kawanan perampok, yang tidak hanya menjarah harta benda, tetapi juga memperkosa dan membunuh orang-orang yang berusaha melawan.
Untuk menghindari berbagai gangguan itu, mereka (orang Aceh) pindah ke pulau-pulau kecil di sekitar Lingga. Setelah mendengar desa yang ditinggalkan itu bebas dari berbagai gangguan (aman), mereka pun berbondong-bondong kembali ke tempat semula (Desa Resun). Namun, ketika mereka menetap kembali di Desa Resun gangguan datang lagi, sehingga mereka, sekali lagi, meninggalkannya. Oleh mereka, daerah yang ditinggalkan itu dijuluki sebagai “daerah resah” karena kondisinya meresahkan.
Kabar tentang daerah yang meresahkan itu tampaknya tidak sampai ke Bangka. Justeru yang terdengar adalah bahwa Pulau Lingga tanahnya sangat subur. Maka, berdatanganlah orang-orang Bangka ke Pulau Lingga di bawah pimpinan Haji Muhammad Yusuf bin Haji Hasan. Mereka mendirikan perkampungan yang dahulu pernah ditinggali oleh orang-orang Aceh. Di sana mereka mencoba mengolah tanahnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, dalam waktu yang tidak begitu lama, apa yang pernah dialami pendatang sebelumnya (orang Aceh) datang menimpa, sehingga banyak yang meninggal karena penyakit ta’un atau ulah perampok. Suasana pun menjadi sangat meresahkan, sehingga banyak yang ingin pindah ke pulau lain yang dianggap aman. Namun, keinginan itu tidak terlaksana karena pimpinannya (Haji Muhammad Yusuf bin Haji Hasan) menghimbau agar mereka bersabar.
Untuk meredakan keresahan pengikutnya, Haji Muhammad Yusuf bin Haji Hasan yang kala itu sering bepergian ke daerah Serawak dan Brunai untuk berdagang, membawa empat “orang pandai” dari daerah tersebut untuk membantu mengatasi bencana di desanya. Namun, keempat orang pandai itu ternyata tidak dapat mengatasinya. Malahan, keempat-empatnya terserang panyakit ta’un dan meninggal dunia. Mereka di kubur secara bersusun dalam satu liang lahat. Untuk menghormati keempat “orang pandai” tersebut, nama “Resah” diganti menjadi “Resun”. Jadi, nama desa Resun diambil dari awal kata “resah” yaitu “re” dan akhir kata “susun” yaitu “sun”. “Resah” berasal dari orang-orang Aceh yang hidupnya tidak tenang setelah menetap di Lingga, dan “susun” diambil dari para orang pintar dari Serawak dan Brunai yang dikubur bersusun dalam satu liang.
Melihat keadaan desanya yang terus-menerus mengalami malapetaka, akhirnya Haji Muhammad Yusuf memutuskan pergi ke Mekkah untuk mencari jalan keluarnya. Pada perjalanan pertama, kedua dan ketiga, Beliau belum menemukan satu pun petunjuk yang dapat membawa rakyatnya bebas dari bencana. Pada perjalanan keempatnya ke Mekkah, Beliau bertemu dengan tuan Syeh Akhmad Khatif Sambas yang berasal dari Sambas, Kalimantan. Dari Syeh Akhmad Khatif Sambas inilah, akhirnya Haji Muhammad Yusuf mendapatkan suatu amalan peribadatan yang dapat bermanfaat untuk menghilangkan keresahan warga desanya. Amalan itu berupa rangkaian zikir yang panjang yang disebut dengan “Ratif Saman”. Ratif artinya “wirid” atau “zikir” dan Saman berasal dari nama Syeh yang menciptakan zikir tersebut yang merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang telah menjadi guru Syeh Akhmad Khatif Sambas. Apa yang terkandung dalam zikir ini adalah keseluruhan harapan-harapan manusia, termasuk agar terhindar dari gangguan jin, penyakit-penyakit, dan perampokan serta pembunuhan.
Setelah pulang dari Mekkah, Haji Muhammad Yusuf memerintahkan kepada para pengikutnya untuk melakukan upacara Ratif Saman secara terus menerus sesuai dengan aturan yang berlaku, yaitu 3 kali dalam satu bulan (setiap malam Jumat) di surau kampung (sekarang menjadi mesjid Al Hidayah). Pada minggu pertama dipusatkan di dalam mesjid. Sedangkan pada minggu selanjutnya, disertai dengan berjalan ke luar mesjid menuju pangkal (bagian selatan) dan ujung kampung (bagian utara), karena bagian-bagian tersebut dipercayai sebagai tempat tinggal para makhluk halus.
Dengan upacara tersebut lambat laun apa yang mereka harapkan mulai terwujud. Penyakit “ta’un” sudah mulai hilang dan gangguan jin dan roh jahat pun juga mulai jarang. Dan, para perampok tidak berani lagi masuk mengganggu masyarakat, sehingga suasana desa menjadi aman dan tenteram. Mulailah mereka mengembangkan pertanian dan perkebunan sambil tetap menjalankan upacara Ratif Saman.
Sampai dengan pertengahan tahun 1996 upacara ini dilaksanakan setiap malam Jumat (3 kali dalam satu bulan), karena masyarakat Resun masih percaya bahwa pada malam tersebut para makhluk halus bergentayangan dan perlu diusir dengan Ratif Saman. Upacara itu sendiri dilakukan setelah sholat Isya (sekitar pukul 19.30 WIB). Namun, setelah tahun 1996 kerutinan itu mulai memudar. Sejak itu upacara seringkali dilakukan hanya pada saat-saat tertentu, yaitu manakala desa mulai banyak gangguan.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam upacara ini adalah: (1) tasbih, yaitu alat untuk menghitung jumlah shalawat yang diucapkan, agar sesuai dengan yang diharuskan (tidak kurang atau lebih); (2) serpihan kayu cendana dan gaharu yang kemudian dibakar sebagai wewangian; (3) korek api dan sebuah lilin untuk menerangi pembacaan Al Quran; dan (4) air putih yang kemudian dibawa pulang oleh peserta sebagai obat yang dipercaya dapat menyembuhkan segala macam penyakit, terutama penyakit yang datangnya dari makhluk gaib.
Jalannya Upacara
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian atas, upacara Ratif Saman dilakukan pada malam Jumat, yaitu setelah sholat Isya. Bagi yang tidak mengikuti upacara (perempuan dan anak-anak) akan pulang ke rumah masing-masing, kemudian menutup pintu, jendela, mematikan penerangan (lampu), dan tidak diperkenankan keluar rumah. Sebab jika berada di luar rumah ada kemungkinan tertabrak oleh makhluk halus yang lari ketakutan karena zikir yang diucapkan oleh para peserta upacara.
Waktu yang diberikan untuk melakukan sesuatu dan tidak boleh ke luar rumah, terutama bagi yang tidak mengikuti upacara ini, kurang lebih 30 menit. Setelah waktu imbauan itu habis, pemimpin upacara duduk di hadapan mimbar. Ini artinya, para peserta diperbolehkan memasuki mesjid (Mesjid Al Hidayah yang berada di Desa Resun) dengan membawa air. Air yang berada dalam berbagai wadah itu diletakkan dekat dengan sebuah wadah yang terbuat dari logam. Wadah yang merupakan tempat pembakaran serpihan kayu cendana dan gaharu ini, oleh mereka, disebut “setanggi”. Wewangian yang dikeluarkan oleh kayu tersebut tidak hanya berfungsi sebagai pengharum ruangan, tetapi juga sekaligus sebagai penarik malaikat dan makhluk halus yang baik (jin putih) untuk ikut serta dalam upacara.
Setelah perlengkapan upacara tersedia, para peserta yang berusia di atas 30 tahun akan duduk dan membentuk sebuah lingkaran (mulai dari kanan dan kiri pimpinan upacara). Selanjutnya, yang lebih muda usianya, duduk di belakang para orang tua tersebut. Ketika semuanya sudah duduk dengan sempurna (menyerupai posisi duduk dalam “tahyatul akhir” yang dilakukan dalam sholat), pemimpin upacara menjelaskan bahwa apa yang dilakukan bukan untuk memuja Syeh Saman, melainkan kepada Allah agar meridhoi ratif dan menurunkan malaikat beserta jin putih (jin muslim) untuk memerangi dan mengusir setan dari Desa Resun. Selain itu, pemimpin upacara juga menjelaskan tata cara melaksanakan Ratif Saman. Selanjutnya pemimpin upacara memberi penjelasan tentang aturan mengucapkan zikir “Laillaha illallah”. Karena pengucapannya harus mengikuti aturan tertentu. Sebelum mengucapkan kata “Laillah”, nafas harus ditarik dalam-dalam. Selanjutnya, kata “hail” diucapkan sambil kepala diputar ke bahu bagian kiri, diteruskan pengucapan “lal” (kepala diputar ke bahu kanan), sampai akhirnya pengucapan “lah” yang disertai dengan tundukan kepala ke rusuk kanan. Pengucapan kalimat “Lailahaillallah” sambil melakukan gerakan-gerakan tersebut, dimaksudkan agar peserta senantiasa mengingat Allah. Hidung yang menarik udara, menurut keyakinan mereka, merupakan sumber masuknya penyakit dan juga masuknya jin jahat yang mengganggu tubuh manusia. Dengan ditariknya udara dan dihembuskan kembali sembari mengucapkan “Lailahaillallah” diharapkan segala penyakit akan ikut terbuang. Penjelasan yang lain adalah mengenai aturan pembacaan ayat yang terkadang begitu panjang yang hanya dikuasai oleh pimpinan upacara dan para tetua kampung yang sudah biasa melakukannya. Apabila tidak hafal atau tidak dapat mengikuti ayat yang dilafazkan maka peserta cukup membaca “Allahuma Salli Ala Muhammad” secara berulang-ulang hingga ayat yang panjang tersebut selesai dibacakan pemimpin upacara.
Setelah menyampaikan hal-hal tersebut di atas, barulah pemimpin upacara memulai jalannya Ratif Saman. Beberapa surat dalam Al Quran pun dibaca, diteruskan dengan beberapa ratif (zikir) yang diikuti oleh seluruh peserta. Setelah upacara selesai, pemimpin upacara mempersilahkan masing-masing peserta mengambil air yang telah dibawanya.
Ada pantangan-pantangan yang diindahkan (dari saat upacara dilakukan sampai dengan hari yang ketiga). Pantangan-pantangan itu adalah: (1) tidak boleh membawa mayat masuk ke dalam desa karena jin hitam akan kembali masuk ke desa dengan cara menempel pada tubuh mayat; (2) tidak boleh memikul sampan melintasi jalan desa karena akan digunakan oleh jin hitam sebagai “kendaraan” untuk kembali masuk desa; dan (3) tidak boleh menjemur pakaian di pagar rumah bagian depan, karena pakaian tersebut dikhawatirkan masih belum bebas dari najis, sehingga dapat mengundang datangnya jin hitam.
Doa-Mantera
Doa-doa yang diucapkan dalam upacara Ratif Saman, diantaranya adalah:
- Shalawat yang dilakukan selama kurang lebih 5 menit. Shalawat itu merupakan pengantar untuk membaca dan me-ratif-kan kalimat-kalimat suci Al Quran yang terdapat dalam pelaksanaan Ratif Saman.
- Pembacaan surat Al Fatihah sejumlah 10 kali.
- Pembacaan surat AL Ikhlas sejumlah 10 kali.
- Pembacaan Ayat Qursi.
- Pembacaan surat At Tobat sejumlah 10 kali.
- Pembacaan doa Nabi Yunus yang berbunyi: “Laillaha illa Anta Subahanaka Inni Kuntu Minadholimin”, sejumlah 10 kali.
- Pembacaan kalimat “Astaghfirullah Al Azim. Allazi Laillaha illah Hua alhayyul Qalyum Waatubu ilaik”, sebanyak 100 kali.
- Pembacaan Shalawat Nikmat (Nikmat Rasul) dan atau mengucapkan: “Allahhuma shalli ala saiyyidina Muhammad”.
- Pembacaan surat Jumat.
- Pembacaan kalimat “Lailaha illallah” sebanyak 300 kali (pada saat kalimat tersebut telah dibacakan sebanyak 220 kali, muazin berdiri dan azan. Pada saat azan, pemimpin upacara ikut berdiri dan membaca surat “Alamnasroh” sebanyak 7 kali).
- Pembacaan “Lakalhamdu ya Qudus La ilaha illa Allah”, sejumlah 50 kali.
- Zikir “Antal Hadi Antallah, Laisal Hadi Ilahu”, sejumlah 50 kali.
- Zikir “Ya Hayyun. Ya Kayyum. Ya Allah”, sejumlah 50 kali
- Zikir “Ya Latif. Ya Habir. Ya Allah”, sejumlah 50 kali.
- Zikir “Ya Rahman. Ya Rahim. Ya Allah” sejumlah 50 kali.
- Zikir “Allah Hayyi” sejumlah 50 kali.
- Zikir “Hayyi” sejumlah 50 kali.
- Zikir “Allah, Allah, Allah Hu” sejumlah 50 kali.
- Zikir “Hu” sejumlah 50 kali.
- Pembacaan “Allah Allah Allah Saiunillah Salatullah Salamullah…”.
- Selanjutnya, pemimpin upacara membacakan Surat Jumat, beberapa shalawat dan surat, seperti: (a) Shalawat Jamil; (b) Shalawat Azimah; (c) Al Fatihah yang dihadiahkan kepada Rasul; Adam dan Hawa; Sahabat Rasul; Aulia Muhaqiqin; Syeh Abdul Kadir Zailani; para wali (orang-orang yang besar pengabdiannya dalam menyiarkan agama Islam, baik di tanah Arab maupun di luar Arab); leluhur pendiri desa Resun; para guru atau ustad yang mengajarkan ajaran Islam; Malaikat Yighous Sinambik Wattina Haza yang menjaga Baitullah; dan Syeh Maulana Ahmad Khatif Sambas, penggagas upacara Ratif Saman.
Berdasarkan uraian di atas, upacara yang disebut Ratif Saman ini, jika dicermati, mengandung nilai-nilai sebagai berikut:
- Musyawarah. Nilai ini tercermin dari pelaksanaan upacara Ratif Saman itu sendiri. Pada mulanya upacara ini terjadi secara spontan. Namun, belakangan ini hal itu jarang sekali terjadi (kalau tidak dapat dikatakan sudah tidak pernah terjadi lagi). Untuk itu, perlu dan tidaknya upacara itu dilakukan mesti dibicarakan bersama (dimusyawarahkan) oleh para tokoh masyarakat setempat, seperti tokoh adat, ulama, dan cerdik pandai. Ini artinya, musyawarah menjadi sesuatu yang sangat dijunjung tinggi dalam menentukan apakah upacara itu perlu dilaksanakan atau sebaliknya.
- Kebersamaan. Tujuan penyeleggaraan upacara Ratif Saman adalah agar suasana desa aman, tenteram, dan damai. Suasana yang didambakan itu tentunya tidak dapat diwujudkan oleh satu orang saja. Akan tetapi, memerlukan keterlibatan dan kerjasama seluruh anggota masyarakat desa yang bersangkutan. Hidup bersama dalam sebuah komunitas (desa) memerlukan kebersamaan di dalam menghadapi berbagai masalah yang menimpa desa dan masyarakatnya. Dalam upacara ini kebersamaan akan membuat masyarakatnya hidup sejahtera (terlepas dari berbagai penyakit, perampokan, perkosaan, dan pembunuhan). Oleh karena itu, salah satu nilai yang terkandung dalam upacara ini adalah kebersamaan.
- Religius. Upacara Ratif Saman merupakan suatu tanggapan aktif yang dilakukan kelompok masyarakat terhadap salah satu kekuatan yang cukup dahsyat yang berasal dari alam gaib. Segala bencana penyakit, gangguan makhluk halus, tidak dapat dikuasai dengan segala kepandaian kekuasaan, atau kekayaan harta benda yang dimiliki. Dalam hal menghadapi kekuatan itu, masyarakat Melayu di daerah Resun melakukan upacara Ratif Saman yang esensinya memperteguh keimanan dan menguatkan diri. Mereka percaya, di sekeliling tempat tinggal mereka (hutan, gunung, sungai, perkampungan), ada makhluk halus yang memiliki suatu kekuatan yang melebihi kekuatan manusia. Makhluk halus itu sendiri, terdiri dari dua jenis, yaitu: “hitam” dan “putih”. Makhluk halus yang “putih” tidak akan pernah mengganggu manusia. Tidak demikian halnya dengan makhluk halus yang “hitam”, akan senantiasa mengganggu manusia. Hanya kekuatan yang maha dahsyatlah yang dapat mengusir atau melenyapkan gangguan dari mahkluk halus tersebut, yaitu kekuatan yang datangnya dari Allah. Oleh karena itu, mereka berdoa, beramal, dan meminta kepadaNya agar terhindar dari gangguan makhluk halus (jin hitam). Sebagai jalan yang diyakini dapat menyampaikannya kepada Allah adalah melalui ajaran agama Islam, agar mendapat keselamatan hidup. Upacara Ratif Saman merupakan salah satu bentuk usaha untuk mencapai keselamatan duniawi dan akhirat, yang diimplementasikan melalui perilaku-perilaku yang bersifat Islami. Dengan kata lain, mereka melakukan upacara ini agar mendapat ridho dari Allah, seperti terhindar dari gangguan jin hitam dan gangguan-gangguan lain yang bersifat keduniawian.
- Kesehatan Jasmani dan Rohani. Kegiatan-kegiatan keagamaan sangat erat hubungannya dengan keselamatan hidup dunia dan akhirat. Untuk mengamalkan atau menjalankan kegiatan keagamaan ini diperlukan rohani dan jasmani yang “sehat”. Pada upacara Ratif Saman para peserta menggerakkan kepala saat berzikir. Disamping itu, selain di dalam mesjid, zikir juga dilakukan sambil berjalan mengitari kampung. Kegiatan ini dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk olah raga, yang berdampak positif bagi kesehatan. Pada saat berzikir, kepala diputar dari kiri ke kanan secara berulang-ulang, dapat membuat peredaran darah di kepala menjadi lancar dan urat-urat leher menjadi lentur. Dan pada saat berjalan mengelilingi desa, seluruh anggota tubuh akan bergerak hingga mengeluarkan keringat. Sedangkan kesehatan rohani didapat dari pembacaan ayat-ayat suci dan zikir. Apabila orang benar-benar menghayati ayat-ayat suci tersebut, maka jiwanya akan menjadi tenang dan damai.
- Gotong-royong. Upacara Ratif Saman ini adalah sebuah wujud rasa kebersamaan dan sikap gotong-royong masyarakat. Masalah gangguan yang datangnya baik dari dalam lingkungan sendiri (intern), maupun yang datangnya dari luar (ekstern) merupakan masalah bersama yang diusahakan penyelesaiannya secara bersama-sama pula. Penyakit ta’un, ancaman perampok, dan gangguan makhluk halus, dihadapi bersama-sama dengan melakukan upacara Ratif Saman. Dalam upacara tersebut, masyarakat bergotong-royong mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan pada saat upacara. (gufron)
Galba, Sindu, Dibyo Harsono, dkk. 2001. Upacara Tradisional Di Daik Lingga. Tanjungpinang: Bappeda Kabupaten Kepulauan Riau dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.