Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta adalah salah satu daerah (setingkat dengan provinsi) yang ada di Indonesia. Daerah ini tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia karena ibukotanya (kota Jakarta) sekaligus menjadi ibukota negara. Di sana banyak dijumpai berbagai peninggalan sejarah yang berupa bangunan-bangunan tua. Salah satu diantaranya adalah mesjid Angke yang telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya (bangunan bersejarah) berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. Cb. 11/12/1972 tanggal 10 Januari 1972.
Sesuai dengan namanya, Masjid Angke terletak di Kampung Angke1, tepatnya di Jalan Tubagus Angke, Gang Masjid Nomor 1, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Mesjid ini mempunyai keunikan tersendiri karena arsitekturnya adalah percampuran dari arsitektur Jawa, Cina dan Eropa. Arsitektur Jawa terlihat tidak hanya dari denah bangunannya yang berbentuk persegi dan bentuk atapnya, tetapi juga sistem struktur sakaguru yang menopang atapnya. Kemudian, arsitektur Cina terlihat dari detail konstruksi pada skur atap bangunan yang bertumpuk seperti kelenteng. Sedangkan, arsitektur gaya Eropa terlihat pada bentuk pintu dan jendelanya yang berukuran besar, lebar dan tinggi.
Mesjid Angke yang sekarang terkenal dengan nama Masjid Al-Anwar sangat erat kaitannya dengan orang-orang Cina yang ada di Batavia (sekarang Jakarta). Pada masa itu mereka bersitegang dengan Gubernur Jenderal Batavia, yaitu Jenderal Adrian Valekenier (1737--1741). Ketegangan itu mencapai puncaknya pada tahun 1740. Ketika itu orang-orang Cina yang bersenjata menyelusup dan menyerang Batavia. Kejadian ini membuat Valekenier memerintahkan pasukannya untuk mengadakan pembunuhan massal terhadap orang-orang Cina di Batavia. Dan, peristiwa tersebut diketahui oleh Pemerintah Belanda sehingga Valekenier diminta pertanggungjawabannya dan dianggap sebagai Gubernur Jenderal tercela. Kemudian, dia ditangkap dan dipenjarakan di Batavia tahun 1742. Waktu terjadi pembunuhan tersebut sebagian orang Cina yang bersembunyi dilindungi oleh orang-orang Islam (Banten) dan hidup berdampingan hingga tahun 1751. Mereka inilah, khususnya salah seorang yang kawin dengan orang Banten, yang kemudian mendirikan Masjid Angke pada tahun 1751.
Pada masa kemerdekaan (1945) masjid ini digunakan oleh para ulama Angke untuk mengobarkan semangat juang para pemuda di sana. Melalui khotbah-khotbah yang disampaikannya, para ulama melakukan provokasi untuk meningkatkan semangat juang menentang Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Di masjid ini juga sering digunakan oleh para pemuda untuk mengadakan rapat-rapat rahasia agar tidak tercium oleh pihak Belanda.
Kompleks Masjid Angke
Masjid Angke yang berdiri di atas tanah seluas 500 meter persegi dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: bangunan utama, bangunan tambahan, makam dan halaman. Berikut ini adalah uraian tentang bagian-bagian tersebut.
Luas bangunan Masjid Angke berukuran 15x15 meter. Bangunan ini dikelilingi oleh pagar tembok yang diatur rapih dan diberi pelipit. Halaman depan masjid permukaan tanahnya ditinggikan lebih kurang 40 cm agar terhindar dari genangan air saat terjadi hujan. Di sebelah utara kompleks masjid terdapat gapura yang berbentuk belah. Sedangkan, pintu masuk kompleks masjid yang ada di bagian selatan berbentuk gapura tertutup. Bentuk gapura ini hampir sama dengan bentuk gapura bangunan kuno yang ada di Banten dan Cirebon.
Masjid Angke memiliki tiga buah pintu yang terbuat dari kayu jati dengan ukuran 3,22x125 sentimeter. Sedangkan, sampaiambang-nya berukuran 3,90x2,80 sentimeter. Pintu yang terletak di bagian depan dihiasi dengan relung dan sulur-sulur. Sedangkan, dua pintu lainnya yang berada di kiri-kanan masjid. Untuk masuk ke dalam bangunan harus melalui tiga anak tangga.
Pada bagian badan bangunan masjid terdapat beberapa buah jalusi (lubang angin), yaitu: 4 buah ada di bagian depan, 3 buah ada di bagian kiri, dan 3 buah ada di bagian kanan masjid, dengan ukuran 1,30x1,90 meter. Sedangkan, di bagian belakang terdapat 3 jalusi yang berukuran 1,30x3,62 meter. Hiasan pada setiap jalusi berupa kayu yang dibubut dengan bentuk bulat dan berwarna coklat tua. Di bagian dalam masjid terdapat tiang induk, mimbar, dan pengimanan. Tiang induk berjumlah empat buah, bentuknya empat persegi panjang, tingginya 9 meter dan terbuat dari beton berhiaskan garis-garis simetris. Mimbarnya yang berbentuk ceruk dan dibangun melekat pada tembok mempunyai tangga dan pelipit dinding pintu. Sedangkan, pengimanan terdapat di sebelah kanan mimbar yang ada di sudut atau ujung bangunan.
Atap bangunan masjid berbentuk cungkup bersusun dua (tumpang), dengan ujung cungkup (nok) berbentuk kuncup melati. Bentuk jurai/sopi-sopi di masing-masing atapnya membengkok di bagian ujung bawah. Dan, di keempat ujung jurainya, bercuping seperti bunga terompet. Bentuk list-plang kayunya bermotif ombak dengan bonggol kuncup melati terbalik di setiap sudutnya.
Bangunan tambahan yang terdapat dalam kompleks masjid ini ada di sebelah kanan bangunan induk, dipergunakan sebagai tempat wudlu. Di bangunan tambahan ini terdapat bedug kuno yang kulitnya sudah diganti. Bangunan tambahan ini dibangun pada tahun 1979.
Di depan halaman masjid ini terdapat beberapa makam. Makam-makam tersebut adalah: (1) makam Sultan Hamid Algadri dari Pontianak (putera Sultan Pontianak), yang dibuang ke Batavia pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Makamnya (nisan) dibuat dari batu pualam dan ada tulisan yang menyebutkan Sultan tersebut meninggal dalam usia 64 tahun 35 hari pada tahun 1274 H atau1854 M; dan (2) lima makam lainnya, tiga makam dalam cungkup, sedang yang dua di luar cungkup. Sedangkan, di halaman belakang masjid terdapat beberapa makam lagi, yaitu: (1) makam Syeikh Ja’far, yang konon masih keturunan dari Sultan Banten; (2) makam Syarifah Mariyam; dan (3) 30 makam lain yang nisannya terbuat dari batu kali. Nisan-nisan makam tersebut berhiaskan ukiran kuncup padma, segitiga tumpal dan sulur-sulur.
Foto: http://eljohn.net
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1998. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara IX. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Jawa Pos, Sabtu, 25 Des 2004
http://www.al-shia.com
http://www.republika.co.id
http://www.arsitekturindis.com
http://bataviase.wordpress.com
http://www.masjidistiqlal.com
1 Nama “angke” berasal dari bahasa Cina, yaitu “ang” yang berarti merah (darah) dan “ke” berarti bangkai. Penamaan ini berkaitan dengan peristiwa pemberontakan orang-orang Cina di Batavia pada 1740. Banyak orang Cina mati dibunuh oleh Belanda dan mayatnya bergelimpangan dimana-mana, dan ada yang hanyut di sungai. Sungai tersebut kemudian diberi nama Kali Angke dan kampung yang ada di dekat sungai itu diberi nama Kampung Angke. Dahulu Kampung angke bernama Kampung Bebek karena sebagian besar penduduknya selain bertani juga memelihara bebek.
Sesuai dengan namanya, Masjid Angke terletak di Kampung Angke1, tepatnya di Jalan Tubagus Angke, Gang Masjid Nomor 1, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Mesjid ini mempunyai keunikan tersendiri karena arsitekturnya adalah percampuran dari arsitektur Jawa, Cina dan Eropa. Arsitektur Jawa terlihat tidak hanya dari denah bangunannya yang berbentuk persegi dan bentuk atapnya, tetapi juga sistem struktur sakaguru yang menopang atapnya. Kemudian, arsitektur Cina terlihat dari detail konstruksi pada skur atap bangunan yang bertumpuk seperti kelenteng. Sedangkan, arsitektur gaya Eropa terlihat pada bentuk pintu dan jendelanya yang berukuran besar, lebar dan tinggi.
Mesjid Angke yang sekarang terkenal dengan nama Masjid Al-Anwar sangat erat kaitannya dengan orang-orang Cina yang ada di Batavia (sekarang Jakarta). Pada masa itu mereka bersitegang dengan Gubernur Jenderal Batavia, yaitu Jenderal Adrian Valekenier (1737--1741). Ketegangan itu mencapai puncaknya pada tahun 1740. Ketika itu orang-orang Cina yang bersenjata menyelusup dan menyerang Batavia. Kejadian ini membuat Valekenier memerintahkan pasukannya untuk mengadakan pembunuhan massal terhadap orang-orang Cina di Batavia. Dan, peristiwa tersebut diketahui oleh Pemerintah Belanda sehingga Valekenier diminta pertanggungjawabannya dan dianggap sebagai Gubernur Jenderal tercela. Kemudian, dia ditangkap dan dipenjarakan di Batavia tahun 1742. Waktu terjadi pembunuhan tersebut sebagian orang Cina yang bersembunyi dilindungi oleh orang-orang Islam (Banten) dan hidup berdampingan hingga tahun 1751. Mereka inilah, khususnya salah seorang yang kawin dengan orang Banten, yang kemudian mendirikan Masjid Angke pada tahun 1751.
Pada masa kemerdekaan (1945) masjid ini digunakan oleh para ulama Angke untuk mengobarkan semangat juang para pemuda di sana. Melalui khotbah-khotbah yang disampaikannya, para ulama melakukan provokasi untuk meningkatkan semangat juang menentang Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Di masjid ini juga sering digunakan oleh para pemuda untuk mengadakan rapat-rapat rahasia agar tidak tercium oleh pihak Belanda.
Kompleks Masjid Angke
Masjid Angke yang berdiri di atas tanah seluas 500 meter persegi dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: bangunan utama, bangunan tambahan, makam dan halaman. Berikut ini adalah uraian tentang bagian-bagian tersebut.
Luas bangunan Masjid Angke berukuran 15x15 meter. Bangunan ini dikelilingi oleh pagar tembok yang diatur rapih dan diberi pelipit. Halaman depan masjid permukaan tanahnya ditinggikan lebih kurang 40 cm agar terhindar dari genangan air saat terjadi hujan. Di sebelah utara kompleks masjid terdapat gapura yang berbentuk belah. Sedangkan, pintu masuk kompleks masjid yang ada di bagian selatan berbentuk gapura tertutup. Bentuk gapura ini hampir sama dengan bentuk gapura bangunan kuno yang ada di Banten dan Cirebon.
Masjid Angke memiliki tiga buah pintu yang terbuat dari kayu jati dengan ukuran 3,22x125 sentimeter. Sedangkan, sampaiambang-nya berukuran 3,90x2,80 sentimeter. Pintu yang terletak di bagian depan dihiasi dengan relung dan sulur-sulur. Sedangkan, dua pintu lainnya yang berada di kiri-kanan masjid. Untuk masuk ke dalam bangunan harus melalui tiga anak tangga.
Pada bagian badan bangunan masjid terdapat beberapa buah jalusi (lubang angin), yaitu: 4 buah ada di bagian depan, 3 buah ada di bagian kiri, dan 3 buah ada di bagian kanan masjid, dengan ukuran 1,30x1,90 meter. Sedangkan, di bagian belakang terdapat 3 jalusi yang berukuran 1,30x3,62 meter. Hiasan pada setiap jalusi berupa kayu yang dibubut dengan bentuk bulat dan berwarna coklat tua. Di bagian dalam masjid terdapat tiang induk, mimbar, dan pengimanan. Tiang induk berjumlah empat buah, bentuknya empat persegi panjang, tingginya 9 meter dan terbuat dari beton berhiaskan garis-garis simetris. Mimbarnya yang berbentuk ceruk dan dibangun melekat pada tembok mempunyai tangga dan pelipit dinding pintu. Sedangkan, pengimanan terdapat di sebelah kanan mimbar yang ada di sudut atau ujung bangunan.
Atap bangunan masjid berbentuk cungkup bersusun dua (tumpang), dengan ujung cungkup (nok) berbentuk kuncup melati. Bentuk jurai/sopi-sopi di masing-masing atapnya membengkok di bagian ujung bawah. Dan, di keempat ujung jurainya, bercuping seperti bunga terompet. Bentuk list-plang kayunya bermotif ombak dengan bonggol kuncup melati terbalik di setiap sudutnya.
Bangunan tambahan yang terdapat dalam kompleks masjid ini ada di sebelah kanan bangunan induk, dipergunakan sebagai tempat wudlu. Di bangunan tambahan ini terdapat bedug kuno yang kulitnya sudah diganti. Bangunan tambahan ini dibangun pada tahun 1979.
Di depan halaman masjid ini terdapat beberapa makam. Makam-makam tersebut adalah: (1) makam Sultan Hamid Algadri dari Pontianak (putera Sultan Pontianak), yang dibuang ke Batavia pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Makamnya (nisan) dibuat dari batu pualam dan ada tulisan yang menyebutkan Sultan tersebut meninggal dalam usia 64 tahun 35 hari pada tahun 1274 H atau1854 M; dan (2) lima makam lainnya, tiga makam dalam cungkup, sedang yang dua di luar cungkup. Sedangkan, di halaman belakang masjid terdapat beberapa makam lagi, yaitu: (1) makam Syeikh Ja’far, yang konon masih keturunan dari Sultan Banten; (2) makam Syarifah Mariyam; dan (3) 30 makam lain yang nisannya terbuat dari batu kali. Nisan-nisan makam tersebut berhiaskan ukiran kuncup padma, segitiga tumpal dan sulur-sulur.
Foto: http://eljohn.net
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1998. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara IX. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Jawa Pos, Sabtu, 25 Des 2004
http://www.al-shia.com
http://www.republika.co.id
http://www.arsitekturindis.com
http://bataviase.wordpress.com
http://www.masjidistiqlal.com
1 Nama “angke” berasal dari bahasa Cina, yaitu “ang” yang berarti merah (darah) dan “ke” berarti bangkai. Penamaan ini berkaitan dengan peristiwa pemberontakan orang-orang Cina di Batavia pada 1740. Banyak orang Cina mati dibunuh oleh Belanda dan mayatnya bergelimpangan dimana-mana, dan ada yang hanyut di sungai. Sungai tersebut kemudian diberi nama Kali Angke dan kampung yang ada di dekat sungai itu diberi nama Kampung Angke. Dahulu Kampung angke bernama Kampung Bebek karena sebagian besar penduduknya selain bertani juga memelihara bebek.