Pakaian sehari-hari yang dikenakan oleh perempuan Melayu adalah tulang belut, kebaya pendek, dan baju kurung pendek. Baju kebaya pendek adalah baju kebaya biasa yang panjangnya hanya sebatas pinggul. Baju ini pada bagian depan terbelah total (sepanjang baju tersebut). Oleh karena itu, pada saat baju ini digunakan harus ditutup dengan kancing. Pada masa lalu dengan peniti. Sedangkan, baju kurung pendek adalah baju kurung yang panjang lengannya hanya tiga perempat. Baju ini sering disebut sebagai baju kurung kedah. Kedua model baju itu dalam kehidupan sehari-hari, terutama di lingkungan rumah, sering digunakan oleh perempuan tua. Baju-baju tersebut disertai bawahannya yang berupa kain sarung batik atau setelannya. Seperti halnya baju kurung yang dikenakan oleh kaum laki-lakinya, maka yang dikenakan oleh kaum perempuannya juga berkeke dan berpesak. Di masa lalu, pakaian yang akan dikenakan oleh dirinya maupun kaum laki-lakinya, seperti sampin, songket, dan palekat mereka buat sendiri dengan cara menenunnya. Baju pun mereka jahit sendiri dengan tangan karena hanya orang-orang tertentu yang memiliki mesin jahit. Menjahit dengan tangan tentunya memerlukan waktu yang lama, apalagi dikerjakan hanya pada waktu-waktu senggang. Belum lagi ada keperluan yang lain, sehingga untuk membuat satu baju dapat memerlukan waktu berhari-hari. Hal itu masih ditambah dengan rumitnya model. Misalnya baju kurung yang disebut sebagai tulang belut. Baju ini lehernya harus ditikam-tikam (disulam) sekelilingnya sehingga menyerupai tulang belut. Dewasa ini model tersebut sudah jarang dipakai orang lagi. Seandainya ada yang memakainya, maka itu adalah buatan lama. Sebagai gantinya adalah bis (semacam pita) atau biku-biku yang dilekatkan pada leher dan batas jahitan pesak dari atas hingga ke bawah. Di zaman sekarang perempuan tidak perlu repot-repot lagi, karena berbagai macam pakaian yang diinginkan dapat diperoleh dengan cara pembelian atau menyerahkan kepada tukang jahit.
Sedangkan songket mereka pilih umumnya adalah yang beragam hias bunga tabur, yaitu suatu kain yang hampir seluruh permukaannya dihiasi bunga pecah delapan dan atau bunga pecah empat. Selain itu, ragam hias wajik juga menjadi pilihan karena bentuknya yang simetris, sehingga permukaan kain dapat penuh dengan ragam hias tersebut.
Baju kurung Melayu yang dipakai kaum perempuan biasanya berukuran besar. Hal ini sangat berkaitan dengan ajaran agama Islam yang melarang perempuan (wanita) berbaju ketat atau memperlihatkan lekuk tubuhnya. Selain itu, lengannya pun dibuat panjang dan besar, sehingga yang tampak hanya jari-jarinya. Besarnya lengan baju juga ada kaitannya dengan kemudahan dalam hal mengambil air wudlu atau akan melakukan pekerjaan sehari-hari, karena lengan yang besar dapat disingsingkan dengan mudah. Baju ini hanya terbelah di bagian atas (sampai ke bagian dada). Kemudian, agar dada tersebut dapat tertutup maka diperlukan kancing. Warna yang dipilih pada umumnya biru, hijau, coklat, dan putih. Sedangkan, bahan yang dipergunakan adalah katun atau belacu yang berbunga-bunga. Dan, kancingnya hanya cukup sebuah. Bagian bawahnya berupa sarung Samarinda, Bugis, atau kain batik Jawa. Selain itu, ada juga yang mengenakan satu set baju kurung, yaitu baju yang bagian atas dan bawahnya terbuat dari bahan yang sama. Di lingkungan rumah para perempuan biasanya hanya menggunakan perhiasan yang sederhana, seperti: anting-anting atau subang yang tidak pernah ditanggalkan, kalung, dan cincin seperlunya. Sandal dan atau capal tidak pernah dikenakan dalam rumah. Ketika di rumah biasanya kaum perempuan tidak mengenakan pakaian dengan warna yang menyolok, tetapi warna teduh. Sementara itu, para orang tuanya seringkali memilih warna putih, krem atau biru polos yang bagian lehernya dihiasi dengan bordir. Sementara itu, rambutnya yang pada umumnya panjang disisir, kemudian disanggul dengan sisir itu sendiri atau pengikat rambut, sehingga tetap rapi. Sanggul yang dibentuk dengan cara seperti itu disebut sebagai sanggul sisir atau sanggul sikat.
Ketika bepergian baju yang dikenakan biasanya adalah baju kurung dengan model leher tulang belut beserta padanannya (stelannya) yang juga terbuat dari bahan yang sama. Dimasa lalu, ketika seseorang akan bepergian jauh, maka selalu mengenakan kain songket atau palekat. Kain tersebut hanya dipegang atau dikepit oleh tangan kiri atau kanan yang berfungsi sebagai pelindung dari teriknya sinar matahari. Jadi, jika sinar matahari yang terik tidak dapat dihindarinya, maka songket atau pelekat tersebut ditarik ke atas sebagai penutup kepala. Sedangkan, alas kaki yang digunakan adalah capal atau selipa. Asesoris yang dikenakan adalah subang atau anting-anting, gelang, kalung yang terbuat dari emas atau perak, dan ada juga yang menggunakan suasa (logam yang dilapisi atau dicelup dengan warna emas). Namun, jika menjenguk orang sakit atau bertamu ke tetangga atau ke rumah kerabat yang letaknya agak jauh, maka pakaian yang kenakan adalah pakaian yang rapi, bersih, dan sederhana. Untuk pergi melayat kepada orang meninggal, tampaknya tidak ada pakaian dan warna yang khusus. Jadi, boleh mengenakan apa saja sejauh itu masih dalam koridor pantas. Meskipun demikian, biasanya tidak lepas dari kerudung dengan warna apa saja, dengan catatan warna yang tidak mencolok. Perkembangan terakhir, tampaknya ada kesepakatan bahwa pakaian yang digunakan untuk melawat berwarna hitam. Demikian juga, kerundung yang dikenakannya.
Pakaian yang dipilih oleh kaum perempuan dalam bepergian biasanya adalah yang bermotif bunga, kecuali yang sudah menjadi hajjah. Mereka yang telah menunaikan rukum Islam kelima ini lebih memilih baju gunting jubah yang polos. Baju tersebut diberi sulam atau dibordir dari sekeliling leher sampai sepanjang baju dan malahan sampai di sekeliling bawah.
“Kebersihan bagian dari iman”, demikian kata pepatah. Oleh karena itu, mandi bagi siapa pun merupakan hal yang harus dilakukan baik oleh bayi, anak-anak, orang dewasa, maupun orang tua. Berkenaan dengan mandi ini, terutama di masa lalu, kaum perempuan menggunakan suatu tutup badan yang disebut sebagai bahasan. Tutup ini biasanya berupa sarung atau kain batik yang sudah tidak dipakai lagi namun masih bagus. Caranya, ketika mandi bahasan tersebut dililitkan sampai sebatas dada. Dan, ini dilakukan karena tidak setiap keluarga mempunyai sumur dan kamar mandi tersendiri.
Pakaian yang digunakan oleh anak-anak yang masih kecil (bayi) adalah: bedung, popok, gurita, dan baju bayi. Pada masa lalu kain bedung tidak dibeli, tetapi dibuat sendiri dari kain sarung atau kain batik kedah yang masih bagus tapi tidak dipakai lagi. Kain tersebut dibagi dua. Baju bersulam ini belahannya ada di belakang dan menggunakan tali. Namun, ada pula yang menggunakan kancing. Topi bayi biasanya rajutan dari benang wool. Kain yang digunakan untuk baju adalah kain flanel, sedangkan popok dan gurita menggunakan kain belacu. Biasanya bayi dibedung sampai umur tiga bulan. Setelah bayi agak besar baru dipakaikan barut gantung dan celana bayi. Barut ini sebagai ganti gurita. Ada kalanya hanya memakai barut gantung dan celana.
Sumber:
Galba, Sindu, Dwi subowati dkk. 2002. Pakaian Tradisional Masyarakat Melayu Kepulauan Riau. Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.
www.heritage.gov.my
www.tamanmini.com