Asal-usul
Sumedang adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Di kabupaten ini, tepatnya di Desa Karedok, Kecamatan Jati Gede, ada satu upacara adat yang disebut dengan ngarot. Kata “ngarot” dalam bahasa Jawa dapat diartikan sebagai “berkenduri menjelang mengerjakan sawah” (Prawiro-atmodjo, 198: 422). Sedangkan, dalam bahasa Sunda, kata “ngarot” berasal dari kata “ngaruat” yang artinya adalah “selamatan untuk menolak bala”.
Asal usul upacara ngarot di Desa Karedok berawal pada sekitar tahun 1900-an, ketika desa itu dilanda wabah penyakit yang banyak memakan korban, baik manusia maupun hewan peliharaan. Melihat warganya mendapat musibah, Erum, Kepala Desa Karedok waktu itu, meminta bantuan seorang Polisi Desa bernama Ki Maryamin untuk bertapa selama 40 hari-40 malam. Tujuannya adalah mencari tahu penyebab terjadinya wabah penyakit di Desa Karedok. Konon, ketika menjelang malam ke-40 tiba-tiba Ki Maryamin mendengar sora tan katingal (suara tanpa wujud) yang memberi ngageuing (tanda) agar mengadakan upacara penguburan kepala kerbau di alun-alun Desa Karedok sebagai kurban untuk keselamatan warganya. Suara gaib itu oleh Ki Maryamin diduga sebagai suara Embah Pada, yaitu leluhur masyarakat Desa Karedok yang dimakamkan di Cisahang. Upacara tersebut kemudian disebut sebagai ngaruat lembur atau ngarot.
Nama lain dari upacara ngarot adalah upacara Tutup Buku Guar Bumi. Istilah “tutup buku” dapat diartikan sebagai akhir dari tahapan-tahapan bertani atau bersawah, sedangkan istilah “guar bumi” dapat diartikan sebagai awal dari tahapan tersebut. Maksud dan tujuan penyelenggaraan upacara Ngarot atau Tutup Buku Guar Bumi adalah mengharapkan kesuburan tanah, menyelamati warga desa, menyelamati alat-alat pertanian, serta mengharap kepada Tuhan Yang Maha Esa agar hasil produksi pertanian mereka dapat melimpah ruah.
Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Telibat dalam Upacara
Sebagaimana upacara pada umumnya, upacara ngarot juga dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam upacara ini adalah sebagai berikut: (1) tahap penyembelihan kurban; (2) tahap penguburan kepala hewan kurban; (3) tahap arak-arakan; (4) tahap saweran; dan (5) tahap selamatan dan prasmanan. Seluruh rentetan upacara ini biasanya dilakukan dari pukul 01.00 dini hari hingga pukul 15.30 dan dilanjutkan kembali pada pukul 20.00 hingga tengah malam. Sebagai catatan, penyelenggaraan upacara ngarot dilakukan setahun sekali pada bulan Oktober, menjelang musim penghujan (rendeng). Pada saat bulan Oktober ini biasanya hujan mulai turun sehingga para petani dapat segera menggarap sawahnya.
Tempat pelaksanaan upacara ngarot bergantung dari tahapan-tahapan yang harus dilalui. Untuk prosesi pemotongan hewan kurban, penguburan kepala hewan kurban, dan hiburan diadakan di alun-alun Desa Karedok. Untuk prosesi selamatan, prasmanan, dan saweran diadakan di ruangan Balai Desa Karedok. Sedangkan, prosesi arak-arakan diawali di alun-alun desa, kemudian dilanjutkan dengan berjalan di sepanjang jalan desa dan kembali lagi ke alun-alun desa.
Pemimpin upacara juga bergantung pada kegiatan atau tahap yang dilakukan dalam upacara ngarot. Pada tahap penyembelihan dan penguburan kepala hewan kurban, yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah kuncen atau pakuncen. Kemudian, yang bertindak sebagai pemimpin upacara saat pembacaan ijab dalam penguburan kepala kerbau dan selamatan adalah lebe. Seluruh jalannya upacara ini diawasi oleh para sesepuh1 desa yang dianggap mengetahui seluk belum upacara ngarot. Ketiga komponen warga masyarakat ini merupakan keturunan langsung dari pelaksana upacara sebelumnya.
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan upacara ngarot adalah: (1) Kepala Desa Karedok dan isterinya yang nantinya akan diarak dengan jampa untuk berkeliling kampung; (2) isteri-isteri sesepuh desa yang bertugas mempersiapkan bahan-bahan sesajen dan sekaligus mengolahnya; (3) panitia upacara yang bertugas mempersiapkan baladongan, panggung kesenian, penyediaan kursi dan meja; (4) para ketua RT (Rukun Tetangga) yang bertugas mengerahkan warganya untuk membuat gantar yang akan diperlombakan pada saat upacara; (5) kelompok kesenian yang bertugas mengisi acara hiburan malam hari setelah upacara ngarot; dan (6) warga masyarakat Desa Karedok yang ikut membantu mensukseskan upacara ngarot dengan membuat kaca-kaca, jampana, dan menyaksikan jalannya upacara.
Perlengkapan Upacara
Perlengkapan yang perlu dipersiapkan dalam upacara ngarot ini adalah: (1) seekor munding (kerbau) jantan berumur sekitar satu tahun yang tidak dalam keadaan sakit atau cacat. Dalam upacara ini, hewan yang akan dijadikan kurban tidak boleh kerbau betina atau jenis hewan lain. Apabila hal ini dilanggar, maka konon akan terjadi bencana di Desa Karedok, seperti kebakaran, wabah penyakit dan lain sebagainya; (2) sesajen, yang terdiri atas: duwegan (kelapa muda), puncak manik2 (congot yang di atasnya ditaruh telur ayam), roti, bolu, tangkeuh, gula batu, kopi pait (kopi pahit), kopi amis (kopi amis), balagudeg, tektek (sirih, pinang dan perlengkapannya), rokok Gudang Garam Merah, serutu (cerutu) dua batang, endog hayam kawung (telur ayan kampung), roko daun kawung (rokok daun enau), tembakau tampang, rujak cau (rujak pisang), rujak asem (rujak asam), rujak kelapa, sobek belut dan sobek lele; (3) kaca-kaca (gada-gada). Kaca-kaca adalah penganan yang dipajang di depan gang-gang dan halaman rumah-rumah penduduk, terdiri atas: cau (pisang), buah bangga, ranginang, opak, kolontong, duwegan (kelapa muda), gerejeg (gorengen), rempeye, endog asin (telur asin), opak beca, peteuy (petai), limun, kerupuk, dan lain sebagainya; (4) gantar sebanyak 24 buah yang berisi hasil bumi dari masing-masing RT yang ada di Desa Karedok. Gantar-gantar ini nantinya akan diperlombakan setelah prosesi arak-arakan selesai; (5) jampana atau jampa. Jampana adalah tandu berbentuk persegi empat dan beratap yang diusung oleh dua atau empat orang. Jampana terbuat dari kayu, bambu dan atapnya dari anyaman daun kelapa. Jampa yang dibuat untuk upacara ini terdiri dari beberapa macam yaitu: jampa yang digunakan untuk mengusung kuwu/kepala desa pada saat arak-arakan, jampa yang digunakan untuk membawa penganan dan hasil bumi yang dibuat oleh masing-masing RT, jampa yang digunakan untuk mengusung Dewi Sri (Dewi Padi dengan pasangannya Rama) dan jampa suraga, yang digunakan untuk membawa boeh rarang (kain kafan) dan samak (tikar) sebagai simbol bahwa setiap manusia akan diusung dan dibungkus kain kafan dan tikar. Masing-masing jampa memiliki bentuk dan variasi yang berbeda, bergantung pada kreativitas pembuatnya; (3) balandongan. Baladongan adalah bangunan sementara yang dibuat dari bambu dengan atap terbuat dari terpal atau giribig (alat menjemur gabah); (4) tutunggulan. Tutunggulan adalah adalah alat untuk menumbuk padi yang terdiri dari sebuah lisung (lesung) dan delapan buah halu (alu). Fungsi tutunggulan ini adalah sebagai tanggara atau pemberitahuan kepada masyarakat saat arak-arakan akan berangkat dan saat berakhirnya arak-arakan; (5) Parupuyan atau parukuyan. Parupuyan ialah tempat perapian yang dipergunakan untuk membakar kemenyan. Parupuyang ini berfungsi sebagai sarana penghubung dengan roh para leluhur; (6) sepasang boneka Dewi Sri dan pendampingnya Rama (seorang petani). Boneka Dewi Sri mengenakan busana kerudung, kebaya, selendang, dan hiasan leher berupa bunga teratai. Sedangkan boneka pasangannya mengenakan busana iket kepala khas Sunda, baju salontreng dan pangsi berwarna hitam, serta sarung; (7) panggung yang dibuat dari papan kayu dan diatasnya diberi tikar atau karpet. Panggung ini digunakan untuk para nayaga (penabug gamelan), sinden dan penyanyi. Di depan panggung ini disediakan kursi-kursi bagi warga yang ingin menyaksikan hiburan; dan (8) cangkul untuk menggali tanah tempat menampung darah dan menguburkan kepala kerbau. Kedalaman masing-masing tanah yang digali lebih kurang 80 cm dengan diameter sekitar 80 cm. Sebagai catatan, penggalian tanah ini dilakukan pada waktu tengah malam (pukul 00.00), dan dihadiri oleh kepala desa, sesepuh upacara, kuncen dan para tokoh masyarakat.
Selain perlengkapan upacara ada pula beberapa kesenian yang biasa ditampilkan dalam penyelenggaraan upacara ngarot yaitu Bangreng, Tayuban, Terebang, dan Dogdog. Bangreng adalah sejenis pertunjukkan berupa tarian yang berasal dari tayub, diiringi oleh terebang, kendang, rebab dan goong. Dalam perkembangannya ditambah dengan saron-1 dan saron-2 serta kecrek. Tidak jauh berbeda dengan kesenian Ketuk Tilu, para penari wanita bangreng juga bersedia menemani penonton laki-laki yang berminat untuk menari di arena. Setelah selesai satu babak, penari laki-laki harus memberi uang kepada si penari wanita. Kadang-kadang uang itu diberikan sambil berjabattangan, diselipkan ke dalam baju si penari wanita, atau menaruh dalam baskom yang telah disediakan. Lagu yang mengiringi tarian bergantung kepada permintaan penari laki-laki, misalnya lagu-lagu: Rincik Rincang, Sulan-jana, Udan Mas, Engko, Geboy dan lain sebagainya.
Terebang ialah waditra perkusi terbuat dari kayu yang ditutupi kulit. Waditra ini selain digunakan dalam kesenian terebang juga digunakan dalam kesenian gembyung, yang terdiri atas 3 buah, yakni yang paling besar disebut terebang indung, berdiameter lebih kurang 60 cm, yang kedua berdiameter 50 sentimeter, dan yang ketiga berdiameter 40 cm. Lagu-lagu yang biasa diiringi terebang ini meliputi: Salawat, Kentrung, Kembang Beureum, Coyor, Kembang Gadung, Titipati, Torondol, Geboy, Kacang Asin, dan lain sebagainya. Tayuban ialah jenis tarian yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang diiringi oleh waditra pengiring, baik dalam pesta-pesta adat, perkawinan maupun pesta-pesta lainnya. Dogdog biasa dipergunakan dalam pertunjukan ogel atau reog. Dogdog dalam penyelenggaraan upacara ngarot terdiri atas empat buah, yang paling kecil disebut tilingtit biasanya digunakan untuk dalang, kedua disebut panempas, ketiga disebut badublag, dan yang keempat disebut gong-gong atau pangrewong.
Sebagai catatan, pengadaan peralatan upacara dan pembiayaan pertunjukan kesenian, seluruhnya berasal dari sumbangan warga masyarakat yang besarnya berkisar antara Rp.10.000-Rp.20.000,-. Penarikan sumbangan tersebut dilakukan setelah ada kesepakatan dalam musyawarah yang dihadiri para ketua RT, RW, sesepuh, tokoh masyarakat, kepala desa dan aparat desa lainnya.
Jalannya Upacara
Upacara Ngarot diawali pada pukul 01.00 dini hari dengan penyembelihan dan penguburan kepala munding atau kerbau, dipimpin oleh Kuncen dan disaksikan oleh Kuwu/Kepala Desa, Lebe, sesepuh desa3 dan warga masyarakat Desa Karedok. Pertama-tama kuncen membacakan mantra-mantra di depan sesajen penyembelihan sambil membakar kemenyan di atas parupuyan. Usai pembacaan mantra kuncen langsung memotong kerbau di atas lubang yang sudah disiapkan sebelumnya, agar darah yang menyembur dari leher kerbau tersebut tidak berhamburan. Ketika kerbau itu sudah dipastikan mati, kepala kerbau langsung diputus dari tubuhnya dan dimasukkan ke dalam lubang berikut sesajen penyembelihan, dan ditutup dengan tanah. Penguburan kepala munding (kerbau) itu merupakan simbol pengorbanan kepada bumi yang akan digarap (sawah dan tegalan), dan juga merupakan wujud syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas segala karunianya.
Usai penguburan, dilanjutkan dengan ijab yang dilaksanakan oleh lebe. Ijab tersebut jelasnya sebagai berikut:
Bapa miwah para wargi sadaya, sim kuring cumarios di ieu patempatan the teu aya sanes kawakilan ku Bapa Kuwu K. Sutisna sareng kawakilan ku masarakat Desa Karedok umumna. Nya eta dina raraga guar bumi guar taneuh antawisna mah anu parantos nyebar bade tatanen dina sasih oktober ieu. Maksadna bade nitipkeun ka bumi kalayan mudah-mudahan ieu masarakat Karedok dina guar bumi guar taneuhna sing mulus berkah rahayu, mulus nu dititipkeunanan, mulus nu nitipkeunana.
Sakumaha maksad urang sadayana, dina waktosna tiap taun ngalaksanakeun motong munding, mudah-mudahan dina ngalaksanakeun ali paranti karuhun, urang sadayana kedah neraskeun kalawan aya pangjeujeuh para sepuh. Ku kituna ka para sepuh sareng nu aya di dieu dipundut piduana dina sukuran desa iieu, mudah-mudahan urang sadaya di-na dinten enjing ngalaksanakeun hiburanana sing aya dina kalancaran kalayan ditebih-keun tina halangan itu ieuna.
Atuh dina ngalaksanakeun motong munding ieu, biasana huluna sok dikubur sapertos anu katingali ku para bapa tadi, mudah-mudahan neneda ka Gusti Alloh Subhanahu wataala urang sadayana sing aya dina kasalametan, diantawisna dina guar tani guar taneuhna, nya kitu keneh mudah-mudahan neda tawakupna, hapunten anu ketada.
Selesai ijab dilanjutkan dengan doa yang diikuti dan diamini oleh peserta yang hadir. Sedangkan, para peserta yang mempunyai tugas mengurus kerbau, langsung menguliti dan membagikan dagingnya kepada semua warga masyarakat secara merata. Sedangkan warga yang lainnya yang tidak mendapat tugas saat itu, kembali ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan arak-arakan.
Lebih kurang pukul 08.00 pagi, arak-arakan segera dimulai dengan acara pembukaan. Acara pembukaan ini diawali dengan ijab dan doa bersama para sesepuh upacara, dipimpin oleh lebe. Ijab tersebut menyatakan maksud dan tujuan penyelenggaraan Upacara ngarot, yang intinya bersyukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Selesai ijab ibu-ibu serentak membunyikan tutunggulan yang diikuti oleh kesenian pengiring seperti: dogdog, genjring, kohkol, dan bedug. Bersamaan dengan itu pula, Kuwu/Kepala Desa beserta istri menaiki jampa yang akan ditandu keliling desa. Saat arak-arakan ini busana yang dikenakan oleh Kuwu adalah baju lengan panjang berwarna cerah, dasi, jas berwarna gelap, celana panjang berwarna gelap, sepatu, dan peci atau kopiah berwarna hitam. Sedangkan busana yang dikenakan isteri kuwu ialah baju kebaya berwarna hijau, kain sinjang dilamban, selendang, selop, dan sanggul.
Formasi arak-arakan meliputi: (1) peserta pembawa bendera dan lambang desa; (2) pembawa jampa Dewi Sri; (3) pembawa jampa suraga; (4) pembawa payung; (5) pembawa jampa yang menandu Kepala Desa dan Istri; (6) sesepuh upacara dan tokoh masyarakat; (7) pembawa jampa dari masing-masing RT, berisi penganan dan hasil bumi; (8) penabuh dogdog, genjring, kohkol, bedug; serta; (9) tamu undangan dan warga masyarakat Desa karedok.
Arak-arakan dimulai dengan mengelilingi alun-alun dan kuburan kepala kerbau sebanyak tiga putaran. Selanjutnya, secara beriringan arak-arakan mulai meninggalkan alun-alun desa disertai tetabuhan gamelan dan nyanyian menyusuri jalan yang menuju wilayah Rt 24 yang berada diujung jalan Desa Karedok. Setibanya di tempat ini, mereka beristirahat sejenak dan selanjutnya kembali beriringan melalui jalan yang tadi, melewati alun-alun desa, menuju Rt. 01. Setibanya di wilayah Rt. 01, arak-arakan kembali ke alun-alun dan kembali berputar sebanyak tiga kali putaran mengelilingi alun-alun dan kuburan kepala kerbau. Kemudian, jampa yang berisi Kepala Desa beserta istri diturunkan di depan balai desa untuk selanjutnya diadakan acara saweran. Sesaat sebelum upacara saweran dimulai, formasi jampa kepala desa diatur berdampingan dengan jampa Dewi Sri, dan dibelakngnya pembawa payung yang memayungi kedua jampa tersebut. Sawer atau nyawer secara umum ialah upacara menasihati mempelai dengan cara dinyanyikan sambil menaburkan beras, irisan kunir, uang logam dan sebagainya, di bawah panyaweran (cucuran atap). Adapun yang dimaksud dengan nyawer di sini, fungsinya ialah untuk menyatukan Dewi Sri dengan ibu pertiwi agar memberi kesuburan di bumi yang dibawakan dalam bentuk syair yang dinyanyikan oleh sinden. Syair sawer tersebut adalah sebagai berikut.
Bismillah ngawitan muji,
Nyebat asmaning Pangeran,
Kade ulah bade hilap,
Allah mah sipat kawasa,
Ieu aya di alam dunya,
Urang kedah nyiar elmu,
Pikeun bekel ka aherat.
Patani supaya mukti,
Padagang sina barungah,
Ulah adek hararese,
Tiap sok aya anjuran,
Nyumponan ti pertanian,
Kade lah teu diturut,
Bisi urang meunang gaplah.
Pamingpin pada gummati,
Dina rangka pangwangunan,
Ulah sagala teu nyaho,
Rahayat sareng pamarentah,
Urang kedah siap-siap,
Ngarah aman sejahtera.
Sim kuring neda paralun,
Ku wargi sadaya,
Urang sadaya ngariung,
Ngahadiran salametan,
Sakumana Desa karedok,
Mugi kasalametkeun,
Bismillah ngawitan muji.
Muji sukur ka Yang Agung,
Urang the kedah rumasa,
Di damel ku Gusti Allah,
Anu lautan hampura,
Ka mahlukna anu aya,
Ulah bade awon saur,
Tangtu gusti ngabenduan.
Pamarentah geus ngageuing,
Ku sakabeh jalma-jalma,
Supaya urang sampurna,
Hirup ulah kajongjonan,
Ulah rek pakia-kia,
Biisi urang meunang bahla,
Pola tanam geus mimiti.
Pamungkas ieu pepeling,
Ka ibu sareng ka bapa,
Ka sepuh sadayana,
Ka sadaya kadang wargi,
Nu aya di ieu tempat,
Mugi kenging rahmat Gusti.
Nyebat asmaning Pangeran,
kade ulah bade poho,
Allah mah sipat kawasa,
Nyi Sri kedah dimumule,
Ulah rek dijore-jore.
Urang tos riung lalinggih,
Nyumponan waktu ka tukang,
anu kapungkur tos hilap,
nya eta ruatan desa,
tiap taun ngarencana,
sukuran ka Gusti Agung,
teu hilap sapapanjangna.
Taun tadi dingawitan,
Karasa hasilna sohor,
Ti luar desa ge aya,
Utusan ti pamarentah,
Malah sareng tamu agung,
Waktu eta galumbira.
Sakitu pihatur abdi,
Di payuneun balarea,
Abdi the kalintang atoh,
Tiasa patepang raray,
Ka saksi ku para menak,
Tamu-tamu nu laluhung.
Sabab lamun kurang pare,
Panon moal bisa sare,
Nyai Sri ulah dipigusti,
Ngan kudu dipusti-pusti,
Eta the ciptaan Gusti,
Keur sadaya umat Gusti,
Amin ……. Ya …… robbal allamin ……
Mugi Gusti nangtayungan.
Usai juru sawer melakukan tugasnya, para sesepuh dan tokoh masyarakat yang berada di teras balai desa, segera menaburkan racikan ke arah Kuwu beserta istri yang masih duduk di atas jampa bersebelahan dengan jampa Dewi Sri. Selanjutnya Kuwu beserta istri turun dari atas jampa yang disambut sesepuh desa, dan tokoh masyarakat. Kemudian duduk di kursi kehormatan di depan panggung hiburan untuk menyaksikan kesenian bangreng. Setelah Kuwu beristirahat beberapa saat, ia didaulat untuk menari bersama oleh penari bangreng dengan menyampirkan selendang di lehernya. Dan selanjutnya, setiap orang yang dikalungi selendang, mereka harus menari bersama-sama penari kesenian tersebut. Dalam pergelaran hiburan kesenian bangreng diawali dengan menyuguhkan lagu wajib upacara, yakni Kembang Gadung, Kembang Beureum, dan Geboy. Setelah ketiga lagu selesai, pengibing (penari pria) boleh memilih lagu-lagu sesuai dengan permintaannya.
Pada saat jam menunjukkan pukul 15.30, ibu-ibu warga Desa Karedok mulai berdatangan lagi dengan membawa boboko yang berisi nasi beserta lauk pauknya untuk selanjutnya diadakan selamatan, yang dipimpin oleh Lebe. Ijab yang disampaikan lebe pada saat selamatan ini berisi harapan kepada Allah Swt agar tanah garapan mereka diberikan kesuburan dan keselamatan bagi yang akan menggarapnya.
Usai ijab, seluruh warga Desa Karedok beramah-tamah dan makan bersama. Dan, apabila ada makanan yang tersisa mereka bawa ke rumahnya masing-masing. Malam harinya acara dilanjutkan dengan acara hiburan bangreng, tayubang, terebang dan dogdog di halaman balai desa.
Nilai Budaya
Upacara ngarot, jika dicermati secara mendalam, mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat dalam suatu tempat, makan bersama dan doa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.
Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.
Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, dan lain sebagainya.
Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang dipimpin oleh lebe, pada acara selamatan yang merupakan bagian akhir dari serentetan tahapan dalam upacara ngarot. Tujuannya adalah agar mendapatkan perlindungan dari Allah Swt, sebelum menggarap sawah dan atau ladang.
Sumber:
Alamsyah, Suwardi. 2004. Upacara Tutup Buku Guar Bumi di Kabupaten Sumedang. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.
Suyono, Ariyono. 1985. Kamus Antropologi. Jakarta : Akademika Pressindo.
Mustapa, R.H. Hasan. 1985. Adat istiadat Orang Sunda. Bandung: Alumni.
Warnaen, Suwarsih, dkk,. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda Tahap II. Bandung: Depatemen Pendidikan dan Kebudayan.
Rusyana, Yus, dkk,. 1988/1989. Pandangan Hidup Orang Sunda seperti Tercermin dalam Kehidupan Masyarakat Dewasa Ini Tahap III. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1 Sesepuh menurut Ariyono Suyono (1985: 370), ialah julukan bagi tokoh dalam masyarakat yang biasanya telah mencapai usia tinggi serta mempunyai banyak pengalaman karena itu mempunyai ke-wibawaan besar sebagai orang arif bijaksana dalam masyarakat yang bersangkutan.
2 Puncak manik sebagai kelengkapan sesajen adalah sebagai lambang kesucian, kebersihan, dan kebenaran.
3 Pada saat upacara ngarot para sesepuh desa mengenakan busana baju salontreng, celana pangsi berwarna hitam, dan tutup kepala iket barangbang semplak serta alas kaki tarumpah atau terompah.
Sumedang adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Di kabupaten ini, tepatnya di Desa Karedok, Kecamatan Jati Gede, ada satu upacara adat yang disebut dengan ngarot. Kata “ngarot” dalam bahasa Jawa dapat diartikan sebagai “berkenduri menjelang mengerjakan sawah” (Prawiro-atmodjo, 198: 422). Sedangkan, dalam bahasa Sunda, kata “ngarot” berasal dari kata “ngaruat” yang artinya adalah “selamatan untuk menolak bala”.
Asal usul upacara ngarot di Desa Karedok berawal pada sekitar tahun 1900-an, ketika desa itu dilanda wabah penyakit yang banyak memakan korban, baik manusia maupun hewan peliharaan. Melihat warganya mendapat musibah, Erum, Kepala Desa Karedok waktu itu, meminta bantuan seorang Polisi Desa bernama Ki Maryamin untuk bertapa selama 40 hari-40 malam. Tujuannya adalah mencari tahu penyebab terjadinya wabah penyakit di Desa Karedok. Konon, ketika menjelang malam ke-40 tiba-tiba Ki Maryamin mendengar sora tan katingal (suara tanpa wujud) yang memberi ngageuing (tanda) agar mengadakan upacara penguburan kepala kerbau di alun-alun Desa Karedok sebagai kurban untuk keselamatan warganya. Suara gaib itu oleh Ki Maryamin diduga sebagai suara Embah Pada, yaitu leluhur masyarakat Desa Karedok yang dimakamkan di Cisahang. Upacara tersebut kemudian disebut sebagai ngaruat lembur atau ngarot.
Nama lain dari upacara ngarot adalah upacara Tutup Buku Guar Bumi. Istilah “tutup buku” dapat diartikan sebagai akhir dari tahapan-tahapan bertani atau bersawah, sedangkan istilah “guar bumi” dapat diartikan sebagai awal dari tahapan tersebut. Maksud dan tujuan penyelenggaraan upacara Ngarot atau Tutup Buku Guar Bumi adalah mengharapkan kesuburan tanah, menyelamati warga desa, menyelamati alat-alat pertanian, serta mengharap kepada Tuhan Yang Maha Esa agar hasil produksi pertanian mereka dapat melimpah ruah.
Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Telibat dalam Upacara
Sebagaimana upacara pada umumnya, upacara ngarot juga dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam upacara ini adalah sebagai berikut: (1) tahap penyembelihan kurban; (2) tahap penguburan kepala hewan kurban; (3) tahap arak-arakan; (4) tahap saweran; dan (5) tahap selamatan dan prasmanan. Seluruh rentetan upacara ini biasanya dilakukan dari pukul 01.00 dini hari hingga pukul 15.30 dan dilanjutkan kembali pada pukul 20.00 hingga tengah malam. Sebagai catatan, penyelenggaraan upacara ngarot dilakukan setahun sekali pada bulan Oktober, menjelang musim penghujan (rendeng). Pada saat bulan Oktober ini biasanya hujan mulai turun sehingga para petani dapat segera menggarap sawahnya.
Tempat pelaksanaan upacara ngarot bergantung dari tahapan-tahapan yang harus dilalui. Untuk prosesi pemotongan hewan kurban, penguburan kepala hewan kurban, dan hiburan diadakan di alun-alun Desa Karedok. Untuk prosesi selamatan, prasmanan, dan saweran diadakan di ruangan Balai Desa Karedok. Sedangkan, prosesi arak-arakan diawali di alun-alun desa, kemudian dilanjutkan dengan berjalan di sepanjang jalan desa dan kembali lagi ke alun-alun desa.
Pemimpin upacara juga bergantung pada kegiatan atau tahap yang dilakukan dalam upacara ngarot. Pada tahap penyembelihan dan penguburan kepala hewan kurban, yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah kuncen atau pakuncen. Kemudian, yang bertindak sebagai pemimpin upacara saat pembacaan ijab dalam penguburan kepala kerbau dan selamatan adalah lebe. Seluruh jalannya upacara ini diawasi oleh para sesepuh1 desa yang dianggap mengetahui seluk belum upacara ngarot. Ketiga komponen warga masyarakat ini merupakan keturunan langsung dari pelaksana upacara sebelumnya.
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan upacara ngarot adalah: (1) Kepala Desa Karedok dan isterinya yang nantinya akan diarak dengan jampa untuk berkeliling kampung; (2) isteri-isteri sesepuh desa yang bertugas mempersiapkan bahan-bahan sesajen dan sekaligus mengolahnya; (3) panitia upacara yang bertugas mempersiapkan baladongan, panggung kesenian, penyediaan kursi dan meja; (4) para ketua RT (Rukun Tetangga) yang bertugas mengerahkan warganya untuk membuat gantar yang akan diperlombakan pada saat upacara; (5) kelompok kesenian yang bertugas mengisi acara hiburan malam hari setelah upacara ngarot; dan (6) warga masyarakat Desa Karedok yang ikut membantu mensukseskan upacara ngarot dengan membuat kaca-kaca, jampana, dan menyaksikan jalannya upacara.
Perlengkapan Upacara
Perlengkapan yang perlu dipersiapkan dalam upacara ngarot ini adalah: (1) seekor munding (kerbau) jantan berumur sekitar satu tahun yang tidak dalam keadaan sakit atau cacat. Dalam upacara ini, hewan yang akan dijadikan kurban tidak boleh kerbau betina atau jenis hewan lain. Apabila hal ini dilanggar, maka konon akan terjadi bencana di Desa Karedok, seperti kebakaran, wabah penyakit dan lain sebagainya; (2) sesajen, yang terdiri atas: duwegan (kelapa muda), puncak manik2 (congot yang di atasnya ditaruh telur ayam), roti, bolu, tangkeuh, gula batu, kopi pait (kopi pahit), kopi amis (kopi amis), balagudeg, tektek (sirih, pinang dan perlengkapannya), rokok Gudang Garam Merah, serutu (cerutu) dua batang, endog hayam kawung (telur ayan kampung), roko daun kawung (rokok daun enau), tembakau tampang, rujak cau (rujak pisang), rujak asem (rujak asam), rujak kelapa, sobek belut dan sobek lele; (3) kaca-kaca (gada-gada). Kaca-kaca adalah penganan yang dipajang di depan gang-gang dan halaman rumah-rumah penduduk, terdiri atas: cau (pisang), buah bangga, ranginang, opak, kolontong, duwegan (kelapa muda), gerejeg (gorengen), rempeye, endog asin (telur asin), opak beca, peteuy (petai), limun, kerupuk, dan lain sebagainya; (4) gantar sebanyak 24 buah yang berisi hasil bumi dari masing-masing RT yang ada di Desa Karedok. Gantar-gantar ini nantinya akan diperlombakan setelah prosesi arak-arakan selesai; (5) jampana atau jampa. Jampana adalah tandu berbentuk persegi empat dan beratap yang diusung oleh dua atau empat orang. Jampana terbuat dari kayu, bambu dan atapnya dari anyaman daun kelapa. Jampa yang dibuat untuk upacara ini terdiri dari beberapa macam yaitu: jampa yang digunakan untuk mengusung kuwu/kepala desa pada saat arak-arakan, jampa yang digunakan untuk membawa penganan dan hasil bumi yang dibuat oleh masing-masing RT, jampa yang digunakan untuk mengusung Dewi Sri (Dewi Padi dengan pasangannya Rama) dan jampa suraga, yang digunakan untuk membawa boeh rarang (kain kafan) dan samak (tikar) sebagai simbol bahwa setiap manusia akan diusung dan dibungkus kain kafan dan tikar. Masing-masing jampa memiliki bentuk dan variasi yang berbeda, bergantung pada kreativitas pembuatnya; (3) balandongan. Baladongan adalah bangunan sementara yang dibuat dari bambu dengan atap terbuat dari terpal atau giribig (alat menjemur gabah); (4) tutunggulan. Tutunggulan adalah adalah alat untuk menumbuk padi yang terdiri dari sebuah lisung (lesung) dan delapan buah halu (alu). Fungsi tutunggulan ini adalah sebagai tanggara atau pemberitahuan kepada masyarakat saat arak-arakan akan berangkat dan saat berakhirnya arak-arakan; (5) Parupuyan atau parukuyan. Parupuyan ialah tempat perapian yang dipergunakan untuk membakar kemenyan. Parupuyang ini berfungsi sebagai sarana penghubung dengan roh para leluhur; (6) sepasang boneka Dewi Sri dan pendampingnya Rama (seorang petani). Boneka Dewi Sri mengenakan busana kerudung, kebaya, selendang, dan hiasan leher berupa bunga teratai. Sedangkan boneka pasangannya mengenakan busana iket kepala khas Sunda, baju salontreng dan pangsi berwarna hitam, serta sarung; (7) panggung yang dibuat dari papan kayu dan diatasnya diberi tikar atau karpet. Panggung ini digunakan untuk para nayaga (penabug gamelan), sinden dan penyanyi. Di depan panggung ini disediakan kursi-kursi bagi warga yang ingin menyaksikan hiburan; dan (8) cangkul untuk menggali tanah tempat menampung darah dan menguburkan kepala kerbau. Kedalaman masing-masing tanah yang digali lebih kurang 80 cm dengan diameter sekitar 80 cm. Sebagai catatan, penggalian tanah ini dilakukan pada waktu tengah malam (pukul 00.00), dan dihadiri oleh kepala desa, sesepuh upacara, kuncen dan para tokoh masyarakat.
Selain perlengkapan upacara ada pula beberapa kesenian yang biasa ditampilkan dalam penyelenggaraan upacara ngarot yaitu Bangreng, Tayuban, Terebang, dan Dogdog. Bangreng adalah sejenis pertunjukkan berupa tarian yang berasal dari tayub, diiringi oleh terebang, kendang, rebab dan goong. Dalam perkembangannya ditambah dengan saron-1 dan saron-2 serta kecrek. Tidak jauh berbeda dengan kesenian Ketuk Tilu, para penari wanita bangreng juga bersedia menemani penonton laki-laki yang berminat untuk menari di arena. Setelah selesai satu babak, penari laki-laki harus memberi uang kepada si penari wanita. Kadang-kadang uang itu diberikan sambil berjabattangan, diselipkan ke dalam baju si penari wanita, atau menaruh dalam baskom yang telah disediakan. Lagu yang mengiringi tarian bergantung kepada permintaan penari laki-laki, misalnya lagu-lagu: Rincik Rincang, Sulan-jana, Udan Mas, Engko, Geboy dan lain sebagainya.
Terebang ialah waditra perkusi terbuat dari kayu yang ditutupi kulit. Waditra ini selain digunakan dalam kesenian terebang juga digunakan dalam kesenian gembyung, yang terdiri atas 3 buah, yakni yang paling besar disebut terebang indung, berdiameter lebih kurang 60 cm, yang kedua berdiameter 50 sentimeter, dan yang ketiga berdiameter 40 cm. Lagu-lagu yang biasa diiringi terebang ini meliputi: Salawat, Kentrung, Kembang Beureum, Coyor, Kembang Gadung, Titipati, Torondol, Geboy, Kacang Asin, dan lain sebagainya. Tayuban ialah jenis tarian yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang diiringi oleh waditra pengiring, baik dalam pesta-pesta adat, perkawinan maupun pesta-pesta lainnya. Dogdog biasa dipergunakan dalam pertunjukan ogel atau reog. Dogdog dalam penyelenggaraan upacara ngarot terdiri atas empat buah, yang paling kecil disebut tilingtit biasanya digunakan untuk dalang, kedua disebut panempas, ketiga disebut badublag, dan yang keempat disebut gong-gong atau pangrewong.
Sebagai catatan, pengadaan peralatan upacara dan pembiayaan pertunjukan kesenian, seluruhnya berasal dari sumbangan warga masyarakat yang besarnya berkisar antara Rp.10.000-Rp.20.000,-. Penarikan sumbangan tersebut dilakukan setelah ada kesepakatan dalam musyawarah yang dihadiri para ketua RT, RW, sesepuh, tokoh masyarakat, kepala desa dan aparat desa lainnya.
Jalannya Upacara
Upacara Ngarot diawali pada pukul 01.00 dini hari dengan penyembelihan dan penguburan kepala munding atau kerbau, dipimpin oleh Kuncen dan disaksikan oleh Kuwu/Kepala Desa, Lebe, sesepuh desa3 dan warga masyarakat Desa Karedok. Pertama-tama kuncen membacakan mantra-mantra di depan sesajen penyembelihan sambil membakar kemenyan di atas parupuyan. Usai pembacaan mantra kuncen langsung memotong kerbau di atas lubang yang sudah disiapkan sebelumnya, agar darah yang menyembur dari leher kerbau tersebut tidak berhamburan. Ketika kerbau itu sudah dipastikan mati, kepala kerbau langsung diputus dari tubuhnya dan dimasukkan ke dalam lubang berikut sesajen penyembelihan, dan ditutup dengan tanah. Penguburan kepala munding (kerbau) itu merupakan simbol pengorbanan kepada bumi yang akan digarap (sawah dan tegalan), dan juga merupakan wujud syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas segala karunianya.
Usai penguburan, dilanjutkan dengan ijab yang dilaksanakan oleh lebe. Ijab tersebut jelasnya sebagai berikut:
Bapa miwah para wargi sadaya, sim kuring cumarios di ieu patempatan the teu aya sanes kawakilan ku Bapa Kuwu K. Sutisna sareng kawakilan ku masarakat Desa Karedok umumna. Nya eta dina raraga guar bumi guar taneuh antawisna mah anu parantos nyebar bade tatanen dina sasih oktober ieu. Maksadna bade nitipkeun ka bumi kalayan mudah-mudahan ieu masarakat Karedok dina guar bumi guar taneuhna sing mulus berkah rahayu, mulus nu dititipkeunanan, mulus nu nitipkeunana.
Sakumaha maksad urang sadayana, dina waktosna tiap taun ngalaksanakeun motong munding, mudah-mudahan dina ngalaksanakeun ali paranti karuhun, urang sadayana kedah neraskeun kalawan aya pangjeujeuh para sepuh. Ku kituna ka para sepuh sareng nu aya di dieu dipundut piduana dina sukuran desa iieu, mudah-mudahan urang sadaya di-na dinten enjing ngalaksanakeun hiburanana sing aya dina kalancaran kalayan ditebih-keun tina halangan itu ieuna.
Atuh dina ngalaksanakeun motong munding ieu, biasana huluna sok dikubur sapertos anu katingali ku para bapa tadi, mudah-mudahan neneda ka Gusti Alloh Subhanahu wataala urang sadayana sing aya dina kasalametan, diantawisna dina guar tani guar taneuhna, nya kitu keneh mudah-mudahan neda tawakupna, hapunten anu ketada.
Selesai ijab dilanjutkan dengan doa yang diikuti dan diamini oleh peserta yang hadir. Sedangkan, para peserta yang mempunyai tugas mengurus kerbau, langsung menguliti dan membagikan dagingnya kepada semua warga masyarakat secara merata. Sedangkan warga yang lainnya yang tidak mendapat tugas saat itu, kembali ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan arak-arakan.
Lebih kurang pukul 08.00 pagi, arak-arakan segera dimulai dengan acara pembukaan. Acara pembukaan ini diawali dengan ijab dan doa bersama para sesepuh upacara, dipimpin oleh lebe. Ijab tersebut menyatakan maksud dan tujuan penyelenggaraan Upacara ngarot, yang intinya bersyukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Selesai ijab ibu-ibu serentak membunyikan tutunggulan yang diikuti oleh kesenian pengiring seperti: dogdog, genjring, kohkol, dan bedug. Bersamaan dengan itu pula, Kuwu/Kepala Desa beserta istri menaiki jampa yang akan ditandu keliling desa. Saat arak-arakan ini busana yang dikenakan oleh Kuwu adalah baju lengan panjang berwarna cerah, dasi, jas berwarna gelap, celana panjang berwarna gelap, sepatu, dan peci atau kopiah berwarna hitam. Sedangkan busana yang dikenakan isteri kuwu ialah baju kebaya berwarna hijau, kain sinjang dilamban, selendang, selop, dan sanggul.
Formasi arak-arakan meliputi: (1) peserta pembawa bendera dan lambang desa; (2) pembawa jampa Dewi Sri; (3) pembawa jampa suraga; (4) pembawa payung; (5) pembawa jampa yang menandu Kepala Desa dan Istri; (6) sesepuh upacara dan tokoh masyarakat; (7) pembawa jampa dari masing-masing RT, berisi penganan dan hasil bumi; (8) penabuh dogdog, genjring, kohkol, bedug; serta; (9) tamu undangan dan warga masyarakat Desa karedok.
Arak-arakan dimulai dengan mengelilingi alun-alun dan kuburan kepala kerbau sebanyak tiga putaran. Selanjutnya, secara beriringan arak-arakan mulai meninggalkan alun-alun desa disertai tetabuhan gamelan dan nyanyian menyusuri jalan yang menuju wilayah Rt 24 yang berada diujung jalan Desa Karedok. Setibanya di tempat ini, mereka beristirahat sejenak dan selanjutnya kembali beriringan melalui jalan yang tadi, melewati alun-alun desa, menuju Rt. 01. Setibanya di wilayah Rt. 01, arak-arakan kembali ke alun-alun dan kembali berputar sebanyak tiga kali putaran mengelilingi alun-alun dan kuburan kepala kerbau. Kemudian, jampa yang berisi Kepala Desa beserta istri diturunkan di depan balai desa untuk selanjutnya diadakan acara saweran. Sesaat sebelum upacara saweran dimulai, formasi jampa kepala desa diatur berdampingan dengan jampa Dewi Sri, dan dibelakngnya pembawa payung yang memayungi kedua jampa tersebut. Sawer atau nyawer secara umum ialah upacara menasihati mempelai dengan cara dinyanyikan sambil menaburkan beras, irisan kunir, uang logam dan sebagainya, di bawah panyaweran (cucuran atap). Adapun yang dimaksud dengan nyawer di sini, fungsinya ialah untuk menyatukan Dewi Sri dengan ibu pertiwi agar memberi kesuburan di bumi yang dibawakan dalam bentuk syair yang dinyanyikan oleh sinden. Syair sawer tersebut adalah sebagai berikut.
Bismillah ngawitan muji,
Nyebat asmaning Pangeran,
Kade ulah bade hilap,
Allah mah sipat kawasa,
Ieu aya di alam dunya,
Urang kedah nyiar elmu,
Pikeun bekel ka aherat.
Patani supaya mukti,
Padagang sina barungah,
Ulah adek hararese,
Tiap sok aya anjuran,
Nyumponan ti pertanian,
Kade lah teu diturut,
Bisi urang meunang gaplah.
Pamingpin pada gummati,
Dina rangka pangwangunan,
Ulah sagala teu nyaho,
Rahayat sareng pamarentah,
Urang kedah siap-siap,
Ngarah aman sejahtera.
Sim kuring neda paralun,
Ku wargi sadaya,
Urang sadaya ngariung,
Ngahadiran salametan,
Sakumana Desa karedok,
Mugi kasalametkeun,
Bismillah ngawitan muji.
Muji sukur ka Yang Agung,
Urang the kedah rumasa,
Di damel ku Gusti Allah,
Anu lautan hampura,
Ka mahlukna anu aya,
Ulah bade awon saur,
Tangtu gusti ngabenduan.
Pamarentah geus ngageuing,
Ku sakabeh jalma-jalma,
Supaya urang sampurna,
Hirup ulah kajongjonan,
Ulah rek pakia-kia,
Biisi urang meunang bahla,
Pola tanam geus mimiti.
Pamungkas ieu pepeling,
Ka ibu sareng ka bapa,
Ka sepuh sadayana,
Ka sadaya kadang wargi,
Nu aya di ieu tempat,
Mugi kenging rahmat Gusti.
Nyebat asmaning Pangeran,
kade ulah bade poho,
Allah mah sipat kawasa,
Nyi Sri kedah dimumule,
Ulah rek dijore-jore.
Urang tos riung lalinggih,
Nyumponan waktu ka tukang,
anu kapungkur tos hilap,
nya eta ruatan desa,
tiap taun ngarencana,
sukuran ka Gusti Agung,
teu hilap sapapanjangna.
Taun tadi dingawitan,
Karasa hasilna sohor,
Ti luar desa ge aya,
Utusan ti pamarentah,
Malah sareng tamu agung,
Waktu eta galumbira.
Sakitu pihatur abdi,
Di payuneun balarea,
Abdi the kalintang atoh,
Tiasa patepang raray,
Ka saksi ku para menak,
Tamu-tamu nu laluhung.
Sabab lamun kurang pare,
Panon moal bisa sare,
Nyai Sri ulah dipigusti,
Ngan kudu dipusti-pusti,
Eta the ciptaan Gusti,
Keur sadaya umat Gusti,
Amin ……. Ya …… robbal allamin ……
Mugi Gusti nangtayungan.
Usai juru sawer melakukan tugasnya, para sesepuh dan tokoh masyarakat yang berada di teras balai desa, segera menaburkan racikan ke arah Kuwu beserta istri yang masih duduk di atas jampa bersebelahan dengan jampa Dewi Sri. Selanjutnya Kuwu beserta istri turun dari atas jampa yang disambut sesepuh desa, dan tokoh masyarakat. Kemudian duduk di kursi kehormatan di depan panggung hiburan untuk menyaksikan kesenian bangreng. Setelah Kuwu beristirahat beberapa saat, ia didaulat untuk menari bersama oleh penari bangreng dengan menyampirkan selendang di lehernya. Dan selanjutnya, setiap orang yang dikalungi selendang, mereka harus menari bersama-sama penari kesenian tersebut. Dalam pergelaran hiburan kesenian bangreng diawali dengan menyuguhkan lagu wajib upacara, yakni Kembang Gadung, Kembang Beureum, dan Geboy. Setelah ketiga lagu selesai, pengibing (penari pria) boleh memilih lagu-lagu sesuai dengan permintaannya.
Pada saat jam menunjukkan pukul 15.30, ibu-ibu warga Desa Karedok mulai berdatangan lagi dengan membawa boboko yang berisi nasi beserta lauk pauknya untuk selanjutnya diadakan selamatan, yang dipimpin oleh Lebe. Ijab yang disampaikan lebe pada saat selamatan ini berisi harapan kepada Allah Swt agar tanah garapan mereka diberikan kesuburan dan keselamatan bagi yang akan menggarapnya.
Usai ijab, seluruh warga Desa Karedok beramah-tamah dan makan bersama. Dan, apabila ada makanan yang tersisa mereka bawa ke rumahnya masing-masing. Malam harinya acara dilanjutkan dengan acara hiburan bangreng, tayubang, terebang dan dogdog di halaman balai desa.
Nilai Budaya
Upacara ngarot, jika dicermati secara mendalam, mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat dalam suatu tempat, makan bersama dan doa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.
Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.
Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, dan lain sebagainya.
Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang dipimpin oleh lebe, pada acara selamatan yang merupakan bagian akhir dari serentetan tahapan dalam upacara ngarot. Tujuannya adalah agar mendapatkan perlindungan dari Allah Swt, sebelum menggarap sawah dan atau ladang.
Sumber:
Alamsyah, Suwardi. 2004. Upacara Tutup Buku Guar Bumi di Kabupaten Sumedang. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.
Suyono, Ariyono. 1985. Kamus Antropologi. Jakarta : Akademika Pressindo.
Mustapa, R.H. Hasan. 1985. Adat istiadat Orang Sunda. Bandung: Alumni.
Warnaen, Suwarsih, dkk,. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda Tahap II. Bandung: Depatemen Pendidikan dan Kebudayan.
Rusyana, Yus, dkk,. 1988/1989. Pandangan Hidup Orang Sunda seperti Tercermin dalam Kehidupan Masyarakat Dewasa Ini Tahap III. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1 Sesepuh menurut Ariyono Suyono (1985: 370), ialah julukan bagi tokoh dalam masyarakat yang biasanya telah mencapai usia tinggi serta mempunyai banyak pengalaman karena itu mempunyai ke-wibawaan besar sebagai orang arif bijaksana dalam masyarakat yang bersangkutan.
2 Puncak manik sebagai kelengkapan sesajen adalah sebagai lambang kesucian, kebersihan, dan kebenaran.
3 Pada saat upacara ngarot para sesepuh desa mengenakan busana baju salontreng, celana pangsi berwarna hitam, dan tutup kepala iket barangbang semplak serta alas kaki tarumpah atau terompah.