Pada ujung utara rangkaian Bukit Barisan di Pulau Sumatera, terletak dataran tinggi Gayo yang merupakan tempat orang Gayo bermukim. Selain sebagai nama sebuah etnis, Gayo juga merupakan nama ibukota Kabupetan Aceh Tengah. Di tempat ini orang Gayo terbagi dalam beberapa kelompok yaitu: Gayo Lut, Gayo Deret, dan Gayo Lues. Di kalangan mereka ada sebuah kesenian rakyat yang dikenal dengan nama Didong, yaitu suatu kesenian yang memadukan unsur tari, vokal, dan sastra. Kapan kesenian ini bermula, hingga kini belum diketahui secara pasti. Demikian pula arti kata didong yang sesungguhnya1.
Pada awalnya didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama Islam melalui media syair. Para ceh didong (seniman didong) tidak semata-mata menyampaikan tutur kepada penonton yang dibalut dengan nilai-nilai estetika, melainkan di dalamnya bertujuan agar masyarakat pendengarnya dapat memaknai hidup sesuai dengan realitas akan kehidupan para Nabi dan tokoh yang sesuai dengan Islam. Dalam didong ada nilai-nilai religius, nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebersamaan dan lain sebagainya. Jadi, dalam ber-didong para ceh tidak hanya dituntut untuk mampu mengenal cerita-cerita religius tetapi juga bersyair, memiliki suara yang merdu serta berperilaku baik. Pendek kata, seorang ceh adalah seorang seniman sejati yang memiliki kelebihan di segala aspek yang berkaitan dengan fungsinya untuk menyebarkan ajaran Islam. Didong waktu itu selalu dipentaskan pada hari-hari besar agama Islam.
Dalam perkembangannya, didong tidak hanya ditampilkan pada hari-hari besar agama Islam, melainkan juga dalam upacara-upacara adat seperti perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, panen raya, penyambutan tamu dan sebagainya. Para pe-didong dalam mementaskannya biasanya memilih tema yang sesuai dengan upacara yang diselenggarakan. Pada upacara perkawinan misalnya, akan disampaikan teka-teki yang berkisar pada aturan adat perkawinan. Dengan demikian, seorang pe-didong harus menguasai secara mendalam tentang seluk beluk adat perkawinan. Dengan cara demikian pengetahuan masyarakat tentang adat dapat terus terpelihara. Nilai-nilai yang hampir punah akan dicari kembali oleh para ceh untuk keperluan kesenian didong.
Penampilan didong mengalami perubahan setelah Jepang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah Jepang yang keras telah “memporak-porandakan” bentuk kesenian ini. Pada masa itu, didong digunakan sebagai sarana hiburan bagi tentara Jepang yang menduduki tanah Gayo. Hal ini memberikan inspirasi bagi masyarakat Gayo untuk mengembangkan didong yang syairnya tidak hanya terpaku kepada hal-hal religius dan adat-istiadat, tetapi juga permasalahan sosial yang bernada protes terhadap kekuasaan penjajah Jepang. Pada masa setelah proklamasi, seni pertunjukan didong dijadikan sebagai sarana bagi pemerintah dalam menjembatani informasi hingga ke desa-desa khususnya dalam menjelaskan tentang Pancasila, UUD 1945 dan semangat bela negara. Selain itu, didong juga digunakan untuk mengembangkan semangat kegotong-royongan, khususnya untuk mencari dana guna membangun gedung sekolah, madrasah, mesjid, bahkan juga pembangunan jembatan. Namun, pada periode 1950-an ketika terjadi pergolakan DI/TII kesenian didong terhenti karena dilarang oleh DI/TII. Akibat dilarangnya didong, maka muncul suatu kesenian baru yang disebut saer, yang bentuknya hampir mirip dengan didong. Perbedaan didong denga saer hanya dalam bentuk unsur gerak dan tari. Tepukan tangan yang merupakan unsur penting dalam didong tidak dibenarkan dalam saer.
Dewasa ini didong muncul kembali dengan lirik-lirik yang hampir sama ketika zaman Jepang, yaitu berupa protes (anti kekerasan). Bedanya, dewasa ini protesnya ditujukan kepada pemerintah yang selama sekian tahun menerapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, sehingga menyengsarakan rakyat. Protes anti kekerasan sebenarnya bukan hanya terjadi pada kesenian didong, melainkan juga pada bentuk-bentuk kesenian lain yang ada di Aceh.
Pemain dan Peralatan
Satu kelompok kesenian didong biasanya terdiri dari para “ceh” dan anggota lainnya yang disebut dengan “penunung”. Jumlahnya dapat mencapai 30 orang, yang terdiri atas 4--5 orang ceh dan sisanya adalah penunung. Ceh adalah orang yang dituntut memiliki bakat yang komplit dan mempunyai kreativitas yang tinggi. Ia harus mampu menciptakan puisi-puisi dan mampu menyanyi. Penguasaan terhadap lagu-lagu juga diperlukan karena satu lagu belum tentu cocok dengan karya sastra yang berbeda. Anggota kelompok didong ini umumnya adalah laki-laki dewasa. Namun, dewasa ini ada juga yang anggotanya perempuan-perempuan dewasa. Selain itu, ada juga kelompok remaja. Malahan, ada juga kelompok didong remaja yang campur (laki-laki dan perempuan). Dalam kelompok campuran ini biasanya perempuan hanya terbatas sebagai seorang ceh. Para ceh yang turut berjasa mengembangkan dan melestarikan didong di tanah Gayo diantaranya adalah: Ceh Tjuh Ucak, Basir Lakkiki Abd. Rauf, Ecek Bahim, Sali Gobal, Daman, Idris Sidang Temas, Sebi, Utih Srasah, Beik, Tabrani, Genincis, S. Kilang, Ibrahim Kadir, Mahlil, Bantacut, Dasa, Ceh Ucak, Suwt, Talep, Aman Cut, Abu Kasim, Syeh Midin, M. Din, Abu Bakar, dan Ishak Ali.
Peralatan yang dipergunakan pada mulanya bantal (tepukan bantal) dan tangan (tepukan tangan dari para pemainnya). Namun, dalam perkembangan selanjutnya ada juga yang menggunakan seruling, harmonika, dan alat musik lainnya yang disisipi dengan gerak pengiring yang relatif sederhana, yaitu menggerakkan badan ke depan atau ke samping.
Jalannya Pementasan
Pementasan didong ditandai dengan penampilan dua kelompok pada suatu arena pertandingan. Biasanya dipentaskan di tempat terbuka yang kadang-kadang dilengkapi dengan tenda. Semalam suntuk kelompok yang bertanding akan saling mendendangkan teka-teki dan menjawabnya secara bergiliran. Dalam hal ini para senimannya akan saling membalas “serangan” berupa lirik yang dilontarkan olah lawannya. Lirik-lirik yang disampaikan biasanya bertema tentang pendidikan, keluarga berencana, pesan pemerintah (pada zaman Orba), keindahan alam maupun kritik-kritik mengenai kelemahan, kepincangan yang terjadi dalam masyarakat. Benar atau tidaknya jawaban akan dinilai oleh tim juri yang ada. Berikut ini kuipan beberapa lirik didong yang ditulis oleh Abd. Rauf dalam bukunya yang berjudul “Tajuk Dilem”.
Terbang ni manuk tumpit
Nge bersepit atau ni sange
Beden ne ilang putih berpalit
Raom meh supit nge taring tangke
Kuiyup bang teritit
Getah kubulit ku ujung ni sesampe
Ku entong renye babit-babit rapit nge lagu panome
sembilu pengelehe
ike urum luju ngiku
Terjemahan bebasnya:
Terbanglah burung pipit
Berhimpit-himpit di batang pimping
Badannya merah diselingi putih
Iadi menjadi hampa tinggal tangkai
Kutiup kiranya teritit
Getah kupasang di ujung sesampe
Aku lihat cepat-cepat badannya lengket seolah-olah tertidur
Sembilu apat pemotongnya
Tak sesuai jika dengan parang adikku
Dari kutipan lirik didong di atas tampak bahwa penyair tidak hanya ingin berdendang mengenai perilaku burung yang selalu periang. Akan tetapi, setiap hari burung berkicau walaupun belum tentu mendapatkan makanan. Hal ini merupakan pelajaran berharga bagi manusia untuk selalu optimis dalam menghadapi kehidupan. Selain itu, seniman tidak hanya memuji alam, tetapi juga menciptakan lirik yang sesuai dengan zamannya seperti pada kutipan lirik didong berikut ini.
Asal mula e kati mubiner
Ini keseber keluarga berencana
Beta nge terang gereng musier
Muripe suker ara sara jema
Penyakit gere mara jeger
Renel urum dokter wae berkata
Urum pribadi dokter munyeder
Iyaku gere suker ni dele cara
dokter kupasen renyel berperi
urum pribadi wae opat mata
sirawan turah menyetujui
oya baru mujadi iwan keluarga
renyel tenemge kusi kuen kiri
singket ni peri renyel ibetih jema
renyel tersier ku propensi
kemana seni nge seluruh Indonesia
Terjemahan bebasnya:
Awal pertama sebab membinar
Akan kuceritakan keluarga berencana
Begitu pasti tidak lagi melenceng
Ada seorang hidupnya sukar
Penyakitnya tidak kunjung sembuh
Dengan dokter ia berbincang
Secara pribadi dokter berkata
Padaku tidak sukar banyak cara
Kepada pasien dokter berkata
Secara pribadi empat mata
Suami mesti menyetujui
Itu baru serasi dalam keluarga
Lalu terdengar kanan-kiri
Pendek kata diketahui semua orang
Sampai tersiar ke provinsi
Mudah-mudahan sekarang seluruh Indonesia
Dengan jelas dapat diketahui bahwa melalui kesenian didong seniman mampu berbicara mengenai permasalahan yang sedang aktual di masyarakat, seperti keluarga berencana, bahkan program keluarga berencana dilihat dari sudut agama diungkapkan oleh penyair dalam kutipan berikut ini.
Tujuni KB enti kase salah
Buge-buge mubah nasih ni jema
Iwan diskusi menurut keputusan
Gere bertentangan urum agama
Terjemahan bebasnya:
Tujuan KB jangan nanti salah
Semoga nasib orang berubah
Di dalam diskusi menurut keputusan
Tidak bertentangan dengan agama
Dari beberapa petikan lirik didong yang telah dikemukakan di atas, tampak bahwa seniman didong juga berfungsi sebagai juru penerang bagi pemerintah (pada masa Orde Baru). Dengan bahasa yang sederhana, seniman didong mampu menjelaskan pentingnya program keluarga berencana kepada penduduk desa yang kebanyakan belum melek huruf dan belum mengerti tujuan program keluarga berencana. (gufron)
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Hkasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1996. Aneka Ragam Hkasanah Budaya Nusantara VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://www.waspada.co.id
http://www.korantempo.com
http://www.modus.or.id
1 Ada orang yang berpendapat bahwa kata “didong” mendekati pengertian kata “denang” atau “donang” yang artinya “nyanyian sambil bekerja atau untuk menghibur hati atau bersama-sama dengan bunyi-bunyian”. Dan, ada pula yang berpendapat bahwa Didong berasal dari kata “din” dan “dong”. “Din” berarti agama dan “dong” berarti dakwah.
Pada awalnya didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama Islam melalui media syair. Para ceh didong (seniman didong) tidak semata-mata menyampaikan tutur kepada penonton yang dibalut dengan nilai-nilai estetika, melainkan di dalamnya bertujuan agar masyarakat pendengarnya dapat memaknai hidup sesuai dengan realitas akan kehidupan para Nabi dan tokoh yang sesuai dengan Islam. Dalam didong ada nilai-nilai religius, nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebersamaan dan lain sebagainya. Jadi, dalam ber-didong para ceh tidak hanya dituntut untuk mampu mengenal cerita-cerita religius tetapi juga bersyair, memiliki suara yang merdu serta berperilaku baik. Pendek kata, seorang ceh adalah seorang seniman sejati yang memiliki kelebihan di segala aspek yang berkaitan dengan fungsinya untuk menyebarkan ajaran Islam. Didong waktu itu selalu dipentaskan pada hari-hari besar agama Islam.
Dalam perkembangannya, didong tidak hanya ditampilkan pada hari-hari besar agama Islam, melainkan juga dalam upacara-upacara adat seperti perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, panen raya, penyambutan tamu dan sebagainya. Para pe-didong dalam mementaskannya biasanya memilih tema yang sesuai dengan upacara yang diselenggarakan. Pada upacara perkawinan misalnya, akan disampaikan teka-teki yang berkisar pada aturan adat perkawinan. Dengan demikian, seorang pe-didong harus menguasai secara mendalam tentang seluk beluk adat perkawinan. Dengan cara demikian pengetahuan masyarakat tentang adat dapat terus terpelihara. Nilai-nilai yang hampir punah akan dicari kembali oleh para ceh untuk keperluan kesenian didong.
Penampilan didong mengalami perubahan setelah Jepang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah Jepang yang keras telah “memporak-porandakan” bentuk kesenian ini. Pada masa itu, didong digunakan sebagai sarana hiburan bagi tentara Jepang yang menduduki tanah Gayo. Hal ini memberikan inspirasi bagi masyarakat Gayo untuk mengembangkan didong yang syairnya tidak hanya terpaku kepada hal-hal religius dan adat-istiadat, tetapi juga permasalahan sosial yang bernada protes terhadap kekuasaan penjajah Jepang. Pada masa setelah proklamasi, seni pertunjukan didong dijadikan sebagai sarana bagi pemerintah dalam menjembatani informasi hingga ke desa-desa khususnya dalam menjelaskan tentang Pancasila, UUD 1945 dan semangat bela negara. Selain itu, didong juga digunakan untuk mengembangkan semangat kegotong-royongan, khususnya untuk mencari dana guna membangun gedung sekolah, madrasah, mesjid, bahkan juga pembangunan jembatan. Namun, pada periode 1950-an ketika terjadi pergolakan DI/TII kesenian didong terhenti karena dilarang oleh DI/TII. Akibat dilarangnya didong, maka muncul suatu kesenian baru yang disebut saer, yang bentuknya hampir mirip dengan didong. Perbedaan didong denga saer hanya dalam bentuk unsur gerak dan tari. Tepukan tangan yang merupakan unsur penting dalam didong tidak dibenarkan dalam saer.
Dewasa ini didong muncul kembali dengan lirik-lirik yang hampir sama ketika zaman Jepang, yaitu berupa protes (anti kekerasan). Bedanya, dewasa ini protesnya ditujukan kepada pemerintah yang selama sekian tahun menerapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, sehingga menyengsarakan rakyat. Protes anti kekerasan sebenarnya bukan hanya terjadi pada kesenian didong, melainkan juga pada bentuk-bentuk kesenian lain yang ada di Aceh.
Pemain dan Peralatan
Satu kelompok kesenian didong biasanya terdiri dari para “ceh” dan anggota lainnya yang disebut dengan “penunung”. Jumlahnya dapat mencapai 30 orang, yang terdiri atas 4--5 orang ceh dan sisanya adalah penunung. Ceh adalah orang yang dituntut memiliki bakat yang komplit dan mempunyai kreativitas yang tinggi. Ia harus mampu menciptakan puisi-puisi dan mampu menyanyi. Penguasaan terhadap lagu-lagu juga diperlukan karena satu lagu belum tentu cocok dengan karya sastra yang berbeda. Anggota kelompok didong ini umumnya adalah laki-laki dewasa. Namun, dewasa ini ada juga yang anggotanya perempuan-perempuan dewasa. Selain itu, ada juga kelompok remaja. Malahan, ada juga kelompok didong remaja yang campur (laki-laki dan perempuan). Dalam kelompok campuran ini biasanya perempuan hanya terbatas sebagai seorang ceh. Para ceh yang turut berjasa mengembangkan dan melestarikan didong di tanah Gayo diantaranya adalah: Ceh Tjuh Ucak, Basir Lakkiki Abd. Rauf, Ecek Bahim, Sali Gobal, Daman, Idris Sidang Temas, Sebi, Utih Srasah, Beik, Tabrani, Genincis, S. Kilang, Ibrahim Kadir, Mahlil, Bantacut, Dasa, Ceh Ucak, Suwt, Talep, Aman Cut, Abu Kasim, Syeh Midin, M. Din, Abu Bakar, dan Ishak Ali.
Peralatan yang dipergunakan pada mulanya bantal (tepukan bantal) dan tangan (tepukan tangan dari para pemainnya). Namun, dalam perkembangan selanjutnya ada juga yang menggunakan seruling, harmonika, dan alat musik lainnya yang disisipi dengan gerak pengiring yang relatif sederhana, yaitu menggerakkan badan ke depan atau ke samping.
Jalannya Pementasan
Pementasan didong ditandai dengan penampilan dua kelompok pada suatu arena pertandingan. Biasanya dipentaskan di tempat terbuka yang kadang-kadang dilengkapi dengan tenda. Semalam suntuk kelompok yang bertanding akan saling mendendangkan teka-teki dan menjawabnya secara bergiliran. Dalam hal ini para senimannya akan saling membalas “serangan” berupa lirik yang dilontarkan olah lawannya. Lirik-lirik yang disampaikan biasanya bertema tentang pendidikan, keluarga berencana, pesan pemerintah (pada zaman Orba), keindahan alam maupun kritik-kritik mengenai kelemahan, kepincangan yang terjadi dalam masyarakat. Benar atau tidaknya jawaban akan dinilai oleh tim juri yang ada. Berikut ini kuipan beberapa lirik didong yang ditulis oleh Abd. Rauf dalam bukunya yang berjudul “Tajuk Dilem”.
Terbang ni manuk tumpit
Nge bersepit atau ni sange
Beden ne ilang putih berpalit
Raom meh supit nge taring tangke
Kuiyup bang teritit
Getah kubulit ku ujung ni sesampe
Ku entong renye babit-babit rapit nge lagu panome
sembilu pengelehe
ike urum luju ngiku
Terjemahan bebasnya:
Terbanglah burung pipit
Berhimpit-himpit di batang pimping
Badannya merah diselingi putih
Iadi menjadi hampa tinggal tangkai
Kutiup kiranya teritit
Getah kupasang di ujung sesampe
Aku lihat cepat-cepat badannya lengket seolah-olah tertidur
Sembilu apat pemotongnya
Tak sesuai jika dengan parang adikku
Dari kutipan lirik didong di atas tampak bahwa penyair tidak hanya ingin berdendang mengenai perilaku burung yang selalu periang. Akan tetapi, setiap hari burung berkicau walaupun belum tentu mendapatkan makanan. Hal ini merupakan pelajaran berharga bagi manusia untuk selalu optimis dalam menghadapi kehidupan. Selain itu, seniman tidak hanya memuji alam, tetapi juga menciptakan lirik yang sesuai dengan zamannya seperti pada kutipan lirik didong berikut ini.
Asal mula e kati mubiner
Ini keseber keluarga berencana
Beta nge terang gereng musier
Muripe suker ara sara jema
Penyakit gere mara jeger
Renel urum dokter wae berkata
Urum pribadi dokter munyeder
Iyaku gere suker ni dele cara
dokter kupasen renyel berperi
urum pribadi wae opat mata
sirawan turah menyetujui
oya baru mujadi iwan keluarga
renyel tenemge kusi kuen kiri
singket ni peri renyel ibetih jema
renyel tersier ku propensi
kemana seni nge seluruh Indonesia
Terjemahan bebasnya:
Awal pertama sebab membinar
Akan kuceritakan keluarga berencana
Begitu pasti tidak lagi melenceng
Ada seorang hidupnya sukar
Penyakitnya tidak kunjung sembuh
Dengan dokter ia berbincang
Secara pribadi dokter berkata
Padaku tidak sukar banyak cara
Kepada pasien dokter berkata
Secara pribadi empat mata
Suami mesti menyetujui
Itu baru serasi dalam keluarga
Lalu terdengar kanan-kiri
Pendek kata diketahui semua orang
Sampai tersiar ke provinsi
Mudah-mudahan sekarang seluruh Indonesia
Dengan jelas dapat diketahui bahwa melalui kesenian didong seniman mampu berbicara mengenai permasalahan yang sedang aktual di masyarakat, seperti keluarga berencana, bahkan program keluarga berencana dilihat dari sudut agama diungkapkan oleh penyair dalam kutipan berikut ini.
Tujuni KB enti kase salah
Buge-buge mubah nasih ni jema
Iwan diskusi menurut keputusan
Gere bertentangan urum agama
Terjemahan bebasnya:
Tujuan KB jangan nanti salah
Semoga nasib orang berubah
Di dalam diskusi menurut keputusan
Tidak bertentangan dengan agama
Dari beberapa petikan lirik didong yang telah dikemukakan di atas, tampak bahwa seniman didong juga berfungsi sebagai juru penerang bagi pemerintah (pada masa Orde Baru). Dengan bahasa yang sederhana, seniman didong mampu menjelaskan pentingnya program keluarga berencana kepada penduduk desa yang kebanyakan belum melek huruf dan belum mengerti tujuan program keluarga berencana. (gufron)
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Hkasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1996. Aneka Ragam Hkasanah Budaya Nusantara VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://www.waspada.co.id
http://www.korantempo.com
http://www.modus.or.id
1 Ada orang yang berpendapat bahwa kata “didong” mendekati pengertian kata “denang” atau “donang” yang artinya “nyanyian sambil bekerja atau untuk menghibur hati atau bersama-sama dengan bunyi-bunyian”. Dan, ada pula yang berpendapat bahwa Didong berasal dari kata “din” dan “dong”. “Din” berarti agama dan “dong” berarti dakwah.