Pengantar
Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ada sebuah gunung yang seringkali menunjukkan aktivitasnya, yaitu Gunung Merapi. Gunung ini dijuru-keunceni oleh seorang yang bernama Maridjan yang kemudian dikenal/disebut sebagai “Mbah Maridjan”. Ia dalah sosok yang kontroversial. Betapa tidak? Di saat-saat gunung meningkatkan aktivitasnya – bahkan banyak pihak yang meramalkan akan segera meletus dan karenanya Mbah Maridjan dihimpau agar segera menyingkir – justeru ia menganggap himbauan itu sebagai angin lalu. Justuru ia berpendapat sebaliknya, yaitu gunung tidak akan meletus dan karenanya ia tidak beranjak dari tempat tinggalnya. Bahkan, ia mendekati gunung yang menunjukkan tanda-tanda akan segera meletus. Keputusan dan tindakan yang dilakukan itulah yang kemudian membuat namanya menjadi populer. Dan, ternyata hingga tulisan ini dibuat gunung tersebut tidak pernah meletus sebagaimana yang diramalkan orang. Yang terjadi justeru gempa teknonik yang memperok-porandakan sebagian wilayah Kabupaten Bantul (26 Mei 2002). Oleh karena itu, sosok Maridjan sebagai kuncen Gunung Merapi sudah tak asing lagi bagi masyarakat dan menjadi acuan dari sisi mistis dan empiris tentang gunung tersebut semakin disegani. Apalagi pada masa-masa kritis, dia menjadi jujugan warga sekitar maupun orang luar yang ingin mengetahui Merapi dari “sisi lain”.
Riwayat Hidup
Mbah Maridjan lahir tahun 1927 di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulhajo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia mempunyai seorang isteri yang bernama Ponirah (73), 10 orang anak (lima diantaranya telah meninggal), 11 cucu dan 6 orang cicit. Anak-anak Mbah Maridjan yang masih hidup bernama Panut Utomo (50), Sutrisno (45), Lestari (40), Sulastri (36), dan Widodo (30). Mereka ada yang memilih tinggal di Yogyakarta dan ada pula yang di Jakarta. Di antara anak-anak Mbah Maridjan, juga ada yang siap mewarisi tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi dan kini telah menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta.
Pada tahun 1970 Mbah Maridjan diangkat menjadi Abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta dan oleh Sultan Hamengku Buwono IX diberi nama baru yaitu, Mas Penewu Suraksohargo1. Pada saat itu, sebagai abdi dalem, Mbah Maridjan diberi jabatan sebagai wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci, mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai juru kunci Gunung Merapi. Pada saat menjadi wakil juru kunci ini Mbah Maridjan sudah sering mewakili ayahnya untuk memimpin upacara ritual labuhan di puncak Gunung Merapi. Setelah ayahnya wafat, pada tanggal 3 Maret 1982, Mbah Maridjan diangkat menjadi juru kunci Gunung Merapi.
Sebagai seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta dengan jabatan juru kunci, Mbah Maridjan juga menunjukkan nilai-nilai kesetiaan tinggi. Meskipun Gunung Merapi memuntahkan lava pijar dan awan panas yang membahayakan manusia, dia bersikukuh tidak mau mengungsi. Sikapnya yang terkesan mbalelo itu, semata-mata sebagai wujud tanggung jawabnya terhadap tugas yang diamanatkan Ngarsa Dalem. Menurutnya Gunung Merapi adalah pusatnya jagad di Tanah Jawa. Dia juga percaya Gunung Merapi adalah gunung yang “hidup” yang akan senantiasa bertambah dan berubah, sehingga jika memang Gunung Merapi meletus berarti gunung berapi yang paling aktif di dunia itu sedang “berubah” atau “bertambah”. Menghadapi situasi tersebut ia mengajak siapa saja memohon keselamatan kepada yang Mahakuasa agar terhindar dari bahaya. Permohonan itu ditempuh oleh Mbak Maridjan melalui laku tirakat (puasa mutih) dan doa-doa dengan cara berjalan mengelilingi Dukuh Kinahrejo tiga putaran setiap malam. Di samping itu, masyarakat Dukuh Kinahrejo diminta memasang sesaji tolak bala berupa “ketupat luar” yang ditempatkan di atas pintu. Ketupat dari janur kuning tersebut bermakna simbolis agar warga yang memasangnya “keluar” dari bencana. Di dalam ketupat diisi garam dan daun sirih. Makna simbolisnya, “daun sirih” adalah lambang Gunung Merapi dan “garam” lambang dari Samudera Indonesia atau Laut Selatan. Keduanya dalam pandangan supranatural berada dalam satu poros imajiner dan merupakan kekuatan spiritual bagi Keraton Yogyakarta.
Dalam bahasa Mbah Maridjan, gejolak di Gunung Merapi diterjemahkan sebagai “eyang” yang melenggahinya sedang punya hajat membangun “keraton”. Mbah Maridjan yang pantang menggunakan istilah “Gunung Merapi meletus”, menjelaskan bahwa di saat eyang sedang punya hajat semua orang di lingkungan Merapi harus sabar, tabah dan tawakal. Di Gunung Merapi, menurut Mbah Maridjan, lenggah (bertahta) sejumlah penguasa, di antaranya Eyang Empu Romo, Eyang Empu Permadi dan Eyang Panembahan Sapujagad.
Entah disadari atau tidak, secara kebetulan lokasi permukiman Mbah Maridjan di Dukuh Kinahrejo relatif terlindung dari ancaman awan panas Gunung Merapi, karena berada di balik tebing yang disebut Geger Boyo (punggung buaya). Tebing yang dari kejauhan tampak seperti punggung buaya dengan kepala mengarah ke atas itu dianggap warga lereng Merapi sebagai “benteng pertahanan” dari serangan awan panas.
Pandangan Kultural
Mbah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi lebih banyak melihat fenomena menggunakan naluri yang merujuk pada kebiasaan niteni. Keyakinannya tentang ancaman bahaya letusan Gunung Merapi yang hampir tidak pernah merambah Dukuh Kinahrejo memberikan pelajaran niteni bahwa lingkungan alam di sisi selatan Gunung Merapi masih merupakan benteng pertahanan bagi warganya.
Dalam kosmologi keraton Yogyakarta, dunia ini terdiri atas lima bagian. Bagian tengah yang dihuni manusia dengan keraton Yogyakarta sebagai pusatnya. Keempat bagian lain dihuni oleh makhluk halus. Raja bagian utara bermukin di Gunung Merapi, bagian timur di Gunung Semeru, bagian selatan di Lain Selatan, dan bagian barat di Sendang Ndlephi di Gunung Menoreh. Namun, jauh dari ungkapan-ungkapan itu ada suatu keyakinan yang hidup di dalam masyarakat di sekitar Gunung Merapi bahwa gunung dengan segala macam isinya dan makhluk hidup yang mendiami wilayah ini menjadi suatu komunitas. Oleh karena itu, ada hubungan saling menjaga dan saling melindungi. Ketika salah satu anggota mengalami atau melakukan sesuatu maka ia akan memberi “isyarat” kepada yang lain dan ia akan memberitahukan kepada yang lain. Demikian pula, ketika Merapi batuk-batuk ia juga memberi isyarat kepada yang lain termasuk kepada Mbah Maridjan. Oleh karena saat itu isyarat belum diterima Mbah Marijan, maka ia berpendapat bahwa Merapi tidak akan melakukan sesuatu. Selanjutnya, Mbah Maridjan tidak mau diajak mengungsi (meninggalkan Gunung Merapi).
Masyarakat pada umumnya dan masyarakat ilmiah pada khususnya hidup dalam paradigma positivisme. Dalam pandangan positivisme, objektifitas pengetahuan, baik pengetahuan yang dibangun oleh masyarakat umum maupun masyarakat ilmiah, merupakan tujuan dalam mencari suatu kebenaran. Semua aktivitas ilmiah, prosedur ilmiah dan temuan ilmiah diukur melalui tingkat kesesuaian dengan realitas. Semakin objektif berarti semakin mendekati kebenaran. Dalam konteks Gunung Merapi, semakin canggih teknologi yang digunakan, semakin seksama pengamatan dilaksanakan, maka pengetahuan yang dtemukan semakin mendekati kebenaran, yaitu tanda-tanda Gunung Merapi akan meletus. Tanda-tanda itu adalah keluarnya awan panas dan lahar baik yang panas maupun yang dingin. Bertolak dari pemikiran itu, maka masyarakat sekitar Merapi harus menjauh dari Merapi (mengungsi ke daerah dengan radius 8--10 kilometer dari puncak Merapi). Sementara itu, secara epistemologis, dasar dari pengetahuan itu adalah cara menemukan pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan yang ditemukan oleh para pengikut positivisme hanya salah satu jenis saja. Pengetahuan yang dibangun oleh para pengikut pandangan positivisme bersifat eksternal dan bisa dibuktikan kebenarannya dengan cara mencocokkan langsung dengan relitasnya. Misalnya, dikatakan Gunung Merapi akan meletus 10 hari lagi (kata Sultan Hamengku Buwono X) maka ditunggu saja selama sepuluh hari ke depan sejak pernyataan itu diungkapkan. Ternyata ketika sudah lewat 20 hari juga Merapi tidak meletus, maka pernyataan itu tidak benar. Akibatnya, banyak para pengungsi kembali ke rumah masing-masing.
Pengetahuan Mbah Maridjan dibangun bukan dalam pandangan positivisme. Oleh karena itu, keliru jika ada usaha memeriksa kebenarannya dengan cara positivisme. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh Mbah Maridjan bersifat personal dan internal karena tidak dinyatakan dengan: kata-kata, simbol-simbol (nyata), atau formula matematis. Dalam konteks yang lebih luas pengetahuan Mbah Maridjan dapat digolongkan ke dalam pengetahuan yang tak terungkapkan. Pengetahuan tak terungkapkan merupakan integrasi antara kegiatan intelektual dengan unsur-unsur pengalaman personal ke dalam satu pemahaman. Pemahaman menyeluruh tentang sesuatu terdiri atas fakta-fakta partikular yang dicermati oleh kelompok positivisme dan pengetahuan tentang keseluruhan yang dibangun oleh banyak kelompok lain. Pengetahuan kita yang menyeluruh tentang Merapi adalah gabungan antara pengetahuan yang dibangun oleh kelompok positivisme (ahli gunung berapi) ditambah dengan pengetahuan yang tak terungkapkan yang dikonstruksi oleh anggota komunitas Gunung Merapi yang lain. Masing-masing mempunyai aktivitas, prosedur dan temuan yang khas. (gufron)
Foto: http://handaru.light19.com
Sumber:
http://www.pikiran-rakyat.com
http://hidupbersamabencana.wordpress.com
http://64.233.167.104
http://id.wikipedia.org
http://www.suaramerdeka.com
http://www.pontianakpost.com
http://www.jalansutera.com
1 Suraksohargo berarti “menjaga gunung”. Nama pemberian Sulan Hamengku Buwono IX ini sama dengan yang diberikan kepada ayahnya dalam suatu surat keputusan yang diberi nama “Serat Kekancingan Dalem Ngarso Dalem Sultan Hamengku Buwono IX”