Bahasa Melayu, Penyebar Budaya Naskah-naskah sebagai Saksi Persebaran Bahasa

Oleh Prof. Dr. Achadiati Ikram

Colonialisme has forcibly made a number of nations adopt a languane alien to them. However, this language policy has ultimately enriched the culture on both sides. A significant creole literature has sprung into life and now form a part of our world literature. Indian-English, African-French, and American-Spanish have a characteristic all their own. In opposition with this policy the Dutch did not spread the education of their language for fear of spoiling its purity. Within one generation it has disappeared from Indonesia.

During its long history, Malay has spread over a vast expanse of countries and peoples, disseminating Malay culture and at the same time enriching itself. Its development into a modern language has been successful due to an attitude of receotiveness and tolerance, which is one of the most significant characteristics of Malay culture.

Pengantar
Suatu bahasa yang digunakan dalam komunitas bahasa yang tersebar luas biasanya mengalami berbagai modifikasi dengan maksud menyesuaikannya dengan penggunaannya. Hal ini terjadi dengan bahasa negara-negara Eropa yang memiliki tanah jajahan yang luas, yaitu Spanyol, Portugal, Inggris dan Prancis. Dengan berbagai macam cara penduduk tanah jajahan dipaksa menerima bahasa asing sebagai bahasa pertama dengan mengesampingkan bahasa ibunya. Diterimanya bahasa asing tersebut sebagai bahasa pertama oleh suatu kelompok yang budaya serta bahasa ibunya berbeda tentu tidak tanpa penyesuaian. Dengan demikian terjadilah bentuk-bentuk pidgin dan kreol Inggris, Prancis, Spayol dan Portugis, atau suatu ragam bahasa yang sedikit banyak sudah menyimpang walaupun penutur asli dan bukan asli tetap saling memahami.

Ternyata politik yang sarat dengan kekuasaan dan arogansi ini di ujung-ujungnya menguntungkan kedua belah pihak. Dengan kebijakan politik tersebut penyebar luasan bahasa-bahasa penjajah akibatnya kini bahwa bahasa-bahasa itu menjadi bahasa dunia karena digunakan di empat benua. Penutur bukan asli bahkan menambah semaraknya kesusastraan dan berkembangnya sastra Inggris-India, Prancis-Afrika dan Portugis-Amerika dan Spanyl-Amerika yang menduduki tempat terhormat di kalangan sastra dunia, justru karena diperkaya oleh sumbangan budaya pribumi berbagai daerah bekas jajahan.

Bahasa Belanda tidak mengalami nasib yang sama karena politik bahasa Belanda di Indonesia bersifat eksklusif, disebabkan oleh kekhawatiran bahwa akan terjadi padginisasi dan kreolisasi bahasa Belanda yang diinginkan tetap ‘murni’. Dapatlah kita sebut suatu sikap kikir dan picik yang tidak pada tempatnya. Akibatnya dalam satu generasi bahasa Belanda sudah hilang dari Indonesia, dan orang Indonesia kehilangan pengetahuan suatu bahasa Eropa.

Dalam kesempatan ini saya akan meninjau masalah persebaran bahasa Melayu dalam hubungannya dengan naskah-naskah dan aksara yang digunakan.

Pengantar di atas saya kemukakan sebagai bahan rujukan atau perbandingan untuk uraian saya.

Bahasa Melayu dalam Aksara Pallawa
Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa Austronesia atau Melayu Polynesia, suatu rumpun yang mencakup kawasan yang amat luas, terutama menyebar di wilayah kepulauan yang dihubungkan oleh samudra dengan alur-alur airnya yang telah dikenal dan dijalani selama ribuan tahun. Konon penutur bahasa proto Austronesia berawal dari Taiwan dan meninggalkan tanah pertaniannya dalam migrasi ke selatan. Sebagian menyebar ke timur menduduki pulau-pulau di Samudra Pasifik. Sebagian lagi ke selatan dan barat menuju Asia Tenggara dengan sepuluh ribu pulaunya (Collins 1997:1). Menurut teori mutakhir penutur bahasa proto Melayu menetap di Kalimantan Barat dan dari situ mereka menyebar ke Sumatera dan Jawa Barat. Dalam perjalanannya dari Taiwan ke selatan, khususnya di kawasan Asia Tenggara penuturnya bertemu dan berinteraksi dengan budaya-budaya prasejarah dan menghasilkan budaya yang khas. Pendukung budaya inilah yang kemudian mencapai kematangan budaya yang dapat menerima dan memanfaatkan unsur budaya yang terwujud dalam kita menulis.

Pada awal abad kedelapan bahasa Melayu sudah memiliki kedudukan yang mantap di Kepulauan Nusantara. Hal ini dapat dipastikand dari peninggalan-peninggalan tertulis yang ditemukan di beberapa kawasan di Indonesia. Tak dapat diketahui dengan tepat kapan dan di mana bahasa Melayu lisan pertama-tama dituangkan dalam tulisan, tetapi dapat dipastikan bahwa itu terjadi di Nusantara.

Tulisan yang pertama digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu adalah huruf Pallawa (Casparis 1975) yang pada awalnya merupakan wahana bahasa Sanskerta, namun kemudian diterapkan untuk memvisualkan bahasa Melayu.

Seperti halnya bahasa Portugis, Prancis, Inggris dan Spanyol, bahasa Melayu digunakan oleh suku-suku dan etnik-etnik yang bahasa ibunya bukan Melayu. Mungkin sebagian disebabkan oleh kekuasaan politik seperti pengaruh Sriwijaya yang pada suatu masa merambah kawasan yang luas sebagai kekuasaan maritim (de Casparis 1975:13); yang jelas ia sudah digunakan sebagai media pengajaran sedini abad ketujuh (Kumar, 1996:XVI) dan mungkin juga sudah menjadi media komunikasi di sebagian besar Nusantara. Fungsinya sebagai bahasa sastra tidak menyisakan bukti-bukti materi. Dengan mengambil analogi sastra Jawa Kuno dapat diperkurakan bahwa kekosongan tersebut disebabkan oleh rentannya bahan terhadap waktu dan tiadanya penyalinan lagi. Bagi sastra Jawa Kuno penyalinan terjadi di Bali, yang dengan demikian telah melestarikan sastra tersebut.

Dalam prasasti-prasasti yang terdini di Indonesia yaitu dari abad kelima Masehi di Kutai (Kalimantan Barat) bahasa yang digunakan masih bahasa Sanskerta dengan aksara yang berasal dari India. Tulisan-tulisan semacam itu ditemukan juga di daratan Asia yang ada di bawah kekuasaan kerajaan Pallawa, suatu dinasti India Selatan. Dari dinasti inilah nama tulisan tersebut diturunkan. Sementara itu keberaksaraan makin meluas dan menembus batas bahasa, sehingga pada abad ketujuh Masehi semua prasasti yang ditemukan sudah berbahasa Melayu dengan tulisan Pallawa yang tentunya sudah diadaptasikan dengan sistem bunyi bahasa tersebut. Penyesuaian semacam itu merupakan hasil kerja intelektual yang menunjukkan tingkat kecanggihan pelakunya. Dengan demikian prasati yang ditemukan yang paling awal menggunakan bahasa pribumi adalah prasasti berbahasa Melayu. Bahasa-bahasa daerah lain mengikuti tidak lama sesudah itu. Dari penelitian arkeologi dan epigrafi kita mengetahui bahwa prasasti kerajaan Sriwijaya yang berbahasa Melayu ini tersebar di daerah yang cukup luas, menandakan bahwa bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa administrasi negara dan dipahami dalam wilayah yang luas pula. Di samping itu penggunanya sebagai bahasa agama juga terbukti dari sejumlah prasasti yang isinya bernafaskan agama Buddha. Sementara itu tidak diketahui bahasa atau dialek lokal tempat penemuan prasasti yang bersangkutan.

Salah satu prasasti yang cukup panjang memberi peluang kepada para ahli bahasa untuk mempelajari bahasa yang digunakan dalam teks prasasti itu, yaitu prasasti Telaga Batu (de Casparis, 1947:4). Mengingat bahwa teks tersebut maknanya cukup canggih dapat diperkirakan bahwa ia dilatar belakangi oleh perkembangan kesusastraan yang berarti. Meningkatnya bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan kesusastraan serta administrasi tidak terlepas dari pengaruh bahasa-bahasa lain yang didukung oleh latar belakang yang lebih tinggi. Maka berkat keterbukaannya bahasa Melayu berkembang dengan sempurna sehingga mampu menjadi pendukung masyarakat yang semakin maju.

Bahasa Melayu Klasik dalam Aksara Jawi
Kedatangan Islam membawa serta suatu sistem tulisan baru, yang merupakan unsur yang amat penting dari sumbangan budaya yang diberikan kepada masyarakat Melayu. Islam telah membentuk kembali budaya Melayu dan memberinya suatu dasar yang kokoh tanpa merusak tingkatan peradaban yang sudah ada. Dipandang dari sudut kebudayaan, masuknya Islam di Nusantara telah membawa dampak yang teramat dalam dan luas bagi kehidupan penduduknya yang sukar ditandingi pengaruh budaya lain. Tidak terkecuali pengaruh terhadap muncul dan berkembangnya kesusastraan khas dalam kawasan itu. Dapat dikatakan bahwa sejak saat itu sistem tulisan yang digunakan dalam kawasan Melayu hanyalah suatu bentuk tulisan Arab yang kini juga disebut ‘Jawi’. Sistem tulisan yang lama tidak digunakan lagi. Hal ini berbeda dengan beberapa daerah di Indonesia seperti Sulawesi, Lombok, Madura dan Jawa yang di samping aksara Arab tetap mempertahankan sistem aksara yang beberapa abad sebelumnya diturunkan dari aksara India.

Menurut penelitian para sarjana sastra Islam di Indonesia penerjemahan dan saduran ke dalam bahasa Melayu terjadi di Pasai (Iskandar, 199). Naskah terjemahan dari Arab ke Melayu yang tertua tersimpan di perpustakaan Universitas Cambridge, yaitu Kasida Burda karangan Al-Busiri yang berasal dari daerah Aceh abad ke-16, yang merupakan masa keemasan kerajaan itu, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (Drewes, 1955:9-10). Terjemahan Melayunya dilakukan antarbaris dan berisi banyak kata-kata Arab, selain juga kata-kata arkhais yang dalan tulisan-tulisan yang lebih mutakhir tidak muncul lagi. Sebagian kata Arab yang pada masa itu mungkin mengungkapkan konsep-konsep yang masih baru untuk alam Melayu, kini telah mendapat tempat tetap dalam bahasa Melayu, bahkan tidak lagi dirasakan sebagai kata ‘pinjaman’. Dalam teks-teks Melayu bernuansa agama, bahasanya mendapat dampak bahasa Arab yang lebih luas dan kental dikarenakan oleh subyeknya yang baru dengan konsep-konsepnya yang baru pula, sehingga dapat disifatkan sebagai suatu ragam bahasa yang khas ‘kitab’.

Bahasa ragam tulisan yang berkembang di lingkungan kaum terpelajar, baik di seputar pesantren maupun istana disebut juga Melayu Tinggi untuk membedakannya dari bahasa yang digunakan sehari-hari dalam percakapan. Kesusastraan yang didukung oleh ragam bahasa ini dan berkembang di usat-pusat budaya tumbuh dengan pesat. Pasai, Malaka, Aceh Riau adalah tempat-tempat yang telah menghasilkan khazanah persuratan yang amat kaya dan beragam. Jelas pula dari bukti-bukti yang ada bahwa pada abad ke-16 bahasa Melayu telah memiliki kedudukan sebagai bahasa sastra/tulis yang digunakan dalam kawasan yang penduduknya berbahasa ibu lain, meluas dakam wilayah yang luas dan tersimpan dalam tulisan-tulisan di berbagai daerah berpenutur non-Melayu. Sastra Aceh misalnya, di samping mempunyai sastra dalam bahasa Aceh seperti Hikayat Meukeuta Alam dan Hikayat Pocut Muhammad, menghasilkan juga teks Melayu seperti Hukayat Aceh yang menggambarkan sejarah Aceh semasa Sultan Iskandar Muda. Orang Bima yang merupakan penutur bahasa Mbojo dalam tulisan menggunakan bahasa Melayu ragam tulis seperti dalam catatan kerajaan, Bo’ Sangaji Kai. Dari Ambon pun yang memiliki banyak bahasa daerah, kita kenal Hikayat Tanah Hitu yang ditulis dalam bahasa Melayu. Dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa bahasa Melayu ragam tulis atau Melayu Tinggi merupakan media pilihan bagi berbagai daerah di Nusantara bila menulis sesuatu yang dirasakan penting seperti sejarah, catatan kerajaan, agama dan sebangsanya. Ini terutama berlaku bagi kerajaan atau daerah yang telah beragama Islam. Sementara ada daerah yang mempertahankan dua bahasa dengan menggunakan satu sistem aksara yaitu Arab, namun dua bahasa tulis seperti halnya di Aceh.

Di Pulau Jawa, baik di daerah yang berpenutur Jawa maupun Sunda, bahasa Melayu tetap penting sebagai bahasa yang berhubungan dengan keagamaan dan kesusastraannya. Cerita kepahlawanan Islam seperti Hikayat Amir Hamzah, Samaun dan sejenisnya masuk ke sastra Nusantara melalui bahasa Melayu yang dengan demikian menjadi jembatan yang dilalui oleh kesusastraan berona Islam, baik dari sastra Persia maupun Arab untuk masuk ke dalam sastra daerah, seperti Jawa, Sunda, Madura, dan Bugis-Makassar.

Ragam bahasa Melayu tulis yang digunakan di semua kerajaan Islam di Nusantara karena pengaruh setempat bervariasi dalam kosakata dan struktur kalimatnya sehingga ciri-cirinya sering jelas kelihatan. Kadar pengaruh lokal itupun masih banyak variasinya. Maka bahasa Melayu yang kita jumpai dalam Bo’ Sangaji Kai (Bima), berbeda dengan bahasa dalam Istiadat Tanah Negeri Butun (Butun), dan lain pula bahasa Hikayat Banjar (Banjarmasin).

Di bawah ini dapat kita lihat dalam perbandingan.

…Hari Sabtu dualapan hari bulan maka Daeng Tamimang dan lakinya yang bernama Sasu, dan Karaeng Balak pun datang membawa dirinya dengan tiada memakai keris. Maka membawanya Bumi Punti La Tole dan Lebe Sekuru akan ganti diri Turelu Donggo, Jeneli Woha, dan membawa persembahan bernama sabuk emas merah satu talam daripada Karaeng Balak, tanda orang sudah menyembah, dan budak tiga orang yang dibawa sendirinya Daeng Tamimang dan lakinya Daeng Pana…

(Bo’ Sangaji Kai, hlm. 277, diterjemahkan oleh H. Chambert-Loir).

Maka Raden Suryanata sudah dihulasi dengan kimka kuning, kaki Putri Junjung Buih itu barhulas kimka kuning juga itu. Maka kapala karbau empat ekor itu sudah ditaruh orang di kanan-kiri padudusan itu. Sudah itu maka pangapit Raden Suryanata itu yang mambawa udutan, mambawa kakucuran, mambawa lancang, mambawa lampit, itu anak mantri-mantri itu…

(Hikayat Bandjar hlm. 318, diterjemahkan oleh J.J. Ras, penyesuaian ejaan oleh penulis).

…Alkisah maka tersebutlah kepada raja di Luak Simamora negeri Dolok Sanggul kampung bernama Lumban Si Tumpang sukunya Simamora. Adapun itu raja bernama Mirhim, dia anak beranak tujuh orang laki-laki yang kecil bernama Si Namora ini tidak beranak itu yang lain saudara-saudaranya suda beranak masing-masing. Dengan takdir Allah pada suatu hari maka berkelahi perempuannya dengan perempuan saudaranya sebab dari lulu’ di atas rumah kenai kaki perempuan saudaranya…

(Sejarah Raja-Raja Barus, hlm. 131, diterjemahkan oleh Jane Drakard).

…Adapun istiadat yang telah menilik dan memandang melainkan hendak mendirikan dua paying, yakni satu paying berkekalan dan satu berubah2. Maka yang berubah2 itu daripada nama sultan. Maka yang berkekalan itu atas jalan istiadat yang sangat teguh lai tetap selamanya2. Adapun istiadat akan Sri Maharaja Sapati maka diibaratkan pada martabat wahidiyah dari a’yan thabitah pun namanya ya’ni martabat pertengahan…

(Istiadat Tanah Negeri Butun, hlm. 45, transliterasi oleh Achadiati Ikram).

Dari kutipan yang diambil dari kepustakaan milik empat suku bangsa yang menyebar dapat diamati masing-masing kekhasannya, namun yang lebih menonjol adalah sama-sama bahasa Melayunya. Dalam kesusastraan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia bahasa Melayu telah mendapat tempat yang terhormat dan berkembang sesuai dengan naluri pemakainya.

Sebagai alat komunikasi dalam pendidikan agama bahasa Melayu telah mendahului bahasa Indonesia, yaitu dalam era kolonial dan sebelum itu, di Lombok dan di daerah-daerah tertentu di Pulau Jawa. Menurut informasi seorang ustad tua, pada masa itu bahasa komunikasi dalam kelas adalah bahasa Melayu alih-alih bahasa daerah.

Bahasa Melayu ‘Rendah’ sebagai Bahasa Tulis
Sukar dipastikan sejak kapan bahasa Melayu digunakan sebagai alat komunikasi di Nusantara dan sekitarnya. Di atas telah dikemukakan suatu perkiraan. Collins (1998) menyebut masa keemasan kerajaan Malaka sebagai perkiraan masa penyebaran karena negeri ini pada saat itu merupakan pelabuhan antara yang sangat ramai dikunjungi pedang dari pelbagai penjuru. Sementara itu beberap peneliti bahasa mengamati bahwa di Indonesia bagian timur berkembang suatu ragam bahasa yang memiliki ciri-cirinya sendiri, baik dalam hal kosakata maupun strukturnya. Bahasa tersebut amat penting karena dengan ragam bahasa itulah orang yang berbeda bahasa ibu berkomunikasi dengan bebas. Bangsa Cina, Arab, Maluku, Jawa, Melayu, Portugis dan Eropa lainnya memanfaatkan alat pergaulan ini, melintasi batas-batas budaya. Ternyata ragam ini sangat sesuai untuk tujuan mereka. Ada kecenderungan beberapa linguis untuk menyebut bahasa ini Melayu Rendah atau Melayu Pasar (Ricklefs, 1976); walaupun lebih tepat dinamakan suatu ragam bahasa Melayu dengan kekhasan tertentu; menurut Muhadjir kekhasan Indonesia Timur (komunikasi pribadi). C.O. Blagden (dalam Ricklefs, 1976) sudah menunjukkan pada tahun 1930 adanya dua surat remis bertanggal sedini tahun 1521 dan 1522 yang menggunakan ragam bahasa Melayu ‘pasar’ ini. Kedua surat tersebut merupakan surat Melayu tertua yang masih tersimpan.

Ricklefs dalam tulisan yang dirujuk di atas menunjukkan suatu hal yang sangat menarik, yaitu penggunaan aksara Jawa dalam penulisan surat-surat berbahasa Melayu. Ia mencatat bahwa bahasa Melayu ‘pasar’ digunakan dalam surat menyurat dan administrasi di sepanjang pesisir Jawa sampai ke Banten tetapi bukan dengan tulisan Jawi. Dalam penelitian Sukatno dikemukakan sejumlah besar surat serupa baik yang bersifat pribadi maupun yang resmi, dalam arti kata yang berkaitan dengan tata usaha perdagangan maupun pemerintahan. (Sukatno, akan terbit). Para penulis menggunakan aksara karena umum dikenal dan akrab di daerah itu. Sangat boleh jadi ini satu-satunya sistem tulisan yang mereka kenal. Tidak hanya orang pribumi yang memakai cara komunikasi ini, peneliti bahkan menemukan beberapa surat bertanda tangan orang Belanda ditujukan kepada orang Pribumi (Jawa).

Di bawah ini kami petik dua buah surat yang tertulis dengan aksara Jawa. Yang pertama berasal dari abad ke-17, ditulis oleh seorang pembesar kerajaan Banten kepada pegawai VOC.

…Surat Pangeran Arya Ranamanggala datang akan Kapitan, adapon kapitan suruhan sarta dengan surat mengatakan mahu berdame, seperti awal zaman dahulu, adapon Kapitan jika ati betul seperti zaman Kapitan Witer dan Kapitan Jam Bul, bahik, apa salahnya. Pangeran Rat upon suka, sekarang aru biru pon, orang Walanda juga yang dahulu, bukan Pangeran Ratu yang salah.

(Algemeen Rijksarchief, Fol. 326, transliterasi oleh Ricklefs)

Banyumas tanggal 13 Juli 1831

Raden Ayu Terhormat

Saya misti mulai inni surat dengan mintakan hampun pada raden ayu sebab baru duwa hari liwat dan saya salah saya sudah kira mahayu lupa pada saya, tetapi sekarang saya misti puji betul-betul tidak satu orang meleken Raden Ayu yang kasih oleh-oleh kermis punya. Apa lagi begitu pantas saya punya rupa laku paki itu cenela tida salah betul penganten baru.

(Lor2178-I-51, transliterasi oleh Sukatno, penyesuaian ejaan oleh penulis).

Bahwa bahas Melayu digunakan secara luas sebagai lingua franca umum diketahui, tetapi dokumen-dokumen di atas menunjukkan bahwa lingua franca itu juga digunakan dalam tulisan. Bukti pula bahwa bahasa Melayu ditulis tidak hanya dengan wahana tulisan Arab, melainkan juga aksara Jawa, bahkan Bali.

Penutup
Dari masa purba bahasa Melayu telah menunjukkan kemampuannya berkembang sesuai dengan tuntutan-tuntutan yang dihadapinya, baik bagi keperluan praktis maupun bagi penggunaan yang canggih sekalipun. Ketika diperlukan kemampuan yang lebih tinggi dan lebih rumit dan halus maka ia sudah memiliki struktur yang lebih mantap untuk dapat mengintegrasikan bentuk-bentuk dan konsep-konsep baru dari budaya yang lebih canggih sehingga peningkatan ke taraf yang lebih tinggi terjadi tanpa kesulitan. Unsur-unsur dari berbagai bahasa asing dicernakan dan bila perlu ditransformasikan dengan mulus menjadi kekayaan yang luar biasa. Ini semua dapat terwujud berkat keterbukaan sistemnya dan juga keterbukaan penutur aslinya yang dari awal telah membuka dirinya untuk tidak bersikap kikir dan picik mengenai apa yang disebut kemurnian bahasa.

Bahasa Melayu masih akan berkembang lebih jauh dan lebih luas dan mungkin menjadi bahasa ibu bagi suku-suku bangsa yang sebenarnya berbahasa asli lin. Kita tentu menyayangkan memudarnya bahasa-bahasa asli tersebut yang akan mengalami kematian yang tidak disengaja. Di Indonesia ada kecenderungan bahwa bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu di banyak tempat mengambil alih tugas bahasa daerah, dalam hal ini ada hubungannya dengan kekuasaan.

Tak dapat dipungkiri bahwa bahasa Melayu memiliki kekuatan hidup dan tumbuh dalam berbagai bentuk dan ragam. Kecenderungan untuk mempertahankan bentuk bahasa yang murni dan asli dalam semua situasi dan kondisi ternyata tidak menguntungkan kelangsungan hidup bahasa itu.

Pustaka Rujukan
Casparis, J.G. de, Indonesian Palaeography. A History of Writing in Indonesia From the Beginnings to c.A.D. 1500. Leiden, E.J. Brill, 1975.

Chambert-Loir, Henri dan Siti Maryam R. Salahuddin, Bo’ Sangaji Kai. Catatan Kerajaan Bima. Jakarta, EFEo dan Yayasan Obor. 1999.

Collins, James, Malay, World Language. A Short History. Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998.

Drakard, Jane, Sejarah Raja-Raja Barus. Dua Naskah dari Barus. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama dan EFEO, 2003.

Drewes, GWJ, Een 16de Eewse Maleise Vertaling van de Burda van Al-Busiri. Uitgegeven en vertaald. ‘sGravenhage, Martinus Nijhoff, 1955.

Ikram, Achadiati, Istiadat Tanah Negeri Butun. Jakarta, Departemen Pendidikan Nasional. 2001.

Kumar Ann dan John McGlynn, Illuminations. The Writing Traditions of Indonesia. Jakarta, The Lontar Foundation, 1996.

Ricklefs, MC, Banten and the Dutch in 1619: Six Early Pasar Malay Letters. Bulletin of the School of Oriental and African Studies. University of London. Vol. XXXIX 1976.

Sumber:
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Identitas dan Pluralisme Melayu” yang diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI, Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) bersama Pemerintah Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, pada tanggal 29-31 Juli 2004.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive