Orang Butun di Perairan Riau: Melacak Hubungan Butun-Johor sebagai Dua Simpul Perekat “Dunia Melayu”

Oleh Dr. Susanto Zuhdi[1]

Jika hingga ke masa kini pelayaran orang dari Wanci[2] di Kepulauan Tukang Besi, Sulawesi Tenggara ke Singapura masih berlangsung, fakta ini mungkin sekali dapat dikatakan sebagai “kesinambungan” juga. Makalah ini bertolak dari kepedulian masalah kekinian. Tampaknya sekarang “keserumpunan” sering tidak lagi sebagai semangat dan sekaligus sumber motivasi untuk maju dan sejahtera bersama bagi masyarakat yang berada di dalam “dunia Melayu”. Kiranya disetujui jika kawasan perairan Riau ini boleh disebut sebagai “the cradle of civilization”nya “kemelayuan”. Terlihat ada bagian-bagian dari “dunia Melayu” yang tertinggal di dalam meraih dan meningkatkan kesejahteraannya. Tidak dalam arti mencari pembenaran sejarah jika tulisan ini mengajak kita untuk melihat ke belakang ketika hubungan antar bagian di kawasan apakah dulu dikenal “negeri di bawah angin”, Nusantara atau kemudian Asi Tenggara berlangsung begitu erat. Ketika ketiadaan batas-batas wilayah administratif, tampaknya justru telah mendorong unsur-unsur “kemelayuan” memperlihatkan dinamika “kesempurnaan”nya. Faktor historis itu agaknya menjadi menarik dan mungkin saja penting bagi kekinian kita. Banyak unsur dan keragaman yang memberi dan membentuk “dunia Melayu” ketika itu. Meskipun tidak sebesar dan sekuat pengaruh terutama dalam politik seperti orang Bugis, orang Butun[3] juga banyak melakukan pelayaran ke perairan ini. Setidaknya dalam abad ke-16 dan meningkat pada abad ke-17 dan ke-18, dikenal pelaut dari (kesultanan) Butun yang berlayar ke Selat Malaka dan di perairan Kepulauan Riau. Wilayah Butun dalam arti kekuasaan kesultanan yang nyata adalah konstruksi kolonial baru pada abad ke-19 (Ligtvoet 1878). Ia mencakupi pulau-pulau yang besar: Buton (Butun), Muna, Kabaena, Kepulauan Tukang Besi (Wanci, Kaledupa, Tomea, dan Binongko), dan yang kecil a.l.: Tikola, Tobea Besar, Tobea Kecil, Mangkasar, Batauga, Siompo, Kadatuwang. Adapula wilayah kesultanan yang menyatu dengan jazirah Sulawesi (Tenggara) yakni Poleang dan Rumbia.

Jika “dunia Melayu” hendak dipahami dengan ciri-ciri: agama (umumnya Islam) bahasa, dan kemaritiman, maka unsur-unsur itu segera tampak pula pada Butun. Sebelum Islam masuk, Butun merupakan kerajaan dengan pengaruh kuat dari Luwu (Bugis) dan Majapahit (Jawa). Akan tetapi juga menarik bahwa yang dianggap menjadi pendiri kerajaan berasal dari Semenanjung Malaya. Dilacak lebih jauh ke belakang maka terlihat adanya hubungan erat antara kedua wilayah ini. Dalam tradisi lokalnya, masyarakat Butun (Buton) menyimpan ingatan yang memberi keterangan bahwa Johor merupakan daerah yang sangat dikenal akrab. Ini dapat diketahui melalui kisah asal-usul berdirinya kerajaan Butun. Disebutkan bahwa pendiri kerajaan ini adalah “Mia Patamia” (Siempat Orang) yang datang dari Johor pada awal abad ke-14. Kesultanan Butun termasuk yang pertama mengadakan dan membuat kontrak dengan VOC yakni pada tahun 1603. Butun perlu mendapat bantuan dari VOC karena ancaman Gowa. Kesultanan Butun berakhir pada tahun 1960 ketika kekuasaannya remi menjadi wilayah Republik Indonesia.

Dalam hikayat Sipanjonga “Mia Patamia” terdiri atas empat orang: Sipanjonga, Simalui, Sitanamajo, dan Sijawangkati. Dikisahkan pemimpin kelompok pelayaran bernama Sipanjonga, seorang hartawan dan dermawan berasal dari Pulau Liyaa[4] di Johor. Sebelum keberangkatan kelompok itu, Sipanjonga bermimpi didatangi seorang tua yang menasihatinya agar pergi ke tempat yang lebih baik.

“Maka berkata orang tua itu kepada Sipanjonga “hee cucuku, apa juga sudahnya cucuku tinggal di dalam pulau ini, lebih baik engkau mencari lain tempat yang lebih baik dari pulau ini, karena pulau ini bukan cucuku yang menjapang tiada (sic!). Maka taka Sipanjonga “hee nenekku, bagaimana halku pergi mencari lain tempat daripada pulau ini. Maka kata orang tua itu “cucuku perbuat kayun yang di ujung pulau ini perahu supaya boleh cucuku pergi sekalian dengan segala keluarga cucuku” (Hikayat Sipanjonga).

Kemudian Sipanjonga memerintahkan hamba sahayanya membuat perahu yang diberi nama “palulang”. Perahu ini segera dimuati sekalian orang beserta harta sekalian jenis emas, perak, tembaga, suasa, dan permata, intan baiduri, mutiara, dan lain sebagainya. Keberangkatan Sipanjonga digambarkan demikian:

“Maka layar perahu pun dipasang oranglah merapat kiri kanannya. Maka Sipanjonga pun naiklah ke palulang serta dengan segala bunyi-bunyian. Itulah adat segala anak raja-raja yang besar-besar di dalam negeri. Maka kepada hari yang baik dan saat yang baik maka Sipanjonga pun menyuruh orangnya bongkar sauh, maka orang pun hadirlah masing-masing dipegangnya. Maka meriam pun pasang oranglah kiri kanan dan bunyi-bunyiannya dipalu oranglah. Terlalu idmat bunyinya dan layar pun dibuka orang, maka angin bertiuplah terlalu keras jalannya palulang itu, seperti burung rajawali pantasnya. Dengan seketika juga Pulau Liyaa itu lepas dari pada mata orang banyak”.

Dalam kisah, Sipanjonga terdampar di Pulau Malalang setelah tujuh malam lamanya kemudian melanjutkan pelayarannya. Sewaktu menunggu itu, Sipanjonga mendengar suara:

“Hee Sipanjonga janganlah engkau duka citamu apa pekerjaanmu maka engkau melakukan dirimu seperti demikian itu. Kembalilah engkau ke pilangmu (sic!), bukan engkau tempat bagimu pada pulau ini. Hendaklah engkau segera berlayar menuju matahari. Adalah sebuah pulau besar “Butuni” namanya disebut orang. Disanalah engkau duduk yang sedia insya Allahu Ta’aala. Kemudian hari itu pula dapat menjadi sebuah negeri yang besar-besar beribu-ribu orangnya lagi beroleh ‘anak-anak’ seorang laki-laki dan cucumu maha banyak dan nakmu itupun mendapat seorang ‘perempuan’ didalam buluh gading yaitu menjadi raja didalam negeri itu lagi anakmu itu kaya kekal kekayaannya datang kepada anak cucumu dengan berkat orang yang didapat didalam buluh itu”.

Pendaratan rombongan Sipanjonga di Pulau Butun terbagi dalam dua: kelompok yang dipimpin Sipanjonga dan Simalui di Kalampa, dan kelompok Sitanamajo dan Sijawangkati di Walalogusi. Mereka mendirikan permukiman di pesisir dan akhirnya bersatu di Kalampa. Akan tetapi dalam perjalanannya perkampungan itu sering mendapat serangan perompak. Dikisahkan pula Sijawangkati memasuki ke pedalaman untuk menebang pohon enau. Rupanya wilayah itu sudah dikuasai seorang bernama Dungkungcangia. Berkali-kali Sijawangkati menebang pohon itu membuat Dungkungsangia marah. Ia lalu menebang pohon yang lebih besar dari yang ditebang Sijawangkati. Melihat hasil tebangannya itu, Sijawangkati menganggap si penebang pastilah bukan sembarang orang. Iapun lalu mengikat hasil tebangan itu dengan seutas tali. Kini Dungkungcangia yang mengira pelakunya manusia luar biasa. Tibalah mereka bertemu dan saling mengadu kesaktiannya. Tidak ada yang kalah dan menang. Mereka sepakat untuk berdamai dan membentuk ikatan persaudaraan. Kemudian diketahui Dungkungcangia adalah raja Tobe-Tobe. Ia menyerahkan wilayahnya masuk ke dalam kerajaan Butun. Mitos ini menggambarkan proses adapti dan integratif antara pendatang dan orang yang “lebih dahulu” tinggal di Pulau Butun. Dalam konteks masyarakat Butun sesungguhnya tidak ada pengertian penduduk “asli”.

Konon Dungkungcangia adalah salah satu panglima pasukan Khubilai Khan yang tercerai dari induknya sewaktu dipukul mundur oleh Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit. Memang dikenal ada tiga orang panglimadalam pasukan Khubilai Khan yang menyerang Jawa pada abad ke-13: Shihpi, Iheh-mi-shih, dan Kau Hsing. Entah mana yang kemudian dikenal sebagai Dungkungcangia. Menurut tradisi lokal pula disebutkan Dungkungcangia terdampar di pantai timur Butun. Sewaktu melakukan penelitian lapangan awal Agustus 1995, penulis masih dapat melihat kerangka perahu yang dipercaya penduduk Desa Wabula, sebagai perahu yang terdampar dahulu digunakan Dungkungcangia. Mereka masih merawat sebagai barang keramat. Menarik nama Wabula untuk desa di tepian pantai itu. Dalam bahasa Walio, wa (ode) menunjuk pada jenis perempuan (La (ode) = untuk laki-laki), sedangkan bula artinya putih. Dikisahkan pula bahwa ada seorang perempuan Cina yang turut dalam penumpang perahu yang terdampar itu. Menurut keyakinan setempat, penduduk di sana adalah keturunan dari “si perempuan putih” itu.

Tentang seorang manusia yang muncul dari “buluh (bambu)”, merupakan kisah lokal dari Muna. Adalah mitos terbentuknya perkampungan pertama bernama Wamelai, sekarang bagian dari Kampung Tongkuno. Komunitas ini hidup berburu dan membuka ladang. Sistem kemasyarakatannya dipimpin oleh seorang yang disebut mieno. Sewaktu sekelompok orang mencari bambu untuk membuat rumah besar untuk mieno, terjadilah suatu peristiwa. Ketika seorang mengayunkan parang menebang bambu maka terdengarlah suara “aduh kakiku” lalu ketika diayunkan ke atas sedikit terdengar lagi “aduh pinggangku” dan ketika sampai di bagian atas terdengar lagi “aduh kepalaku”. Maka dibawalah bambu itu ke Wamelai dan dijaga dengan hati-hati.

Setelah beberapa hari terdamparlah sebuah palangga di pantai yang berisi seorang perempuan. Ia adalah anak raja Luwu yang sengaja dikirim ke timur karena belum juga mendapat jodoh. Ia diberi nama Sangke Palangga dan dipertemukan dengan bambu ‘ajaib’ itu. Maka terdengarlah suara dari bambu: “inilah isteri saya”, dan dijawabnya “saya datang memang untuk tuan”. Dari bambu keluarlah seorang laki-laki yang kemudian dikenal sebagai Beteno ne Tombula. Dari pasangan inilah yang menurunkan penduduk Muna. Mitos semacam ini terdapat pula yaitu munculnya Wa Kaa Kaa seorang perempuan yang kemudian menjadi raja perempuan Butun.

Salah satu fungsi mitos memang adalah sebagai faktor integratif atau pembentuk solidaritas masyarakat. Begitulah ketika Sipanjonga berkawin dengan Sabanang, saudara perempuan Simalui, melahirkan anak laki-laki bernama Betoambari (nama bandara di Bau-Bau sekarang). Betoambari dikenal sebagai tokoh penting kerajaan Butun. Ia pula yang mengawinkan Wa Kaa Kaa, adalah puteri Batara Guru yang bermukim di langit, dengan Sibatara seorang keturunan dari Majapahit (Vonk 1937:20). Alur ceritera memang tidak usah harus dirunut dengan logis yang utama adalah bagaimana pembenaran dan legitimasi bagi sebuah tatanan sosial-politik hendak dibangun. Maka begitu pula ketika mitos dari “dunia Bugis” yang lain pun berkaitan dengan mitos-mitos di atas dalam uraian di bawah ini. Mengenai asal-usul penduduk, dikenal pula adanya mitos dari Luwu yang dianggap merupakan “the cradle of civilization” di Sulawesi Selatan. Dilihat dari perspektif Luwu, Butun dan Muna merupakan daerah “pinggiran”. Asal-usul penduduk kesultanan berasal dari kedua pulau itu, seperti di bawah ini:

“Dahulu di sini adalah air. Sampai pada suatu hari berlayarlah sebuah perahu mengarungi laut itu, yang ditumpangi seorang laki-laki bernama “SAWERIGADI”. Perahunya terdampar. Sawerigadi adalah anak raja Luwu dan oleh ibunya diperintahkan berkeliling dunia dengan membawa “ayam kuning”. Ia dianggap sebagai “orang mulia”, seorang yang menempati strata tinggi. Tempat terdamparnya perahu itu pada satu tanah besar di tengah laut, yang kemudian menjadi Pulau Muna. Juga diketahui gunung tempat perahu terdampar masih ada bernama “Gunung Bakutara” dan terletak di dekat Kota Muna dahulu. Di gunung itu masih tegak batu berbentuk perahu. Dari tempatnya terdampar, Sawerigadi berjalan menuju daratan ke Wisenekontu, dekat kampung Tanjung Batu sekarang, dari sana ia lalu kembali ke negerinya. (Wisenekontu berati “menghadap ke batu”). Raja Luwu kemudian mengirimkan sejumlah orang-orangnya pergi melihat perahu Sawerigadi. Sebagian orang-orang itu tetap tinggal dan merekalah penduduk pertama Muna” (Couvreur 1935:1, terjemahan penulis). Seperti diketahui Saweigadi(ng) adalah utama utama Sureq I La Galigo, culture hero yang dikenal luas dan dianggap sebagai faktor integratif masyarakat Sulawesi.

Ditinjau dari kebahasaan, tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Bahasa (1994) telah memetakan 16 bahasa yang diakui penduduk setempat: Moronene, Wowoni, Kulisusu, Kambowa, Kumbewaha, Cia-Cia, Gonda Baru, Todanga (kedelapan bahasa itu terdapat di Pulau Butun), Wasilomata, Muna, Jawa (di Pulau Muna), Siompu, Rahantari (Kabaena), sedangkan di kepulauan terdapat bahasa Pulo di Kapota, Kaledupa, Tomea, dan Binongko. Sementara itu Leibner membagi bahasa kemaritiman: Binongko, Tomea, Cia-Cia, Muna/Siompu dan Wolio. Bahasa Wolio adalah bahasa resmi pemerintahan Butun. Bahasa ini berfungsi mengintegrasikan wilayah-wilayah kekuasaan Butun. Oleh sebab itu kebanyakan pejabat diangkat dari penduduk yang dapat berbahasa Wolio. Bahasa ini memperoleh masukan dari unsur-unsur bahasa Melayu, Bugis, dan Arab. Beberapa contoh kosakata Wolio: “kerja” dan “harta” (Melayu) menjadi karaja dan arata. Sedangkan kosakata dari Arab khatib dan zaman menjadi hatibi dan zamani (Vonk 1937:59 dan Anceaux 1988).

Satu karakter lagi dari kemelayuan adalah kehidupan dunia maritim. Sesudah Malaka jatuh ke tangan Portugis, tampak dengan jelas gerak perpindahan pedagang muslim terutama ke timur. Maka tambah ramailah kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa dan tumbuh kembangnya Makassar dengan pelabuhannya Sombaopu. Dan ketika Gowa dikalahkan VOC 1669, maka gerak orang Bugis-Makassar berada di laut. Dalam konteks itu pula ada semacam arus balik mereka ke Kepulauan Riau. Dalam dunia pelayaran dan perdagangan, orang Butun memegang peranan penting sebagai pengangkut barang dapat anak buah kapal, termasuk pendayung yang cekatan. Ada dua akibat dalam gerak orang Butun di perairan Riau dan Selat Karimata: diukirnya nama Buton pada tempat atau daerah tertentu dan komunitas orang Buton di pesisir pulau-pulau kecil. Adapun nama yang melekat pada suatu tempat seperti pada Pulau Buton, pelabuhan Buton di Siak, dan Pangkalan Buton di Sukadana Kalimantan Barat[5]. Sejauh pengamatan singkat nama-nama Buton hanya mengingatkan bahwa dahulu pernah ada kegiatan orang Butun yang umumnya pembawa barang dengan perahu. Sedangkan jenis kedua meskipun tidak disebut sebagai nama tempat, orang Buton banyak mengambil peran sebagai nelayan, buruh atau pekerja di tingkat bawah di pulau-pulau di perairan Riau. Sebut misalnya masyarakat pesisir di Kawal Gunung Kijang yang berpenduduk orang berasal dari Buton.

Pun ada gejala lain yang menarik mengenai penyebaran orang-orang dari perairan Selat Malaka dan Riau. Tome Pires mencampuradukkan pedagang Bugis yang datang dari Makkasar dengan orang Bajo yang ia katakan sebagai bajak laut. Tampaknya ada pengaruh setelah Malaka berada di bawah Portugis terhadap pengembaraan orang Bajo. Meskipun hidup terpencar, dan dikesankan tertutup, sesungguhnya mereka berinteraksi luas. Mereka sangat aktif dalam kegiatan perdagangan berbagai jenis barang yang diperlukan bagi pasar-pasar antarbangsa, baik produk-produk laut (induk mutiara, kerang laut, kulit penyu) maupun hasil yang digali dari pantai tempat mereka tinggal atau yang mereka kunjungi, seperti akar-akar pohon hutan pantai, madu, sarang burung (Pelras 1996:17).

Orang Bajo juga tersebar di pulau-pulau Butun. Mereka mendiami wilayah pantai di Pulau Kabaena, Poleang, Muna Timur, Kepulauan Tukang Besi terutama di Kaledupa dan Tiworo (Vonk 1937:19). Selain itu mereka juga terdapat di Pasar Wajo di bagian selatan Butun. Mengenai keberadaan orang Bajo ini bukanlah suatu kebetulan. Mereka tampaknya mempunyai peran tersendiri bagi kesultanan Butun. Pada salah satu pintu sebanyak 12 di benteng kraton Butun terdapat nama Lawana Wajo. Lawa berarti pintu, na=nya, sedang wajo adalah Bajo. Pintu-pintu itu diberi nama sesuai dengan nama atau gelar petugas yang mengawasinya (Zahari 1977:I:156-7). Jadi itu dapat berarti “pintu orang Bajo”. Pintu yang dijaga atau bagi keperluan keluar masuknya orang Bajo ke kraton. Dalam konteks ini dapatlah dipahami jika diaspora maupun interaksi pelayaran orang Butun menjelajah ke bagian-bagian dari kepulauan ini.

Setelah dilihat dari perjalanan sejarahnya, maka dapatlah dikatakan bahwa Butun dan Johor mempunyai masa lampau yang dipertautkan – menurut historiografi tradisional – oleh hubungan genealogi yang mungkin sekali tidak dalam arti biologis. Sumber lokal memberi petunjuk bahwa hubungan itu merupakan pertalian kultural. Tentulah Johor ketika itu dimengerti dalam lingkup dinamika wilayah kekuasaan kesultanan ketika itu: Lingga-Riau-Johor. Dapatkah keduanya dianggap merupakan dua simpul perekat “dunia Melayu” tentu masih perlu dikaji. Demikian pula untuk mengungkap sejarah masyarakat-masyarakat Buton di perairan Riau. Meskipun tidak sebesar dan sekuat pengaruh Bugis di wilayah perairan Semenanjung dan Riau apalagi dalam hal politik, orang Butun pun menjadi unsur perekat yang menjadi dasar terbentuknya “Dunia Melayu”. Oleh karena ekspansi kolonialisme dan imperialisme Barat maka di wilayah ini telah berkembang dengan munculnya sejumlah perlawanan yang pada akhirnya melahirkan negara-negara bangsa yang merdeka. Akan tetapi dengan mempertimbangkan perspektif historis-kulturalnya “kawasan bersama” ini kiranya dapat dirancang untuk suatu kehidupan yang lebih sejahtera bersam dan adil di masa kini dan mendatang.

Daftar Pustaka
Couvreur, J. Ethnografische Overzicht van Moena, Taha (1935).

Lapian, A.B. Sejarah Nusantara Sejarah Bahari, Pidato Pengukuhan Guru Besar Luar Biasa UI, 1992.

Liebner, Horst, “Istilah-istilah Kemaritiman Dalam Bahasa-Bahasa Buton” Prosiding Konferensi dan Seminar Nasional ke-5 Masyarakat Linguistik Indonesia Proyek Kerjasama Unhas-SIL, Ujung Pandang 1990.

Ligvoet, A. “Beschrijving en Geschiedenis van Boeton” Bijdragen tet de Taal-, Land-en Volkenkunde, 1878: no 26;hlm 1-112.

Pelras, Christian, The Bugis: The People of Southeast Asia and the Pasific. Oxford: Blackwell, 1996.

Zuhdi, Susanto, “Labu Rope Labu Wana: Sejarah Butun Abad XVII-XVIII, Disertasi Universitas Indonesia 1999.

Sumber:
Makalah disampaikan pada Seminar “Identitas dan Pluralisme Melayu” yang diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI, Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) bersama Pemerintah Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, pada tanggal 29-31 Juli 2004.

[1] Dr Susanto Zuhdi adalah Lektor Kepala pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dan Asisten Deputi Urusan Sejarah Nasional Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
[2] Di Pulau Wanci banyak barang eks Singapura. Dalam tahun 1995 penulis menyaksikan pasar yang berlokasi di pedalaman yang menjual pakaian (bekas) dari Singapura. Sepeda motor tak bernomor polisi juga “berkeliaran” di sini. Banyak pembeli yang datang dari pulau-pulau terdekat.
[3] Penulis menggunakan Butun untuk mempertahankan (konteks) penyebutan dari dalam. Dalam kontrak-kontrak kesultanan dengan VOC, wilayah kekuasaannya disebut Butun. Orang Belanda yang menyebut Buton. Seperti diketahui orang Bugis/Makassar menyebut Butung. Sedangkan orang Portugis menyebut Butum.
[4] Tentang kedudukan Pulau Liyaa di sekitar perairan Riau penulis belum mengetahui. Penulis melihat ada perahu yang diberi nama “Liyana” yang bersandar di Senggarang ini.
[5] Menurut tradisi lisan dulu perahu orang Buton dapat masuk ke Sungai Sukadana jauh ke dalam kira-kira 10 km. Tempat bersandar perahu itu dikenal sebagai “pangkalan (orang) Buton”. Wawancara seorang tokoh masyarakat di Sukadana Juni 2004.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive