Pendahuluan
Museum Prabu Geusan Ulun terletak di Jalan Prabu Geusan Ulun nomor 40 yang secara administratif termasuk dalam Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Untuk dapat mengunjungi museum ini relatif mudah, karena letaknya berada di jantung Kota Sumedang dan berdekatan dengan pusat pemerintahan Kabupaten Sumedang yang berjarak sekitar 45 kilometer dari Kota Bandung atau 85 kilometer dari Cirebon.
Pada mulanya museum ini didirikan atas prakarsa Yayasan Pangeran Aria Atmaja[1] yang ingin melestarikan berbagai benda peninggalan para raja dan bupati Sumedang dari abad ke-15 hingga ke-19 Masehi atau sejak zaman kerajaan sampai masa penjajahan Belanda. Dan, setelah meminta izin kepada pihak keluarga Pangeran Sumedang serta menyiapkan segala sarana dan prasarananya, maka pada tanggal 11 November 1973 museum pun diresmikan dengan nama Museum Yayasan Pangeran Sumedang.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Maret 1974, nama Museum Yayasan Pangeran Sumedang diusulan untuk diganti pada saat diadakan seminar sejarah tentang hari jadi Kabupaten Sumedang oleh para ahli sejarah se-Jawa Barat. Dari hasil seminar tersebut akhirnya diputuskan untuk menggantinya menjadi Museum Prabu Geusan Oeloen[2].
Koleksi Museum Prabu Geusan Ulun
Museum Prabu Geusan Ulun bersifat memorial yang di dalamnya menyimpan berbagai macam benda bersejarah peninggalan para raja dan bangsawan Sumedang dari abad 15 hingga 19 Masehi. Benda-benda milik para bangsawan tersebut disimpan di empat buah gedung, yaitu: gedung Srimanganti, gedung Bumi Kaler, gedung Gendeng, dan gedung Gamelan.
Gedung Srimanganti didirikan tahun 1706 pada masa pemerintahan Dalem Tumenggung Tanoemadja (1906-1709). Gedung ini dahulu pernah dijadikan sebagai kantor dan tempat tinggal bupati Sumedang hingga tahun 1950. Selanjutnya, antara tahun 1950-1981 dialihfungsikan sebagai Kantor Pemda Sumedang sebelum akhirnya dipugar dan diserahkan pada Yayasan Pangeran Sumedang untuk dijadikan museum. Saat ini gedung Srimanganti menyimpan beberapa macam koleksi, antara lain meriam Kalantaka peningalan Belanda tahun 1656, gamelan Panglipur peninggalan Pangeran Rangga Gede (1625-1633), gamelan Pangasih peninggalan Pangeran Kornel (1791-1828), serta gamelan Sari Arum peninggalan Pangeran Sugih (1836-1882).
Gedung Bumi Kaler[3] didirikan pada tahun 1850 saat pemerintahan Pangeran Soeria Koesoemah Adinata atau Pangeran Soegih (1936-1882). Di dalam gedung Bumi Kaler disimpan beberapa kitab/naskah kuno seperti: Al Quran tulisan tangan abad ke-19, Kitab Waruga Jagat yang ditulis awal abad ke-18, serta Kitab Riwayat yang ditulis pada abad ke-19. Selain kitab, juga terdapat kumpulan koleksi mata uang dari dalam dan luar negeri, puade, tempat anak dikhitan abad 19, payung kebesaran kerajaan abad ke-17, jam berdiri, dan beberapa benda peninggalan Pangeran Soeria Atmaja.
Gedung Gendeng dibangun pada tahun 1850 oleh Pangeran Soeria Koesoemah Adinata yang awalnya digunakan sebagai tempat untuk menyimpan senjata-senjata pusaka dan gamelan peninggalan raja-raja terdahulu. Namun, setelah dipugar pada tahun 1950 koleksi pusaka dan gamelan tersebut dipindahkan ke gedung pusaka yang baru hingga sekarang.
Gedung Gamelan didirikan pada tahun 1973 atas sumbangan dari Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Ali Sadikin. Di dalam gedung ini tersimpan 10 unit gamelan, yang diantaranya adalah: gamelan Sari Oenang Parakan Salah dan gamelan Sari Oenang Mataram yang merupakan peninggalan dari Pangeran Panembahan yang berkuasa pada abad ke-17 Masehi.
Selain keempat bangunan di atas, masih ada dua buah bangunan lain yang berada dalam lingkup Museum Prabu Geusan Ulun yang mempunyai luas keseluruhan sekitar 1,8 hektar dan dikelilingi benteng setinggi 2,5 meter, yaitu gedung Negara yang dibangun tahun 1850 pada masa pemerintahan Pangeran Soeria Koesoemah Adinata dan gedung Yayasan Pangeran Sumedang yang didirikan pada tahun 1955.
Untuk menjaga seluruh koleksi museum agar tidak hilang atau rusak dan merawat bangunan yang terdiri dari ruang pameran tetap, ruang perpustakaan, ruang administrasi, dan toilet, maka pihak yayasan Pangeran Sumedang mempekerjakan 13 orang pegawai, yang rata-rata telah berusia lanjut (60-70 tahun).
Sebagai catatan, Museum Prabu Geusan Ulun dibuka untuk umum setiap jam kerja dengan perincian: Senin-Kamis dan Sabtu pukul 08.00-16.00 WIB. Hari Jumat atau hari libur nasional, museum tutup. Dan, untuk dapat mengunjungi museum pengunjung hanya dikenakan biaya masuk sebesar Rp.3.000,00 untuk orang dewasa, Rp.2.000,00 untuk anak-anak dan Rp.10.000,00 bagi wisatawan asing. (gufron)
Sumber:
[1] Yayasan Pangeran Aria Atmaja adalah sebuah badan yang didirikan pada tahun 1950 sebagai nadzir dari wakaf Pangeran Aria Suria Atmaja (Bupati Sumedang pada tahun 1883-1919), yang berupa sawah, bangunan-bangunan, benda-benda pusaka, serta gamelan-gamelan. Pada tahun 1955 Yayasan Pangeran Aria Atmaja kemudian diubah namanya menjadi Yayasan Pangeran Sumedang dengan akta No. 98 dari Mr. Tan Eng Kiam.
[2] Prabu Geusan Oeloen adalah raja Kerajaan Sumedang Larang terakhir yang memerintah dari tahun 1578-1601.
[3] Sebagai catatan, pada tahun 1980 gedung Srimanganti dan Bumi Kaler pernah dipugar oleh pemerintah melalui Jawatan Permuseuman dan Kepurbakalaan Jawa Jarat. Selesai dipugar, pada hari Rabu tanggal 21 April 1982, kedua gedung diresmikan kembali oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, Prof. Dr. Haryati Soebadio, untuk selanjutnya diserahkan kepada Yayasan Pangeran Sumedang.