(Cerita Rakyat Sulawesi Tengah)
Dahulu kala, di Danau Pamona, Sulawesi Tengah terdapat sekelompok manusia yang masih sangat sederhana. Namun walau telah menetap, mata pencaharian mereka masih seperti kelompok-kelompok nomaden yang hidup dari hasil berburu dan meramu tumbuh-tumbuhan di sekitarnya. Dengan berbekal senjata parang, tombak, panah dan sumpitan para pria dari kelompok ini berburu binatang-binatang yang berada di sekitar Danau Pamona, seperti rusa, babi hutan, pelanduk, ikan dan bahkan burung. Sedangkan para wanitanya mengambil buah-buahan dan dedaunan untuk diramu menjadi bahan makanan.
Suatu hari, perkampungan kelompok manusia ini didatangi oleh tujuh orang Hindu yang datang dari seberang lautan. Ketujuh orang Hindu ini adalah para ahli pembuat patung dari batu dan juga pelukis. Kedatangan mereka adalah untuk mencari daerah yang subur untuk dijadikan tempat tinggal. Sebenarnya, sebelum sampai di daerah Pamona mereka sempat berlabuh di Sungai Poso. Namun karena merasa tidak cocok dengan daerah tersebut, maka mereka lalu meneruskan berlayar ke hulu sungai hingga tiba di daerah Pamona.
Sesampai di Pamona mereka disambut hangat oleh penduduk di sana, sehingga mereka tertarik untuk menetap. Disamping keramahan penduduknya, ketertarikan mereka untuk menetap adalah karena daerah di sekitar Danau Pamona sangat subur jika dibandingkan dengan daerah lain di sekitarnya. Setelah beberapa waktu tinggal di Pamona dan sempat pergi pula ke daerah Napu dan Bada, akhirnya mereka memutuskan pulang ke daerahnya untuk mengajak sanak saudara beserta keluarga-keluarga Hindu lainnya menetap di Pamona.
Singkat cerita, sejak kedatangan orang-orang Hindu tersebut daerah Pamona menjadi ramai. Para pendatang tersebut tidak hanya mengajari penduduk setempat cara membuat lukisan dan patung saja, melainkan juga cara bercocok tanam. Penduduk asli Pamona pun secara berangsur-angsur mulai beralih mata pencaharian dari pemburu dan peramu menjadi petani.
Lama-kelamaan, baik penduduk asli maupun pendatang mulai menyebar ke daerah Bada dan Napu. Dan, karena telah menjadi semakin ramai, maka sedikit demi sedikit mulai timbul perselisihan diantara mereka terutama mengenai batas tanah yang digunakan untuk bercocok tanam. Untuk itu, mereka kemudian mengadakan musyawarah agar masalah-masalah yang timbul antar sesama warga dapat diselesaikan. Dan, dalam musyawarah tersebut akhirnya disepakati untuk mengangkat sorang pemimpin diantara mereka sebagai “penegak hukum” agar dapat mengatur kehidupan warga Pamona.
Namun, dalam mencari seorang pemimpin yang berwibawa, arif, dan bijaksana tidaklah mudah. Memang ada beberapa orang di antara mereka yang mencalonkan diri sebagai pemimpin, tetapi karena syarat yang ideal untuk menjadi pemimpin tidak terpenuhi, maka masyarakat pun menolaknya.
Dalam kebimbangan menentukan siapakan yang cocok menjadi pemimpin diantara mereka tersebut, tiba-tiba datang dua orang pemuda berbadan tegap dan berkulit sawo matang yang merupakan anak kandung raja Hindu. Sebenarnya mereka berjumlah tiga orang, namun yang tertua telah menetap di Sigi untuk menjadi raja di daerah itu. Sementara yang dua orang lagi diutus untuk menetap di Pamona dan Luwu.
Selama beberapa minggu kedua pemuda itu menetap dan bergaul dengan masyarakat Pamona. Mereka merasa terkesan atas keramah-tamahan penduduk Pamona. Selain itu, mereka juga merasa betah karena di daerah tersebut tinggal orang-orang Hindu yang berasal dari kerajaan yang sama dengan mereka.
Setelah dirasa cukup lama berdiam di Pamona, orang yang paling muda segera melanjutkan perjalanan ke Luwu. Ia diantar oleh 6 orang pemuda Pamona dengan menggunakan sebuah perahu melalui Danau Poso menuju ke Tandompomuaka, lalu menyeberang ke Kuala Kodina. Sesampai di Kuala Kodina, tiga orang yang mengawalnya kembali lagi ke Pomuna, sedangkan yang lainnya meneruskan perjalanan menuju Luwu. Setelah sampai di daerah Luwu, pemuda ini kemudian menetap dan akhinya menjadi raja Luwu.
Sementara pemuda yang satunya lagi yang bernama Lelealu tetap tinggal di Pamona. Lelealu adalah seorang pemuda yang arif, bijaksana dan penuh wibawa, sehingga lama-kelamaan masyarakat menganggap bahwa dia dapat dan layak untuk dijadikan sebagai pemimpin mereka. Dan, agar lebih afdol sebagai seorang pemimpin maka Lelealu pun kemudian dijodohkan dengan gadis setempat yang bernama Monogu.
Setelah menikah, Lelealu kemudian diangkat menjadi raja Pamona dengan gelar Datu Pamona-Rombenunu. Datu Pamona pun kemudian dibuatkan sebuah istana yang disebut Langkanae oleh masyarakat Pamona sebagai tempat tinggal dan juga tempat ia memerintah negeri Pamona.
Sumber:
Diadaptasi bebas dari
Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Sulawesi Tengah. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.