Nangroe Aceh Darussalam adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Di sana, tepatnya di Desa Lampisang, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar ada sebuah museum yang namanya diambilkan dari pejuang wanita Aceh, yaitu Cut Nyak Dhien. Dari pusat Kota Banda Aceh (ibukota provinsi) jaraknya sekitar 6 kilometer. Oleh karena lokasinya yang dekat dengan kota Banda Aceh, maka untuk mencapai museum ini relatif mudah, baik dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun umum jenis “labi-labi” (angkot) jurusan Pasar Aceh-Lhoknga.
Bentuk Bangunan dan Koleksi
Museum yang bangunannya berbentuk rumah tradisional Aceh ini pada mulanya adalah rumah pribadi dari seorang pejuang wanita Aceh yang diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia, yaitu Cut Nyak Dhien. Pada tahun 1893 saat terjadi Perang Aceh, rumah ini sempat dibakar oleh tentara Belanda hingga tinggal fondasinya saja yang tersisa. Setelah Indonesia merdeka, tepatnya sekitar permulaan tahun 1980-an, bekas rumah yang hanya tinggal fondasinya itu baru mulai “dilirik” oleh pemerintah untuk dibangun kembali dan dijadikan sebagai sebuah museum.
Tujuan pembangunan museum, selain untuk mengenang jasa-jasa Cut Nyak Dhien dalam mempertahankan tanah air dari penjajahan Belanda, juga dijadikan sebagai aset wisata bagi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Di dalam museum ini terdapat berbagai benda bersejarah peninggalan Cut Nyak Dhien dan suaminya Teuku Umar ketika mereka sama-sama berjuang mengusir penjajah Belanda dari tanah kelahirannya.
Riwayat Singkat Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang pada tahun 1848. Ia adalah puteri dari Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim yang masih keturunan dari Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat. Sedangkan, ibunya adalah puteri dari uleebalang Lampagar. Pada tahun 1862, saat usianya baru menginjak 12 tahun, ia sudah dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putera dari uleebalang Lamnga XIII. Namun, perkawinan itu hanya berlangsung selama 16 tahun karena pada tanggal 29 Juni 1878 Teuku Cek Ibrahim Lamnga gugur dalam pertempuran melawan pasukan Belanda di daerah Gle Tarum. Kematian Teuku Cek Ibrahim Lamnga begitu menyakitkan hati Cut Nya Dhien sehingga ia marah dan bersumpah akan menuntut balas pada pasukan Belanda. Ia pun kemudian mulai melakukan perlawanan terhadap Kapke Ulanda (Belanda kafir).
Setelah dua tahun menjanda, ia mendapat lamaran lagi dari tokoh pejuang Aceh lainnya, yaitu Teuku Umar. Awalnya ia menolak, namun karena Teuku Umar mempersilahkannya untuk ikut bertempur, akhirnya ia menerimanya. Pernikahan pun dilakukan pada tahun 1880. Dari pernikahan dengan Teuku Umar ini ia dikaruniai seorang anak yang bernama Cut Gambang.
Perkawinannya yang keduanya juga singkat (sekitar 19 tahun), karena Teuku Umar gugur dalam pertempuran melawan pasukan Belanda di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Cut Nyak Dhien bersama Cut Gambang kemudian memimpin pasukan Teuku Umar melakukan perlawanan secara gerilya terhadap Kapke Ulanda yang sangat dibencinya. Selama enam tahun ia berjuang bersama pasukannya hingga akhirnya ditangkap oleh Belanda lalu diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Dan, pada tanggal 6 November 1908 pejuang wanita yang gigih dan berani ini meninggal dan dikebumikan di daerah Gunung Puyuh, Kabupaten Sumedang. Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 2 Mei 1964 Cut Nyak Dhien resmi dinobatkan oleh pemerintah menjadi Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No. 106 Tahun 1964.
Foto: http://www.aceh.net
Sumber:
http://www.visitaceh.com
http://samanui.wordpress.com
http://id.wikipedia.org
Bentuk Bangunan dan Koleksi
Museum yang bangunannya berbentuk rumah tradisional Aceh ini pada mulanya adalah rumah pribadi dari seorang pejuang wanita Aceh yang diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia, yaitu Cut Nyak Dhien. Pada tahun 1893 saat terjadi Perang Aceh, rumah ini sempat dibakar oleh tentara Belanda hingga tinggal fondasinya saja yang tersisa. Setelah Indonesia merdeka, tepatnya sekitar permulaan tahun 1980-an, bekas rumah yang hanya tinggal fondasinya itu baru mulai “dilirik” oleh pemerintah untuk dibangun kembali dan dijadikan sebagai sebuah museum.
Tujuan pembangunan museum, selain untuk mengenang jasa-jasa Cut Nyak Dhien dalam mempertahankan tanah air dari penjajahan Belanda, juga dijadikan sebagai aset wisata bagi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Di dalam museum ini terdapat berbagai benda bersejarah peninggalan Cut Nyak Dhien dan suaminya Teuku Umar ketika mereka sama-sama berjuang mengusir penjajah Belanda dari tanah kelahirannya.
Riwayat Singkat Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang pada tahun 1848. Ia adalah puteri dari Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim yang masih keturunan dari Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat. Sedangkan, ibunya adalah puteri dari uleebalang Lampagar. Pada tahun 1862, saat usianya baru menginjak 12 tahun, ia sudah dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putera dari uleebalang Lamnga XIII. Namun, perkawinan itu hanya berlangsung selama 16 tahun karena pada tanggal 29 Juni 1878 Teuku Cek Ibrahim Lamnga gugur dalam pertempuran melawan pasukan Belanda di daerah Gle Tarum. Kematian Teuku Cek Ibrahim Lamnga begitu menyakitkan hati Cut Nya Dhien sehingga ia marah dan bersumpah akan menuntut balas pada pasukan Belanda. Ia pun kemudian mulai melakukan perlawanan terhadap Kapke Ulanda (Belanda kafir).
Setelah dua tahun menjanda, ia mendapat lamaran lagi dari tokoh pejuang Aceh lainnya, yaitu Teuku Umar. Awalnya ia menolak, namun karena Teuku Umar mempersilahkannya untuk ikut bertempur, akhirnya ia menerimanya. Pernikahan pun dilakukan pada tahun 1880. Dari pernikahan dengan Teuku Umar ini ia dikaruniai seorang anak yang bernama Cut Gambang.
Perkawinannya yang keduanya juga singkat (sekitar 19 tahun), karena Teuku Umar gugur dalam pertempuran melawan pasukan Belanda di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Cut Nyak Dhien bersama Cut Gambang kemudian memimpin pasukan Teuku Umar melakukan perlawanan secara gerilya terhadap Kapke Ulanda yang sangat dibencinya. Selama enam tahun ia berjuang bersama pasukannya hingga akhirnya ditangkap oleh Belanda lalu diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Dan, pada tanggal 6 November 1908 pejuang wanita yang gigih dan berani ini meninggal dan dikebumikan di daerah Gunung Puyuh, Kabupaten Sumedang. Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 2 Mei 1964 Cut Nyak Dhien resmi dinobatkan oleh pemerintah menjadi Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No. 106 Tahun 1964.
Foto: http://www.aceh.net
Sumber:
http://www.visitaceh.com
http://samanui.wordpress.com
http://id.wikipedia.org