Alkisah, ada sepasang suami isteri yang baru menikah bernama Pak Perjan dan Bu Perjan. Bu Perjan sebenarnya adalah seorang yang sangat sakti yang sewaktu-waktu dapat beralih wujud menjadi memedi. Kesaktian Bu Perjan ini tidak diketahui oleh suaminya, Pak Perjan. Suatu hari, Pak Perjan diajak oleh beberapa temannya untuk menebang pohon wani (mangifera kemenga) di hutan. Sebelum berangkat, Bu Perjan berpesan agar suaminya mengambil beberapa ranting pohon wani untuk dibuat palungan, alat pencelup benang.
Beberapa saat setelah suaminya pergi, mungkin karena bosan di rumah, timbul niat Bu Perjan untuk mempermainkan Pak Perjan. Ia pun kemudian membaca mantra dan menjelma menjadi memedi, lalu bergegas menyusul rombongan Pak Perjan. Karena telah menjelma menjadi memedi, maka dalam waktu singkat Bu Perjan telah sampai di hutan tempat rombongan Pak Perjan menebang pohon wani.
Di sana ia melihat suaminya tengah sibuk membuat palungan dari ranting pohon wani. Ia kemudian mendatangi suaminya sambil bernyanyi. Setelah dekat, ia mengganggu dengan cara menggoyang-goyangkan palungan yang sedang dibuat Pak Perjan. Hal ini membuat Pak Perjan menjadi kesal dan langsung melemparkan parangnya ke arah memedi yang sebenarnya adalah isterinya sendiri. Kapak tersebut tepat mengenai hidung Bu Perjan hingga putus dan membuatnya menangis kesakitan lalu cepat-cepat pulang ke rumah.
Setelah palungan pesanan Bu Perjan selesai dibuat, sore harinya Pak Perjan bersama teman-temannya pulang menuju ke rumah masing-masing. Dalam perjalanan pulang itu, di samping membawa pulang palungan Pak Perjan juga membawa potongan hidung memedi yang tadi berhasil dikapaknya. Hidung itu nantinya akan ia keringkan untuk selanjutnya disimpan di atas langit-langit sebagai jimat.
Sesampainya di rumah, Pak Perjan terkejut melihat isterinya sedang menangis di dalam kamar. Ia lalu mendatanginya dan bertanya, “Bu, mengapa engkau menangis?”
“Ketika aku sedang memetik daun kelor untuk dibuat sayur, hidungku tersambar pisau hingga putus!” jawab Bu Perjan berbohong.
“Walah,” jawab Pak Perjan terkejut, namun belum berprasangka apa-apa terhadap isterinya itu. Ia lalu melanjutkan, “Tadi aku kebetulan dapat menebas hidung memedi di hutan. Kalau dipasang mungkin akan cocok dengan hidungmu.”
Setelah itu hidung memedi tersebut yang sebenarnya adalah hidung Bu Perjan sendiri dipasangkan oleh Pak Perjan ke hidung Bu Perjan. Dan ternyata cocok, namun terlihat masih agak bengkak. Kemudian Pak Perjan menuju ke dapur membuat bubur encer untuk Bu Perjan.
Selanjutnya bubur tersebut diserahkan kepada Bu Perjan. Namun, Bu Perjan merasa bahwa bubur tersebut terlalu asin sehingga ia menyuruh suaminya untuk menambahnya dengan air. Begitu ditambah air, Bu Perjan merasa bahwa buburnya terasa hambar sehingga ia minta di tambahkan garam. Begitu seterusnya sampai sekitar lima belas kali suaminya menghidangkan bubur encer, namun Bu Perjan belum juga merasa kenyang.
Karena terus menerus harus membawa bubur dari dapur ke kamar, maka Pak Perjan pun menjadi jengkel dan segera berkata, “Engkau ambil sendiri buburnya di jambangan. Aku akan pergi mengadu ayam!”
“Yah, sudahlah. Nanti aku ambil sendiri di dapur,” jawab Bu Perjan dari dalam kamar.
Sesudah Pak Perja pergi menyabung ayam, Ibu Perjan segera bangkit dari tempat tidurnya menuju ke dapur. Kemudian, diambilnya jambangan tempat bubur itu dan dijilatinya sisa-sisa bubur yang masih menempel. Namun karena kerak bubur yang berada di dasar jambangan sulit untuk diambil, maka ia kemudian memasukkan kepalanya ke dalam jambangan dan menjelma lagi menjadi memedi agar lidahnya menjadi panjang dan dapat menjangkau seluruh isi jambangan hingga ke dasarnya.
Sesudah habis menjilati kerak yang ada di dasar jambangan, ia bermaksud ingin mengeluarkan kepalanya namun tidak bisa karena masih berwujud memedi. Namun, sebelum ia sempat menjelma lagi menjadi manusia, tiba-tiba Pak Perjan datang dan langsung menuju dapur untuk menaruh ayam jagonya. Pak Perjan terkejut melihat ada memedi yang kepalanya masuk ke dalam jambangan untuk membuat bubur. Tanpa berpikir panjang lagi ia langsung mengambil kapak dan mengayunkannya ke arah jambangan hingga pecah. Oleh karena terlalu kuat mengayun kapaknya, maka tidak hanya jambangan saja yang pecah, melainkan juga kepala sang memedi yang ada di dalamnya. Saat itu juga sang memedi tewas.
Beberapa saat kemudian, tubuh memedi itu secara berangsur-angsur kembali ke wujudnya semula menjadi Ibu Perjan. Melihat hal itu Pak Perjan hanya ternganga dan tidak percaya akan pengelihatannya sendiri. Ia tidak menyangka kalau orang yang baru saja dikawininya dapat menjelma menjadi memedi. Dan, setelah beberapa saat duduk tertegun Pak Perjan akhirnya mengangkat tubuh isterinya lalu di bawa ke halaman belakang rumah untuk dikuburkan.
Sumber:
Diadaptasi bebas dari
Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Bagian Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Bali. 2002. Cerita Rakyat Daerah Bali. Denpasar: Departeman Kebudayaan dan Pariwisata.
Beberapa saat setelah suaminya pergi, mungkin karena bosan di rumah, timbul niat Bu Perjan untuk mempermainkan Pak Perjan. Ia pun kemudian membaca mantra dan menjelma menjadi memedi, lalu bergegas menyusul rombongan Pak Perjan. Karena telah menjelma menjadi memedi, maka dalam waktu singkat Bu Perjan telah sampai di hutan tempat rombongan Pak Perjan menebang pohon wani.
Di sana ia melihat suaminya tengah sibuk membuat palungan dari ranting pohon wani. Ia kemudian mendatangi suaminya sambil bernyanyi. Setelah dekat, ia mengganggu dengan cara menggoyang-goyangkan palungan yang sedang dibuat Pak Perjan. Hal ini membuat Pak Perjan menjadi kesal dan langsung melemparkan parangnya ke arah memedi yang sebenarnya adalah isterinya sendiri. Kapak tersebut tepat mengenai hidung Bu Perjan hingga putus dan membuatnya menangis kesakitan lalu cepat-cepat pulang ke rumah.
Setelah palungan pesanan Bu Perjan selesai dibuat, sore harinya Pak Perjan bersama teman-temannya pulang menuju ke rumah masing-masing. Dalam perjalanan pulang itu, di samping membawa pulang palungan Pak Perjan juga membawa potongan hidung memedi yang tadi berhasil dikapaknya. Hidung itu nantinya akan ia keringkan untuk selanjutnya disimpan di atas langit-langit sebagai jimat.
Sesampainya di rumah, Pak Perjan terkejut melihat isterinya sedang menangis di dalam kamar. Ia lalu mendatanginya dan bertanya, “Bu, mengapa engkau menangis?”
“Ketika aku sedang memetik daun kelor untuk dibuat sayur, hidungku tersambar pisau hingga putus!” jawab Bu Perjan berbohong.
“Walah,” jawab Pak Perjan terkejut, namun belum berprasangka apa-apa terhadap isterinya itu. Ia lalu melanjutkan, “Tadi aku kebetulan dapat menebas hidung memedi di hutan. Kalau dipasang mungkin akan cocok dengan hidungmu.”
Setelah itu hidung memedi tersebut yang sebenarnya adalah hidung Bu Perjan sendiri dipasangkan oleh Pak Perjan ke hidung Bu Perjan. Dan ternyata cocok, namun terlihat masih agak bengkak. Kemudian Pak Perjan menuju ke dapur membuat bubur encer untuk Bu Perjan.
Selanjutnya bubur tersebut diserahkan kepada Bu Perjan. Namun, Bu Perjan merasa bahwa bubur tersebut terlalu asin sehingga ia menyuruh suaminya untuk menambahnya dengan air. Begitu ditambah air, Bu Perjan merasa bahwa buburnya terasa hambar sehingga ia minta di tambahkan garam. Begitu seterusnya sampai sekitar lima belas kali suaminya menghidangkan bubur encer, namun Bu Perjan belum juga merasa kenyang.
Karena terus menerus harus membawa bubur dari dapur ke kamar, maka Pak Perjan pun menjadi jengkel dan segera berkata, “Engkau ambil sendiri buburnya di jambangan. Aku akan pergi mengadu ayam!”
“Yah, sudahlah. Nanti aku ambil sendiri di dapur,” jawab Bu Perjan dari dalam kamar.
Sesudah Pak Perja pergi menyabung ayam, Ibu Perjan segera bangkit dari tempat tidurnya menuju ke dapur. Kemudian, diambilnya jambangan tempat bubur itu dan dijilatinya sisa-sisa bubur yang masih menempel. Namun karena kerak bubur yang berada di dasar jambangan sulit untuk diambil, maka ia kemudian memasukkan kepalanya ke dalam jambangan dan menjelma lagi menjadi memedi agar lidahnya menjadi panjang dan dapat menjangkau seluruh isi jambangan hingga ke dasarnya.
Sesudah habis menjilati kerak yang ada di dasar jambangan, ia bermaksud ingin mengeluarkan kepalanya namun tidak bisa karena masih berwujud memedi. Namun, sebelum ia sempat menjelma lagi menjadi manusia, tiba-tiba Pak Perjan datang dan langsung menuju dapur untuk menaruh ayam jagonya. Pak Perjan terkejut melihat ada memedi yang kepalanya masuk ke dalam jambangan untuk membuat bubur. Tanpa berpikir panjang lagi ia langsung mengambil kapak dan mengayunkannya ke arah jambangan hingga pecah. Oleh karena terlalu kuat mengayun kapaknya, maka tidak hanya jambangan saja yang pecah, melainkan juga kepala sang memedi yang ada di dalamnya. Saat itu juga sang memedi tewas.
Beberapa saat kemudian, tubuh memedi itu secara berangsur-angsur kembali ke wujudnya semula menjadi Ibu Perjan. Melihat hal itu Pak Perjan hanya ternganga dan tidak percaya akan pengelihatannya sendiri. Ia tidak menyangka kalau orang yang baru saja dikawininya dapat menjelma menjadi memedi. Dan, setelah beberapa saat duduk tertegun Pak Perjan akhirnya mengangkat tubuh isterinya lalu di bawa ke halaman belakang rumah untuk dikuburkan.
Sumber:
Diadaptasi bebas dari
Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Bagian Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Bali. 2002. Cerita Rakyat Daerah Bali. Denpasar: Departeman Kebudayaan dan Pariwisata.