Serat Pakem Tarugana1 ditulis oleh Mas Ngabei Prawirosoediro dan dicetak untuk pertama kalinya pada tahun 1887. Sebelum serat Pakem Tarugana dibuat, akibat penjajahan Belanda dalam politik Tanam Paksanya, maka jenis tanaman yang dibudidayakan oleh rakyat hanya terkonsentrasi pada tanaman perkebunan yang hasilnya laku di pasaran Eropa. Dengan demikian, rakyat kebanyakan kurang berminat atau tidak berani menanam tanaman lain yang sebenarnya sangat beragam jenisnya dan juga sangat bermanfaat.
Mas Ngabei Prawirosoediro rupanya melihat kepincangan ini, sehingga tergugah untuk menulis serat Pakem Tarugana, dengan harapan bisa mewariskan cara bercocok tanam yang sudah ada sejak zaman dulu. Kebetulan niat ini didukung oleh situasi waktu itu. Sistem Tanam Paksa dihapus dan diganti dengan Politik Etis yang bertujuan memajukan kesejahteraan rakyat. Kemungkinan pemerintah Belanda mengetahui isi serat Pakem Taruguna yang seirama dengan Politik Etis, sehingga serat ini dicetak ulang pada tahun 1909 oleh Percetakan Kanjeng Gupermen di Batavia.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa serat Pakem Tarugana yang merupakan catatan mengenai cara-cara menanam dan mengolah tanaman agar memberikan hasil yang memuaskan masih bermanfaat, karena: (1) dapat dipergunakan sebagai salah satu buku pegangan bagi para tenaga penyuluh pertanian; (2) dapat dipakai langsung oleh para petani sebagai petunjuk dalam pengolahan tanah; (3) dapat dipakai sebagai petunjuk bagi para transmigran dalam mengusahakan tanah barunya; (4) dapat dipakai petunjuk bagi penduduk pedesaan dalam usaha industri kecil; dan (5) dapat dipakai sebagai petunjuk bagi penduduk di desa maupun di kota dalam usaha kerajinan rumah.
Isi Serat Pakem Tarugana
Serat Pakem Taruguna terdiri dari 101 bab. Panjang masing-masing bab sangat bervariasi, ada yang panjang dan ada pula yang pendek. Seperti yang tertera pada judul serat, fokus uraian sebagian besar dari bab-bab tersebut adalah mengenai cara bercocok tanam. Uraian itu pada umumnya memuat cara penyampaian dan pemilihan bibit, cara penyiapan tanah sebelum ditanami, cara menanam, cara memelihara tanaman agar membuahkan hasil yang baik dan keterangan mengenai kapan sebaiknya hasil dipetik. Jenis tanaman yang diuraikan cara menanamnya dapat dikelompokkan dalam delapan bagian, yaitu: (1) tanaman padi; (2) tanaman pangan non padi, seperti jagung, kedelai, ubi jalar, singkong, kentang, talas dan lain-lain; (3) tanaman buah-buahan, seperti pisang, nenas, delima, srikaya, pepaya, jambu, jeruk, salak, semangka, mengga dan lain-lain; (4) tanaman sayuran, seperti bawang putih, bawang merah, lengkuas, lempuyang, jahe, cabe dan lain-lain; (5) tanaman perkebunan seperti tebu, aren, kelapa, pinang dan lain-lain; (6) tanaman rempah-rempah seperti: sirih, lada, kemukus dan lain-lain; (7) tanaman kayu-kayuan, seperti angsana, randu, asam dan lain-lain; dan (8) tanaman bunga, seperti: cempaka, kenanga dan lain-lain.
Di samping uraian mengenai cara menanam jenis tanaman tersebut, ada pula uraian mengenai cara penggarapan tanah. Diterangkan bagaimana cara menggarap sawah yang sering kekurangan air, ladang kering, tanah pegunungan yang dapat diolah menjadi petak-petak yang tidak cocok ditanami palawija, tanah pegunungan yang sangat miring, sawah di tanah yang datar dan subur. Keterangan ini dilengkapi dengan jenis-jenis tanaman yang cocok untuk ditanam pada masing-masing jenis tanah.
Teknologi kimia dengan bahan yang diambil dari tumbuh-tumbuhan tidak ketinggalan juga diberikan uraiannya. Bagaimana cara membuat lurik, batik, tinda, menyamak kulit dengan metode tradisional dapat dibaca dalam buku ini. Selain itu, pengetahuan tentang cara pembuatan keperluan sehari-hari juga mendapat porsi yang cukup banyak. Membuat gula kelapa, minyak kelapa, minyak wangi, topi, tempat sirih, gerabah dari tanah dan lain-lain diterangkan dengan cukup terperinci.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1 Tarugana berasal dari kata “taru” yang berarti “pohon atau tanaman” dan “gana” yang berarti “ujud”. Jadi, Tarugana dapat diartikan sebagai pedoman tentang ujud tanaman serta cara menanam berbagai macam tanaman dan cara mengolah hasilnya.
Mas Ngabei Prawirosoediro rupanya melihat kepincangan ini, sehingga tergugah untuk menulis serat Pakem Tarugana, dengan harapan bisa mewariskan cara bercocok tanam yang sudah ada sejak zaman dulu. Kebetulan niat ini didukung oleh situasi waktu itu. Sistem Tanam Paksa dihapus dan diganti dengan Politik Etis yang bertujuan memajukan kesejahteraan rakyat. Kemungkinan pemerintah Belanda mengetahui isi serat Pakem Taruguna yang seirama dengan Politik Etis, sehingga serat ini dicetak ulang pada tahun 1909 oleh Percetakan Kanjeng Gupermen di Batavia.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa serat Pakem Tarugana yang merupakan catatan mengenai cara-cara menanam dan mengolah tanaman agar memberikan hasil yang memuaskan masih bermanfaat, karena: (1) dapat dipergunakan sebagai salah satu buku pegangan bagi para tenaga penyuluh pertanian; (2) dapat dipakai langsung oleh para petani sebagai petunjuk dalam pengolahan tanah; (3) dapat dipakai sebagai petunjuk bagi para transmigran dalam mengusahakan tanah barunya; (4) dapat dipakai petunjuk bagi penduduk pedesaan dalam usaha industri kecil; dan (5) dapat dipakai sebagai petunjuk bagi penduduk di desa maupun di kota dalam usaha kerajinan rumah.
Isi Serat Pakem Tarugana
Serat Pakem Taruguna terdiri dari 101 bab. Panjang masing-masing bab sangat bervariasi, ada yang panjang dan ada pula yang pendek. Seperti yang tertera pada judul serat, fokus uraian sebagian besar dari bab-bab tersebut adalah mengenai cara bercocok tanam. Uraian itu pada umumnya memuat cara penyampaian dan pemilihan bibit, cara penyiapan tanah sebelum ditanami, cara menanam, cara memelihara tanaman agar membuahkan hasil yang baik dan keterangan mengenai kapan sebaiknya hasil dipetik. Jenis tanaman yang diuraikan cara menanamnya dapat dikelompokkan dalam delapan bagian, yaitu: (1) tanaman padi; (2) tanaman pangan non padi, seperti jagung, kedelai, ubi jalar, singkong, kentang, talas dan lain-lain; (3) tanaman buah-buahan, seperti pisang, nenas, delima, srikaya, pepaya, jambu, jeruk, salak, semangka, mengga dan lain-lain; (4) tanaman sayuran, seperti bawang putih, bawang merah, lengkuas, lempuyang, jahe, cabe dan lain-lain; (5) tanaman perkebunan seperti tebu, aren, kelapa, pinang dan lain-lain; (6) tanaman rempah-rempah seperti: sirih, lada, kemukus dan lain-lain; (7) tanaman kayu-kayuan, seperti angsana, randu, asam dan lain-lain; dan (8) tanaman bunga, seperti: cempaka, kenanga dan lain-lain.
Di samping uraian mengenai cara menanam jenis tanaman tersebut, ada pula uraian mengenai cara penggarapan tanah. Diterangkan bagaimana cara menggarap sawah yang sering kekurangan air, ladang kering, tanah pegunungan yang dapat diolah menjadi petak-petak yang tidak cocok ditanami palawija, tanah pegunungan yang sangat miring, sawah di tanah yang datar dan subur. Keterangan ini dilengkapi dengan jenis-jenis tanaman yang cocok untuk ditanam pada masing-masing jenis tanah.
Teknologi kimia dengan bahan yang diambil dari tumbuh-tumbuhan tidak ketinggalan juga diberikan uraiannya. Bagaimana cara membuat lurik, batik, tinda, menyamak kulit dengan metode tradisional dapat dibaca dalam buku ini. Selain itu, pengetahuan tentang cara pembuatan keperluan sehari-hari juga mendapat porsi yang cukup banyak. Membuat gula kelapa, minyak kelapa, minyak wangi, topi, tempat sirih, gerabah dari tanah dan lain-lain diterangkan dengan cukup terperinci.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1 Tarugana berasal dari kata “taru” yang berarti “pohon atau tanaman” dan “gana” yang berarti “ujud”. Jadi, Tarugana dapat diartikan sebagai pedoman tentang ujud tanaman serta cara menanam berbagai macam tanaman dan cara mengolah hasilnya.