Showing posts with label Seni Musik. Show all posts
Showing posts with label Seni Musik. Show all posts

Dodod

Di Kampung Pamatang, Desa Mekarwangi, Kecamatan Saketi, Pandeglang, ada sebuah kesenian tradisional gabungan dari bedug dodod dan angklung yang disebut sebagai dodod. Konon nama kesenian ini berasal dari kata dadasar (dasar/landasan) yang bermakna dasar kehidupan bagi seorang petani agar tidak menyimpang dari aturan pertanian. Selain itu, dadasar juga bermakna sebagai proses kegiatan upacara ritual tanam dan panen padi (tetanen, ngalaksa, dan rasulan) yang terwujud dalam siklus kehidupan manusia (lahir, hidup, dan mati).

Sejak kapan kesenian dodod diciptakan sudah tidak diketahui lagi, namun diperkirakan telah muncul sebagai kesenian di Kampung Pamatang sekitar tahun 1858. Waktu itu dodod digunakan untuk berbagai macam kepentingan berkaitan dengan siklus pertanian, seperti: bentuk rasa syukur kepada Dangdayang Trisnawati atas hasil panen yang melimpah dan penolak bala dari gangguan makhluk halus ketika tanaman padi terkena hama atau kemarau berkepanjangan.

Seiring waktu ada perkembangan pada fungsi pertunjukan dodod. Ia tidak lagi digunakan sebagai sarana ritual berkaitan dengan situs pertanian melainkan juga sebagai saran hiburan dan media komunikasi serta silaturrahim. Sebagai sarana hiburan, pertunjukan dodod akhirnya juga digunakan sebagai pengisi acara perkawinan, khitanan, dan bahkan Maulid Nabi. Sedangkan sebagai sarana silaturrahim dodod dapat berfungsi sebagai sarana penarik masa untuk berkumpul pada suatu tempat.

Dalam pertunjukannya dodod dapat dikategorikan sebagai helaran bersifat komunal yang memadukan unsur seni musik dan tarian ngalage, jogedan dan kreasi berupa kehidupan atau aktivtas petani di sawah. Para pemainnya didominasi oleh kaum laki-laki dengan alasan laki-laki memiliki peran penting dalam kehidupan sosial. Selain itu, karena sifatnya yang berupa helaran dengan mengangkut waditra yang cukup berat, maka hanya laki-laki yang dianggap sanggup untuk membawanya.

Adapun komposisinya terdiri atas: (a) seorang laki-laki sebagai penghulu (pemimpin upacara); (b) sembilan orang laki-laki dan perempuan peserta arak-arakan; (c) tiga orang laki-laki penabuh bedug dodod (bedug indung, bedug kurulung, dab bedug ketuk); dan (d) sembilan orang laki-laki pemain angklung (angklung indung, angklung kurulung, angklung ketuk, angklung nying-nying, angklung enclok, dan angklung gong).

Sedangkan pertunjukannya sendiri diawali dengan penyediaan sesajen berupa kemenyan dan beberpa helai daun panglay serta pembacaan jangjawokan atau mantra berbunyi Bul kukus Ratu Saranan; Ngaraning menyan kukuse ujud kang Bako; Kawula nganturkeun kukus ka danghyang di dieu; Kakaruhun di dieu, ka nu sakti kang Sinuhun; Ka mangkeuning idzin Allah Ta’ala; Kaula menta salamet.

Selanjutnya, musik dodod pun mulai berkumandang menyanyikan tiga buah lagu, yaitu Lutung Kasarung, Jalan, dan Reog. Lagu Lutung Kasarung menceritakan kosmologi masyarakat pehuma sunda berupa perkawinan Guru Minda (putra Sunan Ambu keturunan Guru Hyang Tunggal) dengan seorang putri di Negeri Pasri Batang. Isinya dibagi menjadi tiga bagian yang mengajarkan bagaimana manusia harus bercocok tanam dengan benar agar mendapat keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Sementara lagu Jalan dinyanyikan ketika arak-arakan mulai berjalan menuju sawah atau lumbung padi. Lagu Jalan berisi syair-syair pantaun yang dipercaya dapat mengusir binatang yang dapat mengakibatkan kerusakan tanaman padi. Sedangkan lagu Reog adalah lagu yang menyimbolkan kesukacitaan karena padi telah dipanen.

Ketiga buah lagu itu dimainkan saat arak-arakan mengiringi gerakan tarian. Para penari dodod ngalage (menari bersama) baik secara spontan maupun mengikuti gerakan-gerakan tertentu, misalnya: lele longser, tikukur ngadu, joged nguriling, jalan, macul, nandur, ngarambet, dan metik.

Gamelan Ajeng Betawi

Menurut Kridalaksana,dkk (2001:76) gamelan adalah alat musik tradisional khas Pulau Jawa yang terbuat dari perunggu (campuran timah dan tembaga dengan perbandingan 3:10). Alat musik tradisional ini memiliki dua nada, yaitu slendro dan pelog. Nada slendro berfungsi untuk menggambarkan perasaan gembira, riang, dan lincah. Sebaliknya, nada pelog menggambarkan perasaan hati yang sedih (Sugeng, 2013:75).

Di salah satu wilayah Pulau Jawa, tepatnya di DKI Jakarta, ada sebuah gamelan bernada slendro yang dikenal dengan nama gamelan ajeng. Diperkirakan gamelan ajeng adalah ensembel tradisional yang merupakan campuran antara gamelan Sunda dan Bali (Saputra, dkk 2014:10). Pengaruh kedua daerah tersebut terdapat pada waditra yang digunakan serta irama cepat dan lincah berkisar pada nada-nada pentatonis D-E-GA-C atau re-mi-sol-la-do (Simanungkalit, 2008:28).

Gamelan ajeng dahulu difungsikan sebagai sarana penyemarak upacara adat dalam rangka lingkaran hidup seseorang (perkawinan dan sunatan) serta nazar dan ungkapan rasa syukur setelah panen (babarit/baritan). Menurut encyclopedia.jakarta-tourism.go.id, pada masa itu gamelan ajeng dianggap sakral. Waditranya, yaitu dua buah gong besar (gong lanang dan gong wadon) hanya boleh ditabuh pada sebuah pajengan atau panggung khusus setinggi dua meter.

Seiring waktu, kesenian yang lahir sebagai bentuk dari pemuasan kebutuhan manusia akan rasa keindahan ini difungsikan pula sebagai pengiring wayang kulit Betawi, wayang wong Betawi, Tari Belenggo Ajeng, dan Tari Topeng Gong. Bahkan, di beberapa tempat juga digunakan untuk memainkan lagu-lagu Sunda mengiringi Tari Jaipong (warisanbudaya.kemdikbud.go.id).

Adapun waditra digunakan, adalah: gong, kromong, saron, kedemung, terompet, ketuk, kecrek, dan gendang. Berikut adalah instrumen musik tradisional yang biasa digunakan dalam ensambel gamelan ajeng:

a. Kromong
Bentuk kromong mirip seperti bonang, yaitu kumpulan 10 buah gong "pecon" terbuat dari perunggu atau kuningan yang disusun dua baris dalam sebuah rak kayu. Di dalam rak terdapat kotak-kotak kecil untuk menaruh pecon dengan bagian bawah dipasang tali penyangga. Tiap baris berisi lima buah gong dengan nada siang-liuh-u-kong-che pada baris pertama (luar) dan nada che-kong-siang-liuh-u pada baris kedua (dalam). Kromong dibunyikan secara berbarengan antara baris luar dan dalam menggunakan dua buah kayu lonjong dengan ujung berbalut kain atau benang dalam tiga tabuhan: dilagu (menurut lagu), dikemprang/digembyang, dan Dicaruk/dikotek/diracik.

b. Saron
Saron berbentuk menyerupai perahu dengan bagian atas berupa jejeran bilah terbuat dari perunggu, kuningan, atau besi. Alat ini berfungsi sebagai pengisi melodi utama dalam gamelan ajeng. Ia dimainkan dengan cara dipukul dengan alat terbuat dari kayu.

c. Kedemung
Kedemung atau biasa juga disebut demung berbentuk menyerupai saron. Fungsinya hanyalah untuk mengiringi saron sebagai melodi utama karena suara yang dihasilkan bernada oktaf rendah.

d. Kecrek
Kecrek terbentuk dari dua hingga empat lempengan logam tipis (besi, kuningan, perunggu) yang disusun diatas sebuah papan kayu. Alat yang berfungsi sebagai pengatur irama dan untuk menimbulkan efek bunyi tertentu ini dimainkan dengan cara dipukul menggunakan palu khusus atau tongkat kayu pendek hingga menghasilkan bunyi crek-crek-crek.

e. Ketuk
Bentuk ketuk menyerupai bonang namun lebih pipih. Ketuk berfungsi sebagai pemberi tekanan serta penyeimbang melodi lagu.

f. Gong dan Kempul
Gong dan kempul terbuat dari kuningan atau perunggu berbentuk lingkaran yang bagian tengahnya menonjol (kenop). Gong berukuran sekitar 85 centimeter berfungsi sebagai penentu irama dasar, sementara kempul berukuran sekitar 45 centimeter berfungsi sebagai pewatas ritme melodi. Oleh karena ukuran gong dan kempul yang relatif besar tersebut, maka umumnya digantung pada sebuah gawangan kayu. Caranya adalah dengan melubangi sisinya sebagai tempat mengikat tali untuk digantungkan pada gawangan kayu berukir motif bunga, sulur dan ular naga setinggi satu meter. Gong dan kempul dibunyikan dengan cara dipukul dari samping pada bagian kenop menggunakan tongkat kayu berujung bulat berlapis kain.

g. Terompet
Bentuknya sama seperti terompet tradisional pada umumnya dengan lima buah lubang berlaras slendro dan bernada do-re-mi-sol-la. Fungsi terompet adalah sebagai pembawa melodi utama sekaligus ciri pembeda dari sejumlah kesenian sejenis lainnya.

h. Gendang
Gendang atau kendang terbuat dari kayu berbentuk silinder berongga yang kembung di bagian tengahnya. Pada kedua pangkal gendang berbentuk lingkaran ditutup dengan kulit kambing atau kerbau yang tidak sama besarnya. Bentuk gendang semacam ini biasa disebut sebagai kerucut pepet dan berfungsi sebagai instrumen pengatur irama. Dalam setiap pementasan umumnya terdapat sebuah kerucut pepet dan satu atau dua buah gendang kecil yang disebut ketipung, tepak, tipluk atau kulanter. Kerucut pepet ditempatkan pada dudukan kayu silang kecil di depan, sedangkan ketipung berada di samping kiri atau di pangkuan pemain.

i. Bende
Bentuk bende menyerupai kempul (lingkaran yang bagian tengahnya menonjol) namun ditambah dengan kecemes, peralatan yang biasa digunakan dalam seni gendang beleq di Bali dan Nusa Tenggara Barat. Bende dibunyikan dengan cara dipukul dari samping pada bagian kenop menggunakan tongkat kayu tanpa lapisan kain di bagian ujungnya.

Seluruh waditra tadi umumnya selalu ada dalam setiap pementasan gamelan ajeng. Namun, apabila pementasan dilakukan dalam bentuk arak-arakan pengiring pengantin atau khitanan, biasanya hanya membawa beberapa waditra saja, khususnya waditra yang tidak terlalu berat (kenong, bende, kempul, dan terompet) ketika dimainkan sambil berkeliling kampung.

Pertunjukan Gamelan Ajeng Betawi
Bagi orang yang ingin memesan gamelan ajeng akan mendatangi pemilik atau pimpinan group untuk bernegosiasi guna menentukan tarif, waktu pelaksanaan, serta lama pertunjukan. Apabila terjadi kesepakatan, pemesan akan menyerahkan sejumlah “uang ikatan” (deposit) sebagai “tanda jadi”.

Selanjutnya, pimpinan group akan mengumpulkan para pemain untuk mendiskusikan waktu pementasan yang sebelumnya telah disepakati dengan pemesan. Apabila ada pemain yang berhalangan hadir karena rumahnya cukup jauh atau lumayan tenar di kalangan seniman, dia akan mendatangi dan memberikan sejumlah uang sebagai panjer. Tujuannya adalah agar si pemain datang saat pementasan.

Apabila seluruh pemain telah sepakat, pimpinan group akan bernegosiasi lagi dengan pemesan mengenai waktu pelaksanaan. Khusus untuk pementasan dalam acara perkawinan, biasanya pemesan akan menyesuaikan jadwal pementasan gamelan ajeng bertepatan dengan kedatangan calon besan. Atau, apabila pemesan juga mengundang kesenian lain (organ tunggal), maka waktu pementasan bergantung pada kemauan pemesan (bisa sebelum atau sesudah kesenian lain dipentaskan).

Pada saat hari H, satu setengah atau dua jam sebelumnya rombongan gamelan ajeng akan tiba di lokasi. Dahulu untuk mengangkut seluruh personil beserta waditra gamelan ajeng hanya menggunakan satu buah mobil bak terbuka. Saat ini, seiring penggunaan sound system sebagai penunjang performa, paling tidak perlu dua buah mobil pengangkut. Mobil pertama membawa para pemain, sedangkan mobil kedua mengangkut waditra, sound system, dan beberapa orang cantrik.

Para cantriklah yang kemudian menata waditra dan sound system di atas panggung dalam dua barisan. Baris depan terdiri atas kromong, saron, dan gong, sementara baris di belakangnya ada kedemung, ketuk, kecrek, dan terompet. Sedangkan sound system berada di bagian paling belakang dengan jumlah speaker bergantung pada luas panggung. Sebagai catatan, sebelum ada sound system untuk pengera suara digunakan toa yang diletakkan di bagian sisi barisan waditra.

Setelah waditra terpasang dan acara akan dimulai pimpinan group melakukan semacam ritual guna kelancaran pertunjukan. Adapun tempatnya di depan waditra paling sakral yaitu gong lanang dan wadon. Sebagai medianya (sesajen) disediakan kemenyan bukhur berbentuk segitiga, kopi pahit, kopi manis, segelas susu, kembang tujuh rupa, the pahit, the manis, sepiring lauk pauk beserta nasi, dan buah pisang. Penyedia sesajen adalah si empunya hajat. Jadi, jika empunya hajat tergolong orang berada, sesajen dapat ditambah bekakak hayam, beberapa bungkus rokok kretek, dan lain sebagainya.

Selesai ritual gamelan mulai ditabuh dengan lagu pembuka berirama cepat (giro). Kemudian dilanjut dengan lagu renggong utikan lambung 1 dan 2, serta lagu-lagu bebas (Anak Ayam, Cioda, Metid, Menurun, Tabuhan Betawi, Tayub, Kopyor, Serondeng, dan lain sebagainya) hingga menjelang magrib ditutup dengan lagu Uti-uti Uri (matahari terbenam).

Setelah isya pertunjukan dimulai lagi dengan lagu giro sebagai pembuka. Selanjutnya barulah lagu-lagu bebas khas gamelan ajeng. Pada saat lagu-lagu bebas diselingi dengan acara nyurup atau meminta lagu. Dalam hal ini penonton dapat me-request lagu sesuai keinginan mereka. Sebagai tanda nyurup mereka akan nyawer sejumlah uang atau rokok kepada para pemain.

Menjelang tengah malam, acara nyurup ditutup dengan dimainkannya kembali lagu giro. Dan, dengan berakhirnya lagu giro maka berakhir pula pertunjukan gamelan ajeng. Pemain turun dari panggung diganti oleh para cantrik membereskan waditra serta sound system. (ali gufron)

Angklung Buhun

Angklung adalah alat musik bambu bernada ganda (multitonal) yang dibunyikan dengan cara digoyangkan atau digetarkan. Alat musik ini hampir ada di seluruh wilayah Jawa Barat dan Banten. Salah satunya di Desa Kanekes, Leuwidamar, Lebak, tempat bermukim orang-orang Baduy. Mereka memiliki sejenis angklung yang diberi nama angklung buhun atau angklung kanekes atau angklung baduy.

Sesuai dengan namanya, yaitu “buhun” atau “tua”, angklung ini dipercaya sudah ada sejak terbentuknya masyarakat adat Baduy (banten.idntimes.com). Oleh karena itu, ia dianggap sakral dan menurut id.wikipedia.org, hanya boleh dibuat oleh orang-orang Baduy dalam (Kajeron) di Kampung Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Itu pun hanya mereka yang masih merupakan keturunan para leluhur pembuat angklung.

Adapun bentuk angklungnya agak berbeda dibanding angklung dari daerah lain di Jawa Barat dan Banten. Sebuah angklung buhun terdiri dari lima bilah bambu yang diberi hiasan merumbai berupa batang padi atau daun panjang diikat secara berkelompok di bagian atasnya. Jumlah bilah yang terbatas tadi membuat angklung sulit digunakan sebagai pengiring vokal atau lagu karena nadanya terbatas.

Dalam kehidupan masyarakat Baduy angklung buhun (juga merupakan nama kesenian) bukan digunakan sebagai sarana hiburan semata melainkan untuk prosesi adat berhubungan dengan siklus penanaman padi, khususnya tahap ngaseuk atau membuat lubang guna mamasukkan benih padi huma. Sebelum benih ditanam akan dipertunjukkan ngalage oleh penari sembari mengarak setumpuk padi yang dikaitkan di bambu menuju ke balai warga. Sepanjang perjalanan, arak-arakan akan diiringi oleh angklung buhun dan dogdog lojor.

Namun, dalam perkembangan selanjutnya angklung buhun tidak hanya dimainkan saat ngaseuk saja, melainkan juga dalam upacara adat lain seperti seren tahun sebagai ungkapan rasa syukur setelah panen dan seba ketika menghadap pimpinan (bupati atau gubernur Banten) sebagai penghormatan terhadap keberadaan pemerintahan negara (merahputih.com).

Ketika mengiringi upacara adat tersebut, sejumlah sembilan buah instrumen angklung buhun berbagai jenis (ringkung, dimping, dondong, engklok, indung leutik, trolok, reol 1, dan reol 2) akan dimainkan bersama tiga buah bedug kecil panjang (bedug berukuran 60x40 centimeter, telingtung berukuran 50x30 centimeter, dan ketug berukuran 50x25 centimeter) oleh laki-laki Baduy. Mereka mengenakan busaha khas Baduy berupa baju lengan panjang dan celana pendek berwarna hitam disertai ikat kepala kain berwarna biru tua.

Sedangkan pertunjukannya sendiri (apabila dipentaskan saat ngaseuk) diawali dengan sebuah ritual khusus berupa sesajen terdiri atas bakakak hayam, nasi, kue tujuh rupa, kembang tujuh rupa, sirih, air putih, rokok dan kemenyan. Setelah sesajen tersedia dan pemain berdiri sambil berjalan dalam formasi melingkar, kuncen atau pawang yang berada di tengah lingkaran akan membacakan doa sembari membakar kemenyan.

Selesai doa pemain mulai berjalan berputar dari arah kanan ke kiri sambil tetembangan lirih seperti merintih. Di sela-sela tarian berputar, diselingi pula adu kekuatan antar pemain dengan saling mengadu badan hingga terjatuh atau tersungkur. Begitu seterusnya hingga ada yang menyerah sebagai tanda berakhirnya pergelaran angklung buhun. Selanjutnya mereka akan bergabung guna menyaksikan kuncen menguburkan sesajen sebagai tanda bahwa lahan sudah boleh ditanami. (ali gufron)

Sumber:
“Angklung Kanekes”, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Angklung, tanggal 5 Februari 2022.

“Mengenal Angklung Buhun, Alat Musik Sakral Suku Baduy”, diangses dari https://banten.idntimes.com/news/banten/muhammad-iqbal-15/mengenal-angklung-buhun-alat-musik-sakral-suku-baduy/4, tanggal 5 Februari 2022.

“Angklung Buhun Pusaka Identitas Masyarakat Baduy”, diakses dari https://merahputih.com/post/read/angklung-buhun-alat-musik-tua-masyarakat-baduy, tanggal 5 Februari 2022.

Angklung Bungko

Sesuai dengan namanya, angklung ini berasal dari Desa Bungko, Kecamatan Kepatekan, Kabupaten Cirebon. Angklung bungko adalah musik pengiring bagi tarian euforia karena menang melawan pasukan Pangeran Pekik (Ki Ageng Petakan) pada masa awal kedatangan Islam (menjelang abad ke-17) yang disebabkan oleh perbedaan prinsip-prinsip ajaran islam yang telah diajarkan oleh Sunan Gunung Jati. Oleh karena itu, gerakan-gerakan tari yang diiringi angklung bungko merupakan gambaran dari peperangan dengan para penari menggunakan kostum ikat kepala batik, baju putih, keris, serta soder.

Ada empat tarian dalam angklung bungko, antara lain 1. Panji,menggambarkan sikap berzikir. 2. Benteleye, menggambarkan sikap bertindak dalam menghadapi rintangan di perjalanan. 3. Bebek ngoyor,menggambarkan jerih payah dalam upaya untuk mencapai tujuan. 4. Ayam alas, menggambarkan kelincahan dalam mencari sasaran pemilih.

Atas gagasan Syeh Bentong atau Ki Gede Bungko, angklung bungko tetap dipertahankan dan dimanfaatkan untuk menyebarkan agama Islam. Ki Ageng Bungko (Ki Puyunan) sebagai anutan yang berjiwa egaliter dan banyak jasa semasa hidupnya, kini seolah-olah menjadi simbol kehebatan masyarakat bungko. Karena itu untuk mengenang jasa-jasa leluhurnya, mereka mengimplementasikannya dalam upacara ritual adat yang dikenal dengan ngunjung.

Dukke

Dukke atau guttha adalah sebuah kesenian tradisional yang ada pada masyarakat pedesaan di Pamekasan, Madura. Kesenian ini biasanya disajikan saat terang bulan (dari tanggal 10 sampai dengan bulan purnama). Konon, kesenian dukke bermula dari kebiasaan para petani Pamekasan ketika memisahkan butir padi dari batangnya (penumbukan padi). Penumbukkan itu biasanya dilakukan oleh 4 atau 5 orang. Secara bergiliran (silih berganti) mereka mengarahkan alu-nya ke ronjangan (lubang lesung). Pekerjaan yang monoton ini sudah barang tentu tidak lepas dari kebosanan dan tentu saja juga kelelahan. Ketika itu terjadi, salah seorang penumbuk mengarahkan alu-nya ke bagian tepi lesung. Ternyata mengeluarkan bunyi atau nada yang berbeda. Dan, antara tepian yang satu dan lainnya mengeluarkan nada yang berbeda. Apabila dilakukan secara bersamaan dan atau bergiliran membuahkan paduan bunyi yang mengasyikkan. Penemuan itulah yang kemudian melahirkan sebuah seni-musik yang disebut dukke. Pada masa lalu dapat dikatakan menjelang bulan purnama dan pada saat bulan purnama dukke terdengar di mana-mana karena setiap kampung ada yang memainkannya. Namun, dewasa ini hal itu jarang terjadi lagi (kalau tidak boleh dikatakan tidak ada lagi). Salah satu penyebabnya adalah pemisahan butir padi dari batangnya dan pemberasan tidak menggunakan lesung lagi.

Kalanengan

Kalanengan atau tabbhuwan, kleningan, kalaningan, keleningan, ghamelan adalah salah satu kesenian khas yang ada di Kabupaten Sumenep, Madura. Awalnya kesenian ini berkembang di lingkungan istana (kalangan bangsawan). Namun, seiring waktu menjadi salah satu kesenian rakyat Madura. Kalanengan hampir selalu berdasarkan dasar-nada pentatonis salindru (salendro).

Kesenian kalanengan biasanya menggunakan waditra berupa gendang berkulit dua, suling bambu, siter, dan ghambhang. Jumlah pemainnya 9-14 orang. Dalam suatu pergelaran, mereka duduk bersila di depan waditra yang diletakkan di lantai dalam ruang yang biasanya sangat terbatas. Oleh karena itu, para pemain terpaksa mengatur waditra dan tempat duduk sedemikian rupa agar pergelaran dapat berjalan secara lancar. Dibandingkan dengan gamelan slendro dari Jawa Tengah atau Jawa Timur, jumlah gong yang dimiliki kalanengan tidak banyak. Selain itu, tidak ada rebab dan kennong.

Orkes Tongtong

Tongtong adalah istilah yang berasal dari tiruan bunyi yang digunakan untuk menyebut satu kelompok alat musik sejenis kentongan yang terbuat dari bambu. Selain itu, tongtong juga digunakan untuk menyebut orkes musik yang terdiri dari sejumlah tongtong.

Orkes tongtong pada umumnya dibentuk (ada) pada bulan Ramadhan (puasa). Jenis alat musiknya beraneka ragam. Sedangkan, ukurannya bergantung pada dana yang tersedia, keterampilan, dan tingkahnya. Setiap kelompok dapat menambahkan berbagai alat musik lainnya, seperti: gendhang, kencer, kerca, dan pekeng. Susunan orkes dapat berubah-ubah menurut jam, kelelahan anggota rombongan, atau pun pertengkaran. Orkes ini pada dasarnya bertujuan untuk membangunkan orang yang berpuasa dan sekaligus mengingatkan agar bersaur sebelum matahari terbit. Oleh karena itu, mestinya dilakukan menjelang subuh (antara pukul 02.00 dan 03.00 WIB). Akan tetapi, anak-anak muda cenderung bermain pada awal atau tengah malam agar waktunya lebih lama.

Orkes tongtong selalu dimainkan berdasarkan improvisasi dan formula ritmis yang cukup pendek (diulang-ulang oleh satu atau beberapa alat sekaligus). Alat perkusi yang lebih rendah bunyinya (gendhang) menyusun irama jalin-menjalin yang merupakan struktur keseluruhan permainan. Sementara, tongtong itu sendiri mengisi sinkope yang disediakan oleh perkusi rendah. Penambahn alat perkusi rendah dan keras pada tongtong pada gilirannya membuat orkes semakin mempesona. Akan tetapi, kini yang menonjol adalah bunyi kerca dengan latar belakang suara yang rendah. Sedangkan, tongtong terdengar sebagai bunyi pinggiran, bagaikan sulaman ritmis ringan dalam panduan ritme-ritme alat perkusi yang bersuara rendah.

Ghul-ghul

Ghul-ghul adalah salah satu bentuk kesenian yang berkembang di Kabupaten Sumenep, khususnya di Kecamatan Lenteng Timur. Kesenian ini sangat unik karena dipergelarkan dalam rangka mengiringi kelajuan (terbangnya) burung merpati. Ghul-ghul adalah kependekan dari kata “gul-onggulen” , yaitu punuk (benjolan yang ada di punggung sapi). Versi yang lain mengatakan bahwa nama ghul-ghul diambil dari salah satu alat musiknya, yaitu gendang yang bagian tengahnya menggelembung. Sebab, awalnya musik ini didominasi oleh gendang. Namun, dalam perkembangannya memasukkan berbagai alat musik lainnya. Dalam setiap penampilan membutuhkan 10 orang pemain (minimal). Adapun peralatan musik yang dimainkan terdiri atas: 3 tul-tul (gendang yang berukuran sedang), sebuah gendang besar, sebuah gendang kecil, sebuah gong, sebuah seruling, sebuah kerca, sebuah saronen, sebuah gaghambang, dan sebuah kerca.

Di masa lalu hampir setiap desa yang ada di Kecamatan Lenteng Timur ada organisasi yang berkenaan dengan musik ghul-ghul. Akan tetapi, dewasa ini tidak tampak lagi, kecuali di Desa Lenteng Timur. Di desa ini para pencintanya membentuk organisasi yang bernama “Perkumpulan Dara Gettak”. Setiap hari Sabtu mereka mengadakan pertemuan dan pertunjukkan dengan lokasi yang berbeda. Pertemuan biasanya dimulai pukul 14.00 WIB sampai menjelang senja. Sembari menunggu anggota yang belum datang, mereka memainkan instrumen ghul-ghul yang berirama sarka (mars). Setelah seluruh anggota datang, irama musik diganti dengan irama yang lebih lembut. Mereka membawa burung merpati jenis jambul ysng dimasukkan dalam sangkar tertutup. Ketika hari mulai senja, maka acara pelepasan merpati dilakukan. Masing-masing anggota, dengan merpati yang ada dalam sangkarnya, bersiap-siap dalam posisi duduk (jongkok). Begitu ada aba-aba, para anggota membuka pintu sangkar, sehingga merpati berhamburan menghiasi angkasa, kemudian kembali sarang masing-masing Jika pada saat yang diitentukan ada merpati yang belum pulang, maka alat musik tul-tul diperdengarkan (ditabuh). Dalam tempo beberapa menit biasanya merpati tersebut akan datang (pulang). Dan, dengan masuknya semua merpati ke sangkar masing-masing, maka berakhirlah permainan ini.

Gambang Kromong

Pada masyarakat Betawi ada sebuah kesenian melalui media bunyi sebagai ungkapan ekspresi yang dinamakan sebagai gambang kromong. Kesenian ini populer sekitar tahun 1930-an di kalangan masyarakat Tionghoa Peranakan yang sekarang dikenal dengan nama Cina Benteng (jakarta.go.id). Masih menurut jakarta.go.id, gambang kromong pertama kali muncul hanya bernama gambang. Namun sejak awal abad ke-20 menjadi gambang kromong karena ada penambahan instrumen berupa kromong. Adapun orang yang memprakarsainya adalah Nie Hoe Kong.

Oleh masyarakat Betawi gambang kromong difungsikan sebagai sarana penyemarak upacara adat dalam rangka lingkaran hidup seseorang (perkawinan, nazar, dan sunatan). Dalam pementasannya, kesenian yang lahir sebagai bentuk dari pemuasan kebutuhan manusia akan rasa keindahan ini digunakan sebagai pengiring teater lenong, tari cokek, dan hiburan khas Betawi lainnya.

Pemain
Struktur organisasi sebuah group gambang kromong terdapat seorang pemimpin yang bertugas mulai dari mengkoordinir anggota, mencari penanggap, menentukan harga pentas, hingga upah bagi panjak (pemain) berdasarkan keahlian yang dimiliki. Seorang pemimpin sebuah group gambang kromong dapat merangkap sebagai pemilik, anak/kerabat pemilik atau panjak yang diberi wewenang oleh pemimpin sebelumnya.

Selain pemimpin, sebuah group gambang kromong juga memiliki panjak (pemain) antara 8-25 orang, bergantung pada jenis musik yang dibawakan serta pesanan penanggapnya. Jumlah ini ada kaitannya dengan peranan panjak dalam setiap pementasan. Dalam konteks ini ada yang berperan sebagai: panjak gambang, panjak kromong, panjak teh-hian, panjak kong-a-hian, panjak su-kong, panjak gong dan kempul, panjak gong enam, panjak ningnong, panjak kecrek, panjak bangsing, terompet, organ, gitar melodi, bas elektrik, drum, penyanyi, penari, dan bahkan panjak lenong.

Keahlian seorang panjak dapat diperoleh melalui dua cara, yaitu belajar pada para panjak yang sudah malang melintang di dunia kesenian Betawi atau diwariskan oleh orang tua. Bagi orang-orang yang bukan berasal dari keluarga seniman tetapi memiliki bakat dan tekad yang kuat untuk menjadi seniman, cara belajarnya dengan magang pada satu atau beberapa sanggar seni.

Seorang panjak dapat bermain di mana saja. Ia dapat ngamen bersama groupnya maupun group lain yang sedang membutuhkan panjak tambahan atau pengganti sementara untuk mengisi kekosongan formasi. Adapun aturan mainnya sangatlah sederhana, seorang panjak boleh bermain pada group atau kelompok lain apabila groupnya sedang tidak ada kegiatan (ngamen). Selain aturan pinjam yang sederhana, prosesnya juga fleksibel, yaitu dapat minta izin pada pimpinan kelompoknya atau menghubungi langsung pada panjak yang akan diminta jasanya. Apabila setuju, sang panjak langsung bergabung tanpa perlu memberitahukan pada pimpinan kelompoknya. Honor yang didapat juga sepenuhnya milik sang panjak tanpa harus disetorkan, dipotong, atau diberitahukan pada pimpinan kelompoknya.

Instrumen Gambang Kromong
Sesuai dengan namanya, kesenian gambang kromong menggunakan dua buah alat musik utama berupa gambang dan seperangkat kromong. Keduanya selalu disertai oleh instrumen atau alat musik lain sebagai pelengkap, yaitu: su-kong, teh-hian, kong-a-hian, bangsing (seruling), gong, gendang, kecrek (pan), dan ningnong (sio-lo). Selain instrumen tadi, Kwa (2013) mencatat ada lima buah instrumen yang sekarang sudah tidak dimainkan lagi, yaitu ji-hian (instrumen gesek berdawai dua), ho-sian (instrumen gesek berdawai dua), sam-hian (instrumen gesek berdawai tiga), gweh-khim (semacam gitar berbentuk bulat berdawai dua), dan juanto (semacam terompet berlubang tujuh buah). Nada musiknya hanya memakai lima buah nada (pentatonis) yang mempunyai nama dalam bahasa Tionghoa, yakni: liuh = sol (g), u = la (a), siang = do (c), che = re (d), dan kong = mi (e). Tidak ada nada fa = f dan si = b seperti dalam musik diatonis khas Barat. Larasnya pun selendro khas Tionghoa sehingga biasa disebut selendro cina atau selendro mandalungan.

Apabila jenis lagu yang dimainkan adalah lagu sayur, maka ditambah lagi dengan instrumen musik modern seperti gitar elektrik, bas elektrik, terompet, saxophone, organ, dan bahkan drum. Menurut Sukotjo (2012), masuknya instrumen musik Barat dalam ensambel gambang kromong membuat musik tersebut harus menyesuaikan dengan tanga nada diatonis (tujuh nada) pada pola permainannya. Adapun urutan nada pokok diatonis yang dipergunakan dalam pola permainannya menjadi c (do), d (re), e (mi), f (fa), g (sol), a (la), dan b (si).

Penambahan alat-alat musik modern menciptakan pro dan kontra di kalangan seniman maupun penikmat musik gambang kromong. Bagi yang setuju berpendapat bahwa pengkolaborasian gambang kromong dengan alat musik modern dapat memperkaya karya seni yang dihasilkan. Jadi, boleh dilakukan asalkan alat-alat musik yang asli (gambang, kromong, teh-hian, dsb) tetap dipertahankan agar tidak kehilangan "roh"nya. Sementara bagi mereka yang kontra berpendapat bahwa pengkolaborasian dengan alat musik modern akan membuat bergesernya aturan-aturan yang menjadi suatu patokan dalam pola permainan gambang kromong. Perubahan dari nada pentatonis menjadi diatonis akan memberikan nuansa yang berbeda dalam karakteristik musik gambang kromong. Hal ini dapat dilihat dalam dominasi penggunaan gitar elektrik dan saxophone ketimbang instrumen gambang dan teh-hian sebagai musik pembukanya (intro).

Berikut adalah instrumen musik tradisional bernada pentatonis yang biasa digunakan dalam orkes gambang kromong:
a. Gambang
Bentuk resonator gambang menyerupai sebuah perahu dengan bagian atas dipasang bilah-bilah kayu manggarawan, suangking, atau huru batu berbentuk empat persegi panjang. Jumlah bilahnya ada 18 buah dan dibagi dalam dua gembyang (oktaf) dengan nada terendah adalah liuh (a) dan nada tertinggi siang (c). Bilah gambang berukuran panjang antara 29-58 centimeter dan "dikunci" menggunakan paku pada bagian atas resonator agar tidak goyah. Cara memainkannya dengan dipukul menggunakan dua buah kayu sepanjang 30-35 centimeter berujung bulat berlapis kain dalam dua tabuham, yaitu dilagu (menurut lagu) dan dicaruk atau dikotek.

b. Kromong
Bentuk kromong mirip seperti bonang, yaitu kumpulan 10 buah gong "pecon" terbuat dari perunggu atau kuningan yang disusun dua baris dalam sebuah rak kayu. Di dalam rak terdapat kotak-kotak kecil untuk menaruh pecon dengan bagian bawah dipasang tali penyangga. Tiap baris berisi lima buah gong dengan nada siang-liuh-u-kong-che pada baris pertama (luar) dan nada che-kong-siang-liuh-u pada baris kedua (dalam). Kromong dibunyikan secara berbarengan antara baris luar dan dalam menggunakan dua buah kayu lonjong dengan ujung berbalut kain atau benang dalam tiga tabuhan: dilagu (menurut lagu), dikemprang/digembyang, dan Dicaruk/dikotek/diracik.

c. Kong-a-hian, Teh-hian, dan Su-kong
Kong-a-hian, Teh-hian, dan Su-kong mempunyai bentuk sama, hanya ukuran resonator dan gagangnya yang berbeda. Ukuran paling kecil adalah kong-a-hian bernada liuh (g) dan che (d), sedang teh-hian bernada siang (e) dan liuh (g), serta terbesar disebut su-kong bernada su (a) dan kong (e). Ketiga alat musik gesek berdawai dua tersebut terdiri atas resonator (wadah gema) dari tempurung kelapa yang dibelah lalu dilapis kulit tipis, tiang kayu berbentuk bulat panjang, dan purilan atau alat penegang dawai. Kong-a-hian, Teh-hian, dan Su-kong adalah instrumen pembawa melodi yang dimainkan dengan cara digesek menggunakan tongkat bersenar plastik (kenur).

d. Bangsing (suling)
Bangsing atau suling terbuat dari bambu kecil berbentuk bulat panjang dengan enam buah lubang nada. Instrumen yang dimainkan secara horizontal atau sejajar dengan mulut ini sering dikelompokkan dengan rebab dan vokal karena nada yang dihasilkannya lebih pendek dan terputus-putus.

e. Gong dan kempul
Gong dan kempul terbuat dari kuningan atau perunggu berbentuk lingkaran yang bagian tengahnya menonjol (kenop). Gong berukuran sekitar 85 centimeter berfungsi sebagai penentu irama dasar, sementara kempul berukuran sekitar 45 centimeter berfungsi sebagai pewatas ritme melodi. Oleh karena ukuran gong dan kempul yang relatif besar tersebut, maka umumnya digantung pada sebuah gawangan kayu. Caranya adalah dengan melubangi sisinya sebagai tempat mengikat tali untuk digantungkan pada gawangan kayu berukir motif bunga, sulur dan ular naga setinggi satu meter. Gong dan kempul dibunyikan dengan cara dipukul dari samping pada bagian kenop menggunakan tongkat kayu berujung bulat berlapis kain.

f. Gong Enam
Sesuai dengan namanya, gong enam terdiri dari enam buah gong berukuran kecil yang digantung pada gawangan kayu dengan susunan nada: 3, 1, 6, 2, 1, 5.

g. Kecrek (pan)
Kecrek atau pan berbentuk dari dua hingga empat lempengan logam tipis (besi, kuningan, perunggu) yang disusun diatas sebuah papan kayu. Alat yang berfungsi sebagai pengatur irama dan untuk menimbulkan efek bunyi tertentu ini dimainkan dengan cara dipukul menggunakan palu khusus atau tongkat kayu pendek hingga menghasilkan bunyi crek-crek-crek.

h. Ningnong (sio-lo)
Ningnong berbentuk dua buah piringan logam perunggu atau kuningan berdiameter sekitar 10 centimeter yang ditempatkan pada sebuah bingkai kayu bertangkai satu. Ningnong dibunyikan dengan cara dipukul menggunakan tongkat besi kecil secara bergantian dari kiri ke kanan atau sebaliknya (teknik pitet), sebagai pengatur irama.

i. Gendang
Gendang atau kendang terbuat dari kayu berbentuk silinder berongga yang kembung di bagian tengahnya. Pada kedua pangkal gendang berbentuk lingkaran ditutup dengan kulit kambing atau kerbau yang tidak sama besarnya. Bentuk gendang semacam ini biasa disebut sebagai kerucut pepet dan berfungsi sebagai instrumen pengatur irama. Dalam setiap pementasan umumnya terdapat sebuah kerucut pepet dan satu atau dua buah gendang kecil yang disebut ketipung, tepak, tipluk atau kulanter. Kerucut pepet ditempatkan pada dudukan kayu silang kecil di depan, sedangkan ketipung berada di samping kiri atau di pangkuan pemain.

Seluruh instrumen musik di atas didominasi oleh warna merah, hitam, coklat dan kuning. Warna coklat, baik muda maupun tua, terdapat pada resonator su-kong, teh-yan, kong-a-hian, bilah-bilah gambang, dan badan gendang. Warna kuning terdapat pada instrumen suling, gong, kecrek, kromong dan benda-benda lain yang terbuat dari kuningan. Warna hitam terdapat pada instrumen gong, kromong, kecrek, dan bilah-bilah gambang yang dibiat dari kayu-besi (ki beusi). Dan, warna merah terdapat pada alat-alat kayu penyangga (dudukan) instrumen gong, kempul, kecrek, gambang, serta kromong.

Adapun pembuatan instrumennya tidak dilakukan sendiri oleh seniman gambang kromong, melainkan dipesan dari berbagai daerah di Jawa Barat maupun Jawa Tengah. Kalaupun ada yang dibuat sendiri, biasanya hanya bagian-bagian kecil dari sebuah instrumen yang memerlukan perbaikan. Untuk gong, kromong, dan kempul misalnya, dipesan dari pande yang biasa membuat peralatan tersebut. Oleh pande gong atau kempul dibuat dalam adonan timah dan tembaga panas kemudian dituang pada cetkan gamelan yang tertanam di tanah di ruang pembakaran. Setelah mengeras, adonan diangkat lalu dibakar dan dipukul-pukul untuk mencapai ketebalan yang diinginkan. Apabila kurang tebal, ditambah dengan cara didempul kemudian dilas.

Keluar dari ruang pande (ruang pembakaran), gong atau kempul digerinda dan dikikir. Di tengah proses pengikiran, gong atau kempul dilaras (disetel agar bunyi yang dihasilkan sesuai dengan nadanya). Apabila kurang pas, dibawa ke ruang pembakaran lagi untuk didempul dan dilas. Begitu seterusnya hingga dihasilkan sebuah gong, kromong, atau kempul dengan nada sempurna. Dan, sebelum beralih ke tangan seniman gambang kromong, peralatan perkusi itu digosok dengan cairan kimia atau batu giok hijau bercampur bensin agar mengkilat.

Kostum
Kostum yang dikenakan oleh para panjak laki-laki dan perempuan dari waktu ke waktu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Dewasa ini sedikitnya ada tiga model yang biasa dikenakan oleh para panjak laki-laki, yaitu: sadariah, demang, dan batik. Model sadariah atau biasa disebut juga sadarie, tikim, dan koko adalah setelan yang umum dipakai oleh orang Betawi kebanyakan, terdiri dari baju koko atau baju gunting Cina, celana batik panjang, kain sarung sebagai selendang bahu, terompah, kopiah berwarna hitam atau merah sebagai penutup kepala, dan sandal jepit dari kulit. Menurut jakarta.go.id, mulanya busana ini hanya dikenakan oleh para pemuda saat ada kegiatan keagamaan atau sedekahan di masjid. Lambat laun fungsinya meluas untuk keperluan lain, diantaranya adalah busana pemuda yang bertugas membawa sirih-nanas sebagai mas kawin pada prosesi perikahan adat Betawi, dan busana para seniman kesenian betawi ketika sedang manggung.

Model selanjutnya disebut sebagai ujung serong atau demang karena dahulu umum dikenakan oleh para demang dan kaum bangsawan laki-laki lainnya, terdiri dari: jas tutup berkerah, celana panjang berwarna senada dengan jas, kain jung serong karena dipakai tidak lurus (serong), kopiah berwarna hitam atau merah, sepatu kulit, dan aksesoris berupa jam saku rantai serta kuku harimau atau duit gobang yang diletakkan pada saku jas atas.

Model terakhir adalah kemeja batik yang dipadukan dengan celana panjang berwarna gelap serta ditambah dengan kopiah dan sepatu kulit. Kostum batik ini jarang dikenakan oleh para pemain ketika ngamen dalam acara yang diselenggarakan oleh warga masyarakat secara perseorangan, seperti khitanan atau perkawinan. Mereka memakainya apabila yang mengundang untuk ngamen dari dines atau instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Adapun kostum atau busana yang dikenakan oleh panjak perempuan adalah kebaya encim terbuat dari sifon atau katun halus yang panjangnya hanya sebatas pinggul agar mencerminkan keindahan tubuh si pemakai,sarung batik berwarna cerah bermotif pucuk rebung, kutang nenek sebagai pakaian dalam, selendang polos berbahan sifon, konde cepol berukuran segenggaman tangan dan diletakkan sekitar tujuh jari di atas tengkuk, serta selop bertumit rendah terbuat dari kain ringan seperti beludru.

Lagu-lagu yang Dilantunkan
Ada beberapa versi mengenai jenis lagu yang umum dibawakan dalam kesenian gambang kromong. Versi pertama berasal dari Sopandi dkk, 1992, yang menyatakan bahwa jenis lagu gambang kromong ada tiga macam, yaitu phobin, sayur, dan lagu untuk rancag. Lagu phobin adalah lagu berirama cepat yang dibawakan dalam bentuk instrumentalia. Lagu sayur adalah lagu selingan atau hiburan, seperti: Versi, Jali-jali, Cente Manis, Cente Manis Gula Batu, Cente Manis Kelapa Muda, Surilang, Balo-balo, Stambul Siliwangi, Jali-jali Kalih Jodo, Jali-jali Si Ronda, Jali-jali Pasar Malam, Jali-jali Bunga Siantan, Jali-jali Ujung Menteng, Jali-jali Kramat Karem. Dan, jenis lagu rancag adalah lagu iringan dan lagu vokal dalam penyajian rancag, seperti: Sipitung, Siangkri, Orang Bujang, Galatik Unguk, Stambul.

Sementara menurut Rojali (seniman gambang rancag), lagu gambang kromong hanya terdiri dari dua jenis, yaitu: lagu dalem dan lagu sayur. Lagu dalem adalah lagu yang masih kental dengan nuansa musik Tionghoa. Jenis lagu ini umumnya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: phobin, musik dan vokal, lalu diakhiri dengan lopan. Komposisinya dapat berupa phobin--musik dan vokal--lopan atau phobin-musik dan vokal-phobin. Irama phobin dan lopan yang sama dapat dimainkan untuk mengiringi lagu yang berbeda.

Phobin merupakan intro atau musik pengantar berdurasi pendek sebelum suara vokal masuk. Kwa (2005) menuturkan, dahulu phobin merupakan irama khusus yang digunakan untuk mengiringi berbagai macam upacara dalam lingkaran hidup masyarakat Tionghoa tradisional. Judul phobin umumnya menggunakan nama-nama tokoh dalam cerita rakyat Tionghoa berdialek Hokkian di Cina Selatan, seperti: Phobin Poa Si Litan, Phobin Peh Pan Tau, Phobin Cu Te Pan, Phobin Cai Cu Siu, Phobin Cai Cu Teng (Punjung Cendekiawan Berbakat), Phobin Seng Kiok, Ma To Jin (Pendeta Perempuan), Jin Kui Hwe Ke (Jin Kui Pulang Kampung), Lui Kong (Dewa Halilintar), Cia Peh Pan, It Ki Kim (Setangkai Emas), Tai Peng Wan (Teluk Perdamaian dan Ketenteraman), Pek Bou Tan (Bunga Peoni Putih), Cai Cu Siu (Kekayaan, Keturunan dan Usia Panjang), Kim Hoa Cun (Perahu Bunga Emas), Liu Tiau Kim, Si Sai Hwe Ke, Ban Kim Hoa (Berlaksa Bunga Emas), Pat Sian Kwe Hai (Delapan Dewa Menyeberangi Laut), Lian Hoa The (Tubuh Bunga Teratai), Se Ho Liu, Hong Tian, Cu Te Pan, Cay Cu Teng, Kong Ji Lok, Coan Na, Ki Seng Co, Ciang Kun Leng, Tio Kong In, Sam Pau Hoa, Pek Hou Tian, Kim Sun Siang, Ce Hu Liu, Bangliau, Li Ten Hwe Bin, Phobin Kong Ji Lok, dan lain sebagainya.

Untuk dapat memainkan lagu-lagu phobin, seseorang harus menggunakan notasi dalam huruf Tionghoa yang biasa dipakai unuk lagu-lagu Hokkian Selatan. Oleh karena itu, sekarang sudah sangat jarang ada pemusik gambang kromong yang dapat memainkan lagu phobin secara lengkap. Kalau pun ada, hanya beberapa judul saja, seperti Phobin Khong Ji Lok serta beberapa phobin sebagai pengiring upacara inisiasi menjelang pernikahan atau kematian di kalangan orang Tionghoa tradisional (Kwa, 2005).

Setelah lagu phobin barulah vokal penyanyi masuk dalam tempo lambat dan monoton. Syair yang dilantunkan diambil dari kumpulan pantun Melayu-Betawi atau syair Tionghoa koleksi penyanyinya dan diiringi instrumen musik yang didominasi oleh suling, kong-a-hian, teh-yan dan su-kong tanpa menggunakan instrumen modern. Judul lagu dalem bersyair Melayu-Betawi diantaranya adalah: Peca Piring, Semar Gunem, Mawar Tumpa, Mas Nona, Gula Ganting, Tanjung Burung, Nori Kocok (Burung Nuri), Centeh Manis Berduri, Dempok, Temenggung, Menulis, Enko Si Baba, Indung-indung, Jungjang Semarang, Kulanun Salah, Gunung Payung, Bong Tjeng Kawin, Mas Mira, Persi Kocok, dan Duri Rembang. Sedangkan, yang bersyair Tionghoa adalah: Poa Si Li Tan, Bangliau, Tan Sha Sioe Khie, Gouw Nio, dan Tang Hoa Ko Nyanyi. Lagu dalem kemudian diakhiri dengan lopan atau musik pengakhir lagu dengan judul berbahasa Tionghoa atau Melayu-Betawi, misalnya Lopan Tukang Sado. Sebagai catatan, saat ini seniman Betawi yang mampu menyanyikan lagu-lagu dalem tinggal satu orang saja, yaitu Cim Masnah alias Pang Tjin Nio yang wafat pada hari Minggu, 26 Januari 2014 dalam usia 88 tahun.

Jenis lainnya adalah lagu sayur yang komposisinya tidak menggunakan phobin dan lopan sebagai intro dan penutup lagu. Konon, jenis lagu ini diciptakan untuk ngibing (menari) dengan diiringi instrumen musik modern berupa gitar, bas elektrik, dan bahkan drum, sehingga ada pula yang menamakannya sebagai lagu modern. Judul-judul lagu sayur atau modern diantaranya adalah: Kramat Karem, Onde-onde, Glatik Ngunguk, Surilang, Jali-jali (versi Ujung Menteng, Kembang Siantan, Pasar Malem, Kacang Buncis, Cengkareng, dan Jago), Stambul (Satu, Dua, Sere Wangi, Rusak, dan Jalan), Persi (Rusak, Jalan, dan Kocok), Centeh Manis, Kudehel, Balo-balo, Renggong Manis, Akang Haji, Renggong Buyut, Jepret ayung, Lenggang Kangkung, Kicir-kicir, Sirih Kuning, Blenderan, dan lain sebagainya termasuk beberapa diantaranya lagu berbahasa Sunda (Awi Ngarambat, Gaplek, Kembang Kacang, Kembang Beureum, Lampu Tempel, dan Wawayangan).

Munculnya lagu sayur atau lagu modern dimulai ketika Bung Karno dengan sistem politik Demokrasi Terpimpin dan Anti Neo Kolonialismenya memberlakukan larangan penerapan ideologi barat (liberal) termasuk kebudayaannya pada tahun 1965 (www.share-pdf.com). Waktu itu, para seniman dilarang untuk memainkan dan menyanyikan lagu-lagu pop barat yang dianggap oleh pemimpin politik sebagai lagu ngak-ngek-ngok. Kondisi ini dimanfaatkan oleh banyak penyanyi pop beralih ke jalur musik lain yang "asli" Indonesia sebagai tempat bernaung agar tetap berprofesi sebagai penyanyi. Beberapa di antara mereka adalah Lilis Suryani dan Benyamin Suaeb yang menggandeng seorang seniman gambang kromong bernama Suhaeri Mukti untuk berduet menyanyikan lagu-lagu Melayu-Betawi.

Senada dengan Lilis Suryani, Benyamin Suaeb yang sebelumnya bernyanyi lagu pop segera banting stir agar aman dari tuduhan penyanyi ngak-ngek-ngok (Kalim, 2005). Seniman asli Betawi yang lahir di Kemayoran ini memilih bergabung dalam kelompok Naga Mustika pimpinan Suryahanda menyanyikan lagu-lagu Melayu-Betawi dengan iringan musik gambang kromong. Selama berada di Naga Mustika, Benyamin menambahkan nuansa baru dalam penambilan kesenian ini agar sejajar dengan seni musik modern yang dipengaruhi seni musik Barat. Caranya adalah dengan memadukan peralatan musik gambang kromong yang bernada pentatonik dengan alat-alat musik modern berbasis nada diatonik seperti gitar melodi, gitar bas, drum, saxsofon, terompet, dan keyboard (organ). Hasilnya, terbentuklah sebuah aliran musik baru yang dinamakan sebagai gambang kromong modern atau gambang kromong kombinasi karena menggunakan instrumen musik modern dari Barat.

Untuk lebih mempopulerkan gambang kromong modern, bersama grup Naga Mustika Benyamin kemudian menggandeng Bing Slamet dan Ida Royani masuk dapur rekaman melalui studio Dimitra Record milik Dick Tamimi. Bing Slamet diminta menyanyikan lagu Nonton Bioskop, Brang Breng Brong dan Tukang Sayur sementara Ida Royani diminta berduet menyanyikan lagu ciptaan grup Naga Mustika. Mulai dari sinilah berkembang lagu-lagu baru gambang kromong yang oleh masyarakat disebut sebagai lagu sayur. Liriknya bertema tentang kesulitan hidup, kritik terhadap pemerintah dan elit politik, humor, dan lain sebagainya.

Nilai Budaya
Walau terjadi perubahan baik dalam bentuk lagu maupun penambahan instrumen musik modern yang digunakannya, gambang kromong masih dapat bertahan hingga sekarang. Musik perpaduan unsur budaya Tionghoa dan Betawi ini masih memiliki regenerasi pemain, penanggap serta penikmat setianya. Bagi penanggap, gambang kromong dapat dijadikan sebagai sarana hiburan untuk hajatan yang sedang dihelatnya. Dasar pemilihannya dapat karena hobi, untuk menarik perhatian undangan agar mau datang ke hajatan, dan dapat pula karena tradisi hajatan tersebut memang memerlukan gambang kromong sebagai musik pengiringnya. Sementara, bagi mayoritas penonton atau penikmatnya, gambang kromong hanya dijadikan sebagai sarana hiburan. Penyebab utama seseorang mau menonton dan mendengarkan alunan musik gambang kromong adalah karena faktor asal usul kesuku-bangsaannya. Dalam hal ini, seseorang senang menonton, mendengar, dan menyanyikan lagu gambang kromong dengan maksud untuk menunjukkan identitasnya sebagai orang Melayu-Betawi.

Sedangkan bagi seniman, gambang kromong memiliki banyak fungsi, bergantung dari sudut pandang senimannya sendiri. Dari hasil wawancara terhadap beberapa seniman, muncul berbagai alasan mengenai eksistensi mereka dalam dunia kesenian gambang kromong, diantaranya: (a) memainkan gambang kromong berarti ikut melestarikan kebudayaan Betawi, (b) bangga mampu memainkan satu atau lebih alat musik gambang kromong, (c) mengasah bakat dan menambah pengetahuan, (d) menghibur masyarakat, (e) menjalin silaturrahim pemain, pimpinan, dan penonton, serta (f) sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Selain memiliki banyak fungsi (bagi penikmat maupun seniman), jika dicermati gambang kromong juga mempunyai nilai-nilai (tidak hanya estetika) yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu adalah: ketekunan, kesabaran, kerja keras, kerja sama, kekompakan, dan kreatifitas.

Nilai ketekunan, kesabaran, dan kerja keras tercermin dalam penguasaan alat musik yang dimainkan. Untuk menjadi panjak yang mahir tentu diperlukan kesabaran, ketekunan dan kerja keras. Tanpa itu mustahil seseorang dapat menunjukkan kehebatannya ketika sedang pentas. Bahkan, bisa saja mengganggu jalannya pertunjukan dan malah menjadi bahan cemoohan dan tertawaan penonton. Nilai kerja sama tercermin dalam proses pementasan gambang kromong itu sendiri. Sebagai sebuah ensembel tentu memerlukan kerja sama antarpemain atau antarpanjak agar pementasan berjalan dengan lancar. Nilai kekompakan dan ketertiban tercermin dalam suatu pementasan yang dapat berjalan secara lancar. Nilai kreatifitas tercermin pada peralatan dan perlengkapan gambang kromong. Sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, diawal munculnya peralatan musik masih bersifat tradisional bernada pentatonis. Namun seiring waktu, penggunakan alat-alat musik modern juga ikut dimainkan sehingga menimbulkan bunyi yang lebih dinamis. Ini artinya, para panjak tidak hanya puas dengan apa yang selama ini dimainkan. Ada proses kreatifitas tertentu untuk memadukan peralatan musik tradisional dengan modern sehingga musik gambang kromong lebih berwarna. (ali gufron)
Sumber:
Sopandi, Atik. dkk. 1992. Gambang Rancag. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.

Kwa, David. 2005. Lebih dalam tentang gambang kromong & wayang. Jurnal cisadane, 7: 10-15.

Kwa, David. 2013. "Gambang Kromong dan Wayang Cokek", diakses dari http://blog.budaya-tionghoa.net/tionghoa/gambang-kromong-dan-wayang-cokek/ tanggal 7 April 2016.

http://www.share-pdf.com/8360f9dcc1614dd2937d30ce799deab7/Revisi%20Disertasi%20Promosi%20Terbuka%20januari%2013.htm diakses tanggal 9 Maret 2016.

Sukotjo. 2012. "Musik Gambang Kromong dalam Masyarakat Betawi di Jakarta", dalam Jurnal Etnomusikologi Indonesia Vol. 1 No. 1. Maret 2012 Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Kalim, Nurdin. 2005. "Potret Benyamin Apa Adanya", dalam http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2005/07/potret-benyamin-apa-adanya.html, diakses 20 Maret 2016

“Gambang Kromong”, diakses dari https://jakarta.go.id/artikel/konten/1100/gambang-kromong, tanggal 20 Februari 2020.

Lodong Gejlig

Lodong gejlig adalah sebuah kesenian tradisional masyarakat Sunda yang menggunakan lodong atau bambu besar sebagai alat utamanya. Bambu sendiri adalah tumbuhan jenis rumput-rumputan dengan rongga dan ruas di batangnya. Tumbuhan ini memiliki banyak fungsi, mulai dari sumber makanan (hewan dan manusia), peralatan rumah tangga, konstruksi bangunan, senjata, transportasi, hingga instrumen musik. Istilah lodong sendiri pada masyarakat Sunda awalnya bukanlah instrumen musik. Ia merupakan peralatan rumah tangga yang digunakan oleh para penyadap kawung untuk menampung air nira atau aren.

Sebelum proses penampungan nira dilakukan, para penyadap akan memeriksa lodong dengan cara menghempaskan ke tanah. Apabila menghasilkan bunyi nyaring, maka lodong diyakini belum bocor dan dapat digunakan. Sebaliknya apabila tidak berbunyi nyaring, berarti ada kebocoran atau keretakan di dalam lodong yang dapat mengakibatkan air nira merembes keluar.

Lambat laun, karena proses kreativitas, bunyi nyaring lodong ketika diketrukeun tersebut dijadikan sebagai sebuah kesenian yang dalam penyajiannya digabungkan dengan alunan gitar akustik. Kesenian baru ini kemudian dinamakan sebagai “tardong”, akronim dari gitar dan lodong. Selanjutnya, agar lebih menarik, penyajian seni tardong ditambah lagi dengan beberapa instrumen lain seperti angklung, kecapi, suling, kendang, dan bahkan keyboard. Namun, karena komponen awal dan yang paling berperan adalah suara lodong yang digejligkeun, maka nama kesenian pun diubah lagi lodong gejlig.

Dalam penyajiannya, seni lodong gejlig menggunakan lodong berukuran kecil untuk menghasilkan nada tinggi dan logong besar untuk nada rendah dan sedang yang dimainkan oleh 12-24 orang laki-laki dan perempuan selama sekitar setengah jam. Adapun lagu-lagu yang dibawakan antara lain lodong gejlig, sampurasun, salawat, dan lain sebagainya.

Foto: https://elib.unikom.ac.id/download.php?id=362293

Dogdog Lojor

Dodog Lojor adalah salah satu kesenian tradisional orang Sunda yang memperpadukan antara seni gerak dan vokal yang syair-syairnya bersifat lelucon. Nama dogdog lojor sendiri diambil dari alat musik yang digunakan, yaitu dogdog karena jika dipukul mengeluarkan bunyi “dog”. Dan, karena dogdog pada umumnya berbentuk lojor (panjang), maka keseniannya disebut sebagai “dogdog lojor”.

Pada masa lampau dogdog lojor merupakan pelengkap upacara adat, seperti upacara: sesudah panen, ngalaksa, seren taun, dan ngaruat. Namun demikian, manakala ada kenduri khitanan dan perkawinan biasanya (tanpa diundang) para pemain dogdog lojor tampil dengan berpakaian khasnya, yaitu baju kampret dan celana pangsi berwarna hitam. Mereka berjalan mengelilingi rumah si empunya hajat tiga kali sambil memukul dogdog dan membunyikan angklung. Setelah mengelilingi rumah milik si empunya hajat, mereka pergi menuju rumah-rumah lainnya sambil tetap membunyikan alat-alat yang dibawanya. Setelah semua rumah-rumah penduduk dikelilingi, maka orang yang membawa dogdog lojor dan angklung datang kembali ke tempat rumah yang punya hajat. Di sana mereka diberi makanan dan minuman oleh yang punya hajat. Selesai makan, mereka pergi berkeliling lagi sambil men-dogdog dan meng-angklung. Ini merupakan pemberitahuan kepada masyarakat bahwa di kampung itu ada yang mengadakan selamatan, baik itu berupa khitanan atau pernikahan dan sekaligus memohon doa restu agar hajatan dapat berjalan dengan selamat.

Dewasa ini dogdog lojor bukan merupakan pelengkap upacara sakral, akan tetapi sudah menjadi hiburan biasa yang tampil dalam berbagai kesempatan, seperti: gelar senja (tanggal 12 Maret 1990 di Gedung Sate Bandung), penutupan musyawarah keluarga Banten di Jakarta, peresmian SMA Negeri Bayah, dan setiap peristiwa perpisahan Kepala PT Aneka Unit Pertambangan Emas.

Peralatan
Ada beberapa peralatan yang digunakan dalam permainan dogdog lojor, yaitu: dogdog lojor 2 buah, angklung buhun 4 buah, gendang 1 buah, goong 1 buah, kecrek; dan kecapi 1 buah.

Dogdog lojor dibuat dari pohon pinang atau bambu besar (awi gombong) yang panjangnya kurang lebih 1,24 cm; lubang belakang dengan garis tengah 15 cm; lubang muka dengan garis tengah 20 cm, ditutup oleh kulit kambing atau kulit biri-biri. Untuk mengikat kulit agar tidak lepas diperlukan rarawat atau tali rotan dan memakai pasak. Pasak juga berfungsi sebagai pengatur bunyi atau suara dogdog. Fungsi dogdog sebagai komando baik kepada para nayaga maupun pemainnya.

Angklung dibuat dari ruas bambu, baik jenis bambu wulung atau bambu jenis temen; bahan pelengkap lainnya, yaitu rotan sebagai pengikat bambu, kain atau daun pelas sebagai penghias angklung. Fungsi angklung adalah untuk memberikan irama kepada bunyi dogdog.

Gendang dibuat dari bahan kayu nangka, kayu rambutan, kayu mahoni. Sebagai penutup kedua lubang gendang adalah kulit kambing atau kulit sapi. Untuk mengikat kulit tersebut digunakan rarawat dan simpay dari rotan serta wengku (pengikat) gendang yang dibuat dari bambu atau rotan. Fungsinya untuk membawa ritme, mengatur lagu (menaik-turunkan dan memberhentikan lagu).

Goong atau kempul dibuat dari besi atau perunggu, berbentuk bulat cekung. Fungsinya untuk menambahkan keserasian terhadap bunyi gendang dan lagu. Kecrek yang dibuat dari lempengen besi untuk menambahkan semarak dalam tetabuhan tersebut. Kecapi adalah waditra yang bersenar yang terdiri atas 7 sampai dengan 26 utas kawat, dengan resonator dari kayu dan cara memainkannya dipetik. Fungsinya adalah sebagai pembawa melodi atau pengiring lagu.

Pemain dan Kostum
Jumlah keseluruhan pemain dogdog lojor berkisar 18-20 orang. Mereka terdiri atas: penabuh waditra atau nayaga, penari, juru kawih ala beluk dan juru kawih perempuan. Sebagai catatan, pada masa lalu dogdog lojor diperankan oleh laki-laki. Akan tetapi, sekarang para perempuan juga berperan dalam permainan tersebut.

Adapun kostum yang dikenakan adalah sebagai berikut. Pembawa dogdog lojor berbaju kampret dan celana pangsi atau cenala sontog (berwarna hitam), ikat pinggang atau selendang (untuk memakai kain sarung), dan tudung ikat kepala gaya barangbang semplak. Pembawa angklung sama pakaiannya seperti pemain dogdog lojor, hanya warnanya berbeda; pemain angklung mengenakan baju kampret berwarna kuning dan pakaian bagian bawahnya/pangsi berwarna hitam. Adakalanya antara baju dan celana sama warnanya, hitam-hitam, atau kuning-kuning. Para nayaga pun berpakaian sama dengan para pemain angklung dan juru kawih ala beluk. Hanya, juru kawih perempuan mengenakan kain kebaya sesuai dengan pakaian adat Priangan. Para penari perempuan berpakaian seperti pemain dogdog lojor, yaitu baju kampret celana pangsi berwarna hitam. Dengan pakaian itu lebih leluasa, karena gerakan-gerakannya menyerupai jurus-jurus silat.

Jalannya Permainan
Setelah semua pemain dogdog lojor siap, maka yang pertama kali ditabuh adalah goong (tiga kali). Kemudian, disusul oleh bunyi gendang untuk menandakan permainan akan segera dimulai. Tidak lama kemudian, masuklah iringan yang terdiri dari 2 orang pemegang dogdog lojor dan 4 orang penabuh atau pembawa angklung ke tempat arena pementasan sambil berjalan berjingkat-jingkat dan menari sambil menggerakkan anggota badan mengikuti suara alat yang mereka tabuh. Selesai mengelilingi arena pementasan sebanyak 1-2 putaran mereka duduk/bersila, kemudian “Kidung” ditembangkan oleh juru kawin perempuan dengan diiringi kecapi dan gendang, serta goong. Adakalanya penembang kidung dibawakan oleh pemain dogdog lojor atau pemain angklung.

Sebagai catatan, isi kidung dapat dikembangkan sesuai dengan situasi. Berikut ini adalah salah satu contoh kidung pembukaan.

Bismillah ngawitan ngidung
Nyebat asmaning Alloh
Neda rakhmat hidayahna
Ginuluran nu utami
Tebihkeun lara tunggara
Salamet sawargi-wargi

Sim abdi unjuk pihatur
Bilih kirang sihaksami
Hapunten sateuacanna
Tangtos kirang tata-titi
Dina sagala rupina
Tebih pisan ti utami

Ngiring sambung tumalapung
Dina pagelaran seni
Budaya Banten Selatan
Nu mangrupi dogdog lojor
Dipirig tepak kendangna
Dijentrengan ku kacapi
Amin yaa robbal alamin
Mugi Gusti nangtayungan

Kemudian, dilanjutkan dengan sebuah kawih yang isinya tentang dogdog lojor atau mengenai apa yang sedang dipagelarkannya. Kawih tentang dogdog lojor adalah
“Kawih Salaka Domas”

Dogdog-dogdog lojor seni buhun ti baheula 2x
Kudu dipiara dirawat ku urang Sunda 2x

Seni ti karuhun 2x
Omat tong dimomorekeun 2x
Hayu urang jungjung tradisi budaya Banten 2x

Neda dihapunten tangtos kirang ti utami 2x
Ieu dogdog lojor raehan mangsa kiwari 2x

Tah, mung sakitu ti rombongan dogdog lojor 2x
Kanca mitra Lebak nyanggakeun wilujeng tepang 2x

Bersamaan dengan usianya kawih yang ditembangkan, para pemain menabuh dogdog lojor sambil menyusun barisan menjadi dua group yang akan memulai permainannya.

Unsur mengadu kekuatan terdiri dari adu: kepala, pundak, kaki, pantat, dan engkle Selesai mengadu kekuatan, kemudian mereka memberi kesan seolah-olah permainan usai. Mereka berpura-pura hendak pulang; tapi sebenarnya menjemput 4 orang puteri untuk dibawa ke arena. Kemudian ke-4 puteri tersebut menari-nari di arena. Dan, dengan selesainya tarian mereka, maka berakhirlah permainan dogdog lojor. (Gufron)

Sumber:
Sariyun, Yugo, dkk,. 1992. Nilai Budaya Dalam Permainan Rakyat Jawa Barat. Bandung: Depdikbud.
http://www.anjjabar.go.id

Rampak Kohkol

1. Asal-usul
Di daerah Cianjur-Selatan, tepatnya di Kecamatan Kadupandak ada satu jenis kesenian tradisional yang bernama rampak kohkol. Kesenian ini juga sering disebut sebagai bedug kidulan atau dulag kidulan karena berada dan dari kidul (selatan). Tumbuh dan berkembangnya Kohkol (kentungan) dan bedug adalah dua alat bunyi yang selalu ada di setiap mesjid dan langgar (surau). Fungsi kedua alat bunyi tersebut adalah sebagai alat komunikasi untuk memberitahukan kepada masyarakat, khususnya para muslim (penganut agama Isalam) tentang waktu sholat wajib (subuh, dluhur, ashar, magrib, dan isya). Selain itu, juga untuk memberitahu saatnya sholat Jumat. Bunyi kohkol dan atau bedug yang bertepatan dengan saatnya sholat subuh disebut “bedug subuh”; bertepatan dengan saatnya sholat dluhur disebut “bedug lohor”; bertepatan dengan saatnya sholat ashar disebut “bedug ashar”. Kemudian, yang bertepatan dengan saatnya sholat magrib disebut “bedug magrig”. Dan, yang bertepatan dengan saatnya sholat isya disebut “bedug isya”.

Di luar bunyi kohkol dan atau bedug yang berkaitan dengan waktu sholat wajib, ada juga yang berkaitan dengan aktivitas lainnya dalam kehidupan keagamaan, seperti: keramas (membersihkan rambut menjelang berpuasa di bulan ramadhan), tadarus, sahur, fitrah, lebaran, dan takbir. Bedug yang menandakan bahwa masa keramas telah tiba saatnya disebut “bedug keramas”. Bedug yang menandakan bahwa saat-saat mengaji (membaca Al Quran) di malam hari telah tiba disebut “bedug tadarus”. Bedug yang menandakan bahwa saat-saat sahur telah tiba disebut “bedug sahur”. Bedug yang menandakan bahwa sudah saatnya berfitrah disebut “bedug fitrah”. Kemudian, bedug yang menandakan bahwa lebaran telah tiba disebut “bedug lebaran”. Dan, bedug yang dilakukan pada malam takbir disebut “bedug takbir”. Bagi masyarakat setempat berbagai bunyi bedug dan atau kohkol itu merupakan sesuatu yang tidak asing lagi. Berbagai bunyi-bunyian itulah yang kemudian melahirkan satu kesenian yang oleh mereka disebut sebagai “rampak kohkol”. Ini artinya, nama tersebut diambil dari alat musik yang digunakan.

Ada satu nama yang sangat erat kaitannya dengan tumbuh dan berkembangnya kesenian ini, yaitu Haji Buhtani. Ia adalah seorang ulama Kadupandak (sekitar awal tahun 30-an). Ulama ini tidak hanya menguasai ilmu agama (Islam), tetapi juga mempunyai kelebihan dibidang lain, yaitu kesenian. Dengan perkataan lain, ia adalah seorang ulama yang berjiwa seni. Sebagai orang yang “nyeni”, ia melihat bahwa bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh kohkol dan atau bedug dapat dikembangkan sehingga sesuatu yang “baru”. Pemikiran itu akhirnya membuahkan satu jenis kesenian yang kemudian dikenal sebagai “rampak kohkol” atau “bedug kidulan”. Kesenian yang diciptakannya itu kemudian diajarkan kepada murid-muridnya yang kesemuanya warga Kadupandak. Dan, orang-orang yang pernah menjadi muridnya –dari angkatan pertama sampai angkatan ketiga—adalah sebagai berikut.
 
Angkatan Pertama
Orang-orang yang termasuk dalam angkatan pertama adalah: (1) Sadeli (71 tahun) yang sekarang berada di Bandung; (2) Haji. Pahrul (71 tahun) yang tidak lain adalah anak Haji Buhtani. Sekarang ia ada di Kampung Gelarpadang, Desa Cijati, Kecamatan Kadupandak. Di sana ia menjadi sesepuh (penasehat) dalam kesenian rampak kohkol; (3) Kokasih (68 tahun) yang juga anaknya Haji Buhtani. Sebagaimana kakaknya, ia juga berada di Bandung; (4) Ambeh (almarhum), (5) Duloh (almarhum), (6) Holil (66 tahun) yang sekarang menetap di Kampung Karanganyar, Desa Cijati, Kecamatan Kadupandak; dan (7) Domi (almarhum).
 
Angkatan Kedua
Orang-orang yang termasuk dalam angkatan kedua adalah: Baun Gozali (61 tahun) yang saat ini berda di Bandung. Ia adalah orang pertama yang mementaskan rampak kohkol di Bandung; (2) Endang (51 tahun) yang berada di Kampung Karanganyar, Desa Cijati, Kecamatan Kadupandak; (3) Rukma (51 tahun) yang berada di Kampung Gelarpadang, Desa Cijati, Kecamatan Kadupandak; (4) Oot (51 tahun) yang berada di Kampung Condong, Desa Cijati, Kecamatan Kadupandak; (5) Jajan (49 tahun) yang berada di Kampung Karanganyar, Desa Cijati, Kecamatan Kadupandak; (6) Utom (56 tahun) yang juga berada di Kampung Karanganyar, Desa Cijati, Kecamatan Kadupandak; dan (7) Odir (61 tahun) yang berada di Kampung Bebedahan, Desa Cijati, Kecamatan Kadupandak.

Angkatan Ketiga
Orang-orang yang termasuk dalam angkatan ketiga adalah: (1) Hobir, (2) Saprudin, (3) Bahir, (4) Acep, (5) Adud, (6) Ojar, dan (7) Munawar. Mereka semuanya berada di Kampung Karanganyar, Desa Cijati, Kecamatan Kadupandak.

2. Peralatan
Peralatan kesenian yang disebut sebagai rampak kohkol ini terdiri atas: 1 buah bedug beserta pemukulnya , 4 buah kohkol yang ukurannya satu dengan lainnya berbeda (dari besar ke kecil) beserta pemukulnya, dan 1 buah kecrek. yang terbuat dari sebatang bambu yang dihancurkan. Bedug terbuat dari batang pohon yang cukup besar kemudian bagian tengahnya dilubangi (menyerupai pipa) dan salah satu ujungnya diberi kulit sapi. Kohkol terbuat dari batang pohon (sawo) yang dibuat sedemikian rupa, sehingga berbentuk kentungan. Sedangkan, kecrek terbuat dari sebatang bambu yang dihancurkan, sehingga jika dikenakan sesuatu akan mengeluarkan suara.

3. Pemain dan Busana
Pemain rampak kohkol berjumlah 6 orang dengan rincian: seorang berperan sebagai pemukul bedug, 4 oarang sebagai pemukul kohkol, dan 1 orang sebagai pemukul kecrek. Ke-6 pemain tersebut semuanya lelaki. Dalam suatu pementasan mereka mengenakan pakain seragam yang berupa: celana sotong yang berwarna hitam, baju kampret yang berwarna hitam, selendang halsdoek (handuk), Kopeah (peci), sarung polekat, dan gamparan (alas kaki yang terbuat dari kayu dan karet).

4. Pementasan
Kesenian tradisional rampak kohkol dipegergelarkan (dipentaskan) pada berbagai kesempatan, seperti: memeriahkan saat-saat ber- Idulfitri (berlebaran), saat-saat seseorang berhajat (perkawinan dan atau khitanan), dan saat-saat berhari nasional, khususnya memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia (ber-17 Agustusan). Jika pergelaran hanya di tempat tertentu (tidak berkeliling atau arak-arakan), maka kohkol dan bedug digantung pada bambu dan atau kayu yang dibentuk menyerupai gawang. Namun, jika arak-arakan, seperti mengarak anak yang dihkitan atau pawai dalam rangka tujuh belasan, maka kohkol dan bedug digantungkan pada sebatang bambu atau kayu, kemudian dipikul oleh dua orang (seorang ada di ujung yang satu sementara lainnya ada di ujung yang satunya lagi). Cukup berat memang; akan tetapi karena disertai dengan hati yang senang, bangga, dan ikhlas, maka kohkol dan bedug tidak begitu terasa.
 
5. Lagu-lagu
Lagu-lagu yang dilantunkan dalam kesenian rampak kohkol tidak hanya lagu-lagu tradisional, seperti: gubyangan, angin-anginan, buncisan, tonggeret, terbangan, dan barabayan. Akan tetapi, juga lagu-lagu kreasi baru seperti: rereogan, kempul cambluk, bojengan, dan jampang.

6. Fungsi
Kohkol dan bedug adalah dua jenis alat yang tidak asing lagi bagi masyarakat muslim yang ada di Indonesia, termasuk masyarakat Kadupandak yang ada di daerah Cianjur-Selatan. Sebelum menjadi sebuah kesenian yang disebut sebagai rampak kohkol, kedua jenis alat tersebut berfungsi sebagai pemberitahuan, khususnya kepada para penganut agama Islam, bahwa saat-saat untuk melakukan aktivitas keagamaan telah tiba, seperti: waktu sholat wajib, Di luar bunyi kohkol dan atau bedug yang berkaitan dengan waktu sholat wajib, keramas, tadarus, sahur, fitrah, lebaran, dan takbir. Namun, sejak menjadi sebuah kesenian fungsinya semata-mata hanya sebagai hiburan. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa kohkol dan bedug tidak lagi berfungsi sebagai pemberitahuan aktivitas keagamaan. Fungsi itu masih tetap ada dan terpelihara dengan baik. Dengan perkataan lain, fungsi kohkol dan bedug pada masyarakat Kadupandak tidak hanya sekedar sebagai pemberitahuan tentang saat-saat aktivitas keagamaan (kohkol dan bedug yang ada di surau dan mesjid), tetapi juga sebagai hiburan, khususnya ketika menjadi sebuah kesenian. Lepas dari berbagai fungsi itu yang jelas kesenian yang ditumbuh-kembangkan oleh suatu masyarakat sekaligus berfungsi sebagai identitas masyarakat yang bersangkutan. Ini bermakna bahwa kesenian tradisional rampak kohkol merupakan salah satu unsur jatidiri masyarakat Kadupandak yang berada di daerah Cianjur-Selatan.

7. Nilai Budaya
Seni sebagai ekspresi jiwa manusia sudah barang mengandung nilai estetika, termasuk kesenian tradisional rampak kohkol yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat Kadupandak. Namun demikian, jika dicermati secara mendalam rampak kohkol tidak hanya mengandung nilai esteika semata, tetapi ada nilai-nilai lain yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain adalah kerjasama, kekompakan, ketertiban, ketekunan, dan kerja keras. Nilai kerjasama terlihat dari adanya kebersamaan dalam melestarikan warisan budaya para pendahulunya. Dalam hal ini adalah rampak kohkol. Nilai kekompakan dan ketertiban tercermin dalam suatu pementasan yang dapat berjalan secara lancar. Nilai kerja keras dan ketekunan tidak hanya tercermin dari penguasaan dan teknik pemukulan kohkol dan bedug, tetapi juga ketika arak-arakan. Sebab, baik kohkol maupun bedug yang beratnya lumayan harus dipikul. (ali gufron)
 
Sumber:
Galba, Sindu. 2007. “Kesenian Tradisional Masyarakat Cianjur”.
Tim Seksi Kebudayaan.2002. Deskripsi Seni Tradisional Reak. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur.

Tutunggulan (Kesenian Tradisional Masyarakat Cianjur, Jawa Barat)

Asal-usul
Warungkondang adalah sebuah kecamatan yang secara administrastif termasuk dalam wilayah Kabupaten Cianjur. Kecamatan ini berada di kilometer 8 dari kota Cianjur ke arah selatan (ke arah Sukabumi). Masyarakatnya yang pada umumnya bekerja di bidang pertanian (sawah dengan sistem irigasi) sebagian besar menganut agama Islam. Di kecamatan ini, tepatnya di Kampung Cikujang, Desa sukarani, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, ada sebuah kesenian tradisional yang bernama “tutunggulan”1. Sebenarnya istilah ini tidak asing lagi bagi masayarakat Warungkondang karena pada saat-saat tertentu, yaitu ketika memberaskan padi, maka tutunggulan pun terdengar. Bahkan, pada masa lalu tutunggulan sengaja dibuat sekaras mungkin agar bisa terdengar dari jarak yang cukup jauh. Maksudnya adalah memberitahu kepada siapa saja yang mendengarnya bahwa di suatu tempat (asal tutunggulan) ada penghuninya. Maklum, ketika itu masyarakat Cianjur, termasuk masyarakat Warungkondang masih merupakan masyarakat petani yang berpindah-pindah (ber-huma). Mereka hidup secara berkelompok dan bertempat tinggal sementara di hutan. Dari bunyi-bunyian yang ditimbulkan oleh benturan antara alu dan lesung itulah yang kemudian melahirkan suatu kesenian yang disebut dengan “tutunggulan”.

Tim Seksi Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur (2002) menyebutkan bahwa kesenian tutunggulan lahir bersamaan dengan kesenian beluk. Sayangnya Tim tidak menjelaskan tentang kesenian yang disebut beluk. Menurut mereka, berdasarkan keterangan dari beberapa senimannya (Nini Acih, Nini Onem, Kikin Surtini, dan Ruslan Suryana), kesenian tutunggulan sudah ada sejak tahun 1761. Sebab, pada waktu itu kesenian beluk yang mendasari kesenian mamaos canjuran juga sudah ada. Walaupun seni tradisional tutunggulan telah dikenal oleh masyarakat Warungkondang--bahkan pada tahun 50-an menyebar ke kecamatan lain (Agrabinta, Kadupandak, dan Cidaun)--namun pola-pola tetabuhannya baru dikenal sejak tahun 1979. Ini adalah berkat seorang seniman Cidaun yang bernama Suhanda. Beliu inilah yang mengembangkan pola-pola tetabuhan tutunggulan menjadi 9 warna, yaitu: tikukur di adu, lutung luncat, sepak kuda, tikukur mandeg, buhaya ngangsar, sepak lodong, ajul gedang, dan ngalima.

Peralatan
Peralatan (alat musik) yang digunakan dalam kesenian yang disebut sebagai tutunggulan ini tidak banyak, tetapi cukup dengan peralatan yang sederhana dan ada di lingkungannya, yaitu: lisung (lesung), halu (alu), dan niru (tampi). Sebagai catatan, lesung yang ada di kalangan masyarakat Warungkondang agak khas dan unik karena banyak bagian-bagiannya masing-masing mempunyai fungsi tersendiri. Bagian-bagian itu adalah: panyongsong (lubang kecil yang ada di bagian ekor lesung), pamebeukan (lubang kecil yang ada di bagian kepala lesung), pamoroyan (lubang yang terdapat pada badan lesung), dan hulu lesung (kepala lesung).

Panjang keseluruhan lesung kurang lebih 220 centimeter; lebarnya kurang lebih 30 centimeter; tinggi kurang lebih 35 centimeter; diameter panyongsong kurang lebih 20 centimeter; diameter pamebeukan kurang lebih 15 centimeter; lebar pamoroyan kurang lebih 17 centimeter; panjang pamoroyan kurang lebih 100 centimeter; dan dalam pamoroyan kurang lebih 25 centimeter. Sementara, panjang alu kurang lebih 160 centimeter; diameter alu kurang lebih 15 centimeter. Sedangkan, diameter niru kurang lebih 37 centimeter.

Adapun bunyi-bunyi yang dihasilkan dari benturan antara lesung dan alu adalah: “trok”, “tung”, “dung”, dan “prek”. Bunyi “trok” dihasilkan dari pukulan antara alu dan bagian samping sebelah luar pamoroyan. Bunyi “tung” dihasilkan dari pukulan antara alu dan bagian samping sebelah dalam pamoroyan. Bunyi “dung” dihasilkan dari pukulan antara alu dan bagian dalam pamoroyan. Dan, “prek” dihasilkan dari benturan antaralu dalam posisi silang.

Pemain dan Busana
Pemain tutunggulan semuanya perempuan. Mereka berjumlah 8 orang dengan rincian: 2 orang pemegang alu-indung yang bertugas sebagai angeran wiletan (keajegan ketukan); 1 orang pemegang alu-koprek yang bertugas memainkan ketukan; 1 orang pemegang alu-mamanis yang bertugas memberi ornamen pada alu-koprek, sehingga terdengar bersahutan; dan 2 orang pemegang alu-ngalima yang bertugas memainkan tabuhan lagu. Sedangkan, yang 2 orang lagi adalah sebagai pemegang niru. Adapun pakaian yang dikenakan adalah pakaian sehari-hari yang berupa: kain-kebaya, sinjang, dan tutup kepala (kerudung).

Pementasan
Kesenian tradisional yang disebut sebagai tutunggulan ini biasanya dipentaskan pada kegiatan yang berkenaan dengan khajatan, khususnya perkawinan, dan penyimpanan padi ke lumbung. Selain itu, juga dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustusan). .

Fungsi
Ketika tutunggulan belum berkembang menjadi sebuah kesenian, ia berfungsi sebagai alat komunikasi. Dalam hal ini adalah pemberitahuan kepada siapa saja yang mendengarnya bahwa di suatu tempat (asal suara tutunggulan) ada penghuninya. Dan, ketika telah menjadi sebuah kesenian pun fungsi komunikasi masih tetap ada, yaitu sebagai pemberitahuan bahwa seseorang punya khajat dan atau pemberitahuan bahwa calon pengantin laki-laki telah tiba. Ini artinya, kesenian ini tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi tetapi sekaligus juga sebagai hiburan.

Nilai Budaya
Sebagaimana kesenian pada umumnya, kesenian tutunggulan jika dicermati secara mendalam juga tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi ada nilai-nilai lain yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai itu antara lain adalah kegotongroyongan, ketertiban dan atau keteraturan. Nilai kegotongroyongan tercermin pada saat pembuatan tepung beras ketika ada tetangga yang punya khajat. Dengan suka rela para tetangga membantunya sembari ber-tutunggulan. Sedangkan, nilai ketertiban dan atau keteraturan tercermin dalam ber-tutunggulan itu sendiri. Dalam hal ini antarpemegang alu harus tahu persis kapan harus menumbuknya, sehingga tidak terjadi benturan antaralu.

Kondisi Dewasa ini
Kesenian yang di masa lalu tidak asing lagi bagi masyarakat Warungkondang ini dewasa ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Generasi mudanya yang diharapkan dapat melestarikannya (melindungi, membina, dan mengembangkannya) justeru tidak banyak yang meminatinya. Mereka umumnya lebih menyukai kesenian kontemporer ketimbang kesenian tradisional yang dianggapnya sebagai ketinggalan alias kuno dan atau kampungan. Kondisi yang demikian pada gilirannya membuat kesenian tutunggulan bagaikan “kerokot yang tumbuh di atas batu” (hidup segan mati tak hendak), malahan hampir punah. Tim Seksi Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Cianjur (2002) menggambarkan kehampir-punahan kesenian ini tercermin sekurang-kurangnya dalam hal, yaitu: (1) pada saat ini sulit menemukan orang yang menguasai kesenian tutunggulan; (2) rendahnya tingkat apresiasi terhadap tutunggulan di kalangan generasi muda, khususnya ibu-ibu muda; (3) peralatan kesenian tutunggulan semakin langka karena peralatan pemberasan padi sudah mulai tergantikan dengan mesin; dan (4) semakin berkurangnya lahan persawahan, sehingga aktivitas yang berkenaan dengan pemberasan tradisional semakin langka. (ali gufron)

Sumber:
Galba, Sindu. 2007. “Kesenian Tradisional Masyarakat Cianjur”.

Tim Seksi Kebudayaan.2002. Deskripsi Seni Tradisional Reak. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur.

1 Tutunggulan adalah istilah untuk menyebut bunyi-bunyian yang ditimbulkan oleh benturan antara alu dan lesung.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama

Archive