Oleh masyarakat Betawi gambang kromong difungsikan sebagai sarana penyemarak upacara adat dalam rangka lingkaran hidup seseorang (perkawinan, nazar, dan sunatan). Dalam pementasannya, kesenian yang lahir sebagai bentuk dari pemuasan kebutuhan manusia akan rasa keindahan ini digunakan sebagai pengiring teater lenong, tari cokek, dan hiburan khas Betawi lainnya.
Pemain
Struktur organisasi sebuah group gambang kromong terdapat seorang pemimpin yang bertugas mulai dari mengkoordinir anggota, mencari penanggap, menentukan harga pentas, hingga upah bagi panjak (pemain) berdasarkan keahlian yang dimiliki. Seorang pemimpin sebuah group gambang kromong dapat merangkap sebagai pemilik, anak/kerabat pemilik atau panjak yang diberi wewenang oleh pemimpin sebelumnya.
Selain pemimpin, sebuah group gambang kromong juga memiliki panjak (pemain) antara 8-25 orang, bergantung pada jenis musik yang dibawakan serta pesanan penanggapnya. Jumlah ini ada kaitannya dengan peranan panjak dalam setiap pementasan. Dalam konteks ini ada yang berperan sebagai: panjak gambang, panjak kromong, panjak teh-hian, panjak kong-a-hian, panjak su-kong, panjak gong dan kempul, panjak gong enam, panjak ningnong, panjak kecrek, panjak bangsing, terompet, organ, gitar melodi, bas elektrik, drum, penyanyi, penari, dan bahkan panjak lenong.
Keahlian seorang panjak dapat diperoleh melalui dua cara, yaitu belajar pada para panjak yang sudah malang melintang di dunia kesenian Betawi atau diwariskan oleh orang tua. Bagi orang-orang yang bukan berasal dari keluarga seniman tetapi memiliki bakat dan tekad yang kuat untuk menjadi seniman, cara belajarnya dengan magang pada satu atau beberapa sanggar seni.
Seorang panjak dapat bermain di mana saja. Ia dapat ngamen bersama groupnya maupun group lain yang sedang membutuhkan panjak tambahan atau pengganti sementara untuk mengisi kekosongan formasi. Adapun aturan mainnya sangatlah sederhana, seorang panjak boleh bermain pada group atau kelompok lain apabila groupnya sedang tidak ada kegiatan (ngamen). Selain aturan pinjam yang sederhana, prosesnya juga fleksibel, yaitu dapat minta izin pada pimpinan kelompoknya atau menghubungi langsung pada panjak yang akan diminta jasanya. Apabila setuju, sang panjak langsung bergabung tanpa perlu memberitahukan pada pimpinan kelompoknya. Honor yang didapat juga sepenuhnya milik sang panjak tanpa harus disetorkan, dipotong, atau diberitahukan pada pimpinan kelompoknya.
Instrumen Gambang Kromong
Sesuai dengan namanya, kesenian gambang kromong menggunakan dua buah alat musik utama berupa gambang dan seperangkat kromong. Keduanya selalu disertai oleh instrumen atau alat musik lain sebagai pelengkap, yaitu: su-kong, teh-hian, kong-a-hian, bangsing (seruling), gong, gendang, kecrek (pan), dan ningnong (sio-lo). Selain instrumen tadi, Kwa (2013) mencatat ada lima buah instrumen yang sekarang sudah tidak dimainkan lagi, yaitu ji-hian (instrumen gesek berdawai dua), ho-sian (instrumen gesek berdawai dua), sam-hian (instrumen gesek berdawai tiga), gweh-khim (semacam gitar berbentuk bulat berdawai dua), dan juanto (semacam terompet berlubang tujuh buah). Nada musiknya hanya memakai lima buah nada (pentatonis) yang mempunyai nama dalam bahasa Tionghoa, yakni: liuh = sol (g), u = la (a), siang = do (c), che = re (d), dan kong = mi (e). Tidak ada nada fa = f dan si = b seperti dalam musik diatonis khas Barat. Larasnya pun selendro khas Tionghoa sehingga biasa disebut selendro cina atau selendro mandalungan.
Apabila jenis lagu yang dimainkan adalah lagu sayur, maka ditambah lagi dengan instrumen musik modern seperti gitar elektrik, bas elektrik, terompet, saxophone, organ, dan bahkan drum. Menurut Sukotjo (2012), masuknya instrumen musik Barat dalam ensambel gambang kromong membuat musik tersebut harus menyesuaikan dengan tanga nada diatonis (tujuh nada) pada pola permainannya. Adapun urutan nada pokok diatonis yang dipergunakan dalam pola permainannya menjadi c (do), d (re), e (mi), f (fa), g (sol), a (la), dan b (si).
Penambahan alat-alat musik modern menciptakan pro dan kontra di kalangan seniman maupun penikmat musik gambang kromong. Bagi yang setuju berpendapat bahwa pengkolaborasian gambang kromong dengan alat musik modern dapat memperkaya karya seni yang dihasilkan. Jadi, boleh dilakukan asalkan alat-alat musik yang asli (gambang, kromong, teh-hian, dsb) tetap dipertahankan agar tidak kehilangan "roh"nya. Sementara bagi mereka yang kontra berpendapat bahwa pengkolaborasian dengan alat musik modern akan membuat bergesernya aturan-aturan yang menjadi suatu patokan dalam pola permainan gambang kromong. Perubahan dari nada pentatonis menjadi diatonis akan memberikan nuansa yang berbeda dalam karakteristik musik gambang kromong. Hal ini dapat dilihat dalam dominasi penggunaan gitar elektrik dan saxophone ketimbang instrumen gambang dan teh-hian sebagai musik pembukanya (intro).
Berikut adalah instrumen musik tradisional bernada pentatonis yang biasa digunakan dalam orkes gambang kromong:
a. Gambang
Bentuk resonator gambang menyerupai sebuah perahu dengan bagian atas dipasang bilah-bilah kayu manggarawan, suangking, atau huru batu berbentuk empat persegi panjang. Jumlah bilahnya ada 18 buah dan dibagi dalam dua gembyang (oktaf) dengan nada terendah adalah liuh (a) dan nada tertinggi siang (c). Bilah gambang berukuran panjang antara 29-58 centimeter dan "dikunci" menggunakan paku pada bagian atas resonator agar tidak goyah. Cara memainkannya dengan dipukul menggunakan dua buah kayu sepanjang 30-35 centimeter berujung bulat berlapis kain dalam dua tabuham, yaitu dilagu (menurut lagu) dan dicaruk atau dikotek.
b. Kromong
Bentuk kromong mirip seperti bonang, yaitu kumpulan 10 buah gong "pecon" terbuat dari perunggu atau kuningan yang disusun dua baris dalam sebuah rak kayu. Di dalam rak terdapat kotak-kotak kecil untuk menaruh pecon dengan bagian bawah dipasang tali penyangga. Tiap baris berisi lima buah gong dengan nada siang-liuh-u-kong-che pada baris pertama (luar) dan nada che-kong-siang-liuh-u pada baris kedua (dalam). Kromong dibunyikan secara berbarengan antara baris luar dan dalam menggunakan dua buah kayu lonjong dengan ujung berbalut kain atau benang dalam tiga tabuhan: dilagu (menurut lagu), dikemprang/digembyang, dan Dicaruk/dikotek/diracik. b. Kromong
c. Kong-a-hian, Teh-hian, dan Su-kong Kong-a-hian, Teh-hian, dan Su-kong mempunyai bentuk sama, hanya ukuran resonator dan gagangnya yang berbeda. Ukuran paling kecil adalah kong-a-hian bernada liuh (g) dan che (d), sedang teh-hian bernada siang (e) dan liuh (g), serta terbesar disebut su-kong bernada su (a) dan kong (e). Ketiga alat musik gesek berdawai dua tersebut terdiri atas resonator (wadah gema) dari tempurung kelapa yang dibelah lalu dilapis kulit tipis, tiang kayu berbentuk bulat panjang, dan purilan atau alat penegang dawai. Kong-a-hian, Teh-hian, dan Su-kong adalah instrumen pembawa melodi yang dimainkan dengan cara digesek menggunakan tongkat bersenar plastik (kenur).
d. Bangsing (suling)
Bangsing atau suling terbuat dari bambu kecil berbentuk bulat panjang dengan enam buah lubang nada. Instrumen yang dimainkan secara horizontal atau sejajar dengan mulut ini sering dikelompokkan dengan rebab dan vokal karena nada yang dihasilkannya lebih pendek dan terputus-putus.
e. Gong dan kempul Gong dan kempul terbuat dari kuningan atau perunggu berbentuk lingkaran yang bagian tengahnya menonjol (kenop). Gong berukuran sekitar 85 centimeter berfungsi sebagai penentu irama dasar, sementara kempul berukuran sekitar 45 centimeter berfungsi sebagai pewatas ritme melodi. Oleh karena ukuran gong dan kempul yang relatif besar tersebut, maka umumnya digantung pada sebuah gawangan kayu. Caranya adalah dengan melubangi sisinya sebagai tempat mengikat tali untuk digantungkan pada gawangan kayu berukir motif bunga, sulur dan ular naga setinggi satu meter. Gong dan kempul dibunyikan dengan cara dipukul dari samping pada bagian kenop menggunakan tongkat kayu berujung bulat berlapis kain.
f. Gong Enam
Sesuai dengan namanya, gong enam terdiri dari enam buah gong berukuran kecil yang digantung pada gawangan kayu dengan susunan nada: 3, 1, 6, 2, 1, 5.
g. Kecrek (pan) Kecrek atau pan berbentuk dari dua hingga empat lempengan logam tipis (besi, kuningan, perunggu) yang disusun diatas sebuah papan kayu. Alat yang berfungsi sebagai pengatur irama dan untuk menimbulkan efek bunyi tertentu ini dimainkan dengan cara dipukul menggunakan palu khusus atau tongkat kayu pendek hingga menghasilkan bunyi crek-crek-crek.
h. Ningnong (sio-lo)
Ningnong berbentuk dua buah piringan logam perunggu atau kuningan berdiameter sekitar 10 centimeter yang ditempatkan pada sebuah bingkai kayu bertangkai satu. Ningnong dibunyikan dengan cara dipukul menggunakan tongkat besi kecil secara bergantian dari kiri ke kanan atau sebaliknya (teknik pitet), sebagai pengatur irama.
i. Gendang Gendang atau kendang terbuat dari kayu berbentuk silinder berongga yang kembung di bagian tengahnya. Pada kedua pangkal gendang berbentuk lingkaran ditutup dengan kulit kambing atau kerbau yang tidak sama besarnya. Bentuk gendang semacam ini biasa disebut sebagai kerucut pepet dan berfungsi sebagai instrumen pengatur irama. Dalam setiap pementasan umumnya terdapat sebuah kerucut pepet dan satu atau dua buah gendang kecil yang disebut ketipung, tepak, tipluk atau kulanter. Kerucut pepet ditempatkan pada dudukan kayu silang kecil di depan, sedangkan ketipung berada di samping kiri atau di pangkuan pemain.
Seluruh instrumen musik di atas didominasi oleh warna merah, hitam, coklat dan kuning. Warna coklat, baik muda maupun tua, terdapat pada resonator su-kong, teh-yan, kong-a-hian, bilah-bilah gambang, dan badan gendang. Warna kuning terdapat pada instrumen suling, gong, kecrek, kromong dan benda-benda lain yang terbuat dari kuningan. Warna hitam terdapat pada instrumen gong, kromong, kecrek, dan bilah-bilah gambang yang dibiat dari kayu-besi (ki beusi). Dan, warna merah terdapat pada alat-alat kayu penyangga (dudukan) instrumen gong, kempul, kecrek, gambang, serta kromong.
Adapun pembuatan instrumennya tidak dilakukan sendiri oleh seniman gambang kromong, melainkan dipesan dari berbagai daerah di Jawa Barat maupun Jawa Tengah. Kalaupun ada yang dibuat sendiri, biasanya hanya bagian-bagian kecil dari sebuah instrumen yang memerlukan perbaikan. Untuk gong, kromong, dan kempul misalnya, dipesan dari pande yang biasa membuat peralatan tersebut. Oleh pande gong atau kempul dibuat dalam adonan timah dan tembaga panas kemudian dituang pada cetkan gamelan yang tertanam di tanah di ruang pembakaran. Setelah mengeras, adonan diangkat lalu dibakar dan dipukul-pukul untuk mencapai ketebalan yang diinginkan. Apabila kurang tebal, ditambah dengan cara didempul kemudian dilas.
Keluar dari ruang pande (ruang pembakaran), gong atau kempul digerinda dan dikikir. Di tengah proses pengikiran, gong atau kempul dilaras (disetel agar bunyi yang dihasilkan sesuai dengan nadanya). Apabila kurang pas, dibawa ke ruang pembakaran lagi untuk didempul dan dilas. Begitu seterusnya hingga dihasilkan sebuah gong, kromong, atau kempul dengan nada sempurna. Dan, sebelum beralih ke tangan seniman gambang kromong, peralatan perkusi itu digosok dengan cairan kimia atau batu giok hijau bercampur bensin agar mengkilat.
Kostum
Kostum yang dikenakan oleh para panjak laki-laki dan perempuan dari waktu ke waktu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Dewasa ini sedikitnya ada tiga model yang biasa dikenakan oleh para panjak laki-laki, yaitu: sadariah, demang, dan batik. Model sadariah atau biasa disebut juga sadarie, tikim, dan koko adalah setelan yang umum dipakai oleh orang Betawi kebanyakan, terdiri dari baju koko atau baju gunting Cina, celana batik panjang, kain sarung sebagai selendang bahu, terompah, kopiah berwarna hitam atau merah sebagai penutup kepala, dan sandal jepit dari kulit. Menurut jakarta.go.id, mulanya busana ini hanya dikenakan oleh para pemuda saat ada kegiatan keagamaan atau sedekahan di masjid. Lambat laun fungsinya meluas untuk keperluan lain, diantaranya adalah busana pemuda yang bertugas membawa sirih-nanas sebagai mas kawin pada prosesi perikahan adat Betawi, dan busana para seniman kesenian betawi ketika sedang manggung.
Model selanjutnya disebut sebagai ujung serong atau demang karena dahulu umum dikenakan oleh para demang dan kaum bangsawan laki-laki lainnya, terdiri dari: jas tutup berkerah, celana panjang berwarna senada dengan jas, kain jung serong karena dipakai tidak lurus (serong), kopiah berwarna hitam atau merah, sepatu kulit, dan aksesoris berupa jam saku rantai serta kuku harimau atau duit gobang yang diletakkan pada saku jas atas.
Model terakhir adalah kemeja batik yang dipadukan dengan celana panjang berwarna gelap serta ditambah dengan kopiah dan sepatu kulit. Kostum batik ini jarang dikenakan oleh para pemain ketika ngamen dalam acara yang diselenggarakan oleh warga masyarakat secara perseorangan, seperti khitanan atau perkawinan. Mereka memakainya apabila yang mengundang untuk ngamen dari dines atau instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Adapun kostum atau busana yang dikenakan oleh panjak perempuan adalah kebaya encim terbuat dari sifon atau katun halus yang panjangnya hanya sebatas pinggul agar mencerminkan keindahan tubuh si pemakai,sarung batik berwarna cerah bermotif pucuk rebung, kutang nenek sebagai pakaian dalam, selendang polos berbahan sifon, konde cepol berukuran segenggaman tangan dan diletakkan sekitar tujuh jari di atas tengkuk, serta selop bertumit rendah terbuat dari kain ringan seperti beludru.
Lagu-lagu yang Dilantunkan
Ada beberapa versi mengenai jenis lagu yang umum dibawakan dalam kesenian gambang kromong. Versi pertama berasal dari Sopandi dkk, 1992, yang menyatakan bahwa jenis lagu gambang kromong ada tiga macam, yaitu phobin, sayur, dan lagu untuk rancag. Lagu phobin adalah lagu berirama cepat yang dibawakan dalam bentuk instrumentalia. Lagu sayur adalah lagu selingan atau hiburan, seperti: Versi, Jali-jali, Cente Manis, Cente Manis Gula Batu, Cente Manis Kelapa Muda, Surilang, Balo-balo, Stambul Siliwangi, Jali-jali Kalih Jodo, Jali-jali Si Ronda, Jali-jali Pasar Malam, Jali-jali Bunga Siantan, Jali-jali Ujung Menteng, Jali-jali Kramat Karem. Dan, jenis lagu rancag adalah lagu iringan dan lagu vokal dalam penyajian rancag, seperti: Sipitung, Siangkri, Orang Bujang, Galatik Unguk, Stambul.
Sementara menurut Rojali (seniman gambang rancag), lagu gambang kromong hanya terdiri dari dua jenis, yaitu: lagu dalem dan lagu sayur. Lagu dalem adalah lagu yang masih kental dengan nuansa musik Tionghoa. Jenis lagu ini umumnya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: phobin, musik dan vokal, lalu diakhiri dengan lopan. Komposisinya dapat berupa phobin--musik dan vokal--lopan atau phobin-musik dan vokal-phobin. Irama phobin dan lopan yang sama dapat dimainkan untuk mengiringi lagu yang berbeda.
Phobin merupakan intro atau musik pengantar berdurasi pendek sebelum suara vokal masuk. Kwa (2005) menuturkan, dahulu phobin merupakan irama khusus yang digunakan untuk mengiringi berbagai macam upacara dalam lingkaran hidup masyarakat Tionghoa tradisional. Judul phobin umumnya menggunakan nama-nama tokoh dalam cerita rakyat Tionghoa berdialek Hokkian di Cina Selatan, seperti: Phobin Poa Si Litan, Phobin Peh Pan Tau, Phobin Cu Te Pan, Phobin Cai Cu Siu, Phobin Cai Cu Teng (Punjung Cendekiawan Berbakat), Phobin Seng Kiok, Ma To Jin (Pendeta Perempuan), Jin Kui Hwe Ke (Jin Kui Pulang Kampung), Lui Kong (Dewa Halilintar), Cia Peh Pan, It Ki Kim (Setangkai Emas), Tai Peng Wan (Teluk Perdamaian dan Ketenteraman), Pek Bou Tan (Bunga Peoni Putih), Cai Cu Siu (Kekayaan, Keturunan dan Usia Panjang), Kim Hoa Cun (Perahu Bunga Emas), Liu Tiau Kim, Si Sai Hwe Ke, Ban Kim Hoa (Berlaksa Bunga Emas), Pat Sian Kwe Hai (Delapan Dewa Menyeberangi Laut), Lian Hoa The (Tubuh Bunga Teratai), Se Ho Liu, Hong Tian, Cu Te Pan, Cay Cu Teng, Kong Ji Lok, Coan Na, Ki Seng Co, Ciang Kun Leng, Tio Kong In, Sam Pau Hoa, Pek Hou Tian, Kim Sun Siang, Ce Hu Liu, Bangliau, Li Ten Hwe Bin, Phobin Kong Ji Lok, dan lain sebagainya.
Untuk dapat memainkan lagu-lagu phobin, seseorang harus menggunakan notasi dalam huruf Tionghoa yang biasa dipakai unuk lagu-lagu Hokkian Selatan. Oleh karena itu, sekarang sudah sangat jarang ada pemusik gambang kromong yang dapat memainkan lagu phobin secara lengkap. Kalau pun ada, hanya beberapa judul saja, seperti Phobin Khong Ji Lok serta beberapa phobin sebagai pengiring upacara inisiasi menjelang pernikahan atau kematian di kalangan orang Tionghoa tradisional (Kwa, 2005).
Setelah lagu phobin barulah vokal penyanyi masuk dalam tempo lambat dan monoton. Syair yang dilantunkan diambil dari kumpulan pantun Melayu-Betawi atau syair Tionghoa koleksi penyanyinya dan diiringi instrumen musik yang didominasi oleh suling, kong-a-hian, teh-yan dan su-kong tanpa menggunakan instrumen modern. Judul lagu dalem bersyair Melayu-Betawi diantaranya adalah: Peca Piring, Semar Gunem, Mawar Tumpa, Mas Nona, Gula Ganting, Tanjung Burung, Nori Kocok (Burung Nuri), Centeh Manis Berduri, Dempok, Temenggung, Menulis, Enko Si Baba, Indung-indung, Jungjang Semarang, Kulanun Salah, Gunung Payung, Bong Tjeng Kawin, Mas Mira, Persi Kocok, dan Duri Rembang. Sedangkan, yang bersyair Tionghoa adalah: Poa Si Li Tan, Bangliau, Tan Sha Sioe Khie, Gouw Nio, dan Tang Hoa Ko Nyanyi. Lagu dalem kemudian diakhiri dengan lopan atau musik pengakhir lagu dengan judul berbahasa Tionghoa atau Melayu-Betawi, misalnya Lopan Tukang Sado. Sebagai catatan, saat ini seniman Betawi yang mampu menyanyikan lagu-lagu dalem tinggal satu orang saja, yaitu Cim Masnah alias Pang Tjin Nio yang wafat pada hari Minggu, 26 Januari 2014 dalam usia 88 tahun.
Jenis lainnya adalah lagu sayur yang komposisinya tidak menggunakan phobin dan lopan sebagai intro dan penutup lagu. Konon, jenis lagu ini diciptakan untuk ngibing (menari) dengan diiringi instrumen musik modern berupa gitar, bas elektrik, dan bahkan drum, sehingga ada pula yang menamakannya sebagai lagu modern. Judul-judul lagu sayur atau modern diantaranya adalah: Kramat Karem, Onde-onde, Glatik Ngunguk, Surilang, Jali-jali (versi Ujung Menteng, Kembang Siantan, Pasar Malem, Kacang Buncis, Cengkareng, dan Jago), Stambul (Satu, Dua, Sere Wangi, Rusak, dan Jalan), Persi (Rusak, Jalan, dan Kocok), Centeh Manis, Kudehel, Balo-balo, Renggong Manis, Akang Haji, Renggong Buyut, Jepret ayung, Lenggang Kangkung, Kicir-kicir, Sirih Kuning, Blenderan, dan lain sebagainya termasuk beberapa diantaranya lagu berbahasa Sunda (Awi Ngarambat, Gaplek, Kembang Kacang, Kembang Beureum, Lampu Tempel, dan Wawayangan).
Munculnya lagu sayur atau lagu modern dimulai ketika Bung Karno dengan sistem politik Demokrasi Terpimpin dan Anti Neo Kolonialismenya memberlakukan larangan penerapan ideologi barat (liberal) termasuk kebudayaannya pada tahun 1965 (www.share-pdf.com). Waktu itu, para seniman dilarang untuk memainkan dan menyanyikan lagu-lagu pop barat yang dianggap oleh pemimpin politik sebagai lagu ngak-ngek-ngok. Kondisi ini dimanfaatkan oleh banyak penyanyi pop beralih ke jalur musik lain yang "asli" Indonesia sebagai tempat bernaung agar tetap berprofesi sebagai penyanyi. Beberapa di antara mereka adalah Lilis Suryani dan Benyamin Suaeb yang menggandeng seorang seniman gambang kromong bernama Suhaeri Mukti untuk berduet menyanyikan lagu-lagu Melayu-Betawi.
Senada dengan Lilis Suryani, Benyamin Suaeb yang sebelumnya bernyanyi lagu pop segera banting stir agar aman dari tuduhan penyanyi ngak-ngek-ngok (Kalim, 2005). Seniman asli Betawi yang lahir di Kemayoran ini memilih bergabung dalam kelompok Naga Mustika pimpinan Suryahanda menyanyikan lagu-lagu Melayu-Betawi dengan iringan musik gambang kromong. Selama berada di Naga Mustika, Benyamin menambahkan nuansa baru dalam penambilan kesenian ini agar sejajar dengan seni musik modern yang dipengaruhi seni musik Barat. Caranya adalah dengan memadukan peralatan musik gambang kromong yang bernada pentatonik dengan alat-alat musik modern berbasis nada diatonik seperti gitar melodi, gitar bas, drum, saxsofon, terompet, dan keyboard (organ). Hasilnya, terbentuklah sebuah aliran musik baru yang dinamakan sebagai gambang kromong modern atau gambang kromong kombinasi karena menggunakan instrumen musik modern dari Barat.
Untuk lebih mempopulerkan gambang kromong modern, bersama grup Naga Mustika Benyamin kemudian menggandeng Bing Slamet dan Ida Royani masuk dapur rekaman melalui studio Dimitra Record milik Dick Tamimi. Bing Slamet diminta menyanyikan lagu Nonton Bioskop, Brang Breng Brong dan Tukang Sayur sementara Ida Royani diminta berduet menyanyikan lagu ciptaan grup Naga Mustika. Mulai dari sinilah berkembang lagu-lagu baru gambang kromong yang oleh masyarakat disebut sebagai lagu sayur. Liriknya bertema tentang kesulitan hidup, kritik terhadap pemerintah dan elit politik, humor, dan lain sebagainya.
Nilai Budaya
Walau terjadi perubahan baik dalam bentuk lagu maupun penambahan instrumen musik modern yang digunakannya, gambang kromong masih dapat bertahan hingga sekarang. Musik perpaduan unsur budaya Tionghoa dan Betawi ini masih memiliki regenerasi pemain, penanggap serta penikmat setianya. Bagi penanggap, gambang kromong dapat dijadikan sebagai sarana hiburan untuk hajatan yang sedang dihelatnya. Dasar pemilihannya dapat karena hobi, untuk menarik perhatian undangan agar mau datang ke hajatan, dan dapat pula karena tradisi hajatan tersebut memang memerlukan gambang kromong sebagai musik pengiringnya. Sementara, bagi mayoritas penonton atau penikmatnya, gambang kromong hanya dijadikan sebagai sarana hiburan. Penyebab utama seseorang mau menonton dan mendengarkan alunan musik gambang kromong adalah karena faktor asal usul kesuku-bangsaannya. Dalam hal ini, seseorang senang menonton, mendengar, dan menyanyikan lagu gambang kromong dengan maksud untuk menunjukkan identitasnya sebagai orang Melayu-Betawi.
Sedangkan bagi seniman, gambang kromong memiliki banyak fungsi, bergantung dari sudut pandang senimannya sendiri. Dari hasil wawancara terhadap beberapa seniman, muncul berbagai alasan mengenai eksistensi mereka dalam dunia kesenian gambang kromong, diantaranya: (a) memainkan gambang kromong berarti ikut melestarikan kebudayaan Betawi, (b) bangga mampu memainkan satu atau lebih alat musik gambang kromong, (c) mengasah bakat dan menambah pengetahuan, (d) menghibur masyarakat, (e) menjalin silaturrahim pemain, pimpinan, dan penonton, serta (f) sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Selain memiliki banyak fungsi (bagi penikmat maupun seniman), jika dicermati gambang kromong juga mempunyai nilai-nilai (tidak hanya estetika) yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu adalah: ketekunan, kesabaran, kerja keras, kerja sama, kekompakan, dan kreatifitas.
Nilai ketekunan, kesabaran, dan kerja keras tercermin dalam penguasaan alat musik yang dimainkan. Untuk menjadi panjak yang mahir tentu diperlukan kesabaran, ketekunan dan kerja keras. Tanpa itu mustahil seseorang dapat menunjukkan kehebatannya ketika sedang pentas. Bahkan, bisa saja mengganggu jalannya pertunjukan dan malah menjadi bahan cemoohan dan tertawaan penonton. Nilai kerja sama tercermin dalam proses pementasan gambang kromong itu sendiri. Sebagai sebuah ensembel tentu memerlukan kerja sama antarpemain atau antarpanjak agar pementasan berjalan dengan lancar. Nilai kekompakan dan ketertiban tercermin dalam suatu pementasan yang dapat berjalan secara lancar. Nilai kreatifitas tercermin pada peralatan dan perlengkapan gambang kromong. Sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, diawal munculnya peralatan musik masih bersifat tradisional bernada pentatonis. Namun seiring waktu, penggunakan alat-alat musik modern juga ikut dimainkan sehingga menimbulkan bunyi yang lebih dinamis. Ini artinya, para panjak tidak hanya puas dengan apa yang selama ini dimainkan. Ada proses kreatifitas tertentu untuk memadukan peralatan musik tradisional dengan modern sehingga musik gambang kromong lebih berwarna. (ali gufron)
Sumber:
Sopandi, Atik. dkk. 1992. Gambang Rancag. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.
Kwa, David. 2005. Lebih dalam tentang gambang kromong & wayang. Jurnal cisadane, 7: 10-15.
Kwa, David. 2013. "Gambang Kromong dan Wayang Cokek", diakses dari http://blog.budaya-tionghoa.net/tionghoa/gambang-kromong-dan-wayang-cokek/ tanggal 7 April 2016.
http://www.share-pdf.com/8360f9dcc1614dd2937d30ce799deab7/Revisi%20Disertasi%20Promosi%20Terbuka%20januari%2013.htm diakses tanggal 9 Maret 2016.
Sukotjo. 2012. "Musik Gambang Kromong dalam Masyarakat Betawi di Jakarta", dalam Jurnal Etnomusikologi Indonesia Vol. 1 No. 1. Maret 2012 Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Kalim, Nurdin. 2005. "Potret Benyamin Apa Adanya", dalam http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2005/07/potret-benyamin-apa-adanya.html, diakses 20 Maret 2016
“Gambang Kromong”, diakses dari https://jakarta.go.id/artikel/konten/1100/gambang-kromong, tanggal 20 Februari 2020.
Sopandi, Atik. dkk. 1992. Gambang Rancag. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.
Kwa, David. 2005. Lebih dalam tentang gambang kromong & wayang. Jurnal cisadane, 7: 10-15.
Kwa, David. 2013. "Gambang Kromong dan Wayang Cokek", diakses dari http://blog.budaya-tionghoa.net/tionghoa/gambang-kromong-dan-wayang-cokek/ tanggal 7 April 2016.
http://www.share-pdf.com/8360f9dcc1614dd2937d30ce799deab7/Revisi%20Disertasi%20Promosi%20Terbuka%20januari%2013.htm diakses tanggal 9 Maret 2016.
Sukotjo. 2012. "Musik Gambang Kromong dalam Masyarakat Betawi di Jakarta", dalam Jurnal Etnomusikologi Indonesia Vol. 1 No. 1. Maret 2012 Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Kalim, Nurdin. 2005. "Potret Benyamin Apa Adanya", dalam http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2005/07/potret-benyamin-apa-adanya.html, diakses 20 Maret 2016
“Gambang Kromong”, diakses dari https://jakarta.go.id/artikel/konten/1100/gambang-kromong, tanggal 20 Februari 2020.