Menurut Kridalaksana,dkk (2001:76) gamelan adalah alat musik tradisional khas Pulau Jawa yang terbuat dari perunggu (campuran timah dan tembaga dengan perbandingan 3:10). Alat musik tradisional ini memiliki dua nada, yaitu slendro dan pelog. Nada slendro berfungsi untuk menggambarkan perasaan gembira, riang, dan lincah. Sebaliknya, nada pelog menggambarkan perasaan hati yang sedih (Sugeng, 2013:75).
Di salah satu wilayah Pulau Jawa, tepatnya di DKI Jakarta, ada sebuah gamelan bernada slendro yang dikenal dengan nama gamelan ajeng. Diperkirakan gamelan ajeng adalah ensembel tradisional yang merupakan campuran antara gamelan Sunda dan Bali (Saputra, dkk 2014:10). Pengaruh kedua daerah tersebut terdapat pada waditra yang digunakan serta irama cepat dan lincah berkisar pada nada-nada pentatonis D-E-GA-C atau re-mi-sol-la-do (Simanungkalit, 2008:28).
Gamelan ajeng dahulu difungsikan sebagai sarana penyemarak upacara adat dalam rangka lingkaran hidup seseorang (perkawinan dan sunatan) serta nazar dan ungkapan rasa syukur setelah panen (babarit/baritan). Menurut encyclopedia.jakarta-tourism.go.id, pada masa itu gamelan ajeng dianggap sakral. Waditranya, yaitu dua buah gong besar (gong lanang dan gong wadon) hanya boleh ditabuh pada sebuah pajengan atau panggung khusus setinggi dua meter.
Seiring waktu, kesenian yang lahir sebagai bentuk dari pemuasan kebutuhan manusia akan rasa keindahan ini difungsikan pula sebagai pengiring wayang kulit Betawi, wayang wong Betawi, Tari Belenggo Ajeng, dan Tari Topeng Gong. Bahkan, di beberapa tempat juga digunakan untuk memainkan lagu-lagu Sunda mengiringi Tari Jaipong (warisanbudaya.kemdikbud.go.id).
Adapun waditra digunakan, adalah: gong, kromong, saron, kedemung, terompet, ketuk, kecrek, dan gendang. Berikut adalah instrumen musik tradisional yang biasa digunakan dalam ensambel gamelan ajeng:
a. Kromong
Bentuk kromong mirip seperti bonang, yaitu kumpulan 10 buah gong "pecon" terbuat dari perunggu atau kuningan yang disusun dua baris dalam sebuah rak kayu. Di dalam rak terdapat kotak-kotak kecil untuk menaruh pecon dengan bagian bawah dipasang tali penyangga. Tiap baris berisi lima buah gong dengan nada siang-liuh-u-kong-che pada baris pertama (luar) dan nada che-kong-siang-liuh-u pada baris kedua (dalam). Kromong dibunyikan secara berbarengan antara baris luar dan dalam menggunakan dua buah kayu lonjong dengan ujung berbalut kain atau benang dalam tiga tabuhan: dilagu (menurut lagu), dikemprang/digembyang, dan Dicaruk/dikotek/diracik.
b. Saron
Saron berbentuk menyerupai perahu dengan bagian atas berupa jejeran bilah terbuat dari perunggu, kuningan, atau besi. Alat ini berfungsi sebagai pengisi melodi utama dalam gamelan ajeng. Ia dimainkan dengan cara dipukul dengan alat terbuat dari kayu.
c. Kedemung
Kedemung atau biasa juga disebut demung berbentuk menyerupai saron. Fungsinya hanyalah untuk mengiringi saron sebagai melodi utama karena suara yang dihasilkan bernada oktaf rendah.
d. Kecrek
Kecrek terbentuk dari dua hingga empat lempengan logam tipis (besi, kuningan, perunggu) yang disusun diatas sebuah papan kayu. Alat yang berfungsi sebagai pengatur irama dan untuk menimbulkan efek bunyi tertentu ini dimainkan dengan cara dipukul menggunakan palu khusus atau tongkat kayu pendek hingga menghasilkan bunyi crek-crek-crek.
e. Ketuk
Bentuk ketuk menyerupai bonang namun lebih pipih. Ketuk berfungsi sebagai pemberi tekanan serta penyeimbang melodi lagu.
f. Gong dan Kempul
Gong dan kempul terbuat dari kuningan atau perunggu berbentuk lingkaran yang bagian tengahnya menonjol (kenop). Gong berukuran sekitar 85 centimeter berfungsi sebagai penentu irama dasar, sementara kempul berukuran sekitar 45 centimeter berfungsi sebagai pewatas ritme melodi. Oleh karena ukuran gong dan kempul yang relatif besar tersebut, maka umumnya digantung pada sebuah gawangan kayu. Caranya adalah dengan melubangi sisinya sebagai tempat mengikat tali untuk digantungkan pada gawangan kayu berukir motif bunga, sulur dan ular naga setinggi satu meter. Gong dan kempul dibunyikan dengan cara dipukul dari samping pada bagian kenop menggunakan tongkat kayu berujung bulat berlapis kain.
g. Terompet
Bentuknya sama seperti terompet tradisional pada umumnya dengan lima buah lubang berlaras slendro dan bernada do-re-mi-sol-la. Fungsi terompet adalah sebagai pembawa melodi utama sekaligus ciri pembeda dari sejumlah kesenian sejenis lainnya.
h. Gendang
Gendang atau kendang terbuat dari kayu berbentuk silinder berongga yang kembung di bagian tengahnya. Pada kedua pangkal gendang berbentuk lingkaran ditutup dengan kulit kambing atau kerbau yang tidak sama besarnya. Bentuk gendang semacam ini biasa disebut sebagai kerucut pepet dan berfungsi sebagai instrumen pengatur irama. Dalam setiap pementasan umumnya terdapat sebuah kerucut pepet dan satu atau dua buah gendang kecil yang disebut ketipung, tepak, tipluk atau kulanter. Kerucut pepet ditempatkan pada dudukan kayu silang kecil di depan, sedangkan ketipung berada di samping kiri atau di pangkuan pemain.
i. Bende
Bentuk bende menyerupai kempul (lingkaran yang bagian tengahnya menonjol) namun ditambah dengan kecemes, peralatan yang biasa digunakan dalam seni gendang beleq di Bali dan Nusa Tenggara Barat. Bende dibunyikan dengan cara dipukul dari samping pada bagian kenop menggunakan tongkat kayu tanpa lapisan kain di bagian ujungnya.
Seluruh waditra tadi umumnya selalu ada dalam setiap pementasan gamelan ajeng. Namun, apabila pementasan dilakukan dalam bentuk arak-arakan pengiring pengantin atau khitanan, biasanya hanya membawa beberapa waditra saja, khususnya waditra yang tidak terlalu berat (kenong, bende, kempul, dan terompet) ketika dimainkan sambil berkeliling kampung.
Pertunjukan Gamelan Ajeng Betawi
Bagi orang yang ingin memesan gamelan ajeng akan mendatangi pemilik atau pimpinan group untuk bernegosiasi guna menentukan tarif, waktu pelaksanaan, serta lama pertunjukan. Apabila terjadi kesepakatan, pemesan akan menyerahkan sejumlah “uang ikatan” (deposit) sebagai “tanda jadi”.
Selanjutnya, pimpinan group akan mengumpulkan para pemain untuk mendiskusikan waktu pementasan yang sebelumnya telah disepakati dengan pemesan. Apabila ada pemain yang berhalangan hadir karena rumahnya cukup jauh atau lumayan tenar di kalangan seniman, dia akan mendatangi dan memberikan sejumlah uang sebagai panjer. Tujuannya adalah agar si pemain datang saat pementasan.
Apabila seluruh pemain telah sepakat, pimpinan group akan bernegosiasi lagi dengan pemesan mengenai waktu pelaksanaan. Khusus untuk pementasan dalam acara perkawinan, biasanya pemesan akan menyesuaikan jadwal pementasan gamelan ajeng bertepatan dengan kedatangan calon besan. Atau, apabila pemesan juga mengundang kesenian lain (organ tunggal), maka waktu pementasan bergantung pada kemauan pemesan (bisa sebelum atau sesudah kesenian lain dipentaskan).
Pada saat hari H, satu setengah atau dua jam sebelumnya rombongan gamelan ajeng akan tiba di lokasi. Dahulu untuk mengangkut seluruh personil beserta waditra gamelan ajeng hanya menggunakan satu buah mobil bak terbuka. Saat ini, seiring penggunaan sound system sebagai penunjang performa, paling tidak perlu dua buah mobil pengangkut. Mobil pertama membawa para pemain, sedangkan mobil kedua mengangkut waditra, sound system, dan beberapa orang cantrik.
Para cantriklah yang kemudian menata waditra dan sound system di atas panggung dalam dua barisan. Baris depan terdiri atas kromong, saron, dan gong, sementara baris di belakangnya ada kedemung, ketuk, kecrek, dan terompet. Sedangkan sound system berada di bagian paling belakang dengan jumlah speaker bergantung pada luas panggung. Sebagai catatan, sebelum ada sound system untuk pengera suara digunakan toa yang diletakkan di bagian sisi barisan waditra.
Setelah waditra terpasang dan acara akan dimulai pimpinan group melakukan semacam ritual guna kelancaran pertunjukan. Adapun tempatnya di depan waditra paling sakral yaitu gong lanang dan wadon. Sebagai medianya (sesajen) disediakan kemenyan bukhur berbentuk segitiga, kopi pahit, kopi manis, segelas susu, kembang tujuh rupa, the pahit, the manis, sepiring lauk pauk beserta nasi, dan buah pisang. Penyedia sesajen adalah si empunya hajat. Jadi, jika empunya hajat tergolong orang berada, sesajen dapat ditambah bekakak hayam, beberapa bungkus rokok kretek, dan lain sebagainya.
Selesai ritual gamelan mulai ditabuh dengan lagu pembuka berirama cepat (giro). Kemudian dilanjut dengan lagu renggong utikan lambung 1 dan 2, serta lagu-lagu bebas (Anak Ayam, Cioda, Metid, Menurun, Tabuhan Betawi, Tayub, Kopyor, Serondeng, dan lain sebagainya) hingga menjelang magrib ditutup dengan lagu Uti-uti Uri (matahari terbenam).
Setelah isya pertunjukan dimulai lagi dengan lagu giro sebagai pembuka. Selanjutnya barulah lagu-lagu bebas khas gamelan ajeng. Pada saat lagu-lagu bebas diselingi dengan acara nyurup atau meminta lagu. Dalam hal ini penonton dapat me-request lagu sesuai keinginan mereka. Sebagai tanda nyurup mereka akan nyawer sejumlah uang atau rokok kepada para pemain.
Menjelang tengah malam, acara nyurup ditutup dengan dimainkannya kembali lagu giro. Dan, dengan berakhirnya lagu giro maka berakhir pula pertunjukan gamelan ajeng. Pemain turun dari panggung diganti oleh para cantrik membereskan waditra serta sound system. (ali gufron)